Ari
menghentikan motor di depan rumah Tari. Tanpa menunggu lebih lama, cewek di
boncengannya langsung meloncat turun.
“Makasih,”
kata Tari sekenanya.
“Inget,
ntar jam tujuh, oke?” Ari menaikkan kaca helm dan melemparkan kedipan sebelah
mata.
Tari
menghembuskan napas keras-keras. “Iya, iyaaa. Nggak usah diingetin terus, gue
belom pikun. Udah sana pulang.”
Ari
tertawa mendengus. “Elo tuh ya. Suka banget ngusir-ngusir gue.” Diusapnya
kepala Tari dengan gemas. “Ya udah. Gue pulang.”
Tari
tetap berdiri di tempatnya sampai motor Ari menghilang ditelan gang sempit di
ujung jalan sana. Setiap pulang sekolah, Ari memang selalu mampir ke rumah
Tante Lidya untuk menemui Mama dan Ata. Oh ya. Ata. Tari belum pernah berbicara
lagi dengan Ata sejak cowok itu datang ke rumahnya dan berbicara sesuatu yang
nggak jelas beberapa hari yang lalu.
“Bakalan
sering bikin gue nangis?” gumam Tari heran ketika kembali mengingat kata-kata
Ata. Cewek itu melipat tangan di depan dada. Bibirnya mengerucut, dan sepasang
matanya mengawasi jalan masuk gang tempat Ari menghilang tadi. “Aneh. Kenapa
sampai sekarang Kak Ata masih diem? Yah, syukur deh kalo dia cuma bercanda soal
kata-katanya dulu. Mungkin untuk saat ini gue aman.”
“Aman
dari apa?”
Tari
terlonjak kaget mendengar suara yang berasal tepat dari belakang telinganya
itu. Suara yang cukup lama tidak didengarnya, hingga nyaris terdengar asing. Begitu
membalikkan badan, ia semakin terperangah melihat sosok pemilik suara tadi.
Angga
menikmati keterpanaan gadis di depannya. Cowok itu membalasnya dengan senyuman
lebar. “Lagi ngapain siang bolong begini berdiri di sini?”
“Ang...
ga?” Tari menggelengkan kepala tak percaya.
“Ya.
Cuma satu-satunya di dunia ini,” sahut Angga nyengir. “Halo, Tari. Udah berapa
lama kita nggak ketemu?”
“Ehm,
mending lo pulang, deh,” jawab Tari. Seketika ia jadi takut, panik, kalut, tapi
juga merasa tidak enak telah mengusir Angga. Perasaannya kacau balau. Ia bahkan
lupa bagaimana harus bersikap ramah di hadapan Angga setelah sekian lama tidak
bertemu. “Ari masih ada di deket-deket sini. Takutnya kalo dia tiba-tiba
nongol.”
Angga
mengangkat sebelah bahunya. “Gue nggak takut. Biar aja kalo dia mau nongol.
Emangnya kenapa?”
Tari
melotot. “Lo nggak mikir kesalemetan sepupu lo kalo sampe Ari tahu lo ada di
sini?”
“Tar,”
panggil Angga, sengaja menghindari pertanyaan Tari barusan, dan langsung
mengajukan pertanyaan inti untuk menyerang balik. “Apa bener lo udah jadian
sama Ari?”
“Eh?
Ng... itu...” Tari jadi salah tingkah. Harus bilang bagaimana di hadapan Angga?
Apa Angga bakalan marah? Mendadak Tari merasa bersalah. Merasa menjadi
pengkhianat, entah apa alasannya. Jadian dengan Ari sekarang terasa salah
begitu berhadapan dengan Angga. Dilihat dari sudut pandang dirinya sendiri
sekali pun.
“Jawab
aja yang jujur,” kata Angga lagi. Tidak bermaksud memaksa, bahkan sebisa
mungkin ia menunjukkan sikap santai. Ia ingin gadis di hadapannya ini
mengatakan kenyataan yang sebenarnya dengan sukarela. “Gue ke sini mau mastiin
gosip itu bener ato nggak. Jadi jangan bikin kedatengan gue yang mempertaruhkan
keselamatan Gita jadi sia-sia.”
