Jonathan
pulang dengan perasaan kacau. Apa yang
salah kalau aku mencintai Rosalie? Pertanyaan itu terus menghantuinya.
Cinta memang tak bisa dicegah atau dipaksa untuk tumbuh. Dan menghapusnya akan
menjadi hal yang sulit.
Wajah
berlinang air mata itu yang kini menggantikan pertanyaan tadi. Tangis Rosalie
menjadi jawaban yang jelas kalau mencintai gadis itu adalah sebuah kesalahan
besar. Tapi kenapa? Hingga kemudian pertanyaan itu muncul lagi.
Apa yang salah kalau aku
mencintai Rosalie?
***
Rosalie
tiba di rumahnya dengan perasaan sama kacaunya. Jonathan mencintaiku. Pikirnya gelisah. Dia menghampiri piano di sudut ruang keluarga. Ia akan menghipnotis dirinya sendiri dengan lagu The True Love. Ia pun ingin tau siapa
yang benar-benar ia cintai.
Cinta.
Seharusnya Rosalie tak mengenal kata itu. Ia selalu menyesal tiap kali menyebut
kata itu. Bahkan membayangkannya saja sering membuat hatinya sakit.
Rosalie
memejamkan mata saat alunan piano terdengar. Dan lagu itu kemudian menuntunnya
kepada seseorang yang sedang berdiri membelakanginya dalam kegelapan. Dan
ketika orang itu membalikkan badan, dia adalah, Jonathan.
***
Mencintai
dan dicintai. Itu adalah hak setiap orang. Setelah mendapat jawaban atas rasa
penasarannya, Rosalie langsung menghentikan permainan hipnotisnya. Ia terpaku
beberapa saat. Kedekatannya dengan Jonathan yang hanya beberapa hari itu
ternyata mampu menumbuhkan sebuah perasaan terlarang dalam hatinya. Perasaan
yang tak bisa dicegah oleh siapapun. Dan dia sudah terlibat terlalu jauh dalam
hal ini.
Kalau
memang dirinya yang mencintai Jonathan, itu bukan masalah. Paling tidak
seseorang tak akan tersakiti selain dirinya sendiri. Tapi kenyataannya,
Jonathan juga mencintainya. Karena, betul kata Rosalie, mencintai dirinya
adalah sebuah kesalahan besar.
***
Jonathan
tak sabar menunggu hari esok. Ia sudah meloncat bangun jauh sebelum jam bekernya
berbunyi. Mandi dan berpakaian secepat kilat, menyambar roti bakar dari meja,
dan langsung berangkat ke sekolah. Ia sengaja menunggu di depan pintu loker
Rosalie. Tapi bermenit-menit ia berdiri di sana, gadis itu tak muncul juga.
“Dimana
dia?” gumamnya gelisah. Mendadak matanya menangkap sesosok gadis berkacamata
berdiri tak jauh darinya. Gadis itu menatapnya takut-takut. Jonathan segera mengetahui
apa penyebabnya.
“Sori,”
katanya sambil menyingkir dari pintu loker yang sejak tadi ia gunakan untuk
sandaran punggungnya. Gadis itu mengangguk, lalu mengkombinasi kunci untuk
membuka loker Rosalie. Ia menempati bagian bawah, sementara Rosalie bagian
atas.
“Kau
tau apa mata pelajaran pertama Rose hari ini?” tanya Jonathan.
“Rosalie?
Mm, setahuku Biologi,” jawab gadis berkacamata itu.
“Biologi?!”
seru Jonathan tanpa sadar, mengingat jam pelajaran pertamanya juga Biologi.
“Aku sekelas dengan Rosalie saat pelajaran Biologi, tapi aku tak pernah tau,”
gumamnya. “Oke, thanks... mm,
namamu?”
“Charlotte.”
“Thanks Charlotte.” Jonathan berlari ke
lokernya. Ketika pintu loker terbuka, beberapa buku langsung jatuh menimpanya.
“Ck! Buku-buku ini sungguh merepotkan,” keluhnya. Ia seloker dengan Thomas.
Thomas menempati bagian bawah sementara Jonathan bagian atas. Kontras memang
keadaan loker keduanya. Loker Thomas selalu rapi. Sementara loker Jonathan
sangat berantakan. “Tolong titip buku-buku ini sebentar, Thom,” katanya sambil
menjejalkan buku-bukunya yang terjatuh ke loker Thomas, meski sobatnya itu kini
sedang tak ada di tempat.
Setelah
mengambil buku Biologi, Jonathan berlari ke kelas. Rosalie belum ada di sana,
jadi dia menunggu di depan ruangan. Gelisah. Tapi hingga bel peringatan kedua
berbunyi, hingga Mr. Blanson, guru Biologinya yang bertubuh tambun, terlihat di
ujung koridor, Rosalie tak muncul juga.
“Dimana
dia?” desah Jonathan jengkel dan bingung, lalu masuk kelas.
“Selamat
pagi,” sapa Mr. Blanson di depan kelas. Tapi Jonathan tak menghiraukannya
karena matanya terus menatap pintu kelas, berharap seorang gadis berambut ikal,
pirang, dan panjang membuka pintu itu. Sampai ia menoleh ketika Mr. Blanson
menyebut-nyebut nama Rosalie.
“...
Jadi, untuk beberapa hari ini Rosalie tak bisa berangkat sekolah.”
“Hah?”
Jonathan tercengang. “Hei, Rosalie kenapa?” tanyanya sambil menjawil orang di
depannya.
Orang
itu – seorang cowok berambut merah ikal – menoleh dengan kening berkerut. “Ya?”
“Rosalie
kenapa?” ulang Jonathan.
“Dia
masuk rumah sakit kemarin malam.”
“Apa?
Kenapa?” Jonathan makin tercengang.
Cowok
itu hanya mengangkat bahu, lalu menghadap ke depan lagi, tak mempedulikan
Jonathan yang bertambah resah. Setelah beberapa kali menggerak-gerakkan kaki
dengan gelisah, akhirnya Jonathan bangkit berdiri dan melangkah ke pintu kelas.
“Jonathan!
Mau kemana kau?!” tanya Mr. Blanson dengan suara menggelegar.
Jonathan
menghentikan langkah tepat di depan pintu.
“Kau
mau kabur ya?! Kembali ke tempat dudukmu, Jonathan!”
Jonathan
terdiam beberapa saat. Pikirannya saling berperang, antara meneruskan langkah
atau balik badan kembali ke bangkunya. Sebagian pikirannya yang sedang tak mau
diajak berkompromi memikirkan pelajaran memaksanya keluar ruangan, tapi
sebagian lagi melarang begitu mengingat janjinya kepada Rosalie. Janji untuk
tak pernah membolos lagi.
Jonathan
tau ia telah mengingkari satu janji. Merusaknya. Menghancurkannya. Janji untuk
tidak akan jatuh cinta kepada Rosalie. Dan ia tak mau ingkar janji lagi,
apalagi yang berhubungan dengan gadis itu.
“Jonathan?!”
“Baiklah,
baiklah.” Akhirnya Jonathan melangkah lagi ke mejanya.
Mr.
Blanson jadi heran sendiri melihatnya. Biasanya Jonathan tak pernah menuruti
perintah seperti itu. Mempedulikan teriakan guru-guru pun tidak, apalagi
kembali ke bangkunya seperti ini.
“Bagus,”
kata Mr. Blanson kemudian.
Jonathan
mendengus. Sebisa mungkin ia memfokuskan pikirannya kepada pelajaran, dan
sebisa mungkin ia tidak melarikan diri saat bel pergantian pelajaran berbunyi.
Saat jam makan siang, tiba-tiba Mr. Steven memanggilnya.
“Ada
apa?” tanya Jonathan begitu tiba di ruangan guru itu.
“Ada
yang mau saya bicarakan tentang jadwal tambahan matematikamu,” jawab Mr.
Steven. “Kau pasti sudah tau Rosalie berhalangan hadir hari ini. Mungkin juga
untuk hari-hari selanjutnya. Jadi saya akan mengganti tentormu.”
“Oh,
yang benar saja,” desah Jonathan. “Siapa?”
“Jimmy
Hobert.”
“Siswa
juga?”
“Ya.”
Mr. Steven mengangguk. “Dengar, Jo. Sadarkah kau jadwal tambahan matematika ini
sangat berguna untukmu? Nilai-nilaimu naik drastis setelah mengikuti kelas
tambahan ini. Jadi, walaupun bukan Rosalie lagi yang membimbingmu, kuharap itu tak berpengaruh terhadap
nilai-nilaimu.”
“Yah,
semoga saja.”
Bersambung...