Senin, 18 Maret 2013

Just for a Moment (14)

Pukul 8 pagi, saat Charlotte baru saja mandi dan Rosalie masih terlelap, Jonathan sudah tiba kembali ke Saint Paul.

“Astaga, Jo. Kau datang pagi sekali,” sapa Charlotte kaget.

Jonathan meringis. “Aku tak bisa meninggalkan Rosalie lama-lama. Aku takut sesuatu terjadi padanya.”

“Dia baik-baik saja.” Charlotte menoleh ke arah ranjang di mana Rosalie masih tertidur. “Tak perlu khawatir. Keadaannya sangat baik.”

“Baguslah. Kalau begitu, sementara dia masih tertidur, sebaiknya kita mulai membereskan barang-barang. Aku kasihan melihat wajah bosannya di sini.”

“Baiklah.”

Keduanya mulai bergerak mengemas baju-baju Rosalie dan beberapa barang. Tepat saat mereka selesai, Rosalie membuka mata.

“Hei, Rose,” sapa Jonathan sambil melangkah mendekat dan berdiri di samping ranjang.

Rosalie mengerjapkan mata beberapa kali. “Ya ampun, Jo. Kenapa kau sudah datang?”

“Bukankah kau sudah sangat ingin pulang? Charlotte, kau bantu Rosalie bersiap-siap. Aku akan mencarikan sarapan untuk kita.”

“Oke. Cepatlah berangkat. Aku sudah kelaparan,” sahut Charlotte.


***


Sudah seminggu sejak Rosalie pulang dari rumah sakit. Setiap hari, Jonathan datang menjenguknya di rumah Charlotte. Jonathan dan Charlotte melihat Rosalie sudah bisa tertawa ceria lagi. Ia sungguh tak kelihatan seperti orang sakit. Meski begitu, keduanya tetap melarang Rosalie masuk sekolah. Rosalie juga tak memaksa untuk berangkat ke sekolah.

Setiap harinya, ia menghabiskan waktu dengan bermain piano bersama Jonathan yang duduk dan mendengarkan dengan setia di sampingnya. Atau ketika Jonathan tak ada, gadis itu hanya duduk-duduk di halaman belakang, menyaksikan pemandangan musim gugur. Kalau sedang seperti itu, barulah ia terlihat pucat dan lelah.

Hari ini, Rosalie menemani Charlotte yang sedang menyapu daun-daun kering di halaman belakang rumah. Gadis itu duduk di kursi kayu sambil menulis sesuatu pada bukunya.

“Hei, Rose! Kau sedang menulis apa?” seru Charlotte sambil terus menyapu.

Rosalie menoleh ke arah sahabatnya sejenak, kemudian hanya tersenyum dan menggeleng, lalu melanjutkan kegiatan menulisnya. “Kau akan segera tau,” bisiknya lirih.

Beberapa saat kemudian, Charlotte berhasil menyelesaikan pekerjaannya. Gadis itu menghampiri Rosalie dan berdiri di hadapannya. “Rose, ayo masuk! Pasti kau kedinginan. Aku akan membuatkanmu cokelat panas.”

Rosalie segera menutup bukunya sebelum Charlotte melihat apa yang ditulisnya, dan mengangguk. Tapi begitu ia berdiri, gadis itu langsung ambruk ke pelukan Charlotte, yang untungnya berdiri di depannya dan dengan sigap menangkap tubuhnya. Buku di tangannya terjatuh dalam posisi terbuka, tepat pada halaman yang baru saja ditulisinya.


***


To : Charlotte

There’s nothing I can say, dear. Just... thanks for everything. :)


To : Jonathan

Saat aku menulis ini, aku sedang menemani Charlotte menyapu daun-daun kering di halaman belakang rumahnya. Bisa kulihat ekspresi wajahnya yang kesal karena daun-daun itu begitu banyak dan sering kali tertiup angin, sehingga berantakan lagi. Aku ingin tertawa, tapi rasanya tak tega. Aku ingin membantu, tapi rasanya tak bisa. Aku hanya bisa duduk di sini dan menyaksikan daun demi daun berguguran habis dari pohon-pohon. Sore yang benar-benar indah.

Musim gugur tahun ini benar-benar akan selesai. Cepat sekali. Aku sangat menyukai musim gugur. Dan musim gugur tahun ini sepertinya menjadi musim gugur favoritku. Karena aku bertemu denganmu. Seorang lelaki yang berhasil mengubah hidupku. Seorang lelaki yang berhasil memunculkan senyum dan tawaku di sisa nafasku. Seorang lelaki yang berhasil membuatku mengaku, kalau aku mencintaimu.

Aku sudah pernah bercerita. Saat aku koma dulu, rasanya aku tak pernah ingin bangun lagi. Aku menemukan kesempurnaan hidup dan kebahagiaanku di sana. Sampai tiba-tiba kau berkata bahwa kau akan selalu mencintaiku, apapun yang terjadi. Dalam kebimbangan dan kekalutan, aku diam. Memikirkan apa yang sebaiknya kuputuskan. Aku diam. Mendengarkan. Hanya ada suaramu di telingaku. Entah kau berkata apa. Yang jelas itu suaramu. Saat itulah aku tersadar, lalu berdoa kepada Tuhan.