Memikirkan
hal itu, akhirnya Tari menjawab takut-takut, “I.. iya, gue emang udah jadian
sama Ari.”
Angga
mengangguk-angguk. Raut wajahnya datar, begitu sulit ditebak. Sama sekali tak
terbaca. Begitu banyak emosi yang berkelebat di sana. Ekspresi seperti itu
malah membuat Tari semakin tegang. Akan lebih baik kalau Angga menunjukkan
wajah marahnya daripada wajah misterius seperti ini.
“Sejak
kapan?” tanya Angga lagi.
Diam-diam
Tari kesulitan menelan ludah. “Belum lama, sih. Baru sekitar... dua-tiga minggu
yang lalu.”
“Langsung
lo jawab?”
“Mm?
Apa maksud lo?”
Angga
menghela napas, kemudian berbicara lambat-lambat, “Saat Ari minta lo jadi
ceweknya, apa langsung lo jawab? Lo langsung mau?”
Pikiran
Tari langsung melayang pada hari di mana Ari meminta ia menjadi ceweknya. Hari
itu, tubuh Tari serasa luluh lantak karena ia memaksakan diri mengikuti
pelajaran olahraga, padahal sejak pagi tubuhnya lemas entah kenapa. Materi
pelajaran olahraga hari itu bisa dibilang menyiksa. Lari bolak-balik setengah
lapangan berjarak 20 meter dalam waktu dan target yang telah ditentukan. Tari
nyaris pingsan. Tapi ia berhasil melewati jam olahraga dan jam-jam pelajaran
berikutnya dengan selamat.
Pulang
sekolah, ketika ia baru saja menghempaskan pantat ke tempat duduk yang masih
kosong di dalam bus, seseorang juga mengambil tempat duduk di sebelahnya. Tanpa
mengacuhkan orang di sebelahnya yang ia tahu juga mengenakan seragam SMA yang
sama dengannya, Tari menyandarkan kepala ke sandaran kursi lalu memejamkan
mata. Mendadak, telapak tangan milik seseorang meraba dahinya. Kontan tubuh
Tari berjengit dan kedua kelopak matanya membuka lebar. Belum sempat ia bicara
atau menjerit, sebuah suara berat dan bernada rendah mendahuluinya.
“Hangat.
Lo sakit?”
Tari
menoleh. Ternyata telapak tangan yang kini menempel di keningnya adalah milik
Ari. “Elo...”
Saking
terpakunya, Tari tidak melanjutkan kata-katanya ataupun berusaha mengenyahkan
tangan Ari, sampai Ari sendiri yang menarik tangannya menjauh. “Gue liat lo
lemes banget hari ini.”
“Mm,”
gumam Tari pelan. Kemudian memejamkan matanya lagi. Kepalanya terasa berat. “Lo
ngapain naik bus? Kemana motor lo? Atau jangan-jangan elo berniat buntutin gue
ya?”
Ari
tersenyum geli. “Elo tuh ya. Sakit, masih aja cerewet. Suka-suka gue dong mau
naik bus ato becak. Lagian ngapain juga gue buntutin elo.”
“Serah
deh,” gumam Tari lagi. Begitu bus berhenti di halte dekat rumahnya, ia turun. Tanpa
disangka, penumpang bus yang tadi duduk di sebelahnya juga ikut turun. Tari
menoleh sekilas saat Ari berjalan mengikuti di belakangnya, masih sambil melangkah
menuju rumahnya. “Sok-sokan bilang nggak mau buntutin gue. Trus ini namanya
apa?” gerutunya dengan suara keras.
Lagi-lagi
Ari hanya tersenyum geli. Ia menjaga jarak hanya satu setengah meter di
belakang Tari. Tari memilih untuk tidak memusingkan cowok itu. Mau Ari berjalan
ke mana kek, dia tidak ingin peduli karena kepalanya bertambah sakit saat ini.
Ternyata
perkiraan Ari tidak meleset. Menjelang mereka mencapai pagar rumah Tari, tubuh gadis
itu meluruh jatuh. Ari yang sudah berjaga-jaga sejak tadi, dengan sigap
menangkap tubuh Tari. Gadis itu tidak pingsan. Matanya yang sayu melebar saat
wajah Ari muncul di atasnya. Badannya yang lemas semakin tidak bisa digerakkan
ketika menyadari kedua lengan cowok itu merengkuh keseluruhan tubuhnya.
“Ini
sebabnya gue ngikutin elo dari tadi,” bisik Ari pelan. Tanpa permisi, ia
menggendong tubuh Tari dan membawanya masuk ke rumah. Tari tidak akan pernah
lupa bagaimana ekspresi Mama begitu melihat anak perempuannya pulang dalam
gendongan seorang cowok.
Mama
sempat terpana dengan mimik wajah yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata.
Namun buru-buru ia menyuruh Ari membawa Tari masuk dan membaringkannya di sofa.
Dalam waktu yang digunakan Mama untuk mengambil obat, Ari mengurung Tari yang
kini tergolek lemah di sofa dengan kedua lengannya.
“Mau
ngapain lo?” desis Tari, pelan namun panik.
Ari
malah semakin mendekatkan wajah. Bibirnya tersenyum tipis. “Gue belom denger
makasih.”
“Makasih,”
sahut Tari cepat-cepat. Ingin rasanya ia berteriak menyuruh Ari agar cepat
pulang dan tidak mengganggunya. Tapi cowok itu bergeser sedikit pun tidak.
“Gue
rasa elo tau, apa yang gue lakukan tadi bukan bentuk perhatian biasa. Nggak
ada yang merhatiin kalo wajah lo pucet banget dan badan lo kayak pohon mau
tumbang. Cuma gue. Dan mungkin kalo gue nggak peduliin itu semua, lo bakal
pingsan di depan sana dan masih tiduran di tanah sampai sekarang dengan ancaman
gegar otak. Nggak tau lo nganggep perhatian gue itu jenis perhatian apa, tapi
yang gue tahu itu adalah jenis perhatian cowok ke ceweknya.”
Ari
menegakkan tubuhnya tepat saat Mama muncul kembali. Tari berusaha mencerna
perkataan Ari sementara ia menelan obat yang disodorkan Mama. Pelan-pelan, ia
menyadari kemana arah pembicaraan ini. Dan seiring kesadaran itu pula, tubuhnya
mendadak tegang. Semuanya tambah kacau ketika Mama meminta tolong Ari untuk
sekalian menggendongkan Tari ke kamarnya.
“Nggak
usah, Ma. Tari bisa jalan sendiri,” tolaknya setengah mati.
“Nggak
pa-pa, Tar. Gue nggak keberatan, kok. Tambah repot kan kalo lo jatoh ntar,”
kata Ari kalem. Tari melotot.
Mama
mengangguk-angguk mendukung pernyataan Ari. “Mama siapin kamar kamu.”
Ah Mama nih! Tega!
jerit Tari dalam hati. Mama berjalan lebih dulu ke kamar Tari. Melihat Ari yang
sudah mengulurkan lengan hendak menggendongnya, Tari ingin kabur sejauh-jauhnya,
tapi... apa daya. Ia merutuki tubuh lemasnya habis-habisan. Mau tak mau ia
kembali terkurung dalam lengan Ari yang mengangkat tubuhnya dengan mudah.
“Jadi,
biar lain kali perhatian gue ke elo nggak terasa berlebihan dan ekspresi Nyokap
lo nggak kayak tadi lagi waktu liat lo di gendongan gue, kita harus memperjelas
status kita,” bisik Ari sambil berjalan.
Sekarang
bukan hanya kepala Tari tambah nyut-nyutan, jantungnya pun ikut berdenyut tak
karuan. “Maksudnya... gue jadi cewek elo, gitu? Elo jadi cowok gue?”
“Yap,
pinter. Tapi elo sendiri yang bakal nentuin hal itu. Gue kasih waktu. Jangan
lama-lama.” Tari juga tidak akan pernah lupa kalau Ari mencium keningnya lembut
setelah mengucapkan itu.
***
“Tar?”
Suara Angga menyentakkan Tari kembali ke alam nyata di mana ia sedang berdiri
di hadapan cowok itu siang ini.
“Eh,
itu...” Tari menggigit bibir panik. Ini masalah pribadi, dan ia merasa memiliki
hak untuk menolak menjawabnya. Angga tak akan bisa memaksa. Namun berdiri di
depan Angga secara langsung seperti ini membuatnya kesulitan berbohong, apalagi
menolak menjawab. Jadi Tari hanya berkelit, “Lo nggak mau masuk dulu? Di sini
panas.”
“Nggak
usah. Gue nggak lama. Bukannya lo sendiri yang takut kalo Ari tiba-tiba ke
sini? Lo mau dia ngamuk?” Angga mencondongkan tubuh tingginya ke arah Tari,
membuat gadis itu mundur setengah langkah sambil menggeleng-geleng pelan.
“Gue
nggak takut sama keselametan gue sendiri, Tar. Gue lebih mentingin keselametan
lo dan Gita.” Angga sudah mengulurkan tangan untuk menyentuh kepala Tari, tapi
segera diurungkannya niat itu. Ia tarik kembali tangannya dan dimasukkannya ke
saku celana dengan keadaan menggenggam keras, hingga ia bisa merasakan
kuku-kukunya menancap kuat di telapak tangannya. Ia tahu, hal-hal sepele
seperti mengusap kepala Tari akan kembali memunculkan rasa itu dalam hatinya. Untuk
kali ini Angga menyadari. Benar-benar menyadari. Rasa yang ada bukan semata-mata
mencari kepuasan balas dendam kepada Ari. Tapi rasa ini lebih mengenai seseorang
yang ia sayangi hingga begitu ingin ia perjuangkan.
Bukannya
Angga tak menyukai perasaan semacam itu. Bahkan ia nikmati setiap detiknya. Dibiarkannya
denyut cinta menyayat urat nadi dan rasa rindu membakar nuraninya. Memang
terasa menyiksa. Karena setelah sekian lama ia tak bertemu dengan seseorang
yang ia cintai, kini orang itu malah sudah berada dalam rengkuhan lengan lawan.
Angga hanya sedang mencari jembatan penghubung antara dirinya dan Tari, yang
dulu telah diblokir penuh oleh Ari lewat kehadiran Gita, sepupunya, di antara
mereka. Namun jembatan itu hanya diblokir. Belum runtuh. Jadi masih ada
harapan. Kalaupun jembatan itu sudah tidak bisa dibuka apalagi dilalui, ia rela
membangun jembatan baru, yang akan ia hindarkan dari keterlibatan Gita.
“Sekarang
lo jawab pertanyaan gue,” kata Angga lagi. “Lo beneran langsung mau?”
“Nggak,
sih,” jawab Tari. Entah kenapa Angga merasa lega mendengarnya. “Gue minta waktu
beberapa hari.”
“Nggak
mungkin Ari bisa nunggu lama,” tukas Angga.
“Tepat
sekali.” Tari tersenyum tipis. “Gue baru mikir satu hari, dan dia udah neror
gue. Bukan cuma di alam nyata, tau nggak. Di alam mimpi pun gue bawaannya liat
dia mulu, ngejar-ngejar gue sambil nagih jawaban. Gimana gue nggak jadi stres?”
Tari menggedikkan bahu. “Yah, gitu deh, akhirnya gue kasih jawaban.”
Angga
menatap Tari lurus-lurus. Kepada sepasang bola mata cokelat di depannya ini ia
kirimkan seluruh perasaan dalam hatinya. Entah bagaimana Tari akan
menangkapnya, ia tak sepenuhnya peduli. “Sekarang pertanyaan terakhir. Gue mau
lo jawab sejujur-jujurnya.”
Tari
tak bisa berjanji. Kejujurannya akan tergantung pada pertanyaan Angga. Kalau
memang dia tidak bisa berterus terang, akan dilakukannya itu. Berbohong.
Kehati-hatian
tertangkap jelas ketika Angga mengajukan pertanyaan, “Tar... apa lo sayang sama
Ari?”
Tari
tercekat seketika. Kenapa harus
pertanyaan ini? keluhnya dalam hati. Angga terlihat begitu tenang saat
bertanya tadi. Cowok itu berhasil menyembunyikan kegelisahan yang timbul
bersama sejuta gelegak emosi dalam dada, dan juga berhasil menekan seluruh
ketakutannya. Tak ia lepaskan tatapannya dari sepasang mata Tari, berusaha
mencari kejujuran di sana.
“Soal
itu... gue belom tau,” jawab Tari gugup, tidak berhasil menemukan kata-kata
lain. Ia juga tak yakin bisa berbicara lebih lanjut karena tenggorokannya
serasa tersekat sesuatu.
Angga
diam sejenak. Matanya menyipit saat berhasil mengartikan apa yang dia lihat
dari sepasang mata Tari. “Elo bohong.”
“Apa?”
“Gue
tau lo nggak jujur. Sebenernya lo udah tau jawabannya. Ada di hati lo.” Angga
melangkah maju, memperpendek jarak dengan Tari, hingga tinggal beberapa senti
saja ruang yang tersisa di antara mereka. Ia membungkukkan badan sedikit untuk berbisik
di sebelah telinga kiri Tari, “Gue mau lo ngaku. Tapi gue nggak akan maksa.
Kalo lo nggak mau ngomong, it’s fine.
Suatu saat nanti gue akan tau sendiri jawabannya.”
Perlahan
kakinya melangkah mundur. Untuk sesaat, ditatapnya Tari yang tak mau balas
menatap. Dalam benaknya, sudah bisa ia bayangkan bahwa pada hari-hari ke depan,
dirinya dan gadis ini akan semakin sering bertemu. Entah pada situasi yang
diinginkan atau tidak. Entah pada suasana yang menyenangkan atau tidak.
***
Bisikkan
Angga membuat Tari memutuskan untuk menundukkan kepala, tidak ingin melihat
cowok itu lebih lama. Ketika Angga berjalan menjauh pun ia masih tetap menunduk.
Satu... dua... tiga... empat... lima... Sampai pada hitungan kedua puluh, barulah
Tari mengangkat wajah. Angga sudah menghilang dari hadapannya. Tari bertanya-tanya
kenapa cowok itu tidak membawa motor.
“Duuh,
tu cowok bikin kaget aja. Nongol tiba-tiba, ngilang juga tiba-tiba,” keluhnya
sembari menepuk-nepuk dada dan menarik napas panjang, berusaha melegakan
paru-parunya karena sejak tadi ia terlalu sering menahan napas. Baru saja
kakinya akan melangkah memasuki pagar rumah, ponselnya menjeritkan ringtone.
“Ck,
ini lagi. Mau apa, sih?” Tari menatap layar ponsel yang memunculkan nama Ari
dengan malas. Niatnya untuk me-reject
panggilan seketika lenyap begitu teringat ancaman Ari di sekolah tadi pagi.
“Halo?”
sapanya bete.
“Ada
perubahan rencana,” sahut Ari tanpa merasa perlu menjawab salam Tari. “Kita
nggak jadi jalan ntar malem.”
“Yang
bener?” seru Tari lega luar biasa. Syukurlaaaaah...
jerit cewek itu dalam hati.
“Maksud
gue, kita nggak akan jalan berdua aja. Gue mau ngajak lo jalan bareng Nyokap,
Ata, sama Tante Lidya ntar sore. Ajak nyokap lo sekalian.”
“Apa?!”
Sekarang Tari benar-benar menjerit kaget. “Mau jalan ke mana emangnya?”
“Rahasia.”
Tanpa bertatap muka pun Tari tahu cowok yang tengah meneleponnya ini tersenyum
lebar. “Pokoknya gue jemput kalian jam setengah 4 sore, sebentar lagi, oke?”
Apa
Tari bisa menolak? Tentu saja tidak. “Iya, deh. Ntar gue bilangin Nyokap. Udah
kan, itu doang?”
“Iya.
Lo belom masuk rumah?”
Tari
tersentak. “Kok lo tau?!” jeritnya tertahan. Ketakutan seketika merayapi
hatinya. Jangan-jangan Ari ada di sekitar sini sekarang. Dekat. Memata-matai.
Tari melirik sekeliling dengan cemas.
Tapi
ternyata Ari hanya sekedar menebak. “Jadi bener lo belom masuk rumah dari tadi?
Ngapain aja?” tanya cowok itu curiga.
“Nggak
ngapa-ngapain, kok! Nggak ngapa-ngapain!” Tanpa sadar Tari jadi panik sendiri,
takut kalau sampai Ari mencium kedatangan Angga barusan.
“Tar...”
“Gue
mau masuk dulu. Ntar jam setengah 4, kan? Oke. Daah.” Tari cepat-cepat menutup
telepon sebelum Ari bertanya lebih jauh.
Tari
menepuk-nepuk jidat. Pusing atas kedatangan Angga tadi. Tak ayal, kembalinya Angga
ke hadapannya menimbulkan berbagai perasaan aneh. Sudah lama Tari berusaha
melupakan Angga dan mematikan semua rasa dalam hatinya untuk cowok itu. Awalnya
memang terasa sulit. Tari sempat terguncang ketika Angga memutuskan untuk
mundur. Sampai kemudian Ari semakin mendominasi hari-harinya, Tari pun harus
menghadapi cowok itu tanpa backing-an
dari Angga lagi. Benar-benar berjalan sendiri, melawan semua masalah yang
diciptakan Ari. Merasakan semua luka dan sakit hati. Dan ternyata ia berhasil.
Tanpa Angga. Bahkan sekarang ia telah memutuskan untuk menjatuhkan diri dalam
dunia milik Ari. Dunia yang jelas terasing dari seseorang yang bernama Anggada.
Tari
terjun ke tempat tidur tanpa sempat mengganti seragam sekolah, menenggelamkan
wajah dalam bantal. “Kenapa sih tu cowok harus muncul lagi?” desahnya pelan. Ia
kira semuanya akan berlangsung dengan lancar, karena Tari yakin dia telah
berhasil melupakan Angga. Meninggalkannya sebagai luka masa lalu yang tak perlu
lagi disuguhkan dalam fokus pikiran. Tapi begitu Angga kembali datang, kenapa
perasaan gelisah itu tak kunjung reda?
“Ck,
terserah, lah,” decaknya pusing. Pikirannya buntu. “Oh ya, gue harus kasih tau
Mama soal ajakan Ari. Mamaaaaaa!” Tari bangkit dari tempat tidur dan berlari
menemui mamanya yang sedang sibuk menjahit.
***
“Sialan.
Ditutup gitu aja,” dengus Ari sesaat setelah Tari memutuskan sambungan. Ibu
jarinya sudah akan menekan nomor Tari untuk menghubunginya lagi, tapi tidak
jadi saat Mama memanggil namanya.
“Ari,
makan siang dulu,” panggil Mama sambil melongokkan kepala dari dapur rumah
Tante Lidya.
“Iya,
Ma,” sahut Ari sambil menatap layar ponselnya sekali lagi. Sudut-sudut bibirnya
terangkat sedikit. Sebelum menghampiri Mama di dapur, Ari menekan nomor ponsel
Raka.
“Ada
mobil nganggur, Ka? Yang agak gedean, gitu,” kata Ari langsung begitu Raka
mengangkat telepon.
“Wah,
kebetulan banget, nih. Lagi ada Alphard di tempat gue.”
“Yang
bener?” Sepasang mata Ari berbinar puas. “Gue ambil habis ini.”
“Buat
berapa hari?”
“Mungkin
sampe besok atau lusa. Siapin baik-baik. Mau buat jalan ntar sore.”
“Siap,
Bos!” sahut Raka patuh. Ari menutup telepon. Bibirnya mengembang semakin lebar.
“Ariiii...”
“Iya,
iya. Ari datang, Ma,” jawab Ari, bergegas melesat ke dapur untuk makan siang
bersama Mama, Ata, dan Tante Lidya. Sebuah kebiasaan baru yang selalu mereka
lakukan begitu Ari pulang sekolah. Dan mereka sangat menyukai hal itu, terutama
Ari.
“Gimana
sekolah kamu?” tanya Mama begitu Ari duduk di sebelahnya.
Ari
mengangkat bahu ringan. “Biasa aja. Nggak ada yang menarik.”
Mama
mengusap-ngusap punggung Ari dengan sayang. “Belajar yang baik.”
“Pasti,
Ma,” jawab Ari. Tanpa sengaja tatapannya jatuh kepada Ata yang duduk di
hadapannya. Ari sudah mendengar Ata masuk ke SMK sambil bekerja sebagai montir
di sebuah bengkel. Dan Ari sangat menyayangkan nasib saudara kembarnya itu.
Kalau saja mereka bertemu lebih awal, pada saat lulus-lulusan SMP dulu, Ari
bisa saja membayari sekolah Ata di SMA, jadi Ata bisa tetap fokus bersekolah
hingga perguruan tinggi tanpa harus bekerja.
Yang
Ari sukai dari seorang Ata adalah ia tak pernah mengeluh. Mereka pernah
membicarakan masalah ini beberapa hari yang lalu. Ari meminta Ata berhenti
bekerja dan berjanji akan membiayai seluruh hidup Mama dan Ata dengan uang Papa
yang berlimpah ruah, yang tak akan habis dimakan tujuh turunan, apalagi kalau
hanya digunakan oleh dirinya sendiri. Masih terngiang jelas apa yang dikatakan
Ata kepadanya sebagai jawaban.
“Gue
kerja untuk menebus semua kenakalan dan dosa masa kecil gue, Ri. Pas kita masih
anak-anak dulu, elo yang selalu bantuin Mama. Sekarang giliran gue.” Ata
merangkul bahu Ari. Matanya menatap tegas kepada adik kembarnya. “Gue tau dulu
gue paling suka nyusahin kalian. Gue minta maaf. Tapi sekarang lo nggak usah
kuatir. Gue akan jagain Mama. Sebisanya. Buat elo. Juga buat diri gue sendiri. Gue
nggak bisa nerima kebaikan elo. Sekali lagi, sori. Gue yakin Mama juga nggak
bakalan setuju make duit Papa. Yah, walau penghasilan gue dan Mama pas-pasan
banget, toh sampe sekarang kami masih bertahan hidup, kan?”
Ari
hanya bisa mengangguk-angguk waktu mendengarnya. Betapa berbedanya Ata yang
dulu dengan yang sekarang. Sampai saat ini Ari masih takjub mendapati
perubahan-perubahan dalam diri saudara kembarnya itu.
“Oh
ya. Ari mau ngajak kalian semua ntar sore,” kata Ari begitu teringat rencana
yang telah disusunnya.
“Kemana?”
tanya Tante Lidya penasaran.
“Rahasia. Yang penting Mama sama Tante Lidya siapin bekal yang enak. Oke?”
“Rahasia. Yang penting Mama sama Tante Lidya siapin bekal yang enak. Oke?”
Bersambung...