Sabtu, 29 November 2014

Jingga untuk Matahari #fanfiction-10

Sabtu pagi, Tari membuka matanya yang berat. Tidak perlu cermin untuk memastikan matanya bengkak. Ia berguling-guling sebentar di tempat tidur, masih malas untuk beranjak.
“Tari, bangun! Nggak boleh males-malesan! Ayo sarapan,” teriak Mama dari luar kamarnya.
“Iya, Ma,” sahut Tari, kemudian mengeluh dalam hati. Mama pasti akan bertanya perihal matanya yang bengkak.
Mendadak ponsel di samping bantalnya berdering. Semoga bukan Ari, semoga bukan Ari, doanya dalam hati sambil meraih ponselnya. Dan itu memang bukan Ari. Tari mengerutkan kening membaca nama Ata yang tertera di layar ponsel.
“Ya, Kak Ata?” jawabnya pelan setelah sebelumnya sempat berdebat dengan diri sendiri.
“Bisa ketemuan hari ini?” sahut Ata langsung. Satu hal lagi yang menegaskan bahwa Ata sangat mirip dengan Ari, yaitu keduanya tidak suka basa-basi.
“Ketemuan?” ulang Tari agak kaget. “Mau apa?”
“Ada yang pingin gue bicarain sama elo.”
“Kenapa nggak bicara di telepon aja, Kak?”
“Ck, pokoknya ntar gue tunggu di Central Park, foodcourt. Jam dua siang, oke?”
Dan sambungan terputus begitu saja. Tari menatap layar ponsel dengan kening berkerut semakin dalam. Sebenarnya hari ini dia malas kemana-mana. Ajakan Fio untuk menonton drama Korea terbaru pun kemarin malam ia tolak. Ia ingin mengurung diri seharian ini. Namun Tari tidak punya cukup keberanian untuk menolak ajakan Ata. Jadi dengan ogah-ogahan ia berdiri dan melangkah ke kamar mandi, berusaha sebisa mungkin untuk tidak bertatap muka dengan Mama.

***

Jam setengah dua, Tari telah tiba di mal yang tadi disebutkan Ata. Ia langsung naik ke foodcourt, meski ia tahu masih ada waktu setengah jam dari waktu yang ditentukan. Tari memesan minuman, namun tidak menyentuhnya sama sekali. Ia hanya bergerak-gerak gelisah di kursinya, mulai menyesal karena berangkat terlalu awal.
Ketika ponselnya menjeritkan ringtone, Tari berharap itu dari Ata yang akan memberinya kabar. Namun perkiraannya meleset. Sekarang justru panggilan dari Ari. Tari menggigit bibir, bingung.
“Ya, Kak?” Akhirnya ia angkat panggilan itu, berusaha tidak terdengar takut.
“Lo lagi di mana?”
“Ng... gue lagi jalan di mal sama Fio,” dusta Tari, karena tidak mungkin ia membohongi Ari tentang keberadaannya saat ini. Ari pasti bisa mendengar suasana sekitar yang begitu ramai. Dan lebih tidak mungkin ia jujur mengatakan kalau dia sedang menunggu Ata. “Kenapa?”
“Nggak pa-pa. Nanya aja. Gue...”
Tari tidak mendengar kelanjutan kalimat Ari karena seseorang tiba-tiba duduk di kursi di hadapannya. Matanya membelalak dan tubuhnya membeku. Angga, seseorang yang baru saja duduk di hadapannya, balas menatap Tari lurus-lurus dengan salah satu alis terangkat.
“Tar?” tanya Ari heran karena Tari tidak menanggapi perkataannya.
“Ehm, Kak... sori, gue tutup dulu. Ini... ee... lagi ada diskon kaset-kaset drama Korea. Gue mau bantuin Fio borongin kaset dulu. Ntar telepon lagi ya. Daah.” Tari langsung memutus panggilan, takut Angga keburu bersuara dan Ari akan mendengarnya.
“Halo, Tar,” sapa Angga dengan senyum begitu Tari memasukkan ponsel ke tas. “Kenapa teleponnya ditutup? Gue ganggu ya?”
“Ngapain lo di sini?” balas Tari tanpa menjawab pertanyaan Angga.
Senyuman Angga berubah menjadi senyum geli. “Ini tempat umum, Tar. Siapa aja berhak ke sini. Lagian tempat duduk ini kosong. Daritadi gue nyari tempat kosong susah banget. Dan kebetulan gue liat elo duduk sendiri. Jadi... yah, begitulah.”
“Gue lagi nunggu temen,” ketus Tari, mengisyaratkan kalau bangku yang diduduki Angga sudah ada yang punya. Gadis itu enggan mencari tempat duduk lain, karena – benar kata Angga tadi – foodcourt ini ramai dan penuh. Mendapat tempat duduk kosong memang anugerah tersendiri. Jadi kalau salah satu dari mereka harus mencari tempat duduk lain, silahkan saja tu cowok yang hengkang. Lagian Tari merasa dia yang duduk di sana duluan.
“Temen lo? Siapa? Fio imajiner?” sahut Angga lagi, masih geli. “Sejak kapan lo suka bohongin Ari?”
“Bukan urusan elo,” desis Tari dengan gigi gemeretak. Suaranya mulai menyimpan kemarahan.
“Oke. Kalo gitu gue numpang duduk di sini sampe temen lo dateng. Nggak pa-pa, kan?”
Tari tidak menjawab. Ia membuang muka, enggan bertatapan dengan Angga lebih lama. Keduanya tidak bersuara. Kak Ata ke mana siiih? keluh Tari dalam hati, bolak-balik memeriksa jam tangannya. Memang belum pukul dua. Jadi wajar kalau Ata belum tiba.
“Jadi,” kata Angga tiba-tiba. Ia memajukan kursinya mendekati Tari. “Foto itu nggak ngaruh ya?”
“Gue bilang, bukan urusan elo,” desis Tari lagi.
“Ck, ck, ck,” Angga berdecak. Ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi sambil melipat tangan di depan dada. “Segitu cintanya ya elo sama dia?”
Tak ada sahutan dari bibir Tari. Gadis itu pun masih membuang muka. Namun Angga tak sekalipun melepaskan pandangannya dari Tari. “Tar,” panggilnya, memulai aksinya untuk mengipas bara. “Jujur deh sama gue. Lo pasti pernah meluk Ari, kan? Dan lo juga pasti pernah dicium kan sama dia? Atau mungkin malah elo yang nyium dia?”
Kali ini Tari menoleh. Sepasang matanya mulai memancarkan letupan. Bahkan cewek itu mencondongkan tubuhnya mendekati Angga. “Sori, ya. Gue nggak semurah itu sampe cium-cium cowok sembarangan!”
Mengambil kesempatan itu, Angga ikut mencondongkan tubuhnya ke arah Tari, hingga wajah mereka sekarang hanya berjarak beberapa senti. Hebatnya, Tari tidak menarik mundur kepalanya. Gadis itu sedang emosi sampai-sampai rasa takutnya pada Angga menghilang.
“Gue nggak bilang lo cewek murahan, Tar,” kata Angga lembut. “Jadi, taruhlah jawaban pertanyaan gue tadi “iya”. Pasti lo emang pernah, paling nggak satu kali, berpelukan sama Ari. Nah,” Angga sengaja menggantung kalimatnya sebentar. Semakin ia dekatkan wajahnya. Ditatapnya kedua mata Tari dengan intens. “Pernah lo bayangin nggak, kalau tangan Ari, yang selalu meluk elo itu, juga dipake buat pelukan sama cewek lain? Lo bayangin nggak, kalau bibir Ari itu juga pernah buat ciuman sama cewek lain?”
Reaksi Tari persis seperti yang ia harapkan. Gadis itu terperangah mendengar kenyataan palsu yang baru saja ia bisikkan. Angga yakin bara yang tadi dikipasnya sekarang telah menyala menjadi api. “Gue cowok, Tar,” katanya lagi, “Gue tau gimana tingkah laku kaum kami. Ari nggak akan beda sama cowok-cowok kebanyakan. Nggak mungkin ada cowok yang tahan kalo deket-deket sama cewek, termasuk Ari. Apalagi dia selalu dikelilingi cewek-cewek cantik. Iya, nggak? Silahkan lo sangkal, tapi foto itu udah jadi bukti. Dan juga, gue udah kenal Ari sejak kami SMP, jadi gue tau betul gimana aslinya dia.”
Tari tak mampu berkata-kata. Ia menatap Angga dengan tatapan kosong. Angga kemudian mengusap kepalanya lembut. “Tolong, percaya sama gue, oke? Gue cuma nggak mau lo nyesel nanti,” katanya sebelum pergi.

