Minggu, 26 Oktober 2014

Jingga untuk Matahari #fanfiction-7

Angga berdiri di tempatnya sampai Ari dan Tari tidak terlihat lagi, menatap kepergian keduanya tanpa suara.
“Ga...”
Satu jotosan keras melayang begitu Bram menepuk bahunya.
“Gue nggak nyuruh lo cium dia, bego!” bentaknya. “Dasar lo! Nyolong-nyolong kesempatan! Gue aja belom pernah nyium dia!”
“Sori, sori,” Bram mengangkat kedua tangan tanda menyerah. “Niatnya biar Ari tambah marah gitu.”
Angga mencekal kerah kemeja Bram. “Gue juga marah, tau!” desisnya tajam. “Inget. Satu kali ini aja, oke? Lain kali nggak ada ampun!”
Bram buru-buru mengangguk. Bukan karena takut oleh jotosan Angga yang mungkin akan bersarang lebih banyak di wajah atau tubuhnya. Dia lebih takut Gita yang notabene sepupu Angga semakin jauh di luar jangkauan kalau dirinya membuat sahabatnya ini marah.
Angga melepaskan cekalannya dan melangkah masuk lagi ke kantin. Matanya menangkap tas oranye di atas jaket hitamnya. Tas sekolah yang pasti sama sekali tidak ada di pikiran Tari setelah kejadian tadi. Angga meraih tas tadi serta jaketnya.
“Gue balik dulu,” pamitnya sambil lalu.
Sementara melangkahkan kaki ke tempat motornya terparkir, Angga memikirkan kemungkinan kemana Ari membawa Tari pergi. Tidak mungkin ke rumah gadis itu. Oleh karena Angga terlalu mengenal musuhnya, ia tahu tak akan ada orang yang bisa menebak seperti apa jalan pikiran Ari saat sedang marah atau kalut. Akhirnya ia membawa pulang tas sekolah milik Tari.
Lima menit berlalu semenjak Angga duduk di depan meja belajarnya dalam diam. Dentaman musik yang biasanya memekakkan telinga kini tak terdengar. Kamar itu ia biarkan sunyi. Tatapannya tidak lepas dari sesuatu di hadapannya. Tas oranye milik Tari. Mungkin saja gadis itu membencinya sekarang, setelah apa yang dia lakukan tadi. Mungkin Tari tidak ingin menemuinya lagi. Angga telah memikirkan segala konsekuensi itu, dan ketika semuanya merasuk lebih jauh ke dalam hatinya, ia menyesal.
Tapi bukan berarti akan ia lepaskan begitu saja gadis itu. Justru ia akan lebih menggencarkan usahanya jika memang untuk sekarang Tari memilih untuk menjauhinya. Entah sejak kapan kesadaran tentang hal ini datang. Dia menyayangi Tari. Sampai saat ini, Angga masih sering merutuki kebodohannya dulu saat dia memutuskan untuk mundur. Membiarkan Tari jatuh ke genggaman Ari.
Begitu tersadar dari lamunan, Angga mendapati semua isi tas Tari sudah berserakan di meja belajarnya. Seolah yang memiliki rasa penasaran bukanlah otaknya, melainkan kedua tangannya, yang kemudian bergerak mengambil sebuah buku dan memeriksanya. Buku tulis Kimia. Tercetak senyum tipis di bibir Angga saat melihat coretan-coretan berwarna-warni di buku itu. Tanda centang hijau, gabungan centang dan silang berwarna shocking pink, dan juga tanda silang merah dengan kata “SALAH” yang ukurannya nggak tanggung-tanggung. Coretan dari Ari yang bahkan dibiarkan oleh Tari tetap di sana. Satu bukti bahwa gadis itu memang menyayangi musuh bebuyutannya.
Tangan Angga tanpa sengaja menyentuh kamus Inggris-Indonesia milik Tari. Bibirnya tersenyum semakin lebar. Kamus yang menjadi saksi bisu awal perkenalannya dengan Tari. Angga membuka halaman pertama dan melihat tulisan Tari, X-9 yang mengenalkannya pada nama gadis itu. Tangannya membalik-balik halaman kamus tadi sekilas. Mendadak ia menyadari di bagian tengah kamus seperti ada yang mengganjal. Sesuatu yang terselip. Angga membuka halaman itu, dan kedua matanya melebar seketika. Satu kelopak bunga memang terselip di sana. Mawar merah. Bahkan semerbak harumnya masih tersisa, menguar ke udara di atasnya.
“Ini...” Kalau perkiraannya tidak salah, satu kelopak bunga ini berasal dari setangkai mawar merah yang ia berikan pagi tadi kepada si pemilik kamus. Kini kelopak itu sudah di genggamannya. Keyakinan atas perkiraan tadi kembali memunculkan senyum Angga.
“Ternyata lo masih punya rasa buat gue,” gumamnya lirih.

***

“Gue titip Tari ya, Fi,” kata Ari kepada Fio. Mereka sudah berada di rumah Fio sekarang. Tari sedang mandi, jadi Ari dan Fio duduk di ruang tamu untuk berbicara.
“Iya. Tenang aja, Kak.”
“Jangan tanyain apa-apa dulu soal kejadian tadi, apalagi soal Angga. Lain kali gue ceritain ke elo.”
Perkataan Ari malah semakin membuat Fio penasaran. Dia sudah mendengar Tari diculik kawanan Brawijaya tadi, saat Fio berlari ke tempat parkir untuk mencari Tari, tidak lama setelah Ari pergi. Oji yang memberitahunya. Sebenarnya Fio masih ingin bertanya-tanya, tapi batal begitu menyadari Vero dan gengnya juga ada di sana.
“Dia lagi trauma parah,” lanjut Ari lagi, sambil tangannya meremas rambutnya sendiri. Cowok itu mengerang frustasi. “Kalo bisa, sebenernya gue mau nemenin dia malem ini. Tapi gue nggak bisa,” desahnya. “Langsung telepon gue kalo ada apa-apa, Fi. Gue balik dulu.”
Fio mengantar Ari sampai depan rumah. Tiba di kamar, Tari sudah selesai mandi. Sahabatnya itu duduk diam di kasur hanya dengan handuk kimononya. Rambut panjangnya basah terurai, dan matanya menatap kosong ke depan. Fio menarik napas panjang.
“Pake baju gue dulu ya, Tar. Abis ini gue ke rumah lo ambilin baju sama seragam buat besok.”
Tari mengangguk tak acuh. Fio berjalan ke lemari dan mengambilkan pakaian untuk Tari. Untung ukuran badan mereka sebelas-dua belas.
“Nih, lo pake dulu biar nggak dingin. Gue bikinin susu, deh.”
Tari sekuat tenaga mengusir bayangan Angga dari benaknya. Ia memejamkan mata sejenak dan menggeleng-geleng. Tapi dalam kegelapan, sosok Angga kian terlihat jelas di depan mata. Tari menggigit lidah untuk mencegah jeritan keluar dari mulutnya. Cepat-cepat dia bangkit dan memakai baju Fio, kemudian mengeringkan rambut.
“Kayaknya gue bakal gila beneran,” desahnya pelan.