“Ya Tuhan, seseorang begitu menunggu kehadiranku di sana. Di dunia. Aku ingin tau. Apakah kebahagiaan yang kurasakan saat ini bisa kurasakan di sana saat aku bersamanya? Kalau Engkau mengizinkan, berilah aku satu kesempatan. Just for a moment, untuk bangun dan menyapanya. Just for a moment, untuk bicara, tersenyum, dan tertawa lagi bersamanya. Just for a moment, untuk memainkan beberapa lagu lagi untuknya. Just for a moment, untuk mengatakan bahwa aku juga mencintainya.”

Aku tau Tuhan selalu mendengar doa-doa umat-Nya. Dan Dia mengabulkan itu. Dia memberiku satu kesempatan lagi. Untuk melakukan segala yang kuinginkan. Bersamamu. Aku telah bangun dan menyapamu lagi. Aku telah bicara, tersenyum, dan tertawa bersamamu lagi. Aku telah memainkan beberapa lagu untukmu kemarin. Dan yang pasti, aku telah mengatakan kepadamu, bahwa aku mencintaimu.

Tapi... just for a moment. Hanya sesaat. Hanya sekelebat. Benar-benar singkat. Aku tau akan ada waktu di mana Tuhan mengakhiri kesempatan ini, cepat atau lambat. Aku menulis surat ini sekarang, karena aku tak tau kapan kesempatan ini akan berakhir.

Aku ingin. Sangat ingin. Mendapat satu kesempatan lagi. Tapi sepertinya hanya ini kesempatanku. Just for a moment. Waktu sesaatku telah habis.

Aku rasa doaku salah. Mungkin seharusnya aku tak hanya meminta just for a moment”. Atau mungkin seharusnya aku tak meminta sama sekali. Dengan begitu akan lebih mudah mengakhiri semua ini.

Jo, kalau kau sedang membaca surat ini, itu artinya aku sudah menemukan kebahagiaan abadiku di sini, di sisi kedua orang tuaku. Tapi harus selalu kuakui, kebahagiaan abadiku juga kurasakan saat aku berada di sisimu. Aku percaya. Suatu saat nanti. Pasti. Aku yakin itu. Kita akan bertemu kembali. Seperti dulu. Mengulang hari. Mengulang semua canda, tawa, dan cerita yang pernah ada, seperti di hari-hari yang telah kita lalui bersama. Dalam dimensi waktu yang abadi.

Dan soal mimpiku yang ingin menjadi seorang pianis...


Surat dari Rosalie berhenti sampai di situ. Belum sempat selesai, ketika akhirnya gadis itu meninggalkannya. Menutup mata untuk selama-lamanya. Gadis itu meninggal dunia tepat di hari ia menulis surat ini, di pelukan Charlotte. Di sore yang tenang dan damai, di akhir musim gugur tahun itu.

Jonathan lupa apa reaksi pertamanya ketika ia mendapat kabar itu. Ketika tiba-tiba Charlotte menghubunginya untuk segera datang ke rumah sakit. Ketika ia melihat raga gadis yang dicintainya tak lagi bernyawa. Tak lagi membuka mata. Tak lagi bernafas. Tak lagi menyapanya. Tak pernah bangun lagi untuk selamanya. Tanpa sempat mengucap selamat tinggal sama sekali. Entah apa reaksinya saat itu, Jonathan benar-benar tak sadar. Dan tak peduli. Yang berhasil ia ingat hanyalah usaha kerasnya menahan diri untuk tidak mengakhiri hidupnya saat itu juga.

Jonathan melipat kertas bertuliskan tulisan tangan Rosalie yang sudah sangat sering dibacanya itu dan memasukannya ke dalam saku kemeja.

Dan soal mimpiku yang ingin menjadi seorang pianis...

“Kau memang seorang pianis, Rose. Pianis terhebat yang pernah kukenal,” ucap Jonathan lirih. Ia langkahkan kaki menelusuri koridor sekolah sambil menikmati suasana musim gugur. Sudah satu tahun semenjak kejadian itu. Sudah satu tahun semenjak ia terakhir kali melihat Rosalie. Dan selama itu pula, sudah ribuan kali dibacanya surat dari gadis itu. Sakit. Selalu sakit. Tapi ia tau, memang inilah yang terbaik untuk gadis itu, meski ia harus merelakan hatinya tersayat oleh tajamnya rasa kehilangan, perihnya sebuah perpisahan, juga sakitnya mendapat janji yang teringkarkan. Rosalie pernah berjanji tak akan meninggalkannya, karena Jonathan tak rela bila gadis itu pergi. Tapi apa kenyataannya sekarang?

Hari ini, Jonathan sedang mengunjungi SMA-nya. Ia telah lulus beberapa bulan yang lalu. Hari ini bertepatan dengan tanggal di mana ia pertama kali bertemu Rosalie di sekolah ini. Perasaan rindunya kepada gadis itu tak terbendung lagi. Ketika akan melewati ruang musik, hatinya terasa sakit. Langkahnya terasa berat. Sudah satu tahun lamanya ia berusaha menyembuhkan luka itu. Tapi sepertinya tak akan pernah bisa. Terlalu parah.

