Selasa, 19 Desember 2017

Menyelami Sisi Psikologis Remaja Pelaku Aborsi di Indonesia


A.    Latar Belakang
Salah satu dampak dari kemajuan zaman adalah semakin luasnya pergaulan para remaja. Apabila tidak dibarengi dengan pertahanan nilai dan moral yang kuat, hal tersebut dapat membuat remaja terjerumus dalam pergaulan bebas. Bentuk pergaulan bebas yang beberapa tahun terakhir ini umum ditemukan pada remaja Indonesia adalah gaya berpacaran yang tidak sehat, antara lain melakukan hubungan seks pra nikah. Menurut survei yang dilakukan oleh Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementrian Kesehatan (Kemenkes) pada tahun 2013, sekitar 62,7% remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seks pra nikah. Resiko terbesar dari hubungan seks pra nikah adalah kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), dan seringkali berujung pada aborsi. Masih berdasar survei yang sama, sekitar 20% dari 94.270 remaja yang mengalami hamil di luar nikah pernah melakukan aborsi.
Menurut Mohammad (dalam Istiarti dkk, 2006), aborsi didefinisikan sebagai tindakan penghentian kehamilan dengan cara-cara tertentu sebelum janin dapat hidup di luar rahim ibunya (usia kurang dari 20 minggu atau berat kurang dari 500 gram). Angka aborsi di Indonesia terbilang cukup tinggi meski tindakan ini telah dilarang, baik oleh UU, KUHP, maupun fatwa MUI. Setiap tahunnya, praktik aborsi di Indonesia mencapai 2,5 juta kasus dan 30% di antaranya dilakukan oleh remaja. Survei terbaru pada tahun 2016 yang dilakukan oleh peneliti PSKK (Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan) UGM, Sri Purwatiningsih, menyebutkan bahwa tingkat remaja yang hamil dan aborsi cukup tinggi, mencapai 58%. Selain itu, Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia menemukan tiap tahun rata-rata terjadi sekitar 2 juta kasus aborsi tidak aman.
Masalah aborsi pada remaja perlu mendapatkan penanganan serius karena dapat menimbulkan berbagai dampak negatif. Dari sudut pandang masyarakat, aborsi merupakan tindakan yang melanggar hukum serta norma-norma sosial dan agama. Selain itu, aborsi juga akan memunculkan berbagai prasangka dan label yang buruk terhadap pelakunya. Sementara dari sudut pandang pelakunya sendiri, mereka akan merasakan kesakitan, baik fisik maupun psikologis. Bahkan dalam kasus yang ekstrem, para pelaku aborsi bisa sampai meninggal dunia.
Di sini penulis ingin memaparkan alasan-alasan yang dapat mendasari remaja melakukan tindakan aborsi dilihat dari beberapa pendekatan Psikologi, serta dampak psikis yang timbul dari tindakan aborsi tersebut.

B.     Kasus Aborsi yang Dilakukan Remaja di Indonesia
Meskipun tindakan aborsi telah dilarang, baik oleh norma-norma sosial maupun hukum, serta dapat menimbulkan dampak negatif, tapi nyatanya praktik aborsi oleh remaja masih kerap ditemui di tengah masyarakat. Seperti kasus yang dialami seorang wanita dengan nama samaran Andini yang berasal dari Jakarta. Ia menyatakan bahwa dirinya positif hamil ketika berada di bangku SMA. Hubungan Andini dengan kekasihnya, seorang pria yang berusia 6 tahun lebih tua darinya, tidak mendapat restu keluarga. Andini sempat terbuai janji manis dari sang kekasih hingga akhirnya kabur dari rumah dan tinggal bersama kekasih masa mudanya itu. Hingga ketika ia pulang, orang tuanya meminta Andini untuk melakukan tes urine, dan hasilnya positif.
Orang tua Andini panik karena beberapa bulan lagi anak mereka akan menyelesaikan pendidikannya, tapi Andini memohon agar diizinkan melahirkan dan merawat calon bayinya meski harus seorang diri. Namun orang tua Andini tetap memaksa anaknya untuk menggugurkan kandungannya dengan cara makan nanas setiap hari. Cara tersebut rupanya tidak berhasil, hingga pada akhirnya mereka mengambil jalan pintas dengan mendatangi klinik aborsi. Sejak kejadian itu, Andini masih teringat jelas pengalamannya saat proses aborsi yang menyakitkan tersebut.
Kasus kedua datang dari seorang perempuan berinisial O. O merupakan mahasiswi di perguruan tinggi swasta di Depok. Ia telah melakukan aborsi satu kali. Berbeda dengan Andini yang melakukan aborsi karena paksaan orang tua, alasan O melakukan aborsi adalah karena takut pendidikannya akan terhambat apabila ia tetap mempertahankan kehamilannya. Selain itu O juga belum siap untuk membina kehidupan berumah tangga dan merasa malu dipandang rendah, serta takut apabila lingkungannya mengetahui tentang kehamilannya yang di luar nikah, baik itu lingkungan keluarga maupun lingkungan sekitar. Saat akan dan setelah melakukan aborsi, O mengaku mengalami beberapa gejala stres, mulai dari nafsu makan berkurang, sulit berkonsentrasi, depresi, serta menurunnya minat dan antusiasme.