***

Motor Ari berhenti di depan rumah Tante Lidya. Entah berapa lama yang dilewatkannya hanya dengan duduk diam di atas motor. Rumah itu sepi. Tapi Ari yakin, Mama, Ata, dan Tante Lidya ada di dalam sana. Ingin sekali dia turun dan masuk ke rumah itu seperti yang sering dilakukannya akhir-akhir ini sejak Mama datang ke Jakarta.
Setelah beberapa saat berperang dengan dirinya sendiri, akhirnya ia mengambil keputusan. Baru saja kedua kakinya melangkah ke pintu pagar dan tangannya terulur untuk membuka, sebuah taksi mendadak berhenti tidak jauh darinya.
“ARI!!” teriakan itu membuat tubuh Ari membeku. Tubuhnya berputar cepat ke sumber suara. Dalam detik yang mengurungnya dalam ketersimaan, sebuah tamparan keras tiba-tiba saja mendarat di pipinya.
“BERANINYA KAMU KE RUMAH INI LAGI!!” bentak Papa dengan suara menggelegar. “Udah berani kamu melawan Papa?!”
Mulut Ari sudah terbuka untuk membalas, tapi suara pintu terbuka dari rumah di samping mereka seketika membungkamnya. Keduanya menoleh. Mama berdiri mematung di ambang pintu. Ata menyusulnya tak lama kemudian, dan sama-sama terpaku.
Ari baru bisa tersadar ketika Papa melangkah geram memasuki pagar. Dia dan Ata terlambat untuk mencegah tamparan Papa mendarat di pipi Mama. Ari terkesiap sesaat, kemudian dengan kalap ia berlari menghampiri Papanya dan mendorongnya keras agar menjauh dari Mama, sementara Ata langsung memeluk Mama erat-erat.
“Papa apa-apaan sih?!” bentak Ari murka, tidak terima Papa memperlakukan Mama sedemikian kasar di muka umum.
“Papa mau ngomong sama dia. Minggir kamu!” tukas Papa dingin, balas mendorong tubuh Ari yang menjadi penghalang antara dirinya dan mantan istrinya itu. Ata, yang masih memeluk Mama, juga ikut membentak Papanya, “Papa mendingan pergi! Jangan ganggu Mama!”
Papa tidak mempedulikan semua bentakan dari anak-anaknya. Matanya menatap lurus kepada mantan istrinya yang menangis di pelukan Ata. “Widia,” panggilnya berat. “Ini peringatan terakhir! Ata milikmu, dan Ari milikku. Semua sudah sah dan jelas secara hukum sejak bertahun-tahun yang lalu. Kalau sampai sekali lagi Ari berani menemuimu, aku tak akan segan-segan membawa dia pergi lebih jauh.”
“Apa salahnya sih, Pa?!” teriak Ari frustasi. “Dia Mama aku! Nggak ada orang sekejam Papa yang tega melarang anaknya ketemu ibunya sendiri!”
“Diem kamu! Papa nggak suka kamu deket-deket sama wanita ini lagi!” bentak Papa.
Wanita ini? Setelah lebih dari delapan tahun kebersamaan mereka dulu, setelah semua cerita cinta yang sempat mereka rajut bersama, sekarang Papa bahkan tidak sudi menyebut Mama dengan panggilan “Mama-mu”, atau paling tidak nama mamanya. Apa yang membuat Papa begitu membenci Mama? Mendadak Papa menarik tangannya. “Pulang!”
Ari merasa hidupnya hancur seluruhnya. Remuk redam. Hingga tak ada kuasa untuk melawan perintah papanya. Bukan berarti ia mau menerima. Tapi cowok itu sudah terlalu lelah untuk menolak. Tidak ada lagi yang tersisa dari dirinya. Dalam satu hari ini, semuanya terkuras habis. Tidak ada cukup emosi untuk menyeretnya lebih jauh ke dalam masalah di hadapannya. Ari ingin berhenti, ingin mengakhiri semua ini. Mengunci otak serta mematikan hati, agar tak ada lagi perkara rumit yang masuk ke sana dan mengganggunya.
“Mas,” panggil Mama tepat saat Ari dan Papanya mencapai pintu pagar. Keduanya kontan berhenti. Ari menoleh ke arah Mama, sementara Papanya bergeming. Mama melepaskan diri dari pelukan Ata, kemudian maju satu langkah. “Terima kasih,” katanya serak. “Makasih udah ngerawat Ari dengan baik. Sampai dia udah segede ini. Tolong, ijinin aku meluk dia sekali ini, sebelum aku sama Ata balik ke Malang.”
Ari dan Ata membelalak. Kedua kembar itu bertatapan kaget. Mama dan Ata mau pulang ke Malang secepat ini?
“Ri...”
“Nggak! Kita pulang!” Papa kembali menyeret tangan Ari, meninggalkan Mama yang kembali menangis dan Ata yang dengan sigap kembali memeluknya. Papa mengambil kunci motor Ari.
“Naik!” bentaknya.
Tubuh Ari bergerak seperti robot, naik ke boncengan Papa tanpa bisa membantah. Untuk terakhir kalinya, ia dan Ata bertatapan.

***

Tiba di rumah, Ari melesat masuk ke kamarnya dan menutup pintu dengan bantingan. Tubuhnya langsung ambruk ke tempat tidur, serasa tak bisa digerakkan lagi. Ia hanya bisa memejamkan mata. Dalam kegelapan yang kini menyelimuti pandangannya, dua wajah muncul bersamaan di hadapannya. Dua wajah dari sosok orang yang menyandang nama yang serupa, yang sama-sama disayanginya sepenuh hati. Matahari Jingga dan Jingga Matahari.
Kini Ari dihadapkan dua jalan yang berbeda, yang membuatnya harus meninggalkan salah satu matahari yang disayanginya. Ia harus memilih. Antara Ata dan Tari. Satu jalan bersama Ata serta mamanya, ataukah jalan yang lain bersama Tari. Keinginan untuk pergi bersama Mama dan Ata, ikut ke Malang, mendadak terlintas dalam benaknya saat perjalanan pulang tadi.
Bayangan berkumpul bersama Mama, Ata, Mbah Uti, Mbah Kakung, Pakde, Bude, dan seluruh keluarga serta sepupu-sepupunya berhasil menghangatkan hatinya. Kebersamaan, kebahagiaan. Dua hal yang tidak pernah Ari dapatkan sejak ia tinggal berdua saja dengan Papa. Ari sama sekali tidak keberatan meninggalkan kemewahan hidupnya di Jakarta ini. Tapi ia sangat keberatan untuk meninggalkan Tari.
Gadis itu kini telah menjadi bagian dari hidupnya. Tidak mungkin dia tinggalkan begitu saja. Kalau dia ikut Mama ke Malang, kemungkinan dia akan bertemu lagi dengan Tari sangat kecil, sangat jarang. Perjalanan Jakarta-Malang bukanlah perjalanan murah kalau mengingat kondisi ekonomi Mama. Dan lebih tidak mungkin ia mengajak Tari ke Malang.
Dan lagi-lagi jalan yang bercabang tadi menyiksanya. Sanggupkah Ari membiarkan salah satu matahari tenggelam? Menghilang dari hidupnya? Seperti bertahun-tahun yang lalu, ketika kedua orang tuanya memisahkannya dengan Ata, ia hancur. Dan kini kehancuran yang sama mulai membayang.
“Apa sih yang tersisa dari lo?” dengus Ari pahit. “Sombong banget elo, Ri. Sok takut sama yang namanya ancur. Kayak idup lo belom ancur aja, masih pantes dipertahanin. Haha,” Cowok itu tertawa kecut. Sedetik, ia kembali terdiam, berusaha keras mengosongkan pikiran dan membunuh kesadarannya.

***

Pukul delapan malam, Tari mencoba menghubungi Ari, tapi semua panggilannya tidak diangkat, juga semua pesan singkatnya tidak ada yang dibalas.
“Ari kenapa, sih?” desahnya sambil tengkurap di tempat tidur Fio.
Fio menutup buku Fisikanya, dan ikut merebahkan diri di samping Tari. “Kenapa?”
“Masa panggilan gue nggak ada yang dijawab? Malah harusnya kan dia yang lebih dulu nelepon gue dari tadi. Nanya kabar kek, apa kek. Masa dia nggak khawatir sama gue?”
“Udah tidur, kali,” jawab Fio asal.
Tari tertawa mendengus. “Ngaco lo. Ini baru jam berapa? Ari itu bukan tipe cowok yang akrab sama kata tidur. Dia kalo malem kerjaannya melek kayak kelelawar. Tidurnya kudu lebih dari tengah malem.”
“Bisa aja dia kecapekan. Lo sendiri nggak capek?”
Tari menggeleng lesu. “Gue justru khawatir sama Ari. Takut dia ada masalah lagi sama bokapnya.” Perasaan Tari memang kurang enak sejak tadi. Ia mempunyai firasat buruk tentang cowoknya yang entah sedang apa itu. Apalagi tidak ada kabar sejak terakhir kali Ari meninggalkannya di rumah Fio.
“Makanya lo tidur aja, biar besok cepet ketemu di sekolah.”
Benar. Tari hanya bisa menunggu sampai besok pagi. Akhirnya ia menarik selimut Fio, dan merangkupkannya ke tubuh hingga menutupi setengah kepalanya yang berdenyut sakit. Ia kembali teringat tas sekolahnya tertinggal di SMA Brawijaya. Kemungkinan besar pentolan mereka yang membawanya sekarang. Itu artinya, Angga akan datang menemuinya tidak lama lagi.