Rosalie adalah arti hidupnya. Ia pernah dan akan selalu mengakui itu. Menjadikannya sebuah pondasi akan kehidupannya yang rapuh dan seperti akan rubuh. Tiang penyangga utama dalam ruang hidupnya yang kosong. Tapi sekarang, ketika Rosalie tak lagi ada, tak ada lagi kah arti hidupnya? Tak ada lagi kah pondasi dan tiang itu? Ketika kesadaran itu menohoknya, Jonathan merasa hidupnya benar-benar runtuh sekarang. Tanpa peringatan sama sekali. Dan ia hanya berusaha bertahan di antara reruntuhan puing-puing itu. Tak pernah mencoba untuk bangkit lagi setelah beberapa bulan ia berusaha. Ia merasa tak ada gunanya terus mencoba kalau tak ada yang membantunya.

Mungkin, suatu saat nanti, akan ada tangan gadis lain yang terulur untuk membantunya bangkit. Tapi Jonathan sendiri tak yakin apakah dia akan menerima uluran tangan itu. Apakah ia rela melepas Rosalie dan mengubur semua kenangan tentang mereka bersama puing kehancuran ini? Meninggalkannya jauh-jauh dan membangun lagi kehidupan yang baru dengan sebuah tiang penyangga yang baru pula? Apakah rasanya akan sama? Apakah ia bisa melupakan Rosalie? Apakah ia akan menyanyikan lagu ciptaannya untuk Rosalie dulu untuk gadis yang lain? Apakah semudah itu mengganti sebuah “arti hidup”? Entahlah. Jonathan terlalu pusing untuk memikirkan semua ini.

Ia juga sering bertanya-tanya. Apakah ini hukuman dari Tuhan? Apakah ini ganjaran atas semua tingkah lakunya yang sering keterlaluan? Kalau memang benar, ia tak pernah membayangkan akan begini sakitnya. Ia berharap Tuhan menghukumnya dengan cara lain. Yang tak membuatnya kehilangan seseorang yang baru saja dicintainya. Kehilangan Rosalie. Apakah itu harga yang benar-benar harus dibayar Jonathan?

Suasana koridor yang lengang seperti mengejek setiap langkahnya. Setiap daun yang gugur mengiringi setiap kejatuhannya. Membuka kembali setiap balutan luka yang belum berhasil disembuhkannya. Nada hening di sekolah itu semakin membuat ia tenggelam dalam puing-puing kesendiriannya.

Mendadak langkah Jonathan terhenti ketika telinganya menangkap denting piano mengalun dari dalam ruang musik, membentuk melodi nada yang sangat dikenalnya. Yang sangat dirindukannya. Lagu My Dreams. Jonathan tersentak. Sudah lama sekali ia tak mendengar lagu ini. Dan hanya ada satu orang di dunia ini yang bisa memainkan lagu itu. Lagu yang begitu sempurna. Sesaat, Jonathan hanya terpaku di depan pintu ruang musik. Hingga beberapa detik kemudian, ia menerjang masuk ke dalam ruang musik, dan terperangah di sana.

“Rose?” sapanya kaget.

“Hai, Jo.”





Tamat...

Minggu, 17 Maret 2013

Just for a Moment (13)



