Selasa, 30 September 2014

Jingga untuk Matahari #fanfiction-2

Ari menghentikan motor di depan rumah Tari. Tanpa menunggu lebih lama, cewek di boncengannya langsung meloncat turun.
“Makasih,” kata Tari sekenanya.
“Inget, ntar jam tujuh, oke?” Ari menaikkan kaca helm dan melemparkan kedipan sebelah mata.
Tari menghembuskan napas keras-keras. “Iya, iyaaa. Nggak usah diingetin terus, gue belom pikun. Udah sana pulang.”
Ari tertawa mendengus. “Elo tuh ya. Suka banget ngusir-ngusir gue.” Diusapnya kepala Tari dengan gemas. “Ya udah. Gue pulang.”
Tari tetap berdiri di tempatnya sampai motor Ari menghilang ditelan gang sempit di ujung jalan sana. Setiap pulang sekolah, Ari memang selalu mampir ke rumah Tante Lidya untuk menemui Mama dan Ata. Oh ya. Ata. Tari belum pernah berbicara lagi dengan Ata sejak cowok itu datang ke rumahnya dan berbicara sesuatu yang nggak jelas beberapa hari yang lalu.
“Bakalan sering bikin gue nangis?” gumam Tari heran ketika kembali mengingat kata-kata Ata. Cewek itu melipat tangan di depan dada. Bibirnya mengerucut, dan sepasang matanya mengawasi jalan masuk gang tempat Ari menghilang tadi. “Aneh. Kenapa sampai sekarang Kak Ata masih diem? Yah, syukur deh kalo dia cuma bercanda soal kata-katanya dulu. Mungkin untuk saat ini gue aman.”
“Aman dari apa?”
Tari terlonjak kaget mendengar suara yang berasal tepat dari belakang telinganya itu. Suara yang cukup lama tidak didengarnya, hingga nyaris terdengar asing. Begitu membalikkan badan, ia semakin terperangah melihat sosok pemilik suara tadi.
Angga menikmati keterpanaan gadis di depannya. Cowok itu membalasnya dengan senyuman lebar. “Lagi ngapain siang bolong begini berdiri di sini?”
“Ang... ga?” Tari menggelengkan kepala tak percaya.
“Ya. Cuma satu-satunya di dunia ini,” sahut Angga nyengir. “Halo, Tari. Udah berapa lama kita nggak ketemu?”
“Ehm, mending lo pulang, deh,” jawab Tari. Seketika ia jadi takut, panik, kalut, tapi juga merasa tidak enak telah mengusir Angga. Perasaannya kacau balau. Ia bahkan lupa bagaimana harus bersikap ramah di hadapan Angga setelah sekian lama tidak bertemu. “Ari masih ada di deket-deket sini. Takutnya kalo dia tiba-tiba nongol.”
Angga mengangkat sebelah bahunya. “Gue nggak takut. Biar aja kalo dia mau nongol. Emangnya kenapa?”
Tari melotot. “Lo nggak mikir kesalemetan sepupu lo kalo sampe Ari tahu lo ada di sini?”
“Tar,” panggil Angga, sengaja menghindari pertanyaan Tari barusan, dan langsung mengajukan pertanyaan inti untuk menyerang balik. “Apa bener lo udah jadian sama Ari?”
“Eh? Ng... itu...” Tari jadi salah tingkah. Harus bilang bagaimana di hadapan Angga? Apa Angga bakalan marah? Mendadak Tari merasa bersalah. Merasa menjadi pengkhianat, entah apa alasannya. Jadian dengan Ari sekarang terasa salah begitu berhadapan dengan Angga. Dilihat dari sudut pandang dirinya sendiri sekali pun.
“Jawab aja yang jujur,” kata Angga lagi. Tidak bermaksud memaksa, bahkan sebisa mungkin ia menunjukkan sikap santai. Ia ingin gadis di hadapannya ini mengatakan kenyataan yang sebenarnya dengan sukarela. “Gue ke sini mau mastiin gosip itu bener ato nggak. Jadi jangan bikin kedatengan gue yang mempertaruhkan keselamatan Gita jadi sia-sia.”
Memikirkan hal itu, akhirnya Tari menjawab takut-takut, “I.. iya, gue emang udah jadian sama Ari.”
Angga mengangguk-angguk. Raut wajahnya datar, begitu sulit ditebak. Sama sekali tak terbaca. Begitu banyak emosi yang berkelebat di sana. Ekspresi seperti itu malah membuat Tari semakin tegang. Akan lebih baik kalau Angga menunjukkan wajah marahnya daripada wajah misterius seperti ini.
“Sejak kapan?” tanya Angga lagi.
Diam-diam Tari kesulitan menelan ludah. “Belum lama, sih. Baru sekitar... dua-tiga minggu yang lalu.”
“Langsung lo jawab?”
“Mm? Apa maksud lo?”
Angga menghela napas, kemudian berbicara lambat-lambat, “Saat Ari minta lo jadi ceweknya, apa langsung lo jawab? Lo langsung mau?”
Pikiran Tari langsung melayang pada hari di mana Ari meminta ia menjadi ceweknya. Hari itu, tubuh Tari serasa luluh lantak karena ia memaksakan diri mengikuti pelajaran olahraga, padahal sejak pagi tubuhnya lemas entah kenapa. Materi pelajaran olahraga hari itu bisa dibilang menyiksa. Lari bolak-balik setengah lapangan berjarak 20 meter dalam waktu dan target yang telah ditentukan. Tari nyaris pingsan. Tapi ia berhasil melewati jam olahraga dan jam-jam pelajaran berikutnya dengan selamat.
Pulang sekolah, ketika ia baru saja menghempaskan pantat ke tempat duduk yang masih kosong di dalam bus, seseorang juga mengambil tempat duduk di sebelahnya. Tanpa mengacuhkan orang di sebelahnya yang ia tahu juga mengenakan seragam SMA yang sama dengannya, Tari menyandarkan kepala ke sandaran kursi lalu memejamkan mata. Mendadak, telapak tangan milik seseorang meraba dahinya. Kontan tubuh Tari berjengit dan kedua kelopak matanya membuka lebar. Belum sempat ia bicara atau menjerit, sebuah suara berat dan bernada rendah mendahuluinya.
“Hangat. Lo sakit?”
Tari menoleh. Ternyata telapak tangan yang kini menempel di keningnya adalah milik Ari. “Elo...”
Saking terpakunya, Tari tidak melanjutkan kata-katanya ataupun berusaha mengenyahkan tangan Ari, sampai Ari sendiri yang menarik tangannya menjauh. “Gue liat lo lemes banget hari ini.”
“Mm,” gumam Tari pelan. Kemudian memejamkan matanya lagi. Kepalanya terasa berat. “Lo ngapain naik bus? Kemana motor lo? Atau jangan-jangan elo berniat buntutin gue ya?”
Ari tersenyum geli. “Elo tuh ya. Sakit, masih aja cerewet. Suka-suka gue dong mau naik bus ato becak. Lagian ngapain juga gue buntutin elo.”
“Serah deh,” gumam Tari lagi. Begitu bus berhenti di halte dekat rumahnya, ia turun. Tanpa disangka, penumpang bus yang tadi duduk di sebelahnya juga ikut turun. Tari menoleh sekilas saat Ari berjalan mengikuti di belakangnya, masih sambil melangkah menuju rumahnya. “Sok-sokan bilang nggak mau buntutin gue. Trus ini namanya apa?” gerutunya dengan suara keras.
Lagi-lagi Ari hanya tersenyum geli. Ia menjaga jarak hanya satu setengah meter di belakang Tari. Tari memilih untuk tidak memusingkan cowok itu. Mau Ari berjalan ke mana kek, dia tidak ingin peduli karena kepalanya bertambah sakit saat ini.
Ternyata perkiraan Ari tidak meleset. Menjelang mereka mencapai pagar rumah Tari, tubuh gadis itu meluruh jatuh. Ari yang sudah berjaga-jaga sejak tadi, dengan sigap menangkap tubuh Tari. Gadis itu tidak pingsan. Matanya yang sayu melebar saat wajah Ari muncul di atasnya. Badannya yang lemas semakin tidak bisa digerakkan ketika menyadari kedua lengan cowok itu merengkuh keseluruhan tubuhnya.
“Ini sebabnya gue ngikutin elo dari tadi,” bisik Ari pelan. Tanpa permisi, ia menggendong tubuh Tari dan membawanya masuk ke rumah. Tari tidak akan pernah lupa bagaimana ekspresi Mama begitu melihat anak perempuannya pulang dalam gendongan seorang cowok.
Mama sempat terpana dengan mimik wajah yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Namun buru-buru ia menyuruh Ari membawa Tari masuk dan membaringkannya di sofa. Dalam waktu yang digunakan Mama untuk mengambil obat, Ari mengurung Tari yang kini tergolek lemah di sofa dengan kedua lengannya.
“Mau ngapain lo?” desis Tari, pelan namun panik.
Ari malah semakin mendekatkan wajah. Bibirnya tersenyum tipis. “Gue belom denger makasih.”
“Makasih,” sahut Tari cepat-cepat. Ingin rasanya ia berteriak menyuruh Ari agar cepat pulang dan tidak mengganggunya. Tapi cowok itu bergeser sedikit pun tidak.
“Gue rasa elo tau, apa yang gue lakukan tadi bukan bentuk perhatian biasa. Nggak ada yang merhatiin kalo wajah lo pucet banget dan badan lo kayak pohon mau tumbang. Cuma gue. Dan mungkin kalo gue nggak peduliin itu semua, lo bakal pingsan di depan sana dan masih tiduran di tanah sampai sekarang dengan ancaman gegar otak. Nggak tau lo nganggep perhatian gue itu jenis perhatian apa, tapi yang gue tahu itu adalah jenis perhatian cowok ke ceweknya.”
Ari menegakkan tubuhnya tepat saat Mama muncul kembali. Tari berusaha mencerna perkataan Ari sementara ia menelan obat yang disodorkan Mama. Pelan-pelan, ia menyadari kemana arah pembicaraan ini. Dan seiring kesadaran itu pula, tubuhnya mendadak tegang. Semuanya tambah kacau ketika Mama meminta tolong Ari untuk sekalian menggendongkan Tari ke kamarnya.
“Nggak usah, Ma. Tari bisa jalan sendiri,” tolaknya setengah mati.
“Nggak pa-pa, Tar. Gue nggak keberatan, kok. Tambah repot kan kalo lo jatoh ntar,” kata Ari kalem. Tari melotot.
Mama mengangguk-angguk mendukung pernyataan Ari. “Mama siapin kamar kamu.”
Ah Mama nih! Tega! jerit Tari dalam hati. Mama berjalan lebih dulu ke kamar Tari. Melihat Ari yang sudah mengulurkan lengan hendak menggendongnya, Tari ingin kabur sejauh-jauhnya, tapi... apa daya. Ia merutuki tubuh lemasnya habis-habisan. Mau tak mau ia kembali terkurung dalam lengan Ari yang mengangkat tubuhnya dengan mudah.
“Jadi, biar lain kali perhatian gue ke elo nggak terasa berlebihan dan ekspresi Nyokap lo nggak kayak tadi lagi waktu liat lo di gendongan gue, kita harus memperjelas status kita,” bisik Ari sambil berjalan.
Sekarang bukan hanya kepala Tari tambah nyut-nyutan, jantungnya pun ikut berdenyut tak karuan. “Maksudnya... gue jadi cewek elo, gitu? Elo jadi cowok gue?”
“Yap, pinter. Tapi elo sendiri yang bakal nentuin hal itu. Gue kasih waktu. Jangan lama-lama.” Tari juga tidak akan pernah lupa kalau Ari mencium keningnya lembut setelah mengucapkan itu.