***

Tari berhasil melewati malam tanpa menjerit histeris seperti yang ditakutkan Fio dan Ari, juga dirinya sendiri. Tidurnya tidak bermimpi. Semuanya gelap. Tapi entah kenapa pada tengah malam matanya mendadak terbuka lebar dan dia bangun terduduk.
“Fi,” panggilnya pada Fio yang tidur memunggunginya. Fio tidak menyahut, masih terlalu asyik dengan mimpinya sendiri. Tari mendesah. Ia tahu ini kejam dan kurang manusiawi, tapi diguncangnya bahu Fio, memaksa temannya itu untuk bangun.
“Fiooooo....”
“Mm, apaan sih, Tar?” erang Fio malas, tidak membuka mata atau membalikkan badan untuk menatap Tari.
“Jangan molor sendirian, dong. Temenin gue. Gue nggak bisa tidur.”
Kembali tidak ada sahutan. Fio rupanya kembali terseret ke alam mimpi. Lagi-lagi Tari mendesah, menyerah. Ia hempaskan tubuh kembali ke bantal-bantal sambil meraih ponsel untuk memeriksa, kalau-kalau Ari membalas salah satu SMS-nya. Tidak ada. Layar ponselnya kosong, hanya memberitahunya kalau saat ini sudah pukul 1 dini hari.
“Seriusan, gue cemas sama elo,” desisnya pelan kepada ponsel di genggamannya. Aneh memang. Yang harus dicemaskan adalah keadaan dirinya sendiri, tapi kenapa ia malah terus-terusan mengkhawatirkan keadaan Ari?
Entah untuk keberapa kalinya Tari kembali mencoba menghubungi nomor Ari. Tetap tak ada jawaban. Mendadak ia teringat sesuatu. Cepat-cepat ia membuka kotak masuk di fitur pesan dan mencari nomor Ata. Masih ada! Tanpa peduli sekarang masih terlalu malam untuk menelepon, Tari menghubungi nomor itu. Sambil berharap-harap cemas, ia mendengarkan nada sambung.
“Ya, Tar?” Akhirnya!
“Ng... belom tidur, Kak?”
“Nggak bisa tidur. Kenapa?”
“Sori kalo ganggu. Gue mau nanya tentang Kak Ari. Apa dia ke situ tadi?”
Ata terdiam. Cukup lama ia tidak menyahut. Tari menggigit bibir gelisah. Apa memang benar ada masalah? “Kak...”
“Ya. Tadi dia ke sini,” jawab Ata sebelum Tari sempat bertanya lagi. “Bokap juga ke sini. Dia mergokin Ari dateng nemuin gue sama Nyokap.”
Tari terkesiap. Ternyata memang ada urusan gawat! “Trus? Ada masalah?”
“Jelaslah,” tukas Ata. “Kami ribut besar. Tapi lebih baik lo tanya Ari langsung soal masalah tadi. Gue takut salah bicara.”
“Itu dia masalahnyaaaa...” desah Tari putus asa. “Kak Ari nggak jawab telepon gue dari tadi. Gue takut dia kenapa-napa. Apa dia nggak nelepon Kak Ata?”
“Nggak. Nggak ada kabar dari dia sejak dia diseret pulang sama Bokap,” jawab Ata, membuat Tari ingin menangis saking cemasnya. “Besok kan kalian ketemu di sekolah, jadi lebih baik lo tidur sekarang.”
“Hmm, gue nggak punya pilihan lain. Moga-moga besok Kak Ari nggak madol. Ya udah, Kak Ata. Makasih. Sori udah ganggu malem-malem gini.”
Akhirnya Tari menyerah. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan di malam buta seperti ini. Setelah memutuskan sambungan dengan Ata, sebisa mungkin ia memejamkan mata sambil berdoa setengah mati agar jarum jam bergerak lebih cepat dan matahari segera terbit.

***

“Halo?” jawab Oji saat melangkah keluar gerbang rumahnya.
“Jagain Tari hari ini. Jangan sampe Angga dateng nemuin dia. Pulangnya anterin dia sampe rumah. Sama Ridho kalo perlu. Oh iya, jemput dia pagi ini di rumah Fio. Ngerti?” Sederet perintah dari Ari turun saat itu juga.
Oji langsung paham. “Siap, Bos! Lo sendiri mau ke mana?”
“Gue ada urusan hari ini,” jawab Ari, kemudian sambungan langsung terputus.
Oji menatap layar ponselnya dengan kening berkerut, lalu bergegas mencari taksi untuk menuju ke rumah Fio.

***

“Masa gue berangkat sekolah nggak bawa tas? Lucu deh. Mau belajar apa mau bantuin tukang kebun nyapu halaman?” keluh Tari kepada Fio yang juga menatapnya bingung.
“Gue pinjemin tas gue yang lain deh, sama buku tulis sisa yang belom gue pake. Bawa itu dulu,” putus Fio akhirnya. Ini masalah asli dadakan banget, soalnya Tari baru bilang pagi ini kalau tasnya tertinggal di SMA Brawijaya.
Mau tak mau Tari setuju. “Untungnya hari ini nggak ada PR,” katanya, pasrah.
Selesai sarapan, keduanya berjalan keluar rumah, dan kaget mendapati Oji sudah berdiri menunggu di samping taksi. Oji menyambut kekagetan keduanya dengan senyum.
“Silahkan naik, tuan-tuan putri,” katanya dengan gaya penuh hormat membukakan pintu belakang taksi.
Tari berjalan tergesa menghampirinya. “Kok lo ada di sini? Kak Ari mana?” tanyanya, berharap Oji tau apa yang terjadi dengan Ari.
Namun sayang, Oji menggeleng, membuat tubuh Tari lunglai seketika. “Gue cuma dapet perintah buat jagain lo baik-baik hari ini. Buruan naik.”
Fio mendorong pelan tubuh lemas Tari masuk ke taksi. Ia sendiri duduk di sebelahnya, sementara Oji di depan. Selama perjalanan, tidak ada yang bicara. Hanya Tari yang mengeluh berkali-kali karena percobaannya menghubungi nomor Ari belum juga membuahkan hasil.
“Udahlah, Tar. Kali aja Kak Ari emang lagi ada urusan penting. Kalo udah selesai pasti dia langsung telepon balik elo,” kata Fio akhirnya, tidak tega juga melihat raut putus asa Tari yang hampir menangis.
“Iya, Tar. Paling dia ngilang satu dua hari buat nenangin diri,” timpal Oji.
“Dia lagi ada masalah,” sahut Tari serak. “Kemaren pas dia dateng ke rumah Tante Lidya ternyata bokapnya mergokin dia. Mereka ribut besar.”
Fio dan Oji terdiam kaget. “Ng... trus?” tanya Fio, mewakili rasa penasaran Oji.
Tari menggeleng lesu. “Gue nggak tahu setelah itu gimana.”
“Kok lo tau?” kali ini Oji yang bertanya.
“Semalem gue nelepon Kak Ata. Tapi dia nggak mau ngasih tau detail kejadiannya. Gue disuruh nanya ke Kak Ari langsung. Gimana mau nanya coba kalo yang bersangkutan aja diem dan lenyap kayak ditelan bumi?”
Fio dan Oji kembali terdiam. Untuk selanjutnya hingga taksi berhenti di depan gerbang sekolah, ketiganya membisu.

***

Oji mengawal ketat kedua cewek itu sampai di pintu kelas mereka, meski mustahil juga Angga tiba-tiba nongol di dalem sekolah ini.
“Ntar istirahat gue ke sini. Trus pulangnya juga kalian tunggu sini aja. Gue sama Ridho bakal jemput secepatnya. Kami anterin sampe rumah.”
Fio mengangguk. “Oke. Thanks, Kak,” katanya sebelum membuntuti Tari masuk ke kelas. Tapi langkahnya terhenti begitu mendapati Tari juga tengah berdiri diam di depan kelas. Matanya mengikuti arah pandang Tari, dan langsung menemukan alasan temannya itu terpaku di sini.
Di meja guru, tas oranye milik Tari sudah bertengger manis. Butuh beberapa detik sampai Tari tersadar dan buru-buru mendekati tasnya. Tanpa berpikir dua kali, ia menumpahkan isinya ke meja guru, memeriksanya. Semuanya masih lengkap. Sampai ia menemukan sehelai kertas yang terselip di antara buku-buku paket. Tidak ketinggalan setangkai mawar merah juga meramaikan isi tasnya.

Tar, gue minta maaf. Sori banget atas kejadian kemaren. Tapi asal lo tau, gue sama sekali nggak berniat untuk bener-bener ngerobek kemeja elo. Sekali lagi, sori. Gue terpaksa ngelakuin ini demi Gita.