C.    Menelaah Penyebab Remaja Melakukan Aborsi melalui Pendekatan Psikologi
Psikologi adalah ilmu yang memabahas terkait pikiran, otak, dan perilaku manusia. Ilmu psikologi banyak digunakan untuk mencari penyebab atas tindakan yang dilakukan seseorang ataupun sekelompok orang. Dalam hal ini, kami akan menyoroti penyebab yang mendasari remaja di Indonesia melakukan praktik aborsi melalui dua pendekatan yang terdapat di psikologi.
1.      Aborsi, konsep diri, dan konformitas dalam Pendekatan Psikologi Sosial
Penyebab praktik aborsi paling luas saat ditinjau menggunakan pendekatan psikologi sosial. Aspek pertama yang akan diangkat adalah mengenai konsep diri. Konsep diri merupakan asumsi seseorang tentang kualitas kepribadiannya meliputi karakteristik fisik, psikologis, sosial, emosi, aspirasi, dan prestasi dirinya yang diperoleh melalui pengalaman individu dalam interaksinya dengan orang lain di masa lalu dan masa sekarang. Menurut Calhoun dan Acocella (1990), konsep diri dibedakan menjadi 2 macam, yaitu konsep diri negatif dan konsep diri positif. Seseorang dengan konsep diri negatif biasanya sensitif terhadap kritik, responsif terhadap pujian, hiperkritis terhadap orang lain, memiliki kecenderungan merasa tidak disenangi oleh orang lain, dan bersikap pesimistis. Sementara seseorang dengan konsep diri positif biasanya akan lebih yakin pada kemampuannya, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan, dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat, dan mereka mampu memperbaiki diri.
Pada umumnya, remaja memilih melakukan aborsi dikarenakan oleh perasaan malu akibat kehamilan yang terjadi sebelum menikah yang dapat menimbulkan aib bagi keluarga. Selain itu, remaja yang hamil di luar nikah menghindari kritikan yang akan diberikan oleh orang lain terhadap dirinya, memiliki kecenderungan merasa tidak disenangi sehingga tidak dapat menciptakan persahabatan yang hangat, bersikap pesimis dengan keadaan dirinya jika melanjutkan kehamilan, serta mengeluh dengan keadaan dirinya dan takut jika dirinya tidak menerima pujian dari orang lain. Dengan alasan tersebut, dapat dikatakan remaja yang hamil di luar nikah dan melakukan aborsi cenderung memiliki konsep diri negatif, sesuai dengan teori konsep diri yang dikemukakan oleh Calhoun dan Acocella.
Aspek selanjutnya yaitu tentang social influence. Terdapat 3 tipe social influence, yaitu:
1.      Conformity (konformitas)
2.      Obedience to authority (kepatuhan terhadap otoritas)
3.      Complience (kerelaan)
Masalah aborsi di sini dapat dihubungkan dengan dua tipe pertama, yaitu konformitas dan kepatuhan terhadap otoritas. Definisi sederhana dari konformitas adalah ketika seseorang melakukan suatu perbuatan tertentu karena orang lain juga melakukan perbuatan tersebut. Menurut Wrightsman & Deaux (1981), ada 4 macam konformitas, yaitu informational conformity, complience conformity, identification conformity, dan internalization conformity. Complience conformity terjadi ketika seseorang melakukan konformitas untuk memperoleh reward dan menghindari punishment. Remaja yang aborsi cenderung melakukan konformitas pada jenis ini. Mereka berusaha menghindari punishment berupa pandangan buruk dan penolakan masyarakat kepada dirinya yang hamil di luar nikah, sehingga ia memilih untuk menggugurkan kandungannya.
Bentuk konformitas lain yang juga cenderung dilakukan oleh remaja yang aborsi adalah identification conformity. Dilihat dari pengertiannya, identification conformity terjadi ketika seseorang mengidentifikasi norma-norma kelompok untuk menjaga hubungan dengan kelompok. Dalam kasus aborsi, kelompok yang dimaksud adalah masyarakat sekitar. Remaja yang hamil di luar nikah biasanya mengetahui bahwa ia telah melanggar norma dalam masyarakat. Aborsi kemudian dijadikan sebagai cara agar remaja terlihat masih mematuhi norma tersebut, sehingga ia tetap bisa menjaga hubungan sosialnya dengan masyarakat sekitar.
Selain konformitas, tipe social influence kedua yang berhubungan dengan tindakan aborsi pada remaja adalah kepatuhan terhadap otoritas. Tipe social influence ini terjadi ketika seseorang mematuhi apa yang dikehendaki oleh pihak yang secara sah memiliki otoritas. Dalam kasus aborsi yang dialami oleh Andini, diketahui bahwa Andini dipaksa oleh orang tuanya untuk menggugurkan kandungan, meski sebenarnya dia ingin mempertahankan janin tersebut. Di sini Andini terpaksa mematuhi kehendak ayah dan ibunya karena mereka memiliki otoritas berdasarkan status mereka sebagai orang tua Andini.

2.      Kematangan Emosi dan Self-efficacy pada Remaja yang Melakukan Aborsi menurut Psikologi Perkembangan
Remaja selalu ingin berusaha mengatasi permasalahannya dengan berbagai cara, sesuai dengan kemampuannya. Dalam perkembangan kognitif, remaja sampai pada masa pengambilan keputusan. Banyak masalah yang dihadapi remaja yang menuntut mereka untuk mengambil keputusan. Mulai dari hal sederhana seperti memilih pakaian yang akan dikenakan, hingga menentukkan rencana masa depan.
Dalam kasus kehamilan pra-nikah, remaja dihadapkan pada pilihan untuk melahirkan bayinya atau menggugurkannya. Secara umum, terdapat dua hal yang mempengaruhi keputusannya, yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar diri remaja. Kematangan emosi, kepribadian, intuisi, dan usia merupakan faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dari dalam (Noorderhaven, 1995), hal ini berjalan seiringan dengan perkembangan diri remaja.
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKKRI) tahun 2007 terhadap remaja perempuan dan laki-laki usia 15-19 tahun yang tidak menikah, terdapat beberapa masalah yang dihadapi remaja di Indonesia yang mana dipengaruhi oleh faktor dari dalam dan luar diri. Faktor dari dalam meliputi masalah psikologis dan sosial, belum matangnya emosi, kurangnya kontrol diri, kemampuan pengambilan keputusan yang rendah, serta tidak terbiasa mempertahankan mempertahankan usaha untuk mencapai tujuan. Sedangkan faktor dari luar meliputi persoalan keluarga, pengaruh negatif teman sebaya dan komunitas.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Florence J. Peilouw dan M. Nursalim (2013), ditemukan adanya hubungan yang positif antara pengambilan keputusan dengan kematangan emosi dan self-efficacy pada diri remaja. Pada kasus aborsi yang dialami Andini, terlihat bahwa keputusan aborsi merupakan permintaan dari orang tuanya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian di atas, bahwa Andini yang merupakan pelajar SMA memiliki tingkat kematangan emosi dan self-efficacy yang rendah, di mana keputusan yang diambilnya masih sangat dipengaruhi oleh aspek eksternal, yakni keluarganya.