Jonathan membaringkan tubuh Rosalie ke tempat tidur, lalu menyelimutinya.
“Kau lapar?”
“Tidak,” jawab Rosalie. “Aku sedang tak butuh apapun. Tenanglah, Jo.”
Jonathan menatapnya sebentar, kemudian duduk di sebelahnya. “Rose?”
“Hm?”
“Kau akan sembuh, bukan?”
Rosalie menghela nafas. Ia membuang muka ke jendela. “Entahlah.”
Perih itu menyerang lagi. Tanpa sadar Jonathan memegang dadanya. Sakit. “Bicara padaku, Rose. Kau sakit apa?”
“Apakah penting membicarakan sesuatu yang kelak akan mengakhiri hidupku?”
Mengakhiri hidupnya... Mengakhiri hidupnya...
“Aku yakin kau tak mau tau, Jo. Aku sendiri sebenarnya tak ingin tau. Tak ingin pernah tau. Apa yang bersarang di tubuhku ini. Apa yang mencuri sisa kebahagiaan yang masih tertinggal di dalam hidupku, setelah kedua orang tuaku meninggal.” Rosalie menarik nafas perlahan. Masih tak mau menolehkan kepala ke arah lelaki yang duduk di sampingnya. “Bahkan, kadang aku tak tau. Apakah aku masih berhak bahagia? Ketika aku selalu takut dalam mengambil setiap nafas ini. Selalu takut untuk memejamkan mata ini. Selalu takut untuk berhadapan dengan semua orang. Selalu takut mendapat kasih sayang. Apalagi cinta. Aku... terlalu takut untuk membalas cinta mereka.”
Jonathan tercekat. Bisu. Kelu. Lumpuh.
“Apalah arti mereka mencintaiku, kalau akhirnya aku hanya akan menorehkan luka di hati mereka?” lanjut Rosalie. “Saat seseorang terlanjur mencintaimu, pasti orang itu tak akan rela membiarkanmu pergi, bukan? Itulah yang aku fikirkan. Dan aku mau kau juga memikirkan itu. Andai suatu hari nanti aku harus pergi, apa kau rela, Jo?”
“Tentu saja tidak!” jawab Jonathan spontan.
Jawaban spontan yang menyakitkan. Menyakiti keduanya. Beberapa saat keduanya hanya terdiam. Jonathan menundukkan kepalanya dalam-dalam. Meredam gejolak emosi di dalam dadanya.
“Baiklah. Kalau kau tak rela, aku tak akan meninggalkanmu,” kata Rosalie tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka.
Jonathan mengangkat wajah. Diam lagi. Hening. Kemudian, perlahan Jonathan menganggukkan kepalanya. “Kau tak boleh meninggalkanku. Kau harus berjanji untuk sembuh.”
Barulah Rosalie menoleh. Ditatapnya Jonathan dengan senyum. Tak berkata apa-apa.
“Rose, berjanjilah...” Jonathan menggenggam tangan Rosalie. “Berjanjilah kau akan sembuh dan akan mengajariku matematika lagi.”
Rosalie masih tersenyum. “Aku suka mengajarimu matematika. Aku suka menjadi gurumu. Kau siswa yang cerdas, Jo. Walau kadang ulahmu keterlaluan, tapi kau orang yang menyenangkan.” Rosalie memejamkan mata. “Saat-saat bersamamu selalu berhasil membuatku tersenyum dan tertawa. Aku ingin sekali mengulang saat-saat itu. Hari-hari itu.” Ia diam sejenak untuk menarik nafas panjang. “Aku ingin mengulang setiap udara yang pernah aku hirup. Bersamamu. Karena, harus kuakui... aku juga mencintaimu.”
Jonathan menundukkan kepala lagi. Rosalie akhirnya mengakui itu. Rosalie mengakui perasaannya. Tapi kenapa itu malah membuatnya sedih? Jonathan tak tau. Tak tau kenapa hatinya terasa sakit. Tak tau kenapa air matanya tiba-tiba menetes jatuh.
“Sst... jangan menangis, Jo,” kata Rosalie pelan, masih dengan mata terpejam.
Jonathan cepat-cepat mengusap matanya. “Sialan. Kenapa aku menangis?” umpatnya. Geli dan heran sendiri. “Itulah yang aku mau, Rose. Aku mau kau juga mencintaiku. Aku yakin kau akan bisa kembali lagi menjadi guruku. Kau tak pernah terlihat sakit. Kau terlihat sehat. Selalu sehat. Yakin lah itu. Kau bisa melawan penyakit ini.”
“Ya.” Rosalie mengangguk. “Kita harus yakin itu. Aku sehat. Aku tak apa-apa.”
Meski mereka bicara seperti itu, ketakutan mulai merayap menghantui pikiran keduanya. Ketakutan atas penyangkalan kenyataan. Ketakutan atas kebohongan yang mereka ciptakan. Ketakutan atas senyum yang mereka palsukan. Ketakutan akan kehilangan. Ketakutan akan kesakitan. Ketakutan akan perpisahan.

***

Sore itu juga, Charlotte datang ke rumah sakit.
“Rose!” Charlotte menghambur memeluk Rosalie begitu masuk ke kamar. “Bagaimana kabarmu?”
“Aku baik-baik saja.” Rosalie balas memeluk Charlotte erat. “Tenanglah.”
“Bagaimana aku bisa tenang? Aku tak bisa berhenti memikirkanmu sepanjang hari ini. Bahkan aku berulang kali membuat kesalahan saat menjawab soal matematika yang paling mudah sekalipun.”
Rosalie tertawa, kemudian melepas pelukannya. “Anak bodoh,” katanya mengejek sambil mengacak rambut Charlotte.
“Biar saja.” Charlotte menjulurkan lidah.
Rosalie membaringkan tubuhnya lagi. “Aku ingin pulang,” katanya. “Aku bosan di sini. Sudah hampir dua minggu aku hanya tiduran di rumah sakit. Aku rindu rumahmu. Aku rindu bermain piano. Aku rindu dengan suasana sekolah. Aku tak betah tinggal di sini lebih lama,” keluhnya panjang lebar dengan mimik bosan.
Charlotte dan Jonathan bertukar pandang.
“Oh, ayolah. Aku tak apa-apa. Keadaanku sudah baik sekarang. Aku yakin dokter mengizinkan aku pulang.”
“Baiklah. Kau memang keras kepala.” Jonathan menghela nafas. “Aku akan menghubungi dan berkonsultasi dengan doktermu.”
Dokter memang mengizinkan Rosalie pulang, dan berpesan agar segera menghubunginya kalau terjadi apa-apa. Sore itu, Jonathan pulang ke Acorn Falls dan berjanji akan menjemput Rosalie besok pagi dengan mobil pamannya. Giliran Charlotte yang menemani Rosalie malam itu, karena besok pagi adalah hari Sabtu.
“Bagaimana hubunganmu dengan Jonathan sekarang?” tanya Charlotte setelah makan malam.
“Entahlah.” Rosalie menggeleng lesu. “Kalau melihat kondisiku sekarang, sepertinya aku tak bisa berharap lebih.”
“Sst, jangan bicara seperti itu. Masih ada yang namanya keajaiban. Keajaiban bisa datang kapan saja. Keajaiban bisa mewujudkan apa yang rasanya mustahil. Kau harus percaya itu.”
“Ya,” sahut Rosalie setelah terdiam agak lama. “Aku memang percaya. Sebuah keajaiban bahkan sudah menghampiriku sekarang.” Gadis itu tersenyum begitu mengingat Jonathan. Apalagi momen ketika lelaki itu menciumnya, membuat wajahnya memerah lagi. “Keajaiban itu membuatku berani jatuh cinta pada seseorang bernama Jonathan.”