***

Beberapa menit setelah Angga pergi, Tari menelungkupkan tubuh ke meja dengan kedua lengan sebagai bantalan. Pusing. Setiap kata yang keluar dari mulut Angga berhasil mempengaruhinya. Bukannya ia tidak percaya pada Ari, tapi... foto itu... kata-kata Angga tentang kaum cowok tadi... Apa ada notasi lain untuk menyebutkan kata “tidak percaya”?
Memang Tari tidak tahu bagaimana rasanya jadi cowok. Apalagi jadi Ari yang notabene idola cewek satu sekolah. Ia tidak tahu bagaimana kehidupan Ari di balik gedung kelas 12 sana, terlebih di luar sekolah. Ia percaya saja dengan rumor bahwa Ari tidak pernah pacaran, tidak pernah tertarik dengan cewek-cewek yang selalu mengelilinginya, dan bla, bla, bla. Tapi semua itu hanya rumor! Dan yang namanya rumor alias gosip belum tentu benar. Ajaibnya, rumor itulah yang menjadi tonggak utama kepercayaannya kepada Ari selama ini.
Tari kaget sendiri mendapati kenyataan tadi, tidak menyangka dirinya bisa sebodoh itu.
“Tar?”
Tari spontan mengangkat wajah dan menegakkan tubuh mendengar suara berat yang memanggilnya. Seseorang yang berwajah begitu serupa dengan pacarnya kini telah duduk di tempat Angga duduk tadi. Tari hampir saja kena serangan jantung kalau tidak segera menyadari bahwa cowok di depannya ini adalah Ata, bukan Ari.
“Kenapa?” tanya Ata. “Lo sakit? Kok wajahnya pucet gitu?”
“Cuma pusing dikit.” Tari menggeleng-geleng cepat. “Jadi, apa yang mau Kak Ata bicarain?”
Ata menatapnya lama, tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Tari lama kelamaan jengah juga ditatap seperti itu.
“Kok Kak Ata baru aja dateng? Sekarang udah jam dua lebih,” protes Tari karena Ata sepertinya tidak berniat menjawab pertanyaannya.
Perlahan, kedua mata Ata menyipit, membuat Tari diam-diam bergidik. “Lo tau? Gue udah sampe sini dari tadi.”
Tari terkejut mendengar kata-kata Ata. Sejak tadi? Tadi kapan? Apa Ata...
“Ya, gue liat elo sama Angga,” kata Ata menjawab pertanyaan batin Tari. Ia memajukan kursinya. Matanya makin menyipit tajam. “Apa ini? Lo selingkuh sama Angga?”
“Selingkuuuh???” Tari memekik dengan kedua mata membulat. “Jangan nuduh keterlaluan gitu, Kak!”
Ata mengangkat bahu. “Gue nggak tau gimana benernya. Tapi kalo emang terbukti elo selingkuh sama Angga ato siapapun, liat aja. Lo nggak akan cuma berurusan sama Ari. Tapi juga sama gue.”
Kata-kata Ata begitu tajam dan mengancam, membuat Tari ingin menangis ketakutan, juga jengkel. Kak Ata ngomong apa sih?! Selingkuh sama Angga?? Kayak nggak ada cowok lain aja yang lebih enak buat diajak selingkuh!
Ata menatap Tari sebentar. “Kayaknya lo suntuk di sini. Jalan, yuk?”
“Kemana?”
“Kemana aja. Ayo!” Tanpa menunggu persetujuan, Ata menarik tangan Tari.