D.    Stres Akibat Aborsi Dilihat dari Pendekatan Psikologi Klinis
Dalam pembahasan ini, aspek psikologi klinis yang diangkat adalah stres. Menurut Lazarus (dalam Davis, 1999), stres merupakan suatu gejala umum yang dialami individu yang bercirikan adanya pengalaman mencemaskan atau menegangkan secara intensif dan relatif menekan yang muncul karena keadaan atau situasi eksternal yang terus memaksa individu untuk memenuhi tuntutan yang tidak biasa pada dirinya. Sementara Sarafino (1998), mendefinisikan stres sebagai reaksi individu terhadap stimulus lingkungan yang merupakan penyebab terjadinya stres (stressor).
Pada kasus aborsi, seorang remaja dihadapkan pada stresor yakni stigma buruk tentang dirinya yang sudah mengandung diluar nikah, tuntutan menggugurkan calon bayi demi menutupi kehamilan dari tetangga, keluarga, dan sebagainya. Sebagaimana yang diungkapkan Pratiwi (2004), alasan-alasan yang mendorong aborsi, antara lain kekhawatiran akan gagalnya studi yang sedang dijalani, ketidaksiapan menghadapi kemungkinan-kemungkinan perubahan hidup, ketidaksiapan ekonomi di kemudian hari, ketidaksiapan membina rumah tangga, perasaan malu kepada lingkungan sekitar.
Usia remaja merupakan masa yang rentan akan pergaulan bebas, dimana pergaulan bebas merupakan salah satu penyebab banyaknya kasus kehamilan pranikah. Banyak dari remaja yang memilih melakukan aborsi dengan alasan untuk menghindari malu dan takut diketahui oleh orang lain. Aborsi dilakukan dengan tanpa keraguan, namun terkadang para wanita sering mengalami stres yang berkepanjangan sebelum dan sesudah aborsi, timbul perasaan bersalah, marah, menyesal dan sedih, dan pasangannya pun dapat mengalami perasaan yang sama (Shostak dalam Sudarsono, 1995).
Sebuah penelitian dilakukan oleh Ahmad Yudhie K. Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gunadarama, terhadap dua orang wanita usia 18-23 tahun yang melakukan aborsi, salah satunya adalah kasus O yang telah dijelaskan di atas. Untuk subjek kedua, alasan ia melakukan aborsi adalah  karena ia merasa takut dan malu jika pihak keluarga mengetahui kasus kehamilan pranikahnya. Ia juga mengalami kebingungan apakah harus mempertahankan kehamilannya atau tidak karena ditinggal sang pacar yang tidak mau bertanggung jawab, sementara di sisi lain kedua subjek juga tidak pernah berharap bahwa keputusan aborsi adalah suatu hal yang benar yang harus diambil dan dilakukan, apalagi bila dikaitkan dengan idealisme dan nilai-nilai pribadi yang dimilikinya (agama), sehingga muncullah perasaan bersalah dan penyesalan.
Sebelum aborsi kedua subjek mengalami gejala stres kognitif yang ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi. Kedua subjek sama-sama mengalami gejala stres kognitif berupa munculnya delusi dan gangguan pikiran, hanya saja khusus subjek 1, delusi dan gangguan pikiran hanya muncul pada masa setelah aborsi, sementara subjek 2 mengalaminya pada saat sebelum maupun setelah aborsi.
Stres yang dikarenakan aborsi dapat berakibat pada fisik, kognitif, mental, dan tingkah laku pelakunya. Gejala fisik yang muncul seperti nafsu makan berkurang, mual, dan sakit kepala. Untuk gejala kognitif biasanya ditandai oleh sulitnya berkonsentrasi, delusi, dan gangguan pikiran. Sementara gejala emosional dan mental mencakup depresi, rasa tidak berdaya, harga diri menurun, rasa ingin marah terus menerus, serta berkurangnya minat terhadap kehidupan. Yang terakhir adalah gejala behavioral atau tingkah laku. Gejala ini ditandai oleh menurunnya minat atau antusiasme, menurunnya energi dan kelincahan aktivitas tubuh, insomnia (sulit tidur), sering menangis dan ingin menangis, selalu gelisah, dan cenderung pendiam.

E.     Pandangan berbagai Teori Psikologi terhadap Aborsi oleh Remaja
1.      Teori Psikodinamika (id, ego, super ego)
Dalam psikodinamika, Freud mengungkapkan tiga bagian dalam diri manusia yaitu id, ego dan super ego. Dalam kasus aborsi yang dilakukan remaja, id pada diri remaja ingin agar perlakuan tidak menyenangkan yang diterima dari lingkungan akibat kehamilan pra-nikahnya menghilang, yaitu dengan cara menghilangkan bayi dalam kandungannya melalui tindakan aborsi. Namun super ego yang cendrung normatif mengatakan bahwa tindakan aborsi merupakan perbuatan dosa. Ego berusaha menjembatani dorongan id tersebut dengan memikirkan keputusan yang mungkin diambil, meskipun bertentangan dengan super ego.

2.      Teori Humanistik (konsep diri)
Konsep diri menurut Rogers adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pegalaman yang berhubungan dengan ‘aku’ dan membedakan ‘aku’ dari yang lain. Konsep diri terbagi menjadi dua: konsep diri real dan konsep diri ideal. Ketidaksesuaian antara real-self dan ideal-self menciptakan inkongruensi yang mengakibatkan pertentangan dan kekacauan batin. Pada diri remaja, ideal-self sangat dipengaruhi oleh introjeksi nilai-nilai orang tertentu seperti orang tua atau masyarakat di sekitarnya. Dalam kasus remaja dengan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), ideal-selfnya tidak lagi sama dengan real-self yang ia miliki. Idealnya, seorang remaja yang belum menikah tidak sepatutnya hamil. Maka terjadi kekacauan dalam diri remaja yang menyebabkannya memilih jalan aborsi untuk mengurangi jarak antara ideal-self dan real-self.

F.     Kesimpulan
Kasus aborsi yang dilakukan oleh remaja masih banyak ditemukan di Indonesia. Meski memiliki dampak negatif dan melanggar undang-undang, nyatanya praktek aborsi masih sering dijadikan sebagai jalan keluar oleh para remaja atau orang tua atas kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Salah satu alasan utama para remaja melakukan aborsi adalah untuk menghindari perasaan malu dan penolakan dari masyarakat. Selain itu, ada pula remaja yang menggugurkan kandungannya karena dipaksa oleh orang tua. Para remaja yang melakukan tindakan aborsi biasanya adalah para remaja yang memiliki konsep diri negatif.
Keputusan untuk melakukan aborsi juga dipengaruhi oleh kematangan emosi dan self-efficacy yang dimiliki oleh remaja. Contohnya pada kasus Andini. Andini yang merupakan pelajar SMA memiliki tingkat kematangan emosi dan self-efficacy yang rendah, di mana keputusan yang diambilnya masih sangat dipengaruhi oleh aspek eksternal, yakni keluarganya. Dampak aborsi pada remaja tidak hanya menimbulkan kesakitan secara fisik, tapi juga secara psikologis. Dalam beberapa kasus, tindakan ini dapat menimbulkan gejala stres bagi pelakunya.
Dalam teori psikodinamika, keinginan aborsi dikendalikan oleh id remaja, sementara norma dan nilai-nilai dalam super ego sering kali menjadi penghalang diatan melakukan aborsi. Dalam teori konsep diri Rogers, ketimpangan antara diri ideal dan real menciptakan inkongruensi pada diri remaja yang akan melakukan aborsi.