Bersambung...

Sabtu, 16 Maret 2013

Just for a Moment (12)



“Bukan apa-apa,” sahut Rosalie. Keduanya terdiam, sampai Rosalie tiba-tiba berbicara pelan, “Jo, bisa bawa aku keluar?”
Jonathan mengangkat alis. “Keluar kemana?”
Tangan Rosalie terangkat dan menunjuk ke jendela.
“Tapi, Rose. Cuaca di luar sangat dingin, sementara kau...”
“Aku tak apa-apa,” potong Rosalie. “Kau tau aku sangat suka musim gugur. Dan musim gugur tahun ini sebentar lagi akan habis. Aku tak mau melewatkannya hanya dengan tidur-tiduran di sini.”
Jonathan ragu sejenak, tapi kemudian mengangguk. “Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Kau punya syal dan jaket, kan?”
“Ada di dalam lemari itu. Aku ingat Charlotte membawakannya beberapa hari yang lalu.”
Jonathan beranjak ke lemari yang ditunjuk dan mengeluarkan sebuah syal beludru warna madu, jaket tebal, sarung tangan, juga kaus kaki. Dibantunya Rosalie duduk dan memakai syalnya.
“Jadi, kau tak marah lagi padaku, kan?” tanya Jonathan setengah memohon.
“Aku tak punya alasan untuk marah kepadamu,” gumam Rosalie.
Jonathan tersenyum lebar. “Terima kasih.” Ia lalu duduk membelakangi Rosalie. “Naiklah ke punggungku.”
“Maksudmu, kau akan menggendongku?”
“Tentu saja.”
“Bukankah lebih aman kalau pakai kursi roda?”
“Lebih aman di gendonganku. Percayalah.”
Akhirnya, Rosalie melingkarkan lengannya di leher Jonathan. Jonathan berdiri dan menggendong Rosalie keluar. Mungkin keduanya menjadi pemandangan aneh, karena di sepanjang koridor rumah sakit, banyak orang diam-diam melirik ke arah mereka. Tapi Rosalie dan Jonathan sama sekali tak keberatan. Ketika mereka tiba di luar rumah sakit, Jonathan berhenti sejenak. Membiarkan dirinya dan Rosalie menghirup sejuknya udara musim gugur pagi ini.
“Bawa aku ke taman, Jo.”
Jonathan mengangguk. Ia menurunkan Rosalie di salah satu bangku taman di samping rumah sakit itu. Hari masih sangat pagi. Baru pukul 7. Belum ada orang di taman itu selain mereka. Pelataran taman dipenuhi daun kering, yang akan menimbulkan bunyi gemerisik jika kau berjalan di atasnya. Pohon-pohon di sana nyaris gundul semua.
“Sudah berapa lama aku tertidur?” tanya Rosalie tiba-tiba.
“Hm?” Jonathan menoleh, lalu menggeleng. “Aku tak tau. Charlotte baru memberitahuku kemarin kalau kau kritis. Mungkin kau hanya koma satu atau dua hari.”
“Mudah-mudahan begitu.” Rosalie mengangguk, lalu menghela nafas. Wajahnya yang pucat terlihat sangat lelah dan sedih. “Jo, aku mau jujur.”
“Bicara saja.”
“Sebenarnya aku tak mau bangun,” kata Rosalie, membuat Jonathan terbalalak. “Jangan menyela! Biarkan aku cerita dulu!” Rosalie menempelkan jari telunjuknya ke bibir Jonathan yang sudah terbuka untuk bicara.
“Charlotte pasti sudah memberitahumu soal orang tuaku.” Rosalie memulai. “Saat aku koma, aku bertemu kedua orang tuaku. Sungguh. Mereka sama sekali tak berubah. Aku sangat merindukan mereka. Aku seperti kembali ke masa kecilku. Kedua orang tuaku ada di sampingku, bisa kapan saja aku peluk. Dan juga, aku belum sakit seperti ini. Kehidupanku sangat sempurna. Segalanya terasa indah. Aku bisa tertawa tanpa beban di sana. Aku tak harus memalsukan senyum bahagiaku. Karena aku benar-benar bahagia di sana. Itu yang membuatku tak mau bangun.”
Rosalie menghentikan kata-katanya. Ia memejamkan mata dan menarik nafas panjang.
“Lalu?” tanya Jonathan karena Rosalie tak melanjutkan. “Apa yang membuatmu berubah fikiran?”
Rosalie membuka mata. “Tiba-tiba saja aku dihadapkan dengan tubuhku sendiri yang terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit itu. Dan, aku mendengar suaramu. Memanggil namaku.” Diam lagi sesaat. “Saat itu aku benar-benar panik, Jo. Aku tak tau apa yang harus kulakukan. Aku tak tau harus bagaimana. Sampai tiba-tiba kau mengucapkan kalimat itu.”
“Kalimat apa?” tanya Jonathan bingung.
Apapun yang terjadi, aku akan selalu mencintaimu, Rose.”