Angga

“Siapa yang nganterin tas gue ke sini?” tanya Tari ke teman-teman sekelasnya. Namun mereka semua kompak menggeleng.
“Gue yang dateng paling pagi. Dan tas itu udah ada di situ sejak gue tiba,” jawab Jimmy.
Mendadak, Tari balik badan. Sambil tangannya meremas-remas surat dari Angga, ia berjalan cepat keluar kelas, langsung menuju ke kelas Gita. Surat dan mawar dari Angga sudah meluncur ke tong sampah di depan kelas. Untung cewek yang dicarinya sudah berangkat.
“Bisa gue ngomong sebentar sama elo?” katanya memotong obrolan Gita dengan teman sebangkunya.
Gita mendongak agak kaget, tapi ia mengangguk. Begitu tiba di luar kelas, Tari langsung mencengkeram kedua bahu Gita dan menatap cewek itu lurus-lurus. “Git, tolong jangan ikut campur masalah gue dan Kak Ari lagi. Urusannya bisa tambah gawat kalo sampe lo terlibat.”
Kening Gita berkerut bingung. “Ikut campur gimana maksudnya? Gue nggak pernah...”
“Lo kan yang naro tas gue di meja guru?” potong Tari cepat. “Lo disuruh Angga, kan?”
“Tas apa?” Gita tambah bingung. “Gue nggak nerima perintah apa-apa dari Angga sejak kemaren. Sumpah, Tar. Tadi malem emang dia sempet jenguk gue. Tapi kami cuma ngobrol biasa. Sama sekali nggak nyinggung masalah elo ato Kak Ari.”
Giliran kening Tari yang berkerut bingung. Sepertinya Gita tidak bohong. Kembali pertanyaan yang belum terjawab sejak kemarin melintas di benaknya. Siapa yang membantu Angga kalo bukan Gita? Cekalannya di bahu cewek itu terlepas.
“Ada masalah apa sih, Tar? Katanya kemaren pas gue nggak masuk Kak Ari juga nyariin gue di kelas?”
Tari menggeleng. “Rumit banget, Git. Dia nyariin elo juga buat ngasih peringatan agar lo nggak ikut campur masalah kami.”
Tari menatap sepasang mata Gita yang menyorot cemas. Ia menghela napas. Kenapaa juga ini cewek harus sekolah di sini? keluhnya dalam hati, tidak tahu harus menyalahkan siapa.
“Yang penting mulai saat ini elo jauh-jauh gih. Sori, bukannya gue ada maksud jelek. Tapi ini demi keselamatan elo juga. Dan gue juga janji mulai saat ini Kak Ari nggak akan gangguin lo lagi.”

Setelah bicara seperti itu dan mendapat anggukan dari Gita, Tari berjalan meninggalkannya. Tapi belum sampai tiga langkah, cewek itu membalikkan badan lagi. “Dan tolong lo bilangin ke Angga, gue belom maafin dia.”




Bersambung...

Hyaah, kok udah sampe part 7 aja siih? Cepet banget...
Untuk lanjutannya mungkin agak lama, soalnya udah mulai sibuk lagi
Thanks banget udah baca dan thanks juga atas dukungan kalian ^^
Sori kalo aku sering bikin kalian nunggu, hehe #pede
Peluk dan cium hangat buat kaliaan :*

Rabu, 22 Oktober 2014

Jingga untuk Matahari #fanfiction-6

Ari baru saja akan memakai helm ketika tiba-tiba terdengar keributan dari luar sekolah. Siswa-siswi yang tadi membanjiri koridor hingga gerbang depan sekarang arusnya berbalik, kembali berlarian masuk ke dalam sekolah. Suka cita mereka menyambut akhir jam pelajaran kini diganti kepanikan. Ari langsung tahu apa artinya ini.
“Tar, lo balik dulu ke kelas! Nanti gue jemput! Cepet!” teriaknya sambil mendorong tubuh Tari, kemudian dia langsung lenyap di antara kerumunan anak-anak setelah melempar helmnya begitu saja. Terlihat juga beberapa anak buahnya langsung berlari menyusul.
Sejenak Tari kebingungan. Ia hanya berdiri diam sementara anak-anak lain berlarian melewatinya. Lapangan parkir terletak tidak begitu jauh dari gerbang utama. Begitu jumlah anak di sekelilingnya berkurang, ia bisa melihat Oji di depan gerbang sedang berteriak-teriak mengumpulkan pasukan. Suasana di jalanan luar sudah riuh dengan teriakan dan lemparan batu. SMA Brawijaya menyerang. Pantas saja Ari langsung berlari meninggalkannya tadi.
Seketika Tari dilanda panik. Ia membalikkan badan hendak berlari ke kelas seperti yang diperintahkan Ari, tetapi kakinya tidak bisa melangkah saat melihat siapa yang tengah menghadangnya. The Scissors. Keenam cewek anggotanya berdiri tak jauh darinya.
Tari tidak bisa bergerak. Vero yang justru kemudian melangkah menghampirinya. Tatapan penuh kebencian dari cewek pentolan sekolah itu membuat sekujur tubuh Tari tegang dan berkeringat dingin. Untuk kali ini Tari benar-benar sendiri. Ari sedang terlalu sibuk untuk datang membelanya. Inilah yang paling ditakutkan Tari dari sekian banyak daftar resiko jadian dengan Ari. Disamperin Vero.
Beberapa detik, Vero hanya berdiri tepat di depannya dalam diam. Tari sengaja menundukkan kepala untuk menghindari tatapan setajam pedang itu. Anjrit! Mau apa sih ni orang? maki Tari dalam hati.
“Puas lo?” tiba-tiba Vero mendesis perlahan. “Udah puas lo gandeng Ari? Bangga?”
Nekat, Tari mendongakkan kepala, menatap langsung ke mata Vero. Keputusan yang salah. Tatapan Vero langsung melumatnya tanpa ampun, seolah ingin membunuhnya. Kalau saja kakinya tidak terlalu kaku, Tari pasti langsung melarikan diri sejauh-jauhnya.
“Lo injek-injek muka gue di hadapan anak-anak satu sekolah. Lo tunjukkan kalo lo lebih hebat dari gue. Trus sekarang lo ngerasa jadi ratu di sekolah ini gara-gara lo pacaran sama Ari, gitu kan?” bentak Vero. Rasa iri dan benci yang telah ditahannya sejak tahu Tari jadian dengan pangeran impiannya ingin segera ia tumpahkan saat itu juga dalam bentuk ledak amarah. Bahkan sebenarnya dia ingin sekali menyakiti cewek di depannya ini, entah menyakiti secara fisik ataupun mental.
Mulutnya sudah terbuka untuk kembali bicara, tapi tidak jadi ketika terdengar raungan motor memasuki halaman sekolah dan melesat ke arah mereka. Vero spontan mundur selangkah, terperangah. Motor tadi berhenti tepat di belakang Tari. Pengendara motor yang memakai pakaian serba hitam dan helm berkaca gelap menarik tangan Tari.
“Naik! Buruan! Gue disuruh Ari nganterin lo pulang,” teriak si pengendara dari balik helmnya. Mendengar nama Ari, tanpa ragu Tari meloncat naik ke boncengan motor orang yang dikiranya suruhan Ari, merasa ini satu-satunya kesempatan untuk lolos dari Vero. Ia melingkarkan lengan di antara perut dan dada cowok misterius di depannya saat motor melaju kencang meninggalkan halaman sekolah, melewati lajur yang berbeda dengan jalanan yang digunakan untuk tawuran.
“Lo siapa?” tanya Tari. Sekarang rasa curiganya baru timbul setelah terbebas sepenuhnya dari cengkeraman Vero. Tapi yang ditanya tidak menjawab. Tari menjadi tegang. Ketakutan kini mulai merayapi pikirannya, menggantikan semua rasa curiga dan tanda tanya yang tercipta.
“Turunin gue! TURUNIN!!!” jerit Tari panik begitu menyadari pengendara motor ini tidak membawanya pulang, melainkan ke kandang lawan. Ke SMA Brawijaya. Tari tahu sekarang dirinya akan menjadi tawanan di sana. Memaksa SMA Airlangga mengaku kalah dan membuat murka sang panglima perang, yang tak lain dan tak bukan adalah pacarnya, Ari.