***

“Tar?” Suara Angga menyentakkan Tari kembali ke alam nyata di mana ia sedang berdiri di hadapan cowok itu siang ini.
“Eh, itu...” Tari menggigit bibir panik. Ini masalah pribadi, dan ia merasa memiliki hak untuk menolak menjawabnya. Angga tak akan bisa memaksa. Namun berdiri di depan Angga secara langsung seperti ini membuatnya kesulitan berbohong, apalagi menolak menjawab. Jadi Tari hanya berkelit, “Lo nggak mau masuk dulu? Di sini panas.”
“Nggak usah. Gue nggak lama. Bukannya lo sendiri yang takut kalo Ari tiba-tiba ke sini? Lo mau dia ngamuk?” Angga mencondongkan tubuh tingginya ke arah Tari, membuat gadis itu mundur setengah langkah sambil menggeleng-geleng pelan.
“Gue nggak takut sama keselametan gue sendiri, Tar. Gue lebih mentingin keselametan lo dan Gita.” Angga sudah mengulurkan tangan untuk menyentuh kepala Tari, tapi segera diurungkannya niat itu. Ia tarik kembali tangannya dan dimasukkannya ke saku celana dengan keadaan menggenggam keras, hingga ia bisa merasakan kuku-kukunya menancap kuat di telapak tangannya. Ia tahu, hal-hal sepele seperti mengusap kepala Tari akan kembali memunculkan rasa itu dalam hatinya. Untuk kali ini Angga menyadari. Benar-benar menyadari. Rasa yang ada bukan semata-mata mencari kepuasan balas dendam kepada Ari. Tapi rasa ini lebih mengenai seseorang yang ia sayangi hingga begitu ingin ia perjuangkan.
Bukannya Angga tak menyukai perasaan semacam itu. Bahkan ia nikmati setiap detiknya. Dibiarkannya denyut cinta menyayat urat nadi dan rasa rindu membakar nuraninya. Memang terasa menyiksa. Karena setelah sekian lama ia tak bertemu dengan seseorang yang ia cintai, kini orang itu malah sudah berada dalam rengkuhan lengan lawan. Angga hanya sedang mencari jembatan penghubung antara dirinya dan Tari, yang dulu telah diblokir penuh oleh Ari lewat kehadiran Gita, sepupunya, di antara mereka. Namun jembatan itu hanya diblokir. Belum runtuh. Jadi masih ada harapan. Kalaupun jembatan itu sudah tidak bisa dibuka apalagi dilalui, ia rela membangun jembatan baru, yang akan ia hindarkan dari keterlibatan Gita.
“Sekarang lo jawab pertanyaan gue,” kata Angga lagi. “Lo beneran langsung mau?”
“Nggak, sih,” jawab Tari. Entah kenapa Angga merasa lega mendengarnya. “Gue minta waktu beberapa hari.”
“Nggak mungkin Ari bisa nunggu lama,” tukas Angga.
“Tepat sekali.” Tari tersenyum tipis. “Gue baru mikir satu hari, dan dia udah neror gue. Bukan cuma di alam nyata, tau nggak. Di alam mimpi pun gue bawaannya liat dia mulu, ngejar-ngejar gue sambil nagih jawaban. Gimana gue nggak jadi stres?” Tari menggedikkan bahu. “Yah, gitu deh, akhirnya gue kasih jawaban.”
Angga menatap Tari lurus-lurus. Kepada sepasang bola mata cokelat di depannya ini ia kirimkan seluruh perasaan dalam hatinya. Entah bagaimana Tari akan menangkapnya, ia tak sepenuhnya peduli. “Sekarang pertanyaan terakhir. Gue mau lo jawab sejujur-jujurnya.”
Tari tak bisa berjanji. Kejujurannya akan tergantung pada pertanyaan Angga. Kalau memang dia tidak bisa berterus terang, akan dilakukannya itu. Berbohong.
Kehati-hatian tertangkap jelas ketika Angga mengajukan pertanyaan, “Tar... apa lo sayang sama Ari?”
Tari tercekat seketika. Kenapa harus pertanyaan ini? keluhnya dalam hati. Angga terlihat begitu tenang saat bertanya tadi. Cowok itu berhasil menyembunyikan kegelisahan yang timbul bersama sejuta gelegak emosi dalam dada, dan juga berhasil menekan seluruh ketakutannya. Tak ia lepaskan tatapannya dari sepasang mata Tari, berusaha mencari kejujuran di sana.
“Soal itu... gue belom tau,” jawab Tari gugup, tidak berhasil menemukan kata-kata lain. Ia juga tak yakin bisa berbicara lebih lanjut karena tenggorokannya serasa tersekat sesuatu.
Angga diam sejenak. Matanya menyipit saat berhasil mengartikan apa yang dia lihat dari sepasang mata Tari. “Elo bohong.”
“Apa?”
“Gue tau lo nggak jujur. Sebenernya lo udah tau jawabannya. Ada di hati lo.” Angga melangkah maju, memperpendek jarak dengan Tari, hingga tinggal beberapa senti saja ruang yang tersisa di antara mereka. Ia membungkukkan badan sedikit untuk berbisik di sebelah telinga kiri Tari, “Gue mau lo ngaku. Tapi gue nggak akan maksa. Kalo lo nggak mau ngomong, it’s fine. Suatu saat nanti gue akan tau sendiri jawabannya.”
Perlahan kakinya melangkah mundur. Untuk sesaat, ditatapnya Tari yang tak mau balas menatap. Dalam benaknya, sudah bisa ia bayangkan bahwa pada hari-hari ke depan, dirinya dan gadis ini akan semakin sering bertemu. Entah pada situasi yang diinginkan atau tidak. Entah pada suasana yang menyenangkan atau tidak.