Jonathan tersentak ketika Rosalie menirukan ucapannya tadi malam.
“Dari sekian banyak kata yang kau ucapkan, sepertinya hanya itu yang bisa aku dengar. Setelah itu aku menyadari bahwa... Mm, entahlah. Aku sendiri tak tau apa yang sebenarnya kusadari.”
“Jadi, kau kembali karena... aku?” desis Jonathan tak percaya.
“Bisa dibilang begitu.” Rosalie mengangkat bahu. “Sejak dulu, sejak aku memiliki penyakit ini, aku tak mau jatuh cinta. Atau dicintai. Aku tak mau suatu saat nanti orang itu akan menyesal karena telah jatuh cinta kepadaku.”
“Sst, jangan larang dirimu seperti itu. Juga perasaanmu. Kau berhak mencintai dan dicintai. Bukankah begitu takdir setiap orang?” Jonathan menatap Rosalie yang duduk di sebelahnya dengan lembut. “Dan yang harus kau ketahui adalah, aku tak pernah menyesal karena telah mencintaimu. Percayalah, Rose. Pegang kalimatku itu.”
“Sejak kapan kau menjadi pakar cinta, Jo?”
Bibir Jonathan yang merengut membuat Rosalie tertawa kecil.
“Ehm, Rose?”
“Ya?”
“Teruslah tertawa. Aku suka melihat tawamu. Dan, hei,” seru Jonathan begitu menyadari sesuatu. “Pasti ada alasan khusus kan kenapa kau memutuskan kembali untukku?”
“Sebenarnya, iya.”
“Apa itu?”
“Oh, apakah aku harus mengatakannya?”
“Ya. Memang harus!”
“Aku tak akan mengatakannya.”
“Ooh, ayolah. Apakah aku harus memohon?”
“Kau memohon pun aku tak akan bicara.”
“Oh ya. Ingatkah kau aku masih punya hutang satu ciuman untukmu?”
“Hah? Ciuman apa?”
“Soal taruhan itu. Aku kalah. Kau ingat?”
“Kau bersungguh-sungguh soal taruhan itu?”
“Yap.”
“Dan kau bersungguh-sungguh akan menciumku?”
“Tentu saja.”
“Tidak perlu. Lupakan saja soal taruhan itu.” Rosalie menunduk malu. Wajahnya merona.
“Hei, kau sendiri yang menyuruhku untuk belajar cara mencium seseorang dengan baik dan benar,” protes Jonathan.
“Tapi... belum pernah ada seseorang yang menciumku sebelum ini. Selain orang tuaku tentu saja.”
“Berarti, aku akan menjadi orang lain yang pertama yang menciummu.”
“Tapi aku...”
“Pejamkan saja matamu, Rose,” bisik Jonathan yang tiba-tiba sudah berlutut di hadapan Rosalie. Wajahnya sejajar dengan wajah Rosalie yang duduk di depannya.
Rosalie memejamkan mata ragu-ragu. Dengan jantung berdebar keras, Jonathan mendekatkan wajahnya. Sangat perlahan dan hati-hati, kemudian ia menyentuhkan bibirnya ke bibir Rosalie, dengan mata terpejam juga. Sungguh. Ia sudah tak menyadari apa-apa lagi di sekelilingnya.
“Jo?” panggil Rosalie tiba-tiba.
Jonathan tersentak. Seketika ia membuka mata dan mendapati dirinya duduk di sebelah Rosalie. Bagaimana bisa ini? Bukankah tadi dia...
“Bagaimana? Kau menikmatinya?” tanya Rosalie sambil tersenyum. Geli, jahil, dan misterius.
“Tapi, bagaimana bisa aku... Ooh, kau menghipnotisku, Rose?!”
Rosalie tergelak. “Memang. Jadi, kau sudah menciumku, bukan?”
“Kau memang nakal,” gerutu Jonathan. “Baiklah. Kita masuk sekarang. Aku tak ingin kita membeku di sini. Anginnya semakin dingin. Oh, tentu saja. Ini sudah hampir bulan Desember. Kuharap salju turun saat Natal besok.”
“Kau menyukai salju?”
“Tidak juga. Tapi aku lebih suka menyaksikan Natal dan Tahun Baru berhias salju. Naiklah.” Jonathan berjongkok di depan Rosalie.
“Tunggu sebentar. Aku mau melatih otot kakiku yang masih sangat lemas. Bantu aku berdiri, Jo.”
Jonathan menarik Rosalie hingga berdiri. Butuh waktu beberapa saat hingga Rosalie berhasil menyeimbangkan tubuh di atas kedua kakinya. “Oke. Aku bisa. Sekarang, mundurlah. Aku akan berjalan.”
Jonathan mundur beberapa langkah. Tangannya terulur maju dan agak terentang, siap menangkap Rosalie kalau gadis itu terjatuh. Benar saja. Baru tiga langkah, kaki Rosalie tersandung. Dengan sigap, Jonathan menangkapnya hingga Rosalie jatuh ke pelukannya, bukan ke atas daun-daun kering di tanah.
“Terima kasih.” Rosalie mendongak menatap Jonathan.
Dan tanpa berfikiran lebih jauh, Jonathan mencium bibir gadis itu.