***

“Bos! Tari diculik!” teriak Oji setelah berhasil mencapai tempat Ari di bawah perlindungan teman-temannya.
“APA?! Siapa yang bawa dia?!” Reaksi Ari seperti tersengat, sampai selusin anak buahnya langsung berusaha memberinya perlindungan lebih karena Ari tiba-tiba lengah dan cocok menjadi sasaran empuk.
“Gue nggak tahu, tadi...”
Kalimat Oji belum sampai selesai, tapi Ari langsung berlari pergi. Oji mendesah pelan. “Ooi! Cover-in dia!” teriaknya sambil menunjuk Ari yang melesat tanpa perlindungan. Beberapa anak langsung membuntuti. Tapi itu tidak lagi berguna karena sedetik kemudian terdengar teriakan-teriakan, “Mundur! Mundur! Mundur!”
Anak-anak SMA Brawijaya langsung memisahkan diri dari area pertempuran, masih sambil sesekali melempar batu yang tersisa di tangan mereka. Dan Ari tahu penyebabnya hanya satu hal. Tari. Cewek itu telah menjadi tawanan. Dengan geram dan pikiran kacau, ia memacu kakinya lebih cepat ke sekolah. Oji berlari menyusul dan berusaha menyamai langkahnya.
“Siapa yang jaga gerbang tadi?” bentak Ari di antara napasnya yang tersengal, masih murka setengah mati gara-gara ada anak Brawijaya yang berhasil masuk ke daerah kekuasaannya tanpa ketahuan.
“Nggak ada. Biasanya kan gerbang ditutup sama satpam. Kali ini nggak.”
“Goblok!” maki Ari kepada dirinya sendiri, tidak menyangka dirinya bisa dibodohi sedemikian rupa. Bagaimana bisa ia tidak menyadari sasaran utama Angga adalah Tari? Cewek yang ia tinggal begitu saja tanpa perlindungan jelas akan terambil dengan mudah. Yang membuatnya heran, kenapa Tari tidak langsung kembali ke kelas seperti perintahnya tadi? Tiba di samping motornya, seseorang yang tidak diharapkan ternyata sedang menunggu di sana. Seketika Ari mendapat jawaban atas pertanyaannya tadi.
“Ari,” panggil Vero. Ari menatapnya sengit. Pasti dia yang menahan Tari tetap di sini tadi. Brengsek! Gara-gara tu cewek Tari jadi diculik! Ari semakin geram. Raut wajah Vero terlihat panik, tapi Ari tahu itu hanya kedok. Berpura-pura khawatir padahal dia sendiri yang mengumpankan Tari. Bah! Cewek kurang ajar!
“Inget, urusan kita belom selesai!” bentak Ari kepada cewek itu, yang seketika memucat mendengar gelegar murka darinya.
“Bos, perlu bawa anak-anak nggak?” tanya Oji.
“Nggak! Gue ke sana sendiri.” Karena akan lebih gawat urusannya kalau sekolah mereka menyerang balik SMA Brawijaya. Nasib Tari lah yang dipertaruhkan. Tanpa mengacuhkan lebih lama, Ari naik ke atas motor dan langsung pergi dari situ.

***

Motor berhenti di lapangan parkir SMA Brawijaya. Tari segera meloncat turun, berniat melarikan diri. Tapi tangannya langsung dicekal begitu kakinya menyentuh tanah.
“Lepasin!”
Cowok yang mencekal tangannya mengangkat kaca helm. “Biar lo bisa lari? Nggak kalo gitu.”
Tari terperangah. “Angga?”
Angga justru melempar senyum manis. Ditariknya tangan Tari mendekat dan ia membungkukkan badan sedikit. “Jangan lari. Bakal sia-sia dan buang tenaga. Ngejar elo kayaknya bukan hal yang sulit.”
Tari langsung menyadari hal itu. Kecepatan berlarinya pasti tidak bisa diandalkan kalau Angga mengejarnya. Setelah memastikan cewek itu tidak akan melarikan diri, Angga melepaskan cekalannya. Tari tetap berdiri diam sementara cowok itu melepas helm dan jaket hitamnya. Sesaat, Angga menatap Tari dengan kening berkerut.
“Kayaknya lo bakal abis di sini kalo nggak sembunyiin tuh badge sekolah lo. Nih, pake.” Ia menyodorkan jaketnya kepada Tari, yang diterima cewek itu dengan ragu-ragu. “Nggak pa-pa kegedean dikit. Daripada nggak selamet.”
Tari menghela napas panjang. Dengan berat hati, ia memakai jaket hitam Angga dan menarik retsletingnya hingga menutup penuh. Tiba-tiba terdengar suara mobil memasuki gerbang sekolah. Tiga buah mobil meluncur dan berhenti di lapangan parkir, di dekat Angga dan Tari. Angga menggandeng tangan Tari yang refleks bersembunyi di balik punggungnya. Ia tahu gadis itu takut. Sendirian di kandang lawan. Menjadi tawanan. Melihat teman-temannya kembali jelas makin membuat gadis itu mengkeret ketakutan.
Bram turun dari kursi sopir mobil pertama, disusul teman-temannya yang lain, yang tertawa-tawa penuh kemenangan.
“Ide lo hebat juga, Ga. Kita dapet permaisurinya, nih,” kata Bram sambil melirik Tari, lalu meringis lebar.
Angga tertawa. “Kita rayain di kantin. Suruh dua orang jaga di gerbang. Bentar lagi Ari ke sini.”
Kengerian mengiringi setiap langkah Tari yang diseret ke kantin. Ia menjadi satu-satunya cewek dalam rombongan prajurit tawuran SMA Brawijaya ini. Kantin sudah hampir kosong dari siswa-siswi. Mereka yang masih di sana buru-buru keluar begitu rombongan Angga datang, hingga yang tersisa hanya para pedagang.
Di kantin itu, Tari duduk diapit Angga dan Bram. Karena sudah tidak ada anak lain selain mereka, Angga meminta Tari melepas jaketnya. Di sekelilingnya, para cowok tidak berhenti menggoda. Tari tak bisa berkutik. Wajahnya merah padam menahan malu. Bibirnya kaku terlalu banyak memamerkan senyum terpaksa. Dalam hati ia berdoa setengah mati agar bisa segera terbebas dari keadaan ini.
“Jangan diganggu terus, ah,” tegur Angga kepada teman-temannya, menyadari cewek di sebelahnya sangat tidak nyaman dengan ulah mereka. Tiba-tiba tangannya merangkul bahu Tari. “Kasian dia. Lo juga, jangan deket-deket duduknya, Bram.”
“Lah lo sendiri nempel gitu,” protes Bram, tapi beringsut menjauh juga.
Angga tertawa. “Tari nggak takut sama gue. Ya nggak, Tar?”
Tari terbebas dari keharusan menjawab ketika ponsel Angga berbunyi. Kening cowok itu bekerut sebentar ketika membaca nama yang tertera di layar. Ia mengisyaratkan teman-temannya agar diam, kemudian berbisik kepada Tari sebelum menempelkan ponsel ke telinga, “Kayaknya cowok lo udah dateng.”
Tubuh Tari menegang mendengarnya. Ari datang. Apa yang akan terjadi setelah ini?
“Ya?” sahut Angga.
“Orang yang lo tunggu dateng,” jawab Andra yang bertugas berjaga di gerbang.
Belum sempat Angga menjawab, tiba-tiba ponsel Andra berpindah tangan. Terdengar suara Ari yang mendesis marah di ujung sana, “Keluar lo, bangsat!”
Angga tertegun sesaat mendengar suara Ari, tapi kemudian ia memperdengarkan tawanya dengan nada penuh cemooh. “Heh, lo bisa apa? Cewek lo ada di pelukan gue sekarang. Masuk aja kalo berani. Gue di kantin.”
“Setan lo!” bentak Ari dengan amarah meledak. Sambungan terputus saat itu juga.
Lagi-lagi Angga tertawa. Dimasukkannya ponsel ke saku celana, kemudian dia berdiri. “Bram, gue titip Tari sebentar.”
“Siap! Dia aman sama gue.” Bram menyeringai lebar, diikuti beberapa teman.
Angga tersenyum geli, namun dia melontarkan peringatan dengan sorot mata bersungguh-sungguh. “Jagain dia baik-baik. Jangan digodain keterlaluan apalagi dicolek-colek, ngerti?”
“Kita nggak sejahanam itu, kok,” tukas Bram dengan gaya meyakinkan.
“Gue pegang omongan lo. Tar, gue keluar dulu.”
“Jangan lama-lama,” bisik Tari cemas. Wajahnya memucat begitu Angga keluar dari kantin. Mampus! Mampus! Mampus! jeritnya berulang kali dalam hati. Angga yang menjadi satu-satunya alasan dia merasa aman sekarang tidak ada lagi di sini.
“Keadaan berbalik sekarang,” kata Bram, menggeser duduknya lebih dekat ke Tari. Cowok itu masih menyeringai lebar, membuat Tari tambah ketakutan. “Biasanya Gita yang jadi tawanan Ari. Sekarang giliran lo jadi tawanan gue. Biar cowok lo tau gimana rasanya cewek yang dia suka ada di tangan lawan.”
Oooh, jadi si Bram suka sama Gita? Baru tahu. Tanpa sadar Tari mengangguk-angguk.
“Tapi tenang aja. Gue bukan orang jahat, Tar,” kata Bram lagi.
“Boong, tuh. Lo musti ati-ati sama dia. Omongannya kagak bisa dipercaya,” tukas Tomi.
“Eh, diem lo, dasar Voldemort.”
Tomi hidungnya emang pesek banget sampai-sampai dijuluki Voldemort, musuh bebuyutannya Harry Potter yang nggak punya batang hidung. Cowok itu langsung cemberut dan membalas perkataan Bram, tapi Tari tidak terlalu memperhatikan keributan di sekelilingnya. Dia menoleh-noleh cemas ke pintu kantin, ingin tahu apa yang terjadi di luar sana, dan berharap semoga tidak ada hal buruk yang terjadi. Tapi ia sadar keinginannya mustahil kalau mengingat Ari dan Angga adalah jenis orang yang lebih baik tidak dipertemukan satu sama lain.