***

Bisikkan Angga membuat Tari memutuskan untuk menundukkan kepala, tidak ingin melihat cowok itu lebih lama. Ketika Angga berjalan menjauh pun ia masih tetap menunduk. Satu... dua... tiga... empat... lima... Sampai pada hitungan kedua puluh, barulah Tari mengangkat wajah. Angga sudah menghilang dari hadapannya. Tari bertanya-tanya kenapa cowok itu tidak membawa motor.
“Duuh, tu cowok bikin kaget aja. Nongol tiba-tiba, ngilang juga tiba-tiba,” keluhnya sembari menepuk-nepuk dada dan menarik napas panjang, berusaha melegakan paru-parunya karena sejak tadi ia terlalu sering menahan napas. Baru saja kakinya akan melangkah memasuki pagar rumah, ponselnya menjeritkan ringtone.
“Ck, ini lagi. Mau apa, sih?” Tari menatap layar ponsel yang memunculkan nama Ari dengan malas. Niatnya untuk me-reject panggilan seketika lenyap begitu teringat ancaman Ari di sekolah tadi pagi.
“Halo?” sapanya bete.
“Ada perubahan rencana,” sahut Ari tanpa merasa perlu menjawab salam Tari. “Kita nggak jadi jalan ntar malem.”
“Yang bener?” seru Tari lega luar biasa. Syukurlaaaaah... jerit cewek itu dalam hati.
“Maksud gue, kita nggak akan jalan berdua aja. Gue mau ngajak lo jalan bareng Nyokap, Ata, sama Tante Lidya ntar sore. Ajak nyokap lo sekalian.”
“Apa?!” Sekarang Tari benar-benar menjerit kaget. “Mau jalan ke mana emangnya?”
“Rahasia.” Tanpa bertatap muka pun Tari tahu cowok yang tengah meneleponnya ini tersenyum lebar. “Pokoknya gue jemput kalian jam setengah 4 sore, sebentar lagi, oke?”
Apa Tari bisa menolak? Tentu saja tidak. “Iya, deh. Ntar gue bilangin Nyokap. Udah kan, itu doang?”
“Iya. Lo belom masuk rumah?”
Tari tersentak. “Kok lo tau?!” jeritnya tertahan. Ketakutan seketika merayapi hatinya. Jangan-jangan Ari ada di sekitar sini sekarang. Dekat. Memata-matai. Tari melirik sekeliling dengan cemas.
Tapi ternyata Ari hanya sekedar menebak. “Jadi bener lo belom masuk rumah dari tadi? Ngapain aja?” tanya cowok itu curiga.
“Nggak ngapa-ngapain, kok! Nggak ngapa-ngapain!” Tanpa sadar Tari jadi panik sendiri, takut kalau sampai Ari mencium kedatangan Angga barusan.
“Tar...”
“Gue mau masuk dulu. Ntar jam setengah 4, kan? Oke. Daah.” Tari cepat-cepat menutup telepon sebelum Ari bertanya lebih jauh.
Tari menepuk-nepuk jidat. Pusing atas kedatangan Angga tadi. Tak ayal, kembalinya Angga ke hadapannya menimbulkan berbagai perasaan aneh. Sudah lama Tari berusaha melupakan Angga dan mematikan semua rasa dalam hatinya untuk cowok itu. Awalnya memang terasa sulit. Tari sempat terguncang ketika Angga memutuskan untuk mundur. Sampai kemudian Ari semakin mendominasi hari-harinya, Tari pun harus menghadapi cowok itu tanpa backing-an dari Angga lagi. Benar-benar berjalan sendiri, melawan semua masalah yang diciptakan Ari. Merasakan semua luka dan sakit hati. Dan ternyata ia berhasil. Tanpa Angga. Bahkan sekarang ia telah memutuskan untuk menjatuhkan diri dalam dunia milik Ari. Dunia yang jelas terasing dari seseorang yang bernama Anggada.
Tari terjun ke tempat tidur tanpa sempat mengganti seragam sekolah, menenggelamkan wajah dalam bantal. “Kenapa sih tu cowok harus muncul lagi?” desahnya pelan. Ia kira semuanya akan berlangsung dengan lancar, karena Tari yakin dia telah berhasil melupakan Angga. Meninggalkannya sebagai luka masa lalu yang tak perlu lagi disuguhkan dalam fokus pikiran. Tapi begitu Angga kembali datang, kenapa perasaan gelisah itu tak kunjung reda?
“Ck, terserah, lah,” decaknya pusing. Pikirannya buntu. “Oh ya, gue harus kasih tau Mama soal ajakan Ari. Mamaaaaaa!” Tari bangkit dari tempat tidur dan berlari menemui mamanya yang sedang sibuk menjahit.

***

“Sialan. Ditutup gitu aja,” dengus Ari sesaat setelah Tari memutuskan sambungan. Ibu jarinya sudah akan menekan nomor Tari untuk menghubunginya lagi, tapi tidak jadi saat Mama memanggil namanya.
“Ari, makan siang dulu,” panggil Mama sambil melongokkan kepala dari dapur rumah Tante Lidya.
“Iya, Ma,” sahut Ari sambil menatap layar ponselnya sekali lagi. Sudut-sudut bibirnya terangkat sedikit. Sebelum menghampiri Mama di dapur, Ari menekan nomor ponsel Raka.
“Ada mobil nganggur, Ka? Yang agak gedean, gitu,” kata Ari langsung begitu Raka mengangkat telepon.
“Wah, kebetulan banget, nih. Lagi ada Alphard di tempat gue.”
“Yang bener?” Sepasang mata Ari berbinar puas. “Gue ambil habis ini.”
“Buat berapa hari?”
“Mungkin sampe besok atau lusa. Siapin baik-baik. Mau buat jalan ntar sore.”
“Siap, Bos!” sahut Raka patuh. Ari menutup telepon. Bibirnya mengembang semakin lebar.
“Ariiii...”
“Iya, iya. Ari datang, Ma,” jawab Ari, bergegas melesat ke dapur untuk makan siang bersama Mama, Ata, dan Tante Lidya. Sebuah kebiasaan baru yang selalu mereka lakukan begitu Ari pulang sekolah. Dan mereka sangat menyukai hal itu, terutama Ari.
“Gimana sekolah kamu?” tanya Mama begitu Ari duduk di sebelahnya.
Ari mengangkat bahu ringan. “Biasa aja. Nggak ada yang menarik.”
Mama mengusap-ngusap punggung Ari dengan sayang. “Belajar yang baik.”
“Pasti, Ma,” jawab Ari. Tanpa sengaja tatapannya jatuh kepada Ata yang duduk di hadapannya. Ari sudah mendengar Ata masuk ke SMK sambil bekerja sebagai montir di sebuah bengkel. Dan Ari sangat menyayangkan nasib saudara kembarnya itu. Kalau saja mereka bertemu lebih awal, pada saat lulus-lulusan SMP dulu, Ari bisa saja membayari sekolah Ata di SMA, jadi Ata bisa tetap fokus bersekolah hingga perguruan tinggi tanpa harus bekerja.
Yang Ari sukai dari seorang Ata adalah ia tak pernah mengeluh. Mereka pernah membicarakan masalah ini beberapa hari yang lalu. Ari meminta Ata berhenti bekerja dan berjanji akan membiayai seluruh hidup Mama dan Ata dengan uang Papa yang berlimpah ruah, yang tak akan habis dimakan tujuh turunan, apalagi kalau hanya digunakan oleh dirinya sendiri. Masih terngiang jelas apa yang dikatakan Ata kepadanya sebagai jawaban.
“Gue kerja untuk menebus semua kenakalan dan dosa masa kecil gue, Ri. Pas kita masih anak-anak dulu, elo yang selalu bantuin Mama. Sekarang giliran gue.” Ata merangkul bahu Ari. Matanya menatap tegas kepada adik kembarnya. “Gue tau dulu gue paling suka nyusahin kalian. Gue minta maaf. Tapi sekarang lo nggak usah kuatir. Gue akan jagain Mama. Sebisanya. Buat elo. Juga buat diri gue sendiri. Gue nggak bisa nerima kebaikan elo. Sekali lagi, sori. Gue yakin Mama juga nggak bakalan setuju make duit Papa. Yah, walau penghasilan gue dan Mama pas-pasan banget, toh sampe sekarang kami masih bertahan hidup, kan?”
Ari hanya bisa mengangguk-angguk waktu mendengarnya. Betapa berbedanya Ata yang dulu dengan yang sekarang. Sampai saat ini Ari masih takjub mendapati perubahan-perubahan dalam diri saudara kembarnya itu.
“Oh ya. Ari mau ngajak kalian semua ntar sore,” kata Ari begitu teringat rencana yang telah disusunnya.
“Kemana?” tanya Tante Lidya penasaran.
“Rahasia. Yang penting Mama sama Tante Lidya siapin bekal yang enak. Oke?”