***

Cuaca sudah tidak sepanas tadi siang saat Ata dan Tari berjalan bersisian di sebuah taman kota. Matahari pukul tiga sore tidak lagi bersinar terik dan mulai condong ke barat, sehingga yang tersisa hanya kehangatannya di antara semilir angin.
Taman kota itu berbentuk nyaris persegi. Di setiap sudut ada pohon beringin raksasa yang menaungi sepasang ayunan di bawahnya. Ata mengambil tempat di salah satu ayunan, dan Tari mengikuti jejaknya. Selama beberapa menit, keduanya hanya terdiam sambil beberapa kali menendangkan kaki ke tanah agar dapat berayun.
Ata menghela napas perlahan. “Gue emang bukan Ari, Tar. Tapi gue tau gimana kondisi hati dia. Udah terlalu banyak luka di sana. Tolong, jagain hati Ari. Jangan lukain dia lebih dalem lagi. Dia udah cukup menderita. Jadi, jangan selingkuh, oke?”
Diam-diam Tari menggerutu dalam hati. Siapa juga yang selingkuh?! Jelas ia tahu Ari sangat menderita. Tapi apa Ata tidak tahu kalau hati Tari sendiri juga menderita? Bahwa ia juga kesakitan? Bahwa ia juga terluka? Justru Ari yang tertuduh mau selingkuh!
“Gue sama Nyokap bakal balik ke Malang besok.”
Kalimat Ata membungkam gerutuan Tari. Cewek itu menatap Ata kaget. “Besok? Maksudnya besok Minggu?”
Ata tersenyum kecut. “Iyalah.” Cowok itu menghela napas lagi. Kali ini lebih berat. “Kayaknya percuma gue sama Nyokap tetep tinggal di Jakarta.”
“Apa itu gara-gara... kejadian kemaren sama papanya Kak Ata?” tanya Tari hati-hati.
“Ari cerita ya ke elo?”
Tari baru akan menjawab, namun Ata menyela. Nadanya terdengar getir. “Enak banget ya. Ari selalu punya tempat pelarian buat rasa sakitnya. Dia bisa numpahin semua keluh kesahnya ke elo kapanpun dia butuh. Gue rasa gue juga nggak bakal sesakit ini kalo gue punya cewek kayak elo.”
“Tapi, Kak Ata kan punya Mama...”
“Itu beda, Tar,” tukas Ata. “Gue nggak bisa membagi setiap beban gue ke Nyokap, karena gue tau Nyokap sendiri udah punya beban yang lebih berat, dan gue nggak mau nambah-nambahin lagi. Justru gue yang harus selalu jadi penerima semua keluh kesah Nyokap. Gue yang harus selalu jadi tempat sandaran tiap kali Nyokap capek sama semua bebannya. Tapi gue nggak tau kemana gue sendiri harus bersandar kalo gue capek.”
Ata menundukkan kepala, berusaha meredam emosi. Tari menatapnya bingung, baru menyadari kebenaran kata-kata Ata. Itu artinya presepsinya tentang Ata selama ini salah. Ia kira Ata hidup lebih bahagia bersama ibunya, karena ia mempunyai sosok penuh kasih yang selalu menyayanginya. Berbeda dengan nasib Ari yang harus hidup bersama ayahnya. Namun ternyata kehidupan Ata jauh lebih berat.
Tari ikut menatap tanah di bawahnya, masih sambil berayun pelan.
“Tar?”
“Hm?” Tari menoleh, namun Ata tidak balas menatapnya.
“Boleh gue minta sesuatu?”
“Minta apa, Kak?” tanya Tari penasaran.
“Gue pingin ngerasain, sekali aja, sesuatu yang selama ini Ari dapetin.”
Tari menatap Ata dengan tak mengerti. Ata sendiri tersenyum tipis, masih tidak menoleh ke arahnya. “Lo tau selama ini Ari udah dapetin segalanya, lebih dari gue. Pendidikan, harta, masa remaja... Dan gue cuma minta satu hal, Tar. Untuk kali ini aja.” Ata menarik napas panjang, mendramatisir keadaan. “Mau nggak... lo peluk gue?”
Tari terkesiap mendengar permintaan Ata. Gadis itu terpaku di tempat. Ayunan yang dinaikinya pun ikut bergeming.
Ata tersenyum kecil. “Gue tau lo pasti nggak mau, karena kesetiaan lo ke Ari. Oke, gue ngerti. Gue nggak maksa, kok. Gue cuma... yah, gue lagi butuh sandaran aja. Kalo lo emang nggak mau, nggak pa-pa.”
Tiba-tiba Tari berdiri, dan dalam sedetik ia sudah berpindah ke depan Ata. Ata otomatis menghentikan ayunannya. Tanpa pikir panjang, Tari meraih kepala cowok itu dan menyandarkannya di dadanya.
“Untuk sekali ini aja, Kak,” kata Tari pelan sembari berpikir. Tadi Ata memintanya untuk tidak berselingkuh. Apakah dengan memeluk cowok itu bukan indikasi dari selingkuh?
Sementara Ata yang semula kaget dengan tindakan drastis Tari, kini kembali menemukan kata-katanya. Bahkan ia balas memeluk pinggang Tari erat. “Iya, Tar. Untuk sekali ini aja.” Perlahan, bibirnya mencetak senyum kemenangan.

***

“Menurut lo, yang mana yang lebih bagus?” tanya Ata kepada cewek di depannya.
Cewek itu mengamati dua lembar foto yang baru saja ia cetak. Mendadak, bibirnya meringis lebar. “Fotonya sih kita kasih liat yang sama Angga aja. Dan kalo yang adegan sama elo,” Ia mengeluarkan smartphone dari tasnya, membuka fitur galeri, dan menunjukkan sebuah video kepada Ata.
Ata menonton video yang berdurasi satu menit itu, lalu berdecak puas. “Hebat,” komentarnya. “Simpen dulu video itu. Gue bakal bikin rencana tambahan besok di Malang.”
Binar di kedua mata cewek tadi meredup. Ia menatap Ata dengan kecewa. “Apa lo bener mau balik ke Malang secepat ini?”
“Bener, lah. Lagian gue udah hampir sebulan tinggal di Jakarta.”
“Trus gimana dengan rencana kita?”
“Tenang aja. Udah gue atur. Jadi biar gue udah nggak di Jakarta, lo sama Angga tetep terusin perintah gue. Sisanya serahin ke Ari sama Tari. Mereka bakal ikutin skenario gue.”