DAFTAR PUSTAKA

Acocella, J. R., & Calhoun, J. F. 1990. Psychology of Adjustment Human Relationship. Ed 3. New York: McGraw-Hill.
Istiarti, Tinuk, Harbandinah Pietojo dan Kunsianah. 2006. “Analisis Faktor - Faktor Yang Berhubungan Dengan Praktik Aborsi Di Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal” dalam Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. Vol. 1, No. 1.
Peilouw J. Florence & M. Nursalim. 2013. “Hubungan Antara Pengambilan Keputusan dengan Kematangan Emosi dan Self-Efficacy pada Remaja” dalam Character, Vol. 01, No. 02.

Wrightsman & Deaux. 1981. Social Psychology in the 80’s. California: Brools

Jumat, 08 Mei 2015

Jingga untuk Matahari #fanfiction-20

Sinar matahari sore membangunkan Ari dari tidurnya yang tak bermimpi. Selama beberapa saat, ia membiarkan tubuhnya tetap berbaring terlentang. Matanya berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan dengan cahaya yang memenuhi kamarnya. Otaknya berputar cepat mengumpulkan memori beberapa jam terakhir, dan seketika itu pula kepalanya berdenyut sakit.
Saat melirik jam di dinding, Ari menyadari bahwa ia tertidur hampir 6 jam penuh. Tubuhnya nyaris tak punya daya untuk bangkit, namun Ari memaksakan diri. Ia tidak ingin hanya berbaring malas-malasan di sini tanpa mengetahui kabar terbaru kondisi kedua sahabatnya. Jadi ia segera mandi dan bersiap untuk pergi.

***

“Ganti channel bisa kali, Ji. Cari yang bening gitu, kek. Suaranya bikin kepala gue mau pecah, nih.”
“Yee, semuanya sama aja, Dho. Nggak ada yang jernih salurannya.”
“Matiin aja deh. Matiin.”
“Tadi lo sendiri yang minta nonton tivi. Gimana, sih?”
Tepat ketika Oji menekan tombol power di remote dan layar televisi padam, pintu kamar mereka terbuka. Ari berdiri di ambangnya. Tubuhnya membeku, sama seperti ketika ia pertama kali membuka pintu ruangan ini.
Ari, Ridho, dan Oji belum pernah seemosional ini sejak mereka bersahabat. Belum pernah ada sejarahnya mereka merasa begitu bahagia bisa melihat sahabat-sahabatnya seperti saat ini. Sejenak, ketiganya hanya saling bertukar pandang.
“Hei, Bos,” panggil Oji lirih. Bibirnya melengkungkan senyum.
Ari balas tersenyum. Senyum sedih dan lelah, namun juga lega. “Hei, Ji.”
“Masuk, Ri. Jangan bengong aja di pintu.” Kali ini Ridho yang bicara. Suaranya serak, hingga ia berdehem-dehem untuk membersihkan tenggorokannya.
Ari melangkah masuk, lalu menutup pintu. Setelah semalaman dicekam berbagai macam ketakutan dan rasa gelisah, sekarang ia bisa sedikit bernapas lega melihat kedua sahabatnya telah siuman. Ia melangkah menghampiri Oji yang duduk di tempat tidurnya, kemudian memeluk sahabatnya itu erat.
“Wow, wow, ati-ati, Bos. Ng.. rusuk gue masih memar.”
Ari buru-buru melepas pelukannya. “Sori, sori.”
Oji nyengir. “Nggak masalah. Nggak lama lagi juga sembuh.”
Ari beralih ke tempat tidur Ridho. Temannya itu belum bisa duduk. Masih berbaring dengan kepala diperban. Namun seulas senyum tersungging di bibirnya. “Lo baik-baik aja, kan?” tanyanya.
Ari mengangguk. “Nggak separah kalian,” jawabnya pelan. Ari tidak bisa membendung emosinya lagi. Air matanya perlahan jatuh, bentuk penyesalannya yang terdalam. Tangannya menggenggam salah satu tangan Ridho erat-erat. Kepalanya menunduk. “Apa gue masih pantes minta maaf ke kalian?” bisiknya pedih.
“Buat apa lo minta maaf?” balas Ridho lemah. “Bukan salah elo, Ri. Sama sekali bukan.”
“Ridho bener, Bos,” timpal Oji. “Lo nggak salah. Emang posisi kita aja yang waktu itu lagi nggak menguntungkan. Kita nggak pernah nyalahin elo. Jangan feeling guilty gitu, lah.”
“Jangan nangis, ah. Gue jadi tersanjung nih ditangisin Matahari Senja si kepala batu,” kata Ridho lagi.
Ari menghela napas dalam-dalam. Diusapnya air mata yang masih mengalir, lalu mengangkat wajah. Diberinya sebentuk senyum kepada Ridho. “Thanks, Dho.” Kemudian kepalanya beralih menoleh ke Oji. “Thanks, Ji.”
No problem,” jawab Ridho, sejenak meremas tangan Ari di genggamannya.
“Gimana kepala elo?” tanya Ari.
“Cuma gegar otak ringan. Nggak kenapa-napa. Masih pusing aja. Efek bius juga. Gue belom boleh duduk terlalu lama. Tapi tenang aja, kepala gue nggak kalah keras kok dari kepala elo.”