Bersambung...

Sabtu, 27 September 2014

Jingga untuk Matahari #fanfiction-1



 Huaaaaaah, si Angel sampe berdebu nih saking lamanya nggak aku urusin
Maaf ya blog-ku tersayang tercinta dan terkasih, aku sibuk banget selama ini *sok jadi orang penting*
Kali ini aku mau kembali meramaikan blog dengan ceritaku, hehe
Dan ini adalah tentang....... jeng! jeng! jeng! Ari dan Tari!!!
Siapa sih yang nggak kenal mereka? Pasangan fenomenal yang ngetop BGT berkat kisahnya di novel serial JDS dan JDE
Hai hai, Mama Esti Kinasih, jangan PHP terus dong T_T
Katanya bulan ini terbit lah, bulan itu terbit lah, nyatanya JUM belum terbit juga sampai sekarang
Plis, Ma... Para penggemarmu butuh kepastian, jangan menggantung kita seperti ini *alaynya kumat*
Tapi yang pasti kita selalu setia menunggu kok, walau harus jatuh bangun :') *tambah parah alaynya*
Oke, mungkin sekarang udah bukan jaman fanfic Jingga untuk Matahari, tapi yaa karena aku udah terlanjur bikin, mending aku post aja deh, kan lumayan bisa jadi obat sementara untuk kerinduan kalian pada sosok Matahari Senja sampai JUM terbit :)
Bikinnya sebenernya udah lama, hampir setahun yang lalu, cuma emang dari dulu nggak ada niat buat aku publish
Tapi daripada jadi sampah di laptop, mending aku share, iya nggak?
Ya udah deh, pembukaannya kepanjangan, hehe...
Silahkan membaca, harap komen juga, okaaay? ;)