***

Angga melangkah keluar kantin dengan agak cemas karena meninggalkan Tari sendirian bersama teman-temannya, yang kadang ulahnya pada geblek-geblek. Bisa dibilang ia telah menempatkan Tari dalam bahaya besar. Tapi ada Bram di sana, yang membuatnya berani mengambil resiko tadi. Dari sekian banyak teman dan anak buahnya, hanya sohibnya itu yang paling ia percaya. Jadi Angga yakin kalau dia berkata “jaga”, maka Bram akan “menjaga” dengan sungguh-sungguh. Kini yang harus menjadi pikiran utama adalah rivalnya.
Tiba di gerbang depan, ia melihat Ari sedang berlutut di depan Andra dengan bertelanjang dada, mengakui kekalahan atas nama sekolahnya. Kemeja seragamnya sudah tergeletak di tanah dan terinjak-injak tak lagi berbentuk. Rahang kirinya agak membiru, menandakan bahwa dia baru saja terkena pukulan. Mungkin Andra menghadiahinya jotosan untuk merebut kembali ponsel dari tangan Ari tadi.
Angga tersenyum geli dan mendecakkan lidah. Ari yang mengetahui kedatangannya refleks bangkit berdiri dan langsung menghampirinya, mencekal kerah kemejanya dengan marah.
“Lepasin dia!” geram Ari penuh ancaman.
Andra dan Rizki, dua orang yang sejak tadi bertugas berjaga di gerbang, segera bergerak untuk menarik Ari menjauh, tapi Angga mengangkat tangan kanannya, menahan.
“Kalian berdua masuk aja,” perintahnya, yang segera dituruti Andra dan Rizki tanpa banyak bertanya. Karena mereka tahu dua orang di hadapan mereka ini adalah musuh bebuyutan sejak lama. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kegiatan saling serang antara SMA Brawijaya dan SMA Airlangga bukan sekadar unjuk kebolehan biasa. Ada dendam terselubung di dalamnya. Ada masalah pribadi antar para pentolan sekolah mereka yang tak bisa terselesaikan di balik semua penyerangan itu.
Angga baru mencurahkan perhatiannya kepada Ari setelah kedua anak buahnya tak terlihat. “Jangan macem-macem,” katanya memperingatkan. Tangannya melepas cekalan Ari dengan kasar. “Sekarang lo ada di wilayah gue. Cewek lo ada di tangan gue.”
“Cuma banci yang ngomong gitu! Lepasin Tari, ato...”
“Lo pikir lo bukan banci? Siapa yang selalu bawa-bawa Gita buat ngancem orang lain?” bentak Angga sengit, lalu mendengus keras. “Hh, lo tau ini. Keliatannya sekarang kita seimbang.”
“Lo mau gue ngelepasin Gita?” desis Ari.
“Ikut gue,” sahut Angga tanpa menjawab pertanyaan Ari. Cowok itu membalikkan badan begitu saja, melangkah masuk ke dalam sekolahnya. Ari berjalan mengikuti. Keduanya menarik perhatian semua mata yang masih ada di halaman sekolah. Diiringi beberapa tatap penasaran itu, akhirnya keduanya tiba di kantin, berhenti di ambang pintunya.
Sepasang mata Ari membelalak lebar melihat Tari yang sedang duduk dikelilingi begitu banyak cowok. Sedetik, tatapan mereka bertemu. Tari ikut terbelalak. Melihat gelagat tubuh Tari, Ari segera memberi isyarat dengan gelengan kecil dan cepat, meminta Tari untuk tidak bergerak.
Tari terpaku di tempat. Belum pernah dalam hidupnya ia merasakan dorongan kuat untuk lari ke pelukan Ari. Namun untuk saat ini, menurutnya, rengkuhan lengan cowok itu adalah tempat teraman di dunia. Setelah mendapat satu gelengan kecil sekali lagi, Tari berhasil menahan kakinya untuk tidak berdiri apalagi berlari. Gadis itu sadar dia hanya akan membahayakan dirinya dan Ari kalau sampai dia melarikan diri sekarang. Terlalu banyak anak buah Angga di sini, di sekeliling mereka.
Bram melihat keberadaan Ari dan Angga di ambang pintu kantin. Kontan dia bersiul keras untuk menarik perhatian, terutama perhatian Ari. Begitu cowok itu menatap ke arahnya, Bram bangkit dan berdiri di belakang Tari, kemudian kedua lengannya mendadak memeluk tubuh Tari. Ketika Tari memberontak, diciumnya pipi gadis itu.
Kekagetan Ari saat melihat Bram memeluk Tari seketika meledak menjadi amarah nyata. Kakinya sudah akan melangkah memasuki kantin, tapi tangan Angga mendorongnya menjauh dan sebuah tinju keras mendarat di rahang kirinya. Tari yang sedang berusaha melepaskan diri jelas tersentak melihat kejadian itu. Namun semakin keras usahanya melepas pelukan Bram, semakin ketat pula kedua lengan itu menahannya.
“Diem!” desis Bram di samping telinga Tari. “Kalo lo nggak mau gue tambah nekat,” tambahnya.
Tak ada yang bisa dilakukan Tari selain bersikap kooperatif. Sementara itu, kemarahan Ari sudah berada di puncaknya. Cowok itu sampai mempersetankan di mana dia berada sekarang. Di kandang musuh kek, bodo amat. Dengan gerakan kilat dan tak terduga, dibalasnya pukulan Angga hingga tinju kanannya berhasil mendaratkan bogem mentah telak di hidung cowok itu, yang langsung mengucurkan darah setelah sebelumnya terdengar bunyi krak cukup keras.
“Sialan!” geram Angga dengan hidung terbekap. Lewat sudut mata, ia bisa melihat teman-temannya bangkit dari bangku untuk membantunya, tapi lagi-lagi dia mengangkat tangan, meminta teman-temannya tetap diam di tempat. Melihat itu sebagai kesempatan, Ari berlari masuk ke kantin. Tepat sebelum ia mencapai tempat Bram yang masih memeluk Tari, Angga meraih bahunya dan memberinya pukulan lagi. Kali ini telak di ulu hati. Begitu kerasnya hingga Ari terdorong mundur menabrak tepi salah satu meja.
“Gue ngundang lo ke sini bukan mau ngajakin lo berantem!” bentak Angga. “Gue mau bikin perjanjian sama lo. Bram, bawa Tari ke sini.”
Dengan satu sentakan, Bram menarik Tari hingga berdiri dan menyeretnya ke tempat Angga.
“Lepasin tangan lo dari dia, brengsek!” bentak Ari.
“Kenapa? Ceweknya aja diem gini,” tantang Bram sambil menyeringai mengejek.
“Lo...” Ari bergerak maju, tapi Angga menghadangnya dan kembali mendorong tubuhnya mundur.