Ari tertawa kecil. “Elo gimana, Ji?” tanya Ari lagi.
“Yah, gue udah bilang tadi. Rusuk gue memar, untungnya nggak ada yang retak ato patah. Beberapa hari lagi pasti udah baikan. Tapi sama kayak Ridho, gue belom boleh duduk terlalu lama ato jalan-jalan. Bikin bete aja,” gerutu Oji.
“Yah, gue juga pasti bakalan bete di kelas kalo nggak ada kalian. Garing tau nggak. Ato gue pura-pura sakit aja ya biar bisa nemenin kalian di sini?” kata Ari nyengir.
“Wah, jangan, Bos!” Oji pura-pura melotot ngeri. “Ntar Bu Sam marah kalo pas nengokin kita, trus dia liat kita bolos barengan gini di rumah sakit. Kasian si Ridho kalo harus dengerin ceramahnya Bu Sam. Bisa beneran ancur kepala dia. Jadi mending lo tetep sekolah, jadi anak baik dan duduk manis di bangku lo, trus sampein salam kita buat Bu Sam. Salam kangen, gitu ya.”
“Bikin bete aja,” sahut Ari meniru gerutuan Oji tadi. Ridho tertawa kecil, sementara Oji cuma nyengir karena dadanya masih sakit untuk diajak tertawa.
Ari tersenyum tipis. Dia sungguh tidak suka membayangkan harus melewati hari-hari di kelas tanpa kedua sahabatnya ini. Ia bergerak ke tempat tidur Oji, lalu duduk di sana, di dekat kaki sahabatnya. Ia tidak berani duduk di tempat tidur Ridho, takut kalau gerakannya membuat kepala Ridho sakit.
“Gue mau cerita sesuatu ke kalian,” katanya pelan.
Oji beringsut mendekat dengan hati-hati, berusaha tidak membuat banyak gerakan pada tubuhnya. “Cerita aja. Kita siap dengerin.”
Ridho berbaring sedikit menyamping agar bisa melihat ke arah Ari. “Ya. Cerita aja. Gue tau lo pasti punya banyak berita sejak kejadian kemaren sore.”
Ari menarik napas panjang, kemudian menahannya sebentar sebelum akhirnya ia hembuskan keras-keras. Tidak mungkin baginya untuk bercerita tanpa emosi. Memikirkannya saja sudah berhasil membuat dadanya sesak. Namun akhirnya, ia memulai cerita itu. Semua yang terjadi sejak Ridho dan Oji tak sadarkan diri di area tawuran kemarin. Bagaimana mereka bisa selamat, dan apa yang harus Ari bayar setelahnya. Suaranya lirih dan tersendat. Kalimatnya kadang tedengar berantakan. Ridho dan Oji mendengarkan dengan penuh perhatian tanpa pernah menyela. Hingga ketika akhirnya Ari bercerita tentang kejadian pagi tadi di rumah Tari, keduanya tidak bisa menahan diri lagi.
“Lo gila, Bos. Gimana bisa lo putusin dia?” Oji ternganga.
“Lo nggak seharusnya ngorbanin hubungan lo sama Tari. Lo pikir kami nggak bisa jaga diri? Ini di rumah sakit, Ri. Angga nggak akan berani macem-macem,” tambah Ridho.
Ari menghela napas, berusaha menahan sabar. “Nggak. Gue nggak mau ambil resiko itu. Gue nggak mau nempatin kalian dalam bahaya untuk kedua kalinya. Nggak! Jangan bilang apa-apa lagi! Jangan bikin gue nyesel sama keputusan gue. Gue sama Tari bubar, titik.” Ada kepedihan yang amat jelas saat Ari mengucapkan kalimat terakhirnya. Rasa sakit yang bahkan bisa Oji dan Ridho rasakan.
Oji menyentuh bahu Ari. “Lo nggak mungkin ngelepasin dia.”
“Tapi gue harus,” jawab Ari dengan kepala tertunduk. Nada suaranya begitu pahit. “Gue tau gue nggak bisa. Tapi itu bukan alesan. Gue nggak mau kehilangan kalian berdua.”
“Jadi lo milih kehilangan Tari?” tanya Ridho telak.
Ari membisu. Sungguh ia tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Dia tidak ingin kehilangan siapapun yang selama ini berada di sisinya. Kehilangan adalah sesuatu yang menghancurkan. Ari pernah mengalaminya sebelum ini. Jadi dia tahu rasanya. Tapi untuk sekarang memang tidak ada pilihan lain. “Lo tau jawabannya, Dho,” sahutnya kemudian dengan nada enggan. “Tapi apa lagi yang bisa gue lakukan? Paling nggak Tari juga bakalan aman setelah gue lepasin dia.”
Suasana di dalam kamar menjadi hening. Sampai dua orang perawat masuk ke kamar untuk memeriksa kondisi Oji dan Ridho. Ari segera menyingkir dari tempat tidur Oji, menunggu di sofa yang pernah didudukinya kemarin, mengamati kedua temannya yang sedang menjalani pemeriksaan rutin. Mungkin pemandangan ini akan menjadi pemandangan akrab untuk hari-hari ke depan.