***

“Ji, cewek gue ngambek lagi.” Kalimat singkat yang dilontarkan Ari begitu masuk ke kelas mengalihkan perhatian Oji yang sedari tadi sibuk menyalin PR Matematika milik Deva ke bukunya. Cowok itu meletakkan pensil, kemudian berdiri. “Siap, Bos! Berangkat!”
Keduanya berjalan keluar kelas dan langsung menyeret Ridho yang baru akan mencapai ambang pintu.
“Ikut,” perintah Ari tanpa penjelasan lebih lanjut, yang sudah lebih dari cukup untuk membuat Ridho mengikuti langkah lebar kedua sahabatnya. Sangat tahu kemana tujuan mereka. Kelas sepuluh sembilan.
“Ada masalah apa lagi, nih?” tanya Ridho ketika ketiganya menuruni anak-anak tangga.
“Gue cium dia kemaren,” jawab Ari santai tanpa menoleh, sehingga tak melihat dua pasang mata milik Oji dan Ridho yang kontan membelalak lebar.
“Cium pipi?” tanya Ridho lagi, terdengar ragu, karena sepertinya dia sudah bisa menebak jawaban dari pertanyaannya sendiri.
“Nggak, lah.” Ari mengetuk-ngetuk sepasang bibirnya yang mengembangkan seulas senyum lebar menggunakan jari telunjuk. Jelas saja Ridho dan Oji melotot lagi.
“Keterlaluan kalo itu, Bos. Pantes aja dia marah!” seru Oji sambil memukul kepala Ari, sementara itu Ridho menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir.
Ari malah terkekeh geli. “Dia cerewet banget kemaren. Jadi gue suruh diem. Dan kalian tahu sendiri gue paling nggak suka bikin dia bungkam pake kata-kata.”
Oh ya. Tentu saja. Seperti yang diketahui semua orang, Ari lebih suka bertindak langsung daripada berdebat, yang sering kali tindakannya itu bisa dikategorikan nekat dan berani. Mencium seseorang bernama Tari seharusnya bukan sesuatu yang mengagetkan bagi Ridho dan Oji. Apalagi kalau mengingat kelakuan-kelakuan Ari terhadap Tari di masa-masa awal keduanya bertemu. Tidak mengherankan dan sudah bisa diprediksi oleh otak setiap orang, bahwa Ari mendaratkan ciuman untuk Tari, bukan sekadar di pipi, pasti memang akan terjadi, cepat atau lambat.
No comment,” ucap Ridho dengan wajah datar, dan lagi-lagi Ari terkekeh dibuatnya. Kini cowok itu tengah memikirkan bagaimana reaksi Tari begitu melihat wajahnya nanti. Tanpa sadar, Ari mengusap pipi kirinya yang menjadi tempat pendaratan telapak tangan Tari semalam. Cukup keras juga Tari menamparnya, tapi memang tak berpengaruh apapun untuk Ari selain menimbulkan sekelebat rasa kaget. Itu pun hanya sebentar. Sampai sekarang, masih terekam jelas dalam ingatannya bagaimana marahnya wajah Tari sesaat setelah ia cium. Wajah itulah yang membuatnya dihantui perasaan bersalah dan gelisah semalaman karena Tari tak menjawab satupun panggilannya.
Oji, yang berjalan di sebelah kiri Ari, menoleh heran. “Kenapa?”
“Kena gampar.”
“Pantes.” Oji manggut-manggut.
“Untung cuma kena gampar tangan dia. Coba kalo kena gampar emak-bapaknya. Mau ngomong apa lo?” Ridho menimpali, yang hanya dijawab seringaian oleh Ari.
Kelas X-9 masih setengah kosong saat Ari melangkah masuk dan melemparkan tatapannya ke penjuru kelas. “Tari mana?” tanyanya kepada penghuni kelas tersebut yang semuanya kompak mengunci mulut begitu dia muncul tadi, tanpa bersusah payah menjelaskan Tari yang mana yang dia cari meski di dunia ini ada jutaan orang bernama Tari.
“Belom dateng, Kak,” jawab Nyoman yang posisinya paling dekat dengannya.
Ari mengangguk-angguk, memutuskan untuk menunggu gadis itu datang dengan bercokol di bangku panjang yang ada di luar kelas Tari, membuat semua anak yang lewat di koridor itu membungkukkan badan rendah-rendah dengan kesopanan luar biasa ketika melintas di hadapan orang yang paling ditakuti di SMA Airlangga, apalagi orang itu duduk bersama kedua sahabatnya yang juga sama-sama ditakuti.
Begitu sang pentolan sekolah keluar dari kelas mereka, semua anak kelas X-9 sibuk menerka-nerka, kira-kira “ada” dan “akan ada” kejadian apa lagi setelah Tari datang nanti. Yang pasti sesuatu yang menarik. Tak perlu bertanya-tanya lebih lama karena beberapa menit kemudian Tari terlihat di ujung koridor, datang bersama Fio dengan wajah suram, seperti siap mengamuk. Sepasang matanya yang berkilat-kilat ketika melihat Ari juga jelas menunjukkan bahwa di antara keduanya sedang ada masalah. Lagi-lagi.
Titik-titik penonton mulai terbentuk di sekeliling mereka ketika Oji mencegat langkah kedua cewek itu beberapa meter dari pintu kelas, sementara Ari dan Ridho berdiri tidak jauh dari ketiganya. Memperhatikan.
“Mau apa lo?!” bentak Tari. “Minggir! Kami mau lewat!”
“Wih, kasar amat. Yang nyium elo bukan gue kali, Tar,” kata Oji santai, tak bisa menahan senyum geli biar kena bentak dan pelototan seperti itu.
Kini tatapan penuh bara kemarahan tadi beralih kepada Ari. Dengan geram, Tari mendorong tubuh Oji agar menyingkir dari hadapannya. Kakinya melangkah cepat menghampiri Ari, yang justru menyambutnya dengan senyuman hangat.
“Pagi, Tar.” Seolah letupan amarah di sepasang mata Tari tidak ada, Ari menyapa gadis itu dengan ramah.
“Minggir lo,” desis Tari. Bukan ditujukkan untuk Ari tentu saja, melainkan untuk Ridho.
“Dho, mending lo minggat dulu. Soalnya kalo ni cewek ngamuk, dia bakalan sama bahayanya kayak gue. Lihat. Kami emang jodoh, kan?”