***

“Kok lo tiba-tiba mau nginep sini, Tar?” Nyoman menatap Tari heran. Ia kaget saat tadi jam tujuh malam mendapati Tari berdiri di depan rumahnya, membawa ransel besar, dan berkata kalau dia mau menginap sampai besok Senin.
Tari merebahkan diri di tempat tidur Nyoman. “Lagi pingin aja, Man. Lo keberatan?”
“Bukannya keberatan sih,” Nyoman ikut mengempaskan pantat di sebelah Tari. “Tapi kan biasanya lo nginep di rumah Fio. Lo lagi marahan sama dia?”
“Nggak, lah,” jawab Tari langsung. “Cuma, tempat itu terlalu gampang ditebak,” gumamnya.
“Apa? Lo bilang apa?”
“Nggak pa-pa, hehe.” Tari menimpuk wajah Nyoman dengan bantal. “Man, jalan-jalan yuk? Malem Minggu gini masa lo kencan ama bantal?”
“Ayok! Jalan-jalan ke mana? Traktir ya?”
“Huuu, maunya.” Sekali lagi Tari menimpuk Nyoman sambil ketawa, kali ini dengan guling. “Bentar, gue telepon Fio dulu. Ajak dia sekalian.”
“Kalo gitu gue siap-siap deh. Lo keluar dulu sana, gue mau ganti baju.”
Tari melangkah keluar kamar Nyoman sambil menempelkan ponsel ke telinga. “Hei, Fi?” sapanya begitu Fio mengangkat telepon.
“Kenapa, Tar? Jangan bilang lo mau nangis lagi!” kata Fio tajam. Soalnya dia lagi males dengerin Tari nangis. Bikin dia merasa bersalah karena tidak bisa menghibur sahabatnya itu.
Tari meringis, meski tahu Fio tak akan bisa melihatnya. “Nggak, kok. Gue malem ini nginep di rumah Nyoman, dan kita mau jalan abis ini. Ikutan yuk?”
“Waah, kok nggak ngajak-ngajak dari tadi, sih? Kebetulan gue bosen banget di rumah. Oke, gue ke situ abis ini, tungguin ya.”
“Sip siiip...”

***

Akhirnya Fio bergabung untuk menginap di rumah Nyoman. Tari sengaja mematikan ponselnya malam ini. Ia memang sedang berusaha menghindar dari Ari. Paling tidak untuk malam ini dan sehari besok.
“Tar, Kak Ari nelepon gue, nih,” lapor Fio.
“Biarin aja, Fi! Jangan diangkat!”
Fio terpaksa menuruti, meski ia ngeri juga membayangkan konsekuensinya. Tak lama, giliran Nyoman yang ketiban getahnya. “Tar, sekarang Kak Ari nelepon gue,” lapornya.
“Dibilangin biarin aja. Nggak usah diangkat. Pokoknya kalo dia telepon ato SMS jangan ditanggepin, oke?”
Nyoman dan Fio bertatapan. Sebenernya Ari sama Tari sedang ada masalah apa, sih? Fio sudah bisa menebak, pasti ada hubungannya dengan foto yang kemarin Tari ceritakan. Tapi ia belum paham apa maksud Tari dengan menghindar seperti ini.
“Matiin aja deh tu HP lo berdua. Berisik, tau nggak.”
Mau tidak mau Fio dan Nyoman menurut.
Sementara di tempat lain, Ari masih berdiri di depan rumah Fio. Ia mengumpat pelan begitu panggilannya untuk Fio dan Nyoman tidak ada yang diangkat, padahal ia hanya memiliki kontak dua cewek itu, orang-orang yang bisa menghubungkannya dengan Tari.
Tadi ia sudah menelepon Tari berkali-kali. Berkali-kali juga gadis itu me-reject panggilannya. Langsung saja Ari tancap gas ke rumah Tari. Namun gadis itu sudah kabur, sementara sang Mama juga tidak mengetahui kemana Tari pergi karena anaknya tadi hanya pamit mau menginap di rumah teman selama dua malam. Tidak disebutkan siapa teman yang dimaksud Tari.
“Paling ke rumah Fio,” begitu kata Mama Tari.
Sasaran kedua Ari jelas rumah Fio. Tetapi baik Tari maupun si pemilik rumah tidak ada di sana, menginap di rumah teman juga katanya. Teman siapa, sih?!
Kembali Ari mengumpat. Darahnya mulai mendidih karena tingkah laku Tari malam ini. Otaknya mulai menangkap sinyal adanya sesuatu yang tidak beres. Kenapa cewek itu seperti sengaja menghindarinya?
Akhirnya Ari mengirim SMS ke nomor Tari.

Knp kabur2 dr gw?

Sementara SMS untuk Fio dan Nyoman lebih mengerikan lagi isinya.

Gw tau lo lg sma Tari! Awas ya lo brni rejct pgln gw! Liat aja ntr di sklh!

Begitu ancamnya! Gawat nggak tuh? Ari yakin salah satu dari cewek-cewek tadi memang sedang bersama Tari. Atau mungkin malah dua-duanya. Dan Ari yakin Fio atau Nyoman akan keder begitu membaca SMS darinya. Bener-bener tu SMS bisa bawa nightmare bagi siapa saja yang menerimanya, atau yang lebih parah, bisa bikin mati berdiri!
Tapi malang, Ari tidak tahu ponsel milik ketiga cewek tadi sedang dalam keadaan tewas, sementara pemiliknya sekarang lagi ngobrol riuh di kamar Nyoman sambil cekikik-cekikik seusai jajan bakso bareng. Aman, karena rumah Nyoman tidak akan terdeteksi oleh Ari.

***

Ata menyeret kopernya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menjinjing satu lagi tas pakaian besar. Keduanya baru saja turun dari taksi. Mama berjalan di sampingnya dalam diam.
“Ta?” panggil Mama sebelum keduanya memasuki lobi bandara.
Ata menoleh. “Kenapa, Ma?”
Mamanya terlihat gelisah. Tanpa ditanya pun Ata tahu apa yang tengah menggelayuti pikiran Mama. Ia meletakkan tas dan melepas kopernya, lalu memeluk Mama. “Tenang aja, Ma. Kita bisa balik ke Jakarta lagi kapan-kapan,” ucapnya lembut.
Mama menyandarkan kepalanya ke dada Ata, dada yang telah menyertainya selama bertahun-tahun dan menerima semua air matanya. “Tapi... Ari...”
“Ssst, nggak perlu khawatir tentang Ari. Dia anak yang kuat.”
“Tapi... apa nggak sebaiknya kita pamit ke dia?”
Ata menggeleng pelan. “Gimana kalo Ari melarang kita pulang? Atau gimana kalo Ari malah ingin ikut kita ke Malang?”
Mama terdiam. Kata-kata Ata memang benar. Hal-hal yang tadi disebutkan Ata adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi kalau mereka mengabari Ari tentang kepulangan mereka ke Malang hari ini. Dan segalanya akan bertambah runyam. Tidak ada satupun dari mereka yang ingin mengucapkan salam perpisahan. Atau bisa jadi malah Mama yang tidak ingin pulang ke Malang begitu melihat Ari. Jadi lebih baik memang seperti ini. Mereka pulang diam-diam.
“Kita kabarin Ari begitu kita tiba di Malang,” kata Ata lagi.
Mama mendongak, menatap wajah Ata, dan mengangguk pelan. Ata menunduk saat Mama meraih belakang kepalanya, membiarkan wanita yang sangat dicintainya itu mencium keningnya lembut.