***

Hari Minggu siang, Ari kembali berkunjung ke rumah sakit tempat Ridho dan Oji dirawat. Kedua temannya telah dipindahkan ke kamar VVIP yang lebih luas dan berfasilitas lengkap. Semua tagihan rumah sakit akan langsung dikirimkan ke Ari, yang bersikeras untuk menanggung biaya perawatan kedua temannya itu. Ari meminta kedua temannya tetap dirawat di satu ruangan, sehingga ia tidak kerepotan saat membesuk.
Saat ketiganya sedang mengobrol seru, mendadak pintu kamar diketuk dari luar. Ari bangkit untuk membukanya, dan seketika terpaku begitu mendapati siapa yang berdiri di depan pintu. Tari juga tidak kalah kaget saat Ari berdiri di depannya. Perasaan keduanya seketika kacau balau.
“Siapa, Ri?” tanya Ridho yang tidak bisa melihat tamunya karena terhalang tubuh Ari.
Ari bergeser ke samping tanpa suara. “Masuk,” gumamnya.
Tari melangkah masuk dengan kepala menunduk. “Makasih,” sahutnya pelan.
Ridho dan Oji saling bertatapan saat melihat pemandangan di depan mereka. Dua Matahari yang selama ini selalu terlihat memanja mata saat keduanya bersama, kini menjelma menjadi dua sosok yang saling asing, nyaris terasa seperti awal pertemuan mereka. Kembali ke titik nol. Kedua Matahari itu telah meninggalkan galaksi yang pernah menyatukan mereka, tersesat dalam ruang angkasa tak terbatas, tidak bisa saling meraih lagi.
“Gue kasih lo privasi,” kata Ari lagi, masih berupa gumaman, kemudian melangkah keluar.
Setelah Ari menutup pintu di belakangnya, Tari menghembuskan napas yang tanpa sadar ia tahan, kemudian menggeleng-geleng pelan untuk mengenyahkan sesuatu yang mengganggu pikirannya. Begitu kepalanya terangkat, ia langsung mendapati Ridho dan Oji tengah menatapnya.
“Hai, Kak,” katanya pelan. Ia meletakkan parsel buah yang dibawanya ke meja. Diseretnya sebuah kursi ke sebelah kaki tempat tidur Oji, dan menghadapkannya ke arah Ridho, sehingga ia bisa menatap kedua cowok itu. “Maaf baru sempet jenguk, soalnya Mama sama Papa baru aja pulang dari...”
“Apa itu tadi?” bisik Oji tajam, memotong ucapan Tari.
Kening Tari berkerut. “Apanya yang apa?”
“Itu tadiiii, lo sama Ariii...” desis Oji tidak sabar. “Kenapa kalian...”
“Ji, udahlah,” kali ini Ridho yang memotong perkataan Oji. Tidak tega juga dia melihat raut wajah Tari yang seperti akan menangis. Cewek itu menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.
Tari menghela napas beberapa kali untuk menenangkan diri. “Gue... juga nggak tau, Kak,” katanya lirih. “Gue nggak tau harus gimana ngadepin Kak Ari sekarang. Kita udah nggak... ng... bareng lagi. Buat gue rasanya aneh banget, juga sakit.”
“Lo tau lo sama dia masih sama-sama suka. Jangan nyerah, Tar. Pasti ada jalan buat lo sama Ari buat balikan,” ucap Ridho sabar.
“Oh, oh! Gue punya quotes, nih. Lumayan buat ngembaliin semangat elo, Tar. Dengerin yaa..” Oji berdehem-dehem sejenak. “Lo tau kan kalo pas senja itu matahari selalu balik ke cakrawala?”
Tari mengangguk-angguk, belum mengerti maksud Oji. Sementara Ridho berusaha menahan senyum.
“Nah, itu sama aja kayak cinta. Cinta itu selalu kembali, Tar. Nggak peduli sejauh apapun dia pergi, biar lo nggak liat wajahnya lagi, percayalah kalo dia nggak pernah ninggalin elo. Emang kadang kita harus berpisah sama orang yang kita cintai. Tapi kalo waktunya udah tiba, kayak matahari sama garis cakrawala, pasti kalian akan dipertemukan kembali di kala senja, melebur menjadi satu dan tak terpisahkan dalam cinta abadi.” Oji mengakhiri kalimatnya dengan cengiran yang ia tujukan kepada Ridho. “Gimana kata-kata gue?”
Ridho mengacungkan kedua jempolnya sambil berdecak kagum. “Sip abis, men. Aje gile. Salah kalo lo masuk jurusan IPA. Jadi anak Bahasa aja sono.”
Oji cengengesan. Bangga juga dia dengan rangkaian kalimat romantisnya. Kemudian dia menyadari gadis yang duduk tidak jauh darinya sedang mengerutkan kening, tampaknya memikirkan dengan serius ucapannya tadi. “Cinta selalu kembali,” kata Tari lirih, mengulang quotes dari Oji. Cewek itu mengangkat wajah, menatap Oji dengan sebentuk senyum. “Makasih, Kak. Seenggaknya gue punya pegangan sekarang. Suer, kata-kata lo ngena banget.”
Oji ikut tersenyum. “Sama-sama, Tar. Soal gituan sih kecil. Serahkan saja kepada Oji si Pujangga Cinta.”

***

Mengobrol dengan Oji dan Ridho dapat membuat perasaan Tari sedikit ringan saat keluar dari kamar rawat dua cowok itu. Namun mendung seketika kembali menggelayuti hati saat ia tanpa sengaja berpapasan dengan Ari di koridor rumah sakit. Keduanya ingin menghindar, tapi apa daya, kedua kaki mereka malah berhenti melangkah tanpa diminta.
“Hei,” sapa Ari pelan.
“Hei, Kak,” jawab Tari. Matanya tidak berani menatap ke wajah Ari, hingga ia pura-pura tertarik pada taman di samping koridor.
“Udah makan?”
Tari sedikit tersentak. Dari sekian banyak pertanyaan, kenapa pertanyaan itu yang harus keluar? Hati-hati, ia menatap Ari. Cowok itu terlihat kacau. Rambutnya berantakan. Ada lingkaran gelap di sekeliling matanya. Tatapannya masih sama dengan terakhir kali ia dan cowok itu bertemu. Tatapan tersiksa, yang seolah kehilangan fokusnya.
Kepala Tari menggeleng menjawab pertanyaan Ari. “Belom.”
Ari mendesah. Tangannya mengacak rambutnya yang agak panjang, membuatnya tambah berantakan. “Lo harus makan.”
“Ntar aja di rumah.” Tari menggigit bibir bawahnya. Matanya mulai merebak mengingat saat terakhir Ari memaksanya makan dengan ancaman manis, tidak lebih dari dua hari yang lalu. Betapa banyak yang telah terjadi dalam waktu sesingkat itu, mengubah segalanya di antara mereka. “Mm, permisi, Kak. Gue pulang dulu.” Dengan kepala menunduk, ia berjalan ke sisi Ari, melewati cowok itu.
“Gue anterin.” Ari mendadak mencekal tangan Tari dan memutar tubuh cewek itu kembali ke hadapannya.
Tari kembali tersentak. “Nggak,” tolaknya seketika. Ia tidak bisa membayangkan suasana canggung yang pasti terjadi kalau dia kembali ke boncengan cowok ini. Tari juga tidak ingin menanggung sakit di dadanya jika harus mengingat cowok yang memboncenginya bukan lagi miliknya. Tidak bisa lagi ia peluk dari belakang. Tidak bisa lagi ia ajak ngobrol dan bercanda sesuka hati.
“Kenapa nggak?”
“Lo lupa gue udah jadi cewek orang lain?” jawaban Tari meluncur begitu saja. Bukan maksudnya untuk menyakiti Ari. Bukan maksudnya untuk membuat Ari merasa bersalah. Bukan. Bukan itu! Tapi sepertinya itulah yang sekarang terjadi. Raut wajah Ari kontan berubah kaku. Sorot tersiksa di matanya semakin jelas terpancar, seolah cowok itu sedang dibakar hidup-hidup. Rahangnya mengeras. Kehancuran jelas membayang di wajahnya. Cekalannya di tangan Tari otomatis terlepas.
“Gue...” Ari tidak bisa menemukan kata-kata. Tangannya kembali bergerak ke rambutnya, mengusapkan jemari di antaranya dengan kasar. Tanpa bicara apapun lagi, ia membalikkan badan, menjejalkan kedua tangannya ke saku jaket, lalu melangkah pergi.
Sepeninggal Ari, Tari masih berdiri di tempatnya tanpa suara, menyesali ucapannya tadi. Keadaan ini begitu membingungkan, membuat perasaannya campur aduk dan hatinya jungkir balik tak menentu. Ketika air mata mulai mengancam akan jatuh, ia segera membalikkan badan dan meninggalkan tempat itu.

***

Tari mengerang tertahan. Kondisi hatinya yang sudah suram sejak bertemu dengan Ari sekarang kesuramannya bertambah pekat saat melihat motor Angga terparkir di depan pagar rumahnya. Si pemilik motor pun berdiri menunggu di samping motor hitam itu. Tari menghirup napas dalam-dalam, menguatkan diri, lalu melangkah mendekat.
“Mau apa lo?” ketus Tari begitu tiba di depan Angga, sama sekali tidak berniat untuk beramah tamah.
“Halo, Tar,” Angga justru menyambutnya dengan senyuman lebar.
“Gue nanya, mau apa lo ke sini?” Tari mulai melotot. Tangannya gatal ingin mencakar senyum di wajah Angga.
Tidak mengacuhkan tampang sadis Tari, Angga pura-pura menatapnya dengan kebingungan. “Emangnya nggak boleh ya mampir ke rumah cewek sendiri?”
“Gue bukan cewek elo,” tukas Tari pedas. “Gue nggak ngerasa pernah ditembak sama elo. Gue nggak ngerasa pernah nerima lo jadi cowok gue. Gue bahkan nggak ngerasa kita pernah deket!”
Angga menggeleng-geleng sambil mendesah. Ia tahu Tari akan keras kepala. “Lo pasti udah tau kan kalo Ari ngelanggar janjinya tentang Gita? Ato jangan-jangan Ari belom bilang sama elo?”
“Dia udah bilang, jangan nuduh seenaknya,” bela Tari.
“Trus? Lo tau kan apa artinya itu?” kata Angga sambil mengangkat alis tinggi-tinggi. Ia memperpendek jarak dengan cewek di depannya.
Tari menekan kemarahan yang mulai naik ke permukaan. “Denger,” desisnya berang. “Untuk lo ketahui, gue bukan barang yang bisa diserah-terima seenaknya, dan gue bukan bola yang bisa dioper-oper sesuka hati sama kalian. Gue manusia, gue orang, dan gue cewek yang jelas-jelas masih hidup, oke?! Gue cewek yang punya harga diri, otak, dan hati! Gue berhak mutusin apapun dalam hidup gue!” Tari berteriak. Matanya yang memelototi Angga sudah berkaca-kaca, nyaris pecah menjadi tangisan.
Tanpa diduga, Angga menariknya ke pelukan. Reaksi refleks Tari jelas memberontak, tapi ia merasa tidak punya cukup daya untuk melawan Angga. Tubuhnya terasa lemah setelah dipaksa menerima kenyataan menyakitkan yang datang bertubi-tubi sejak kemarin. Hingga akhirnya ia biarkan cowok itu memeluknya erat dan menekan kepalanya ke dada.
“Gue tau lo masih kaget,” bisik Angga dengan nada lembut. “Gue tau lo masih sakit. Gue bisa ngerasain itu, Tar. Gue bukan monster. Gue nggak akan tega liat cewek yang gue sayangi sedih.”
“Kalo lo emang nggak tega liat gue sedih, kenapa lo misahin gue sama Kak Ari?” tanya Tari lirih. Suaranya bergetar.
“Karena gue egois,” tandas Angga. Ia menghela napas, kemudian suaranya melembut lagi, “Maafin gue. Tapi kali ini gue harus egois. Gue cinta sama elo, dan gue akan perjuangin cinta gue.” Dikecupnya kening Tari sekilas. “Nangis aja, nggak pa-pa. Nangis aja kalo emang masih sakit.”
Kedua mata Tari mengkhianati pemiliknya. Hatinya memang masih terasa perih. Batinnya masih merintih kesakitan. Ia sudah berusaha mati-matian menahan air mata, tapi kalimat Angga berhasil menjebol pertahanannya. Setetes air mata meluncur jatuh, disusul yang lain, hingga ia terisak di dada Angga. Rasanya mudah sekali baginya untuk menangis. Tinggal mengingat nama Ari, lalu seketika itu juga air matanya akan hadir. Dan sayangnya, ia mengingat nama Ari hampir setiap waktu.
Samar-samar di antara tangisannya, ia bisa mendengar Angga berkata, “Untuk kali ini aja, Tar, gue biarin lo nangis karena dia. Gue janji, gue akan berusaha bikin lo tersenyum mulai sekarang.”