Ridho menanggapi perkataan sahabatnya dengan tawa. Sebelum berjalan pergi, ia membungkukkan badan sedikit untuk menyejajarkan wajahnya dengan wajah Tari. “Marahin aja Ari sepuas lo. Oke?”
Sekarang giliran Ari yang tertawa. “Thanks, Dho.”
“Yoi,” jawab Ridho nyengir.
Ari mengembalikan perhatiannya kepada cewek yang tengah mengatupkan rahang kuat-kuat di hadapannya itu. Sesaat, tidak ada yang bicara di antara keduanya. Yang satu menunggu, yang lain bertahan. Ari menunggu Tari menumpahkan amarahnya, namun yang ditunggu malah berusaha untuk tidak melakukannya.
Ari menghela napas pelan, lalu bicara dengan nada serius, “Lo denger kan kata Ridho barusan? Kalo lo mau marahin gue, marahin aja sepuasnya. Gue terima.”
Tari mati-matian menahan mulutnya agar tidak menyemburkan luapan kemarahan yang telah ia pendam sejak tadi malam. Hanya sepasang matanya yang berbicara kepada Ari tentang apa yang ada dalam hatinya saat ini. Marah. Benci. Tapi tidak ia utarakan semua itu lewat sepasang bibirnya, karena ia tahu, sebatas kata-kata tak akan bisa mewakili seluruh emosi. Tak akan sanggup membebaskannya dari sesak yang semalaman menghimpit dadanya.
“Tar,” panggil Ari. “Udah berapa lama kita pa...”
“Kita putus!” seru Tari tiba-tiba. “Kita putus! Selesai!”
Semua orang yang mendengar seruan Tari kontan terperangah, menatap Tari seolah-olah gadis itu sudah tidak waras. Tapi tidak untuk Ari. Sudah terbayang dalam benaknya sejak pagi tadi tentang akibat dari perbuatannya. Tari minta putus. Tidak cukup mengagetkan. Sebelum cewek itu melangkah meninggalkannya, Ari mencekal salah satu pergelangan tangan Tari.
“Lepas,” desis Tari dingin.
“Gue mau ngomong,” Ari balas mendesis tajam. Sepasang matanya yang berkilat dan melontarkan peringatan ternyata tanpa takut ditentang oleh Tari.
“Lepasin sekarang juga ato gue bakal teriak!”
Ari tak mempedulikan ancaman itu. Ditariknya tubuh Tari yang meronta hebat semakin merapat ke tubuhnya sendiri. “Lo marah sama gue?”
“Bangeeet!” jerit Tari, masih terus berontak.
“Lo mau pukul gue?”
“Bangeeet!”
“Lo mau gue cium lagi?” Kali ini Ari menundukkan kepala rendah-rendah ketika membisikkan pertanyaan itu.
“Ba- eh, apa?” Pemberontakan Tari terhenti seketika. Ia terpaku. Amarah yang membutakannya membuatnya tidak sadar kalau dia telah menantang seekor singa jantan yang tengah kelaparan. Di depan begitu banyak mata pula. Tari memejamkan mata, tidak sanggup menonton tindakan Ari selanjutnya. Gadis itu sangat tahu, semakin ia tantang, akan semakin besar pula bahaya terkaman singa yang tengah menjadi lawannya sekarang.
“Tar,” panggil Ari lagi. Lembut, namun terasa seperti desiran hawa dingin bagi Tari, membuat sekujur tubuhnya merinding. “Gue minta maaf.” Satu kalimat pendek yang diucapkan begitu tulus dari seseorang yang mengharap ampunan. Dengan nada yang dimengerti semua orang bahwa kalimat itu benar-benar berasal jauh dari lubuk hati dan berdasar pada seluruh sesal. Kalimat yang berhasil menguraikan satu persatu tali emosi yang mengekang Tari sejak berjam-jam yang lalu. Sejenak, sesuatu seperti luruh jauh di dalam hati Tari. Dan ia menyadari apa yang perlahan memudar itu. Kemarahan.
“Kalo liat lo marah banget gitu, gue nyesel,” lanjut Ari, diam-diam menyimpan senyum kemenangan melihat Tari yang bungkam tak melawan. Permohonan maaf diterima, penyesalan selesai sudah. Meski Tari tidak secara terang-terangan memaafkannya, Ari tak peduli. Ia bisa melihat jauh di dalam hati Tari, bahwa gadis itu sudah tidak marah padanya. Atau lebih tepatnya, sudah tidak berhak untuk marah. Sekarang tinggal membereskan masalah terakhir. Cukup mudah karena kendali sudah sepenuhnya ada di tangan Ari. “Lo minta apa tadi? Coba ulangi sekali lagi.”
Walau setiap kata yang keluar dari mulut Ari bernada lembut dan terkesan santai, Tari malah semakin ketakutan. “Gue... minta putus,” jawabnya lirih.
“Apa? Gue nggak denger, nih. Bisa nggak ngomongnya kencengan dikit?”
“Ng... nggak. Itu... eh, bukan apa-apa.” Tari menggeleng-geleng, sudah tidak punya keberanian untuk mengucapkannya sekali lagi.
Ari melepaskan cekalannya. Kakinya mundur setengah langkah, menciptakan ruang di antara dirinya dan Tari. “Silahkan pukul gue.”
“Apa?” Tari tercengang. Ditatapnya sepasang mata Ari, dan ia menemukan kesungguhan di dalamnya. Bahkan hal itu sebenarnya tidak dibutuhkan, karena Tari telah mengerti sejak dulu kalau Ari tidak pernah main-main dengan kata-katanya.
Beberapa detik terlewat dalam hening yang melingkupi suasana di sekitar mereka. Semua orang yang menyaksikan menunggu tindakan Tari selanjutnya. Tapi gadis itu bergeming di tempat. Yang bergerak kemudian malah Ari, merentangkan tangan, dan memeluk gadis itu. Sorak sorai pecah membahana menggantikan sunyi yang menegangkan. Tari menundukkan kepala dalam-dalam. Malu setengah mati. Tapi ia tahu, kalau sampai dia melawan pelukan ini, bisa jadi tindakan Ari akan lebih memalukan lagi. Jadi ia hanya diam tak berkutik sementara Ari menundukkan kepala untuk mendekatkan bibir ke telinganya.
“Kita baik-baik aja?” tanya cowok itu dengan bisikan tajam.
Tari buru-buru mengangguk.
“Bagus. We’re fine, okay? Nggak ada kata putus.” Nada final! Yang itu artinya tak ada lagi hak untuk Tari bicara. Kecupan ringan di puncak kepala Tari menambah histeria penonton dan gemuruh tepuk tangan. Ari melepaskan pelukannya setelah memastikan gadis di rengkuhannya tak akan berani melawan. Belum sempat Tari menghela napas lega, mendadak Ari memanggilnya lagi.
“Ntar malem kita jalan. Jam tujuh. Nggak boleh buron.”
Fio segera berlari menghampiri Tari setelah Ari dan kedua konconya pergi dari situ, bersamaan dengan bubarnya para penonton. Dipapahnya tubuh lemas Tari ke dalam kelas.
“Gue kira sifat Kak Ari udah berubah sejak kalian jadian,” komentarnya sambil mendudukkan Tari di bangku mereka.
“Berubah apanya?” dengus Tari. “Dia itu tetep aja kayak gitu biar gue udah jadi ceweknya. Nyebelin!” teriaknya. Tapi cuma itu. Hanya sebatas jengkel. Tidak ada kemarahan lebih lanjut apalagi air mata seperti dulu. Karena, bisa dibilang, Tari sudah kebal dengan semua tindakan Ari.
“Kenapa elo mau juga jadi cewek dia?” tanya Fio heran.
Tari terdiam. Sampai sekarang, tak ada ragu sedikit pun dalam hatinya ketika memikirkan kembali keputusannya untuk menerima Ari dalam hidupnya, beberapa hari yang lalu. Menerima dalam artian sukarela, atas kemauannya sendiri, bukan karena paksaan Ari yang selama ini memang berusaha melesak masuk dalam buku takdirnya meski Tari tidak mengizinkan.
Sejak kembalinya mama dan saudara kembarnya dalam hidup Ari, Tari mengharapkan sisi baik pada diri cowok itu bisa semakin sering muncul. Ari telah membuktikan bahwa dia adalah lelaki yang menyenangkan ketika dulu menyamar menjadi Ata. Dan Tari nyaman bersamanya. Bersama sosok Ari yang lembut, baik hati, dan penuh perhatian. Sayangnya, sisi baik itu hingga kini masih sering terkalahkan. Ari menyembunyikan sisi yang satu itu dan lebih suka memamerkan sisi dalam dirinya yang lain. Sisi yang telah menyertai lebih dari separuh umur hidupnya. Sisi yang membuatnya menjadi penguasa mutlak SMA Airlangga. Bandel, kasar, dingin, suka memaksa, menyiksa, mengintimidasi, dan seabrek sifat buruk lainnya. Membuatnya tak terkalahkan.
Harapan Tari sepertinya tinggal harapan. Sejak mereka pacaran pun acara ribut-ribut lebih sering terjadi ketimbang adegan romantisnya. Itu pun tak peduli tempat. Seperti biasa. Ribut di sekolah, di mal, di depan rumah, di mana aja. Kalau Ari berulah, kini Tari tak segan-segan untuk marah, walau akhirnya cewek itu pula yang harus mundur teratur ketika Ari mulai mematahkan segala upaya protesnya dengan tindakan-tindakan ekstrem. Sebesar apapun kesalahan cowok itu, mau tak mau Tari harus memaafkannya. Contohnya saja tragedi ciuman ini. Tapi sepertinya semua mata di SMA Airlangga memandang setiap acara ribut-ribut antara dirinya dan Ari sebagai adegan romantis. Bukan suatu pertengkaran.
“Tar,” panggil Fio, karena sahabatnya itu diam saja sejak ia melontarkan pertanyaan terakhir.
“Gue sayang dia,” kata Tari pelan.
“Apa?”
“Gue sayang dia, Fi,” ulang Tari, tetap tak berani keras-keras. “Jangan tanya sejak kapan gue sayang sama Ari. Gue sendiri nggak tau.”
Pengakuan yang tidak pernah didengar telinga Ari. Tari enggan mengatakannya karena cowok itu sendiri tidak pernah bilang sayang kepadanya. Jadi, untuk apa? Yang sama-sama tak diketahui keduanya namun juga sama-sama dilakukan oleh keduanya adalah, rasa sayang mereka memang tak akan diungkapkan lewat kata-kata, namun akan mereka tunjukkan lewat sikap dan sorot mata. Tak perlu membuang-buang tenaga melempar sejuta sumpah dan janji palsu untuk setia, yang terpenting adalah bagaimana mereka menjaga dan mempertahankan komitmen yang telah ada.
Bagian terpenting nomor dua adalah saling percaya. Tari percaya Ari tak akan berpaling darinya meski dikelilingi segudang cewek cantik nan seksi, yang tak bosan-bosannya mendekati Ari setiap hari, di setiap kesempatan. Tinggal bagaimana dia menilai setiap cewek yang berani bertingkah di dekat cowok itu. Kalau dirasanya sudah cukup keterlaluan dan melewati ambang batas, Tari akan melancarkan aksi protes keras. Bukan kepada oknum yang telah menggoda Ari tentunya, tapi kepada cowoknya langsung. Lebih mudah bagi Ari untuk mempercayai Tari. Dengan status yang sekarang tengah disandangnya, tak akan ada cowok yang berani menggoda Tari apalagi colek-colek sembarangan, karena itu sama artinya dengan mengundang maut, udah nggak sayang nyawa.
Ari dan Tari. Setiap kisah yang mengiringi langkah keduanya seperti tak ada habisnya. Selalu enak untuk didengar apalagi disaksikan langsung dengan mata kepala. Kedua matahari itu benar-benar tak terpisahkan sekarang. Sama-sama senja yang kala bersatu akan menjadi pemandangan indah memanja mata. Dua matahari jingga yang memancarkan sinar berbeda. Yang satu berbias panas namun redup, sementara yang satu begitu dingin namun menyala sangat terang. Pasangan yang langka, karena memang tak ada sejarahnya ada dua matahari di dalam satu galaksi. Dua matahari yang akan saling melengkapi ketika bersama. Yang redup akan menjadi lebih terang, dan yang terang tidak akan terlalu menyilaukan. Juga kehangatan yang mereka bagikan dalam satu pancaran. Hangat yang nyaman dan menyenangkan, bukan panas yang membakar apalagi dingin yang menggigilkan. Sempurna.

***

Tiba kembali di kelas, Oji kembali kepada pekerjaannya menyalin PR Matematika dengan kecepatan maksimum, karena bel sudah hampir berbunyi sementara mata pelajaran mengerikan itu jatuh pada jam pertama dan kedua. Sedangkan Ari dengan santai mengeluarkan ponselnya. Ada pesan masuk. Dari Tari.

Jgn cium2 sembarangan lg!

Senyuman lebar terkembang di bibir Ari sambil membalas pesan itu.

Knp?

Tak lama kemudian, balasan dari Tari sampai.

Jgn anggep gw cwk murahan!

Cewek murahan? Oke, ini semakin menarik saja. Ari tahu Tari adalah cewek yang berbeda bila dibandingkan dengan semua cewek di sekolahan ini. Cewek yang tak akan rela disentuh oleh seorang Matahari Senja. Selama ini Ari muak dengan semua cewek yang selalu menatapnya dengan penuh keingintahuan, dan kebanyakan dari cewek-cewek itu minta diperhatikan, hingga segala macam cara sering dilancarkan. Tari adalah satu-satunya cewek yang menatapnya dengan penuh penolakan, dan sering kali lebih memilih menghindar ketimbang berurusan dengannya. Cewek itu tak pernah mau menerima segala macam bentuk kepeduliannya. Padahal, Ari tak pernah memberi perhatian untuk siapapun, apalagi untuk adik kelas. Hal ini semakin menegaskan bahwa Tari adalah seseorang yang sangat berbeda, yang membuat Ari menjadi berbeda pula.
Tapi demi Tuhan! Ari tidak pernah menganggap Tari sebagai cewek murahan. Mungkin tindakannya tadi malam memang agak keterlaluan, dan Ari yakin hal itu menjadi luka bagi Tari. Ia menyesal. Sungguh-sungguh menyesal. Cowok itu bahkan telah bersumpah, Tari adalah seorang gadis yang akan ia jaga lahir dan batin. Oke, mungkin tidak secara “batin”, secara dia sendiri masih suka menyiksa batin Tari. Sadar atau tidak.
Ari segera mengetik balasan untuk seseorang yang kini menjadi pacar pertamanya itu, yang membuat geger seisi sekolah beberapa minggu yang lalu ketika ia dengan resmi menggandeng Tari sebagai pacarnya.

Ok! Tampar gw lg kalo gw udh kelewatan!

Tari tak membalas. Jadi Ari menganggap masalah ini udah clear. Tak boleh ada lagi protes tentang hal ini. Sedetik ia memasukkan ponsel ke dalam saku kemeja, mendadak dikeluarkannya lagi benda itu dan segera ditekannya sederet angka yang telah ia hafalkan di luar kepala, saking seringnya nomor itu  ia hubungi. Bahkan Ari tidak suka membuka daftar kontak telepon hanya untuk mencari nomor Tari kalau ingin menghubunginya. Entah kenapa cowok itu lebih suka menekan-nekan angkanya secara langsung.
Setelah menunggu beberapa detik sambil mendengarkan nada sambung yang membosankan, panggilannya diangkat juga. Namun tak ada suara yang menyahut di seberang sana. Hanya suasana ribut di dalam kelas yang ia dengar.
“Masih ada yang perlu gue omongin,” kata Ari tanpa basa-basi. “Gue udah sering banget peringatin hal ini ke elo, tapi kayaknya lo suka banget kalo dapet kesempatan ngelawan gue dikit aja. Mulai sekarang, jangan pernah lagi lo reject panggilan gue. Karena apa? Karena kalo lo reject satu kali aja, gue bakalan muncul di hadapan lo langsung. Ngerti? Oh ya, dan satu lagi. Kalo gue telepon gini, nggak sopan banget kan kalo dicuekin? Apalagi nggak ada salam pembuka kayak barusan. Jadi mendingan sekarang lo ngomong atau gue akan lari ke kelas lo saat ini juga.”
Ari bisa mendengar Tari mendesah jengkel, dan cowok itu tersenyum geli ketika kemudian Tari buka bicara dengan menekan seluruh emosinya, “Iyaa, iyaaaa. Ada lagi yang mau diomongin?”
“Ya. Ada,” sahut Ari. “Yang harus selalu elo tahu, Tar. Gue nggak pernah sama sekali dan nggak akan pernah, sekalipun atau sedikitpun, nganggep elo sebagai cewek murahan.” Bel masuk berbunyi tepat ketika kalimat itu selesai terucap. “Oke, udah bel. Belajar yang baik,” kata Ari sebelum mengakhiri pembicaraan mereka.



Bersambung...