“Kalo lo berani bergerak, gue akan suruh Bram bawa Tari pergi dari sini. Dan nggak akan ada ampun buat lo!” Ancaman itu berhasil membuat Ari tak berkutik. Angga kemudian melipat tangan di depan dada. Sepasang matanya menatap Ari lurus-lurus. “Lo tau? Itulah rasanya tiap kali gue ngeliat Gita. Pingin ngelindungi, tapi nggak bisa, nggak berdaya. Skakmat!” ucapnya tajam dan perlahan. “Setiap kali gue mau bertindak, selalu aja dibayangin lo yang bakal nyakitin Gita. Gue tahu Gita ada di wilayah lo, jadi lo bisa seenaknya manfaatin dia. Jadi sekarang gue mau kita bikin perjanjian.”
Ari balas menatap Angga. Keduanya saling tatap dengan sorot menantang. Kemudian Angga berbicara lagi dengan volume kecil, namun tetap bisa didengar di seantero kantin karena suasana yang mendadak sunyi.
“Kalo sampai lo libatin Gita ke dalam masalah lagi, Tari jadi milik gue.”
Ari dan Tari kompak ternganga mendengar isi perjanjian yang Angga ucapkan. Selama beberapa detik tak ada yang bersuara di antara mereka. Sepasang mata Ari yang tadinya membelalak perlahan menyipit tajam. “Kenapa gue harus setuju sama perjanjian busuk lo itu?”
“Karena kalo nggak lo setujui sekarang juga, jangan harap Tari bakal selamet hari ini.” Angga bergerak mundur perlahan, mendekati Tari dan Bram tanpa melepas tatapannya dari Ari. Kemudian dagunya bergerak sedikit ke arah Ari, memberi petunjuk untuk teman-temannya.
“Pegangi dia.”
Dua orang yang bertubuh paling besar melesat maju dan memegangi Ari, yang langsung berontak hebat. Sementara Bram mencekal kedua lengan Tari makin erat, menguncinya. Ia hadapkan tubuh gadis itu ke arah Angga.
“Angga! Mau ngapain lo?!” jerit Tari dengan suara bergetar ketakutan.
Angga membungkukkan badan sedikit untuk menatap Tari tepat ke mata. Tangannya terulur maju, mengusap kedua pipi Tari. “Tar, gue minta maaf,” katanya pelan. Penuh sesal, namun menyimpan makna tersendiri di baliknya. “Sekarang kehormatan lo ada di tangan Ari.”
“Apa maksud lo?” tanya Tari tercekat.
Angga menoleh ke arah Ari dengan senyum tipis. “Ucapin janji lo, ato lo bakal liat seragam Tari robek.”
APA?! Ari dan Tari kembali terkesiap, tapi teman-teman Angga malah meringis lebar, beberapa di antaranya bahkan berani bersiul. Seketika Ari bergerak kalap. Tubuhnya memberontak liar. Namun tenaganya tidak cukup kuat untuk melawan dua orang yang tengah memeganginya sekarang. “LEPASIN DIA! LEPASIN!” teriaknya dengan suara menggelegar, seolah dengan begitu tekad Angga akan goyah. “Lepasin dia! Gue bunuh lo kalo sampe lo nyentuh dia! LEPASIN!!”
Angga tertawa mendengus. “Mau bunuh gue? Coba aja kalo bisa.” Perhatiannya kembali kepada Tari. Tangannya yang tadinya menangkup kedua pipi Tari kini bergerak turun sampai menyentuh kerah kemeja gadis itu. Jelas saja Tari ketakutan setengah mati. Satu sentakan saja dari tangan Angga sudah cukup untuk membuka seluruh kancing kemejanya bersamaan. Tak ia sangka Angga tega melakukan hal seperti ini kepadanya. Air matanya meleleh turun, menimbulkan isakan yang tak bisa ia tahan lebih lama. Tenggorokannya terlalu sakit untuk bicara atau memohon.
“Ini bakal jadi jawaban, Tar,” kata Angga, tetap dengan nada lunak dan lembut. “Kita akan segera tau apa Ari bener-bener sayang sama elo ato nggak.”
“Oke! Gue terima!” teriak Ari tiba-tiba. “Gue terima perjanjian ini! Lepasin dia sekarang juga!”
Angga tersenyum menang. Segera ia tarik tangannya dari kerah kemeja Tari, yang sejak awal memang tak ada niat sama sekali untuk benar-benar merobek kemeja gadis itu seperti ancamannya tadi. Sudah ia duga Ari tak akan bisa bertahan lebih lama. Angga menegakkan badan, kemudian berjalan mendekati Ari yang sekarang dalam posisi berlutut berkat paksaan dari dua temannya.
“Ucapin yang jelas isi perjanjian kita. Gue mau bikin bukti.”
Ari menundukkan kepala sejenak, berusaha setengah mati meredam emosi. Napasnya makin memburu meski ia telah mencoba mengaturnya. Belum pernah dia merasa begitu terhina seperti ini. Bahkan momen saat pertama kali Bram memaksanya berlutut terasa tak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan apa yang didapatnya hari ini.
“Heh! Lo budek?! Bilang sekarang!” bentak Angga tidak sabar.
Ari menarik napas panjang-panjang. Rahangnya terkatup kuat hingga giginya bergemeletuk. Ketika kemudian dia berbicara, suara yang keluar tidak lebih dari sebentuk desisan geram, “Kalo sampai gue libatin Gita ke dalam masalah lagi, Tari jadi milik elo.”
Terucap sudah janji yang terabadikan oleh salah satu teman Angga, yang sejak tadi bertugas merekam semua adegan ini. Bram melepaskan cekalannya dari tangan Tari, dan segera ditangkap oleh Angga tubuh gadis itu.
“Pastikan dia pegang janjinya,” bisiknya pada Tari yang masih belum berhasil meredakan tangis. “Atau lo bakal jadi milik gue.” Sesaat, Angga mempererat pelukannya sebelum akhirnya ia lepaskan. Kedua teman Angga yang memegangi Ari menyeret cowok itu keluar dari kantin, kemudian mendorongnya hingga Ari jatuh tersungkur. Tari buru-buru menghampiri dan berlutut di sebelah Ari yang tengah berusaha mengumpulkan sisa harga dirinya yang hancur diinjak-injak oleh Angga.
Kedua matahari itu kemudian berdiri bersama. Ari menatap Tari dengan penuh luka. Jemarinya bergerak cepat menghapus air mata di pipi gadis itu, lalu tatapannya beralih kepada Angga. Tidak ada kata yang terucap, tapi ancaman yang mematikan jelas tertangkap dari sorot mata Ari. Angga tak menanggapinya sama sekali, hanya balas menatapnya dengan datar, karena ia tahu, angin kemenangan sekarang tengah berembus ke arahnya.
Ari meraih tangan Tari untuk menyeretnya pergi dari situ, berlari ke tempat motornya terparkir. Cowok itu melarikan motor gila-gilaan tanpa peduli dirinya bertelanjang dada. Tari memeluk pinggangnya erat dari belakang. Pikiran keduanya sama-sama kosong. Dalam waktu beberapa menit, Ari tak bisa memutuskan kemana dia akan memacu motornya. Sampai satu kata itu tiba-tiba terlintas di benaknya. Rumah.