***

Rosalie tak bisa berbuat apa-apa ketika mendadak Jonathan menciumnya. Ia tak bisa menolak atau pun membalas ciuman itu. Tubuhnya lemas, seperti tersetrum listrik ribuan watt. Untung saja Jonathan memeluknya erat-erat, kalau tidak, mungkin tubuhnya sudah meluruh jatuh.
Ciuman itu bertahan selama lima detik. Hanya sesaat. Sesaat yang begitu mengena. Sesaat yang mengaburkan segala-galanya di sekeliling mereka. Sesaat yang kalau mau diakui, tak ingin mereka akhiri. Hingga Jonathan lalu menarik mundur kepalanya. Rosalie membuang muka ke samping. Wajahnya yang tadi pucat kini sudah merah padam.
“Maaf,” kata Jonathan lirih.
“Kau... kau kurang ajar,” sahut Rosalie. Kepalanya makin menunduk.
“Maafkan aku,” kata Jonathan lagi, penuh penyesalan, tapi bibirnya tersenyum.
“Dimaafkan. Sekarang, bawa aku masuk.”



Bersambung...

Jumat, 15 Maret 2013

Just for a Moment (11)




Untunglah dugaan Charlotte tadi tidak benar. Polisi-polisi itu belum tahu plat nomor mobil ini, karena ketika Jonathan mengembalikannya ke rumah pamannya setelah mengantar Charlotte pulang, tak ada protes sedikit pun. Jonathan bergegas pulang ke rumahnya sendiri untuk mengambil beberapa pakaian.
“Mau kemana kau?” Tiba-tiba ibunya sudah berdiri di belakang Jonathan yang sedang memasukkan baju ke dalam tas.
“Aku ada urusan beberapa hari ini di luar kota.”
“Di luar kota? Beberapa hari?” Ibunya membelalak. “Jonathan, jangan bilang ini akibat dari ulah nakalmu lagi.”
“Oh, Mom,” dengus Jonathan jengkel. “Jangan menuduhku keterlaluan.” Jonathan berdiri sambil menyandang ransel ke bahunya, lalu melangkah menuruni tangga meninggalkan ibunya. Ia terpaksa memakai seluruh uang simpanannya.
Beberapa jam kemudian, Jonathan telah tiba kembali di kamar Rosalie.
“Hei,” sapanya manis dan langsung duduk di sebelah tempat tidur. “Lihat. Seperti janjiku, aku akan menemanimu di sini.” Ia membelai rambut Rosalie.
 “Rose, aku sungguh merindukanmu. Kau ingat kapan terakhir kali kita bicara? Sudah sepuluh hari sejak hari itu, Rose. Dan selama itu pula kehidupanku yang kacau kian kacau. Aneh. Kenapa sekarang hidupku terasa kurang kalau kau tak ada? Padahal dulu, mengenalmu pun tidak. Ah, jalan hidup ini memang tak bisa ditebak.”
Tentu saja Rosalie tak menjawab. Gadis itu tertidur diam seperti patung.
 “Rose, plis.” Jonathan menarik nafas panjang. Entah kenapa dadanya terasa sakit. Bernafas sepertinya menjadi hal yang menyiksa sekarang. “Aku mohon, dengan segenap jiwa dan seluruh hatiku, jawablah aku. Berikan aku sedikit respon. Bergerak sedikitpun tak apa.” Jonathan benar-benar mengemis dengan nada lirih. Tapi tetap saja tak berhasil. “Kemana kau? Tolong, pulanglah kepadaku.” Jonathan meraih tangan Rosalie dan menciumnya. “Aku membutuhkanmu.”
Suasana benar-benar hening saat itu. Hanya ada suara mesin pendeteksi detak jantung, yang menandakan gadis di hadapannya ini masih hidup.
“Jadi ini alasannya?” tanya Jonathan tiba-tiba. “Ini alasannya kau melarangku jatuh cinta padamu? Karena... kau sakit?” Ia menghela nafas berat. “Apapun yang terjadi, aku akan selalu mencintaimu, Rose.”