***

Ata mengamati kedua orang yang masih berpelukan itu dari kejauhan. Ia tahu Tari menangis, terlihat dari bahu cewek itu yang berguncang dan isakan lirih yang gagal diredamnya. Angga terlihat membisikkan sesuatu dengan lembut, berusaha menenangkan gadis di pelukannya.
Ata tidak tahu apa yang harus ia rasakan. Senang karena rencananya berhasil? Lega karena hutangnya pada Angga telah terbayarkan? Puas karena melihat Ari perlahan hancur? Atau justru ia harus merasa menyesal? Merasa bersalah?
Ata memaki dirinya dalam hati. Ia tahu ia brengsek. Tapi tidak ada seorangpun di dunia ini yang memahami luka hatinya. Luka yang telah ia pendam sekian lama, sejak umurnya masih delapan tahun.
Perceraian kedua orang tuanya yang mengawali segala penderitaan ini. Ketika ia melihat Mama dan Papa saling membentak. Ketika ia berdiri kebingungan melihat Ari menangis. Dan ketika ia meringkuk bersembunyi di halaman belakang untuk lari dari kekacauan di dalam rumah. Sebuah luka tergoreskan.
Kemudian ketika ia melihat Mama masih berusaha tersenyum padanya meski matanya memerah. Ketika ia dan Ari kelaparan menunggu Mama yang ternyata berada di rumah Tante Lidya. Dan ketika ia diam-diam mendapati Mama sedang menangis sedih di ruang keluarga saat tengah malam. Luka lain terciptakan.
Juga ketika ia melihat Papa tidak lagi ramah padanya. Ketika ia dicengkeram ketakutan saat berangkat sekolah karena Papa menyetir seperti orang gila. Dan ketika ia mendapat pukulan di pipi dari pria yang sejak dulu dipanggilnya Papa saat ia ribut bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Sekali lagi sebuah luka hadir di hati kecilnya yang rapuh.
Ata meyakinkan diri bahwa ia harus kuat. Ia mempunyai harapan layaknya seorang anak kecil bahwa suatu hari nanti, saat ia terbangun dari tidurnya, Mama dan Papa akan menyambutnya dengan ciuman dan pelukan seperti dulu. Bahwa semua akan baik-baik saja dan kembali seperti semula. Tapi perlahan ia sadar harapannya hanya harapan kosong yang mustahil bisa terjadi.
Di suatu pagi dia malah mendapati keadaan kian berubah. Ia menyadari Papa dan Mama tidak lagi memperhatikannya. Keduanya sibuk memberi perhatian lebih pada Ari. Berlomba memberi barang yang bagus kepada kembarannya saat ulang tahun mereka. Saling berebut untuk memenuhi kebutuhan Ari sementara keduanya seakan lupa masih punya seorang anak laki-laki lain yang juga memiliki kebutuhan. Ata dilupakan. Ata ditinggalkan.
Puncaknya adalah ketika Mama dan Papa memperebutkan hak asuh Ari.
Luka-luka yang selama ini Ata rasakan seolah tidak ada artinya dibanding dengan perebutan hak asuh itu. Akhirnya Ata mengetahui alasan mengapa Mama dan Papa bersikap begitu baik pada Ari dan lebih perhatian pada saudara kembarnya itu. Karena mereka lebih menginginkan Ari, bukan dirinya. Mereka lebih menyayangi Ari, bukan dirinya. Ata hancur seketika.
Setelah Papa dan Mama resmi bercerai, Ata merasa lebih bahagia bisa tinggal bersama Mama. Namun ternyata semua tidak seperti yang ia bayangkan. Penderitaannya belum cukup sampai di situ. Kepingan hati yang susah payah ia tata agar utuh kembali, lagi-lagi harus berderak dan pecah berserak.
Mama masih tidak bisa memedulikannya. Wanita itu pergi setiap hari mencari Ari. Ari, Ari, dan Ari! Kenapa semua harus selalu tentang saudara kembarnya itu? Ata kembali merasa tak diinginkan. Ia hanya bisa menangis saat ia sedih, saat ia marah, saat ia kelaparan, saat ia kedinginan, saat ia kesakitan, dan saat ia tidak punya siapa-siapa di sampingnya. Kehadiran Tante Lidya pun tidak bisa mengobati hatinya yang terlanjur remuk.
Meski begitu Ata selalu berusaha menjadi anak yang baik. Ia menyayangi Mama, bagaimana pun sikap wanita itu kepadanya. Ia berharap Mama bisa menoleh lagi ke arahnya kalau ia menjadi anak baik seperti Ari. Usahanya berhasil. Perlahan, Mama kembali memberi perhatian. Ia kembali menjadi sosok yang selama ini Ata rindukan, yang membelai kepalanya dan memeluknya saat tidur. Meski Mama masih terus berusaha mencari Ari, Ata tidak peduli. Yang penting Mama kembali bersamanya, dan mulai menerima kenyataan bahwa yang sekarang berdiri di depannya adalah Ata. Hanya Ata. Bukan Ari. Akan ia jaga wanita itu dengan segenap upaya.
Dalam jatuh bangunnya menjalani kehidupan ini, Ata berjalan membawa seribu luka. Sama seperti Ari, ia mati-matian membangun dinding kokoh yang menegakkan punggungnya dan menghindarkannya dari keterpurukan. Ia topang pula Mama bersamanya, mengajak wanita itu tetap berjalan di sisinya, melupakan masa lalu, mengikhlaskan apa yang telah terjadi di luar kuasa mereka.
Kini setelah Ata berhasil menemukan Ari, seribu luka itu muncul begitu saja dari balik dinding, berteriak menuntut balasan. Kepada saudara kembarnya, yang kehidupannya lebih terjamin ketimbang dirinya. Seribu luka itu membutakannya, menyeret Ata dalam lubang gelap, dan satu-satunya jalan untuk bisa keluar adalah menarik Ari jatuh ke sana. Ata ingin Ari merasakan apa yang dia rasakan. Ata ingin Ari mengalami apa itu yang namanya disingkirkan, ditinggalkan, tidak dipedulikan, dan tidak diinginkan. Ata ingin Ari kehilangan semua perhatian yang selama ini telah ia dapatkan.
Dalam hati, Ata tahu itu tidak adil. Ari, adik kecilnya yang manis, yang selalu membagi permen yang ia dapatkan sebagai upah menemani Mama menjahit, tidak pantas menjadi tempat pelampiasan kemarahan Ata. Semua yang terjadi bukan kesalahan Ari, bukan pula keinginan Ari. Bukan Ari yang menjadi sebab kedua orang tuanya bercerai. Bukan Ari yang meminta untuk diperebutkan. Ata sangat menyadari itu.
Suara motor Angga menyentakkan Ata dari banjiran pikiran yang membingungkan. Ata merasa tubuhnya limbung sesaat. Ia menyandarkan punggung ke tembok gang tempatnya bersembunyi sejak tadi. Napasnya terengah-engah seolah ia baru saja lari maraton. Tidak! Ia tidak boleh mundur sekarang! Ia tidak harus merasa menyesal atau merasa bersalah pada saudara kembarnya. Semua ini memang apa yang diinginkannya sejak awal. Saat sudah setengah jalan seperti ini, Ata tidak seharusnya meragukan rencananya sendiri.
Setelah napasnya tenang, Ata menengok ke depan rumah Tari. Gadis itu masih di sana. Berdiri diam menatap tanah di bawahnya. Ata melihat Tari menarik napas panjang, menghembuskannya kuat-kuat, kemudian berbalik masuk ke rumah.


Bersambung...

***

Maafin Aul kalo part ini lama, maaf, maaaaaaf...
Dan mungkin untuk part selanjutnya bakalan lama lagi, maaf, maaf, maaaaaaaaaaaaaaaaaf bgt...
Nggak tau kenapa lagi rada nggak mood nerusin JUM, malah sekarang Aul selingkuh ke cerita Aul yang terbaru
Sekadar ngabarin aja nih, bagi yang belom tau, Aul masih asyik nerusin cerita "Sunshine is Still You", tapi maaf nggak dipost di sini Kalo kalian mau baca, buka aja profil wattpad Aul, username-nya @Rossecret_98
Aul nggak janji yaa, tapi kayaknya untuk sementara waktu Aul masih pingin fokus ke cerita itu
Kalian bisa baca cerita itu buat selingan, tapi ya syaratnya kalian baca dulu novel "Sunshine Becomes You" karya Ilana Tan, soalnya "Sunshine is Still You" ini sekuelnya, oke? :D
Tunggu sampe Aul dapet inspirasi buat nerusin JUM yaa, hehe
Soalnya, asli, ini masih mentok sampe di sini ._.