***

Kemegahan rumah Ari kali ini tak mampu menarik perhatian Tari. Ketika motor yang ditumpanginya berhenti di depan gerbang yang tinggi menjulang, ia tetap bergeming. Tak ingin ia lepaskan pelukan lengannya dari tubuh Ari. Kulit cowok itu terasa dingin. Dirasakannya tangan Ari menyentuh kedua lengannya yang berpaut di antara dada dan perut cowok itu. Tari menempelkan sebelah pipi ke punggung Ari yang juga terasa dingin.
Untuk sesaat, keduanya melekat. Tidak bersuara. Tidak bergerak. Tidak peduli keadaan di sekeliling mereka. Ruang dan waktu kehilangan arti. Masih terlalu banyak emosi di dalam hati yang bercampur baur. Seperti tali yang saling menjalin, dan ketika keduanya menemukan ujungnya, yang ada hanyalah rasa sakit.
Ari menghela napas berat. “Tar,” panggilnya pelan. “Yuk, turun.” Dengan lembut, diuraikannya lengan Tari dari tubuhnya.
Tari ikut menghela napas sejenak sebelum turun dari motor. Kakinya yang goyah ia paksakan bergerak saat Ari menggandengnya masuk. Keduanya melangkah cepat menyeberangi halaman rumah. Ari menutup pintu begitu mereka masuk ke dalam rumah. Ditariknya Tari ke pelukan. Tarikan tadi membuat gadis itu menubruk tubuhnya hingga Ari terdorong mundur, bersandar pada pintu. Tak ia pedulikan sakit pada punggung telanjangnya yang tergurat ukiran kayu di pintu ketika keduanya meluruh jatuh hingga terduduk bersama di lantai yang dingin. Menerima kekalahan yang secara realita bukan milik SMA Airlangga, tapi mutlak kekalahan mereka berdua.
Ari memeluk tubuh Tari erat, seolah takut matahari itu akan hilang dalam sekejab kalau ia tidak menahannya kuat-kuat. Perasaannya kian berkecamuk. Keberadaan Tari dalam pelukannya kini tengah terancam. Kesalahan langkah, sedikit saja, akan membuat gadis ini jatuh ke tangan Angga. Gita yang selama ini menjadi senjata utamanya untuk menghalau Angga mendekati Tari sekarang berbalik menjadi senjata Angga untuk menyerangnya. Gita seratus persen aman. Ari tak bisa menyentuhnya selama rekaman perjanjian yang diucapkannya dalam keadaan terdesak masih ada di tangan Angga.
Tari meringkuk diam di dalam rengkuhan lengan Ari, tenggelam dalam dada yang tak berbaju dan alunan detak jantung cowok itu. Tempat yang dari tadi menurutnya adalah tempat paling aman di dunia ternyata tidak mampu mengusir ketakutannya. Tari yakin pelukan ini mampu melindunginya dari apapun yang ada di dunia luar, tapi tidak untuk apa yang ada di dalam dirinya sendiri. Gelisah, takut, trauma. Hal-hal yang justru lebih menyiksa daripada serangan fisik. Sekuat apapun Ari memeluknya, sedalam apapun Ari melakukannya dengan hati, sebanyak apapun gelombang ketenangan yang berusaha Ari alirkan lewatnya, pelukan ini tidak dapat membantu. Hanya sepasang tangan yang mendekap tanpa Tari dapatkan kehangatannya.
Tari perlahan menyentuh kerah kemeja seragam sekolahnya, tempat yang sama yang disentuh Angga tadi. Tubuhnya mendadak gemetar. Ia menggigil hebat. Terperangkap dalam bayang mengerikan tentang Angga yang berdiri di depannya, mengucapkan kata sesal tapi dengan bibir terkembang licik, dan tangan cowok itu yang memegang ujung kerah, nyaris menyentuh kancing teratas kemejanya. Juga siulan dan tawa menggoda dari teman-teman Angga di sekelilingnya. Tanpa sadar kedua tangan Tari menggenggam erat, meremas kerah tadi.
Ari menyadari tubuh yang ia peluk mulai gemetaran. Guncangan pelan di bahu Tari menandakan gadis itu kembali menangis. Isakan pelan keluar dari mulut Tari, memecah nada hening yang melingkupi bagian dalam rumah itu, juga menggores luka baru di hati Ari yang sudah terlalu sering tersakiti.
“Maaf,” bisik Ari serak, nyaris tak terdengar di sela isakan Tari.
Bisikan itu terasa tidak nyata bagi Tari. Bersumber tepat dari samping kepalanya, tapi terdengar seolah jarak membentang bermeter-meter jauhnya di antara mereka. Lagipula, untuk apa cowok itu meminta maaf? Sebenarnya semua ini salah siapa? Siapa yang seharusnya meminta maaf? Siapa yang bodoh? Siapa yang jahat? Siapa yang terlalu naif? Tidak ada. Dalam kasus ini, pertanyaan seperti itu tidak akan mendapat jawaban yang tepat.
Tari menggeleng-geleng. Ia ingin bicara, tapi dadanya sesak. Tenggorokannya serasa penuh dan perih. Ari juga tidak bersuara lagi. Entah berapa lama waktu yang dilewatkan keduanya dalam posisi seperti itu. Terdiam hingga emosi dalam dada mereka terkuras habis. Ketika kesadaran dan akal sehat mulai merasuki pikirannya, barulah Ari bertanya-tanya dalam hati di mana ayahnya berada. Rumah ini jelas dalam keadaan kosong saat mereka datang. Ia akan sangat bersyukur kalau ayahnya sudah pergi lagi, entah untuk urusan pekerjaan atau yang lain. Ari menyandarkan kepala sejenak ke daun pintu di belakangnya dan memejamkan mata.
“Tar,” panggilnya kepada gadis yang dari tadi diam dengan kepala tersandar di dadanya. Tubuhnya sudah tidak gemetar lagi. Tidak ada sahutan. Ari menunduk dan menelengkan kepala sedikit untuk bisa melihat wajah Tari. Benar saja. Tari tertidur. Senyum kecil muncul di bibir Ari. Beberapa waktu yang lalu, dirinyalah yang tertidur di pangkuan Tari. Sekarang giliran cewek itu yang tertidur di pelukannya. Ari bergerak sedikit untuk memperbaiki posisinya dan posisi Tari, namun tak ia sangka tiba-tiba Tari menjerit keras. Melengking dan sarat akan ketakutan, mengoyak atmosfer sunyi rumah ini dan membuat merinding siapapun yang mendengarnya. Gadis itu masih memejamkan mata, tapi kakinya menendang-nendang dan tangannya berontak berusaha melepaskan pelukan Ari.
“Tar! Tari!” Ari dengan panik mendekap tubuh Tari, berusaha menghentikan gerakan liar gadis itu. “Tari! Lo kenapa?”
Tari membuka mata dan menyadari dirinya tengah dipeluk seseorang. Ia semakin kalap. Digigitnya salah satu lengan yang mendekap tubuhnya. Pelukan itu terlepas seketika dan Tari buru-buru menggeser badannya menjauh, mendorong tubuhnya menggunakan kaki yang masih bersepatu, dan berhenti beberapa meter dari sosok yang tadi memeluknya. Matanya buram oleh air mata. Di luar kesadaran, sebuah teriakan tiba-tiba keluar dari mulutnya, “Jangan sentuh gue! Angga! Lo jahat!”
Tatap nyalang yang menyorot ketakutan itu tertuju padanya, tapi Ari mendengar nama Angga yang keluar dari mulut Tari. Cowok itu tertegun. Traumatis ini begitu nyata dan berlebihan. Tari bahkan sampai menyangka dirinya adalah Angga.
“Sialan,” geram Ari pelan, mengutuk bajingan bernama Angga yang telah membuat Tari jadi seperti ini. Ia bangkit berdiri. Perlahan, seolah takut Tari akan histeris lagi, kakinya melangkah mendekat. Begitu berdiri di hadapan cewek itu, tatapan mereka bertemu. Lagi-lagi luka. Perih kembali berdenyut menggerogoti bukan hanya hati, tapi hingga sekujur tubuh mereka. Dalam satu hari ini, Angga benar-benar berhasil menghabisi Ari. Harga diri, hati, emosi. Bukan luka fisik yang diinginkan Angga, yang Ari yakini lebih bisa ia atasi. Ini lebih kepada siksa batin yang tidak dapat Ari toleransi.
“Ini gue,” kata Ari perlahan. Matanya menatap nanar kepada Tari yang perlahan mulai mengenali dirinya.
Tari mendongak untuk balas menatap cowok yang melangkah mendekatinya. Setelah memastikan cowok itu adalah Ari, ia memeluk lutut dan menangis kencang. “Gue kenapa?” isaknya, bingung dengan dirinya sendiri.
Tar... rintih Ari dalam hati, tidak sanggup melihat Tari seperti itu. Ia jatuh berlutut. Tangannya sudah terulur, tapi segera ditahannya. Ia tidak ingin Tari menolak sentuhannya. Walau mungkin penolakan itu murni karena refleks dan inisiatif Tari untuk melindungi diri, tetap saja akan terasa menyakitkan.
Gelegak lahar kemarahan kini mulai terasa setelah beberapa saat tertutup oleh rasa sedih dan kekalutan. Hanya dalam hitungan detik, amarah itu berhasil melesak keluar dan meledak. Ari kembali bangkit dan melangkah cepat ke meja di ruang tamu itu. Disambarnya vas bunga antik berlukis matahari dan terbuat dari keramik yang harganya menyentuh jutaan, dan dilemparnya dengan kekuatan penuh ke arah dinding.
PRANG!!!
Vas tadi hancur berkeping-keping. Rangkaian bunga jatuh berhamburan dan berbaur dengan pecahan keramik di lantai. Tari menoleh kaget. Tangisnya berhenti seketika.
“Kak...” panggilnya tercekat.
Ari berbalik menghadapnya. Bahunya naik turun dengan cepat, terengah-engah. Luapan amarah yang tidak berhasil dibendungnya belum terpuaskan hanya dengan melempar vas bunga. Matanya bergerak liar mencari sasaran baru. Tangannya mengepal kuat hingga bergetar dan menonjolkan urat-uratnya.
“Kak,” panggil Tari lagi. Susah payah gadis itu berdiri. “Jangan ngamuk.”
“Gue kesel, Tar!” teriak Ari.
“Tapi gue takut, Kak!” Tari balas berteriak.
Ari kembali tertegun. Baru ia sadari tindakannya mungkin membuat gadis yang sedang trauma ini tambah ketakutan.
“Gue mau pulang,” kata Tari lirih.
“Kondisi lo lagi kayak gitu. Nggak mungkin lo pulang. Bisa-bisa nyokap lo khawatir.”
Tari terdiam sesaat. “Trus gue harus gimana?”
“Nginep di rumah Fio. Gue anter. Ato kalo mau, lo bisa nginep di sini.”
“Rumah Fio!” putus Tari segera.
Ari melangkah mendekatinya, kemudian berbisik pelan, “Gue nggak akan biarin lo jadi milik Angga. Lo cuma milik gue, ngerti?”
Dari dulu Tari mengerti itu. Sejak Ari mengetahui nama lengkapnya, cowok itu langsung menganggap sah Tari sebagai milik pribadinya. Kedua lengan Ari memeluknya lagi sebelum cowok itu menggandengnya keluar rumah.




Bersambung...