           Bersambung...

Rabu, 12 November 2014

Jingga untuk Matahari #fanfiction-9

Ketika motor Ari berhenti di depan rumah Tari siang harinya, tidak ada kata-kata candaan seperti biasa. Keduanya membisu sampai Tari turun dari motor. Mereka masih menatap ke titik yang sama, kepada seseorang yang berdiri menunggu mereka di depan pagar.
Ata menoleh menyambut kedatangan Ari dan Tari. Ujung-ujung bibirnya terangkat. “Lama banget ditungguin. Untung gue belom sampe garing di sini.”
“Ngapain lo di sini, Ta?” tanya Ari.
Ata melangkah mendekat. Matanya melirik sekilas ke Tari yang berdiri di sebelah saudara kembarnya. “Gue mau minta tolong ke elo.”
“Minta tolong apa?”
“Tolong anterin gue ke rumah lo. Gue mau ketemu sama Bokap.”
Ari dan Tari sama-sama tidak menduga permintaan Ata. Tari yang sudah was-was begitu melihat Ata menunggu kepulangan mereka di rumahnya, langsung mencium akan adanya masalah di keluarga Ari lagi. Tapi ia tidak bisa melarang atau mencegah. Ia bukan seseorang yang memiliki hak untuk melakukan itu.
“Buat apa lo ketemu Bokap?” tanya Ari. Tak urung, suaranya terdengar tegang.
“Gue nggak akan nyari masalah. Gue nggak akan bikin lo kena getahnya, kalo itu yang lo takutin. Anterin aja gue ke sana,” sahut Ata. Tanpa meminta persetujuan Ari, dia naik ke boncengan. “Keberatan, bro?”
“Nggak,” kali ini tanpa ragu Ari menjawab, “Gue anter lo ke sana.” Sebelum pergi, ia menoleh ke Tari. “Buruan masuk.”
Tari mengangguk. Bibirnya membisikkan kata hati-hati, yang dibalas dengan anggukan samar oleh Ari. Saat tangannya membuka pintu pagar, motor Ari melaju meninggalkan jalanan depan rumahnya.
Tari berdoa semoga tidak terjadi hal buruk di antara Ari, Ata, dan ayah mereka. Sampai dia tidak menyadari bahwa hal buruk itu sendiri tengah menghadangnya. Tari membuka pintu depan, dan tubuhnya langsung terpaku. Tidak jauh di depannya, di karpet ruang tamu, ia melihat Geo, adiknya, sedang sibuk menyusun robot gundam bersama seseorang yang tidak ingin Tari temui.

***

Ari memacu motornya dengan kencang. Predikatnya sebagai raja jalanan kembali ia pertontonkan siang ini. Menyalip ke sana kemari, membuat manuver-manuver berbahaya, bahkan menerobos beberapa lampu merah. Ata tidak berusaha menghalangi. Ia biarkan saudara kembarnya kalut begitu mendengar keputusannya untuk datang menemui ayah mereka.
Sebenarnya Ata tidak berniat menemui ayahnya. Ini hanya rencana dadakan agar bisa menjauhkan Ari dari Tari untuk saat ini.
Dalam waktu tidak lebih dari lima belas menit, motor memasuki kompleks perumahan mewah tempat Ari tinggal. Ata menatap sekeliling, mengamati sekilas rumah-rumah yang mereka lewati. Ia sadar ia harus segera mempersiapkan hati.
Setelah melewati beberapa tikungan, motor berhenti di depan sebuah pagar rumah yang menjulang tinggi. Bahkan kalau Ari menurunkannya di depan kompleks dan menyuruhnya menebak sendiri yang mana rumahnya, Ata yakin ia akan berhenti di rumah ini. Rumah yang khusus dibangun ayahnya dengan segala simbol yang berhubungan dengan sang raja langit. Ata turun dari boncengan motor. Matanya masih tidak lepas dari rumah di depannya.
“Ayo masuk.”
Sengatan kebencian mengiringi setiap langkah Ata ketika membuntuti Ari masuk. Jadi begini hidup yang dijalani Ari selama ini. Saudara kembarnya itu hidup bermewah-mewahan di rumah yang bagaikan istana dengan ATM unlimited di dompetnya. Bebas menikmati masa-masa SMA dengan segala macam kenakalan yang diinginkannya. Ata mati-matian menjaga langkahnya tetap tegak dan mantap, meski ada dorongan kuat dalam dirinya yang menyuruhnya berlari keluar dari rumah ini.
Sementara itu, sengatan rasa bersalah dan malu menguasai diri Ari. Seperti Ata, perasaan itu membuatnya ingin berlari keluar. Melangkah masuk ke rumah mewahnya bersama Ata yang nasibnya entah bagaimana di Malang sana membuat Ari merasa menjadi saudara paling buruk di dunia. Saat dirinya tidur di springbed king size, mungkin Ata harus tidur berdesak-desakan dengan para sepupunya, atau bahkan mungkin tidur tanpa alas. Saat dirinya bebas menghambur-hamburkan uang, mungkin Ata rela bekerja siang dan malam untuk menghidupi dirinya dan Mama. Saat dirinya bebas berlibur ke mana saja, mungkin Ata sibuk membantu Mama mengantarkan pesanan jahitan...
Mereka hampir tiba di pintu depan ketika langkah Ari terhenti tiba-tiba. Ata yang berjalan di belakangnya kontan berhenti juga. Tak bisa menahan diri, Ari memeluk Ata erat. Tubuhnya berguncang bersamaan dengan air matanya yang jatuh di pundak saudara kembarnya.
“Maafin gue, Ta. Maaf.”
Ata tertegun. Tidak ia sangka Ari akan merasakan penyesalan sedalam ini sampai menangis. Ia kira Ari akan membukakan pintu dengan sombong dan mungkin memamerkan kamarnya yang ukurannya bisa dua kali lipat dari rumahnya di Malang. Tapi ternyata ini yang ia dapat. Air mata saudara kembarnya dan bisikan permohonan maaf. Sosok Ari sebagai adik kecilnya yang lemah baru ia lihat kembali hari ini setelah bertahun-tahun mereka berpisah.
“Ri...”
“Gue bego banget nggak berusaha lebih keras nyari elo dan Mama selama ini. Gue terlalu cepat putus asa. Seharusnya gue terus nyariin kalian sampe ketemu. Seharusnya gue nggak membiarkan kalian bekerja begitu keras di Malang.”
Ata membalas pelukan Ari erat. “Nggak ada yang perlu disesali. Yang penting gue ada di sini sekarang. Di pelukan elo. Dan nggak usah merasa bersalah. Bukan kita yang menyebabkan semua ini terjadi. Elo udah cukup hebat dengan bertahan melewati semuanya selama ini.”
Sisi gelap dari diri Ata muncul seketika, mendominasi pikiran cowok itu. Meski bibirnya membisikkan kata-kata menenangkan dan tangannya memeluk saudara kembarnya, otaknya sekarang tertuju pada rencananya yang ternyata berjalan jauh lebih sempurna.