***

Pagi harinya, seorang dokter dan beberapa perawat wanita masuk ke kamar itu.
“Anda keluarga pasien?”
“Ya,” jawab Jonathan tanpa pikir panjang.
“Ada perubahan pada Rosalie tadi malam? Atau sedikit gerakan tangan, mata, atau apa?”
Jonathan memang tak tidur semalaman. Ia menjaga Rosalie dan mengamati gadis itu sepanjang malam. Tapi keadannya tak berubah sedikitpun. Tak ada gerakan apapun seperti harapannya. Jonathan menggeleng lesu, kemudian menyingkir sedikit saat dokter itu memeriksa keadaan Rosalie. Jonathan melihat mereka melepaskan alat bantu pernafasan yang sejak kemarin dipakai Rosalie.
“Masih stabil. Organ-organ vitalnya masih berfungsi dengan baik. Dia sudah tak butuh alat bantu pernafasan ini,” kata dokter itu kemudian. “Keadaannya sepertinya makin membaik. Kalau ada perubahan sedikit saja, langsung hubungi saya.”
Jonathan mengangguk. Dokter itu lalu melangkah keluar ruangan.
“Maaf, sebaiknya Anda keluar dulu. Kami akan membersihkan tubuh pasien,” kata salah satu perawat.
“Oh, maaf.” Jonathan berjalan keluar, lalu duduk di kursi depan kamar. Ia mengusap wajah dengan kedua tangan. Frustasi. Beberapa menit kemudian, karena perawat-perawat itu tak kunjung keluar, Jonathan memutuskan untuk mencari sarapan. Setelah mendapat roti, ia bergegas kembali ke kamar Rosalie.
Perawat-perawat tadi telah pergi. Kini ruangan kembali sunyi. Jonathan baru akan membuka bungkus rotinya ketika tiba-tiba matanya menangkap sekelebat gerakan pada tangan Rosalie.
“Rose?” panggilnya penuh harap. Roti tadi ia letakkan sembarangan di meja samping tempat tidur. “Rosalie?”
Tak ada apapun yang terjadi. Setelah menuggu hingga dua menit penuh dan Rosalie tak bergerak lagi, Jonathan mendesah. Mungkin salah lihat.
Digenggamnya tangan Rosalie. Dan Jonathan tersentak ketika tangan dalam genggamannya bergerak. Sangat pelan. Tapi Jonathan benar-benar bisa merasakannya. Seperti tersengat listrik rasanya saat pergerakan itu ia rasakan langsung.
“Rose? Bangunlah,” desisnya. Cukup lama hingga kelopak mata Rosalie yang terpejam mulai bergerak-gerak, lalu membuka sedikit. Jonathan merasa beban yang begitu berat di atas tubuhnya mendadak terangkat. Ia menghembuskan nafas yang sedari tadi tanpa sadar ditahannya.
“Rose? Ini aku,” bisiknya makin lirih.
Pelan tapi pasti, mata Rosalie membelalak. Bibirnya terbuka dan bergerak, tapi tak ada suara yang keluar dari sana, mungkin karena pita suaranya yang tak digunakannya selama beberapa hari kemarin. Jonathan mendekatkan tubuhnya. Wajahnya berada tepat di atas wajah Rosalie.
“Kau tau aku sangat merindukanmu, Rose?” katanya lirih. Dan tak bisa dicegahnya, air mata tiba-tiba keluar dan menetes jatuh ke wajah Rosalie. Kemudian, ia peluk tubuh itu.
“Jo..” Hanya satu suku kata itu yang Jonathan dengar dari mulut Rosalie. Begitu lirih dan serak.
“Aku akan di sini, Rose.” Jonathan kemudian melepaskan pelukannya. “Dan kau tak akan bisa melarangku.” Ia tertawa kecil sambil mengusap rambut Rosalie. “Oh ya, aku harus segera memanggil Dokter.”
“Bagaimana perasaanmu?” tanya dokter yang masih muda itu setelah datang ke kamar.
“Baik,” jawab Rosalie lemah, berusaha melengkungkan bibirnya yang pucat membentuk senyum.
“Kepalamu sakit? Atau ada yang tidak beres?” Dokter tadi memeriksa Rosalie dengan stetoskopnya.
“Kepalaku masih sedikit pusing. Tapi itu mungkin karena aku tidur terlalu lama.” Matanya melirik sedikit ke Jonathan.
Beberapa menit kemudian, pemeriksaan itu selesai. Dokter bilang, Rosalie sudah berhasil melalui masa kritisnya, walau itu sangat mengejutkan karena hanya berlangsung dalam waktu yang sangat singkat.
“Hei,” sapa Jonathan setelah dokter keluar. Ia duduk di samping Rosalie dan menatap gadis itu sambil tersenyum. Tapi yang disapa malah membuang muka ke arah jendela.
“Rose, masih marahkah kau?” tanya Jonathan hati-hati, lalu mendesah. “Apa yang harus kulakukan agar kau tak marah lagi? Berhenti mencintaimu? Itu hal yang mustahil.”
Rosalie tak menjawab, jadi Jonathan meneruskan. “Rose, kau sakit apa?”  
“Bukan apa-apa,” sahut Rosalie.



Bersambung...