***

Tari membeku dan membisu.
Geo yang pertama menoleh ke arahnya begitu mendengar pintu terbuka. “Kak Tari udah pulang? Mama sama Papa lagi ada acara di luar. Untungnya ada Kak Angga yang nemenin aku. Lihat, dia bantuin aku masangin bagian-bagian yang susah dari robot ini. Kak Angga emang hebat!”
Angga mengacak rambut Geo. “Ge, Kak Angga mau ngomong sebentar sama kakak kamu. Kamu tungguin di dalem ya. Lain kali Kakak bantuin lagi nyusun robot.”
Geo mengangguk patuh. Ia membereskan susunan robotnya, lalu mengangkutnya ke dalam. Sementara Tari masih berdiri mematung di ambang pintu. Begitu Angga berdiri dan berjalan mendekat, cewek itu balik badan, berlari sekencang-kencangnya keluar rumah.
Tangan kanannya bahkan baru menyentuh pintu pagar ketika tangan kirinya dicekal dari belakang.
“Lepasin, nggak?! Lepasin! Jangan sentuh gue!” Trauma akan sentuhan Angga kembali menyerang. Tari meronta-ronta berusaha melepaskan diri, yang malah membuat tangannya dicekal makin ketat.
“Ssst, Tar, gue nggak ada niat buruk sama elo. Gue cuma mau ngomong. Kita bicarain ini di dalem. Malu kan kalo lo teriak-teriak diliatin tetangga-tetangga lo?”
“Biarin! Gue nggak mau masuk ke dalem! Gue nggak mau denger apapun dari elo! Lepasin!”
Tidak ada cara lain. Mungkin tindakan Angga bisa dibilang tindak kriminalitas. Suasana sekitar begitu sepi karena orang-orang sedang malas keluar di tengah teriknya matahari siang itu. Angga mengeluarkan sapu tangan dari saku kemejanya. Sapu tangan yang sudah ia bubuhi obat tidur, berhasil membuat tubuh Tari melemah. Dosisnya memang sengaja ia atur agar tidak membuat Tari pingsan, karena ia tidak punya banyak waktu untuk menunggu gadis itu siuman.
Tari tidak bisa melawan pengaruh obat bius yang dipaksakan masuk lewat hidungnya. Ia tidak bisa meronta. Ia tidak bisa bicara. Sebelum tubuhnya lumpuh, ia meneriakkan nama Ari keras-keras. Namun tidak seperti harapan, teriakan itu tidak keluar dalam bentuk jeritan melalui tenggorokannya. Hanya menggema dalam tempurung kepalanya sendiri. “Kak Ari! Tolong!!

***

Sebuah ide tentang apa yang harus ia katakan terlintas di benak Ata tepat saat Papa muncul di hadapan mereka.
Papa menatap kedua anak kembarnya dengan alis terangkat. Detik ini dia baru menyadari begitu serupanya kedua anak ini meski waktu telah memisahkan mereka cukup lama. Bahkan mungkin ia akan kesulitan mengenali Ari kalau saja anak itu tidak memakai seragam sekolah.
“Ada yang ingin kalian bicarakan?” tanyanya datar.
“Ya. Ada sesuatu yang ingin Ata dengar dari mulut Papa,” sahut Ata tegas. “Mumpung Ata dan Ari berdiri di depan Papa sekarang, tolong beritahu kami apa yang membuat Papa membenci Mama.”
Ari tidak kalah kaget dengan Papa saat mendengar kalimat berani Ata. Setelah sekian lama, ia baru benar-benar disadarkan oleh pertanyaan yang selama ini mengganggunya. Apa yang membuat Papa begitu membenci Mama? Apa yang tiba-tiba membuat mereka bercerai bertahun-tahun yang lalu? Kini Ari ikut menatap papanya yang terdiam, menuntut jawaban.
Ditatap seperti itu oleh kedua anaknya, Papa menghela napas sejenak. “Duduklah,” katanya kemudian, menyuruh mereka duduk di salah satu sofa panjang. Ia duduk di hadapan kedua anaknya, terdiam lagi untuk mengulur waktu.
“Papa rasa kalian sudah cukup dewasa untuk menilai ini.” Pria paruh baya itu memijat pelipisnya. Otaknya memutar kembali peristiwa bertahun-tahun lalu, yang kemudian ia suarakan untuk didengar oleh kedua putranya. “Waktu itu Papa belum begitu berpengalaman bisnis. Jadi Papa termakan omongan teman. Papa menanamkan saham kepadanya dalam jumlah besar, dengan iming-iming keuntungan berlipat ganda. Kalian bisa menebak sendiri apa yang terjadi setelah itu.”
“Papa ditipu,” kata Ari.
“Dan Mama marah,” sambung Ata.
“Ya. Papa ditipu. Bukan hanya sekali, tapi dua kali. Papa memang bodoh. Widia jelas marah besar. Kalian tau waktu itu keluarga kita hidup pas-pasan. Tabungan kami ludes. Padahal kebutuhan kita semakin banyak. Setelah hari di mana Papa mengaku kalau Papa ditipu, semuanya menjadi berbeda. Tatapan dan sikap Widia tak lagi sama. Papa berusaha meyakinkan dia untuk bersabar dan memulai lagi pelan-pelan. Bagaimanapun caranya Papa akan berusaha agar kalian bisa bersekolah seperti biasa. Tapi suatu hari, mungkin karena Widia tidak tahan lagi, ia mengucapkan sesuatu yang tidak akan pernah Papa lupakan.” Perlahan rahang Papa mengeras. Ata dan Ari bertukar pandang sejenak.
“Apa yang Mama katakan?” tanya Ari pelan, kembali menatap ayahnya.
“Dia mengatai Papa sebagai lelaki yang tidak becus menafkahi keluarga. Bahkan kalian, sebagai anak-anak kami, ia rasa lebih bisa menghasilkan uang daripada Papa. Dulu memang sempat ada tawaran bermain film untuk pasangan anak kembar. Tapi Papa melarang. Papa ingin kalian bersekolah dengan benar tanpa harus kelelahan syuting ke sana kemari. Papa dulu sering bilang kepada kalian, “Sekolah yang rajin dan benar. Papa mau anak-anak Papa jadi orang cerdas dan sukses.” Ingat?”
Ata dan Ari mengangguk-angguk. Mereka ingat betul Papa sering berkata seperti itu kepada mereka.
“Lalu puncaknya, mama kalian mengancam, kalau sampai Papa belum bisa melunasi cicilan rumah akhir bulan itu dengan uang Papa sendiri, ia memilih untuk pulang ke Malang.” Papa tersenyum kecut. Matanya menyorotkan luka. “Masalah cicilan rumah sudah tidak penting lagi setelah itu.”
Suasana menjadi hening. Cerita seperti itu tidak pernah terlintas sedikit pun di benak Ata maupun Ari. “Itu sebabnya Papa menceraikan Mama?” tanya Ata lirih.
“Ya. Papa sudah tidak mau hidup dengan wanita yang tidak bisa bersabar dan tidak bisa mendukung suaminya dalam keadaan apapun. Papa tidak tau apa Widia menyesal dengan kata-katanya dulu, tapi sebagai seorang lelaki dan suami, Papa tidak bisa memaafkan ucapannya.” Papa mengakhiri cerita. Ia menatap Ata dingin. “Sekarang kamu pulanglah. Kembalilah ke Malang seperti keinginan mamamu dulu. Kehidupan kita sudah berbeda sekarang.”
“Kenapa?” geram Ata dengan kepala tertunduk. Ari tertegun mendapati suasana hati Ata yang tiba-tiba berubah. “Kenapa Papa bilang kehidupan kita sudah berbeda? Papa nggak nganggep Ata sebagai anak Papa lagi, gitu?!” Suasana meledak ketika kesabaran masing-masing pihak habis. Ata mulai berteriak. Ia berdiri sambil menggebrak meja yang memisahkan dirinya dengan Papa. “Kenapa yang Papa perhatiin cuma Ari? Apa gara-gara dulu Ata cuma anak bandel yang bisanya ngerepotin? Jadi Papa lebih memilih Ari? Ata dibuang begitu aja? Dibiarkan hidup menderita di Malang?”
“Ata!” bentak Ari, terlalu kaget dengan kata-kata Ata.
“Salahkan mamamu kalau hidup kamu di Malang serba kekurangan! Kalau dia bisa lebih sabar, mungkin keluarga kita masih utuh dan tinggal di rumah ini sekarang tanpa pusing memikirkan masalah uang!” Papa ganti berteriak.
“Jadi Papa nyalahin Mama?” balas Ata lagi.
“Tentu saja! Karena dia yang membuat keluarga kita berantakan,” sahut Papa. “Buat apa Widia mengajakmu ke Jakarta sekarang? Pasti bukan karena Ari. Dia tau Papa telah sukses, jadi dia ingin meminta uang dari Papa, kan? Kalian sudah tidak tahan hidup kekurangan di Malang, kan? Dan karena dia belum mendapat apa yang diinginkannya, kalian sampai sekarang belum kembali lagi ke Malang. Dasar wanita tidak tau malu!”
“Papa, cukup! Jaga ucapan Papa!” bentak Ari lagi, benar-benar sakit mendengar kata-kata Papa yang keterlaluan menuduh Mama.
Sementara itu Ata semakin meradang. Kemarahan dan kekecewaan atas semua ketidakadilan yang ia terima selama ini membuncah keluar. “Kalau ini semua memang salah Mama, kenapa Ata juga yang kena? Kalau memang Papa membenci Mama, kenapa Papa ikut membenci Ata juga? Kenapa Ata ikutan susah atas masalah kalian?!”
Pangkal kemarahannya memang berasal dari Papa, karena ayahnya itu dulu lebih memilih Ari ketimbang dirinya. Ketika memikirkan kenyataan itu tepat di depan si pelaku, kedua mata Ata mulai perih. Tapi ia menolak menangis di hadapan Papa dan Ari. Ia telan semua air mata yang mendesak keluar, yang menyebabkan suaranya bergetar ketika melanjutkan, “Apa Papa nggak tau? Selama sembilan tahun Ata bekerja keras, dengan memegang kata-kata Papa untuk tetap bersekolah dengan rajin. Selama sembilan tahun setelah Papa dan Mama cerai, Ata yang bayar biaya sekolah Ata sendiri, Pa! Ata rela kerja apapun sejak SD biar bisa sekolah, biar bisa jadi orang sukses. Demi apa? Demi Papa! Demi Mama juga!”
Ata berteriak semakin keras dan kalap. Tidak ada yang menghentikannya sekarang. “Tapi lama-kelamaan Ata sadar, percuma Ata jadi orang sukses kalau nggak bisa nunjukin itu semua ke Papa. Ata nyerah! Capek! Ata milih jadi montir sekarang karena Ata udah nggak peduli sama Papa yang juga nggak pernah peduliin Ata.”
Aliran kata-kata keras dari mulut Ata membungkam Papa dan Ari. Keduanya masih terpaku di tempat sampai Ata berjalan menjauh. Setelah beberapa langkah, ia berhenti, membalikkan badan dan manatap Papa tepat di mata, mengatakan sesuatu untuk terakhir kalinya. “Apapun itu yang tadi Papa bilang soal Mama, itu cuma tuduhan nggak masuk akal. Mama nggak akan pernah sudi nerima duit sepeser pun dari Papa.” Ata terdiam sejenak, mengambil nafas panjang. “Asal Papa tau. Di Malang, Mama selalu nangis tiap malem sambil nyebut-nyebut nama Papa dan Ari. Itu bentuk penyesalan Mama yang paling dalem. Dan cuma Ata yang ada di sana buat meluk Mama.”

***

Tari masih setengah sadar saat Angga menggendongnya masuk ke rumah. Cowok itu membaringkannya di sofa, duduk di sebelahnya, dan menatapnya lekat-lekat.
“Mungkin kata maaf nggak akan cukup mewakili penyesalan gue. Tapi lo harusnya memahami posisi gue, Tar. Gue mau ngelindungin Gita. Dan bukan berarti gue berniat nyakitin elo demi keinginan gue itu.”
“Elo jahat, Ga! Pergi aja lo!” usir Tari dengan suara lemah. Tangannya memukul-mukul dada Angga dengan gerakan lemah juga. Air mata mulai menetes dari sudut matanya.
“Gue nggak akan pergi. Mulai sekarang, gue nggak akan pernah ninggalin lo lagi,” sahut Angga tegas. Ia menangkap kedua tangan Tari, dan kedua matanya mengunci kedua bola mata cewek itu. “Tar, jauhin Ari ya? Sstt, gue ngomong gini demi kebaikan elo juga. Dengerin gue. Ari bukan cowok baik buat elo.”
“Atas dasar apa lo ngomong kayak gitu? Lo pikir lo siapa sampai berani nentuin dia bukan cowok baik buat gue?” sahut Tari marah, perlahan menemukan kekuatannya.
Angga menghela napas dan berdecak pelan. Ini dia saatnya. “Kalo lo mau tau, ini yang gue dapet tadi pagi.”
Rasanya bagai tersambar petir bagi Tari saat menerima selembar foto yang disodorkan Angga. Ia menatap foto itu lekat-lekat, berharap setengah mati bahwa yang menjadi objek di foto tadi bukan cowoknya. Tapi tidak ada hal di dunia ini yang bisa menipunya kalau itu bukan Ari. Meski kenyataan berkata bahwa Ari memang memiliki saudara kembar, Tari tahu itu bukan Ata. Itu memang Ari! Astaga...
Di dalam foto yang sedang dilihat Tari, si fotografer begitu pintar mengambil sudut tembak hingga yang terlihat sebagai latar belakang adalah dinding kelas, bukan kerumunan yang sebenarnya ada di sekitar mereka, sehingga suasana di dalamnya terlihat sepi. Objek utama dalam foto itu adalah Ari, dengan Vero yang mengalungkan lengannya di leher cowok itu dan Ari sendiri mencengkeram bahu Vero, tengah berciuman. Sekali lagi karena kepintaran si fotografer, ia memotret tepat saat Ari memejamkan mata karena kaget, sehingga apa yang dilihat Tari adalah cowok itu tengah menikmati momen yang terjadi.
“Ini...” Napas Tari memburu. Ia tidak sanggup berkata-kata.
“Lo boleh simpen foto itu sebagai bukti. Untuk saat ini, gue serahin ke elo apa keputusan yang mau lo ambil. Lo bisa minta nomor gue ke Gita kalo bingung gimana mau ngehubungin gue. Oke?”
Terakhir, Angga meraih salah satu tangan Tari yang tidak sedang memegang foto. Ia meletakkan sesuatu di sana. Kelopak bunga yang berasal dari mawar merah pemberiannya, yang beberapa waktu lalu sengaja disimpan Tari dalam kamusnya. Setelah itu Angga pergi. Meninggalkan Tari begitu saja saat cewek itu megap-megap menghirup oksigen yang tiba-tiba sulit masuk ke paru-parunya.

***

Jadi ini alasan Papa selalu bekerja keras sehingga tidak pernah ada di rumah. Luka masa lalu atas kata-kata Mama menjadi pemicu bagi Papa untuk terus mengejar kekayaan materi. Ari menatap marah kepada Papa, masih tidak terima atas tuduhan tak berperasaan Papa tadi. Ayahnya itu sedang duduk dengan wajah muram. “Kenapa Papa tega...”
“Kalau kamu masih mau protes, nanti saja. Papa capek.” Tanpa mengindahkan Ari, Papa berdiri dari sofa.
Ari menatap kepergian Papa sampai pria itu masuk ke kamarnya. Rahasia besar antara Papa dan Mama tentang alasan mereka bercerai akhirnya terkuak. Ari jadi ingin mendengar kisah ini versi Mama, yang pastinya akan penuh dengan air mata penyesalan dibanding kemarahan seperti Papa. Ari tahu Mama pasti sangat menyesal. Ibunya adalah jenis wanita yang lemah lembut dan berhati lunak. Pasti saat itu Mama sedang benar-benar marah entah karena apa sehingga mengucapkan kata-kata kasar kepada Papa. Apapun itu, seharusnya tidak jadi seperti ini! Perceraian ini menghancurkan segalanya!
Ari melangkah gontai ke kamarnya sendiri. Ia bahkan sampai lupa mengantarkan Ata pulang. Tiba di kamar, ia terjun ke tempat tidur dan menutup kepalanya dengan bantal. Ari ingin mengenyahkan semua kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir Papa maupun Ata. Tapi tidak bisa. Kenyataan yang diteriakkan oleh kedua orang itu terus menggema di telinga dan otaknya.

***

Tari tidak tau apa yang harus ia lakukan. Dengan foto itu. Dengan kelopak mawar itu. Tubuhnya lemas. Kali ini bukan karena pengaruh obat bius. Foto yang tadi diberikan Angga mempunyai efek lebih dahsyat bagi tubuhnya daripada obat bius. Ia menolak bergerak dari sofa. Cewek itu tetap berbaring di sana selama beberapa saat. Ia baru kembali ke kamar saat Geo bilang teman-temannya akan datang bermain.
Malam ini malam Sabtu. Malam di mana biasanya Ari datang ke rumahnya. Entah untuk membantunya mengerjakan PR atau mengajaknya berjalan-jalan keluar. Gadis itu kebingungan. Apa yang harus dilakukannya begitu berhadapan dengan Ari? Apa yang harus ia katakan?
Pukul tujuh malam, mendadak ponselnya berdering, memunculkan nama cowok yang sejak tadi menjadi objek pikirannya. Keputusan spontan jelas me-reject panggilan itu. Satu SMS langsung ia terima begitu tiga kali ia menolak menjawab panggilan Ari.

Knp lo reject? Lupa kata2 gw soal me-reject pgln?

Sambil menggigit-gigit bibir, Tari mengetik balasan. Tapi belum sampai ia mengirimnya, satu pesan lagi masuk. Masih dari orang yang sama.

Gw otw ke rmh lo

Tari tidak ingin bertemu cowok itu sekarang. Ia tidak ingin melihat wajah cowok itu saat ini. Cepat-cepat ia membalas.

Sori, Kak. Gw lg pusing

Satu balasan lagi ia terima dalam jangka waktu kurang dari setengah menit.

Plis, Tar. Gw butuh elo skrg

Pertahanan Tari luluh lantak. Dilema yang ia rasakan runtuh seketika. Cukup dengan mendengar bahwa Ari membutuhkannya, ia langsung merasa mempunyai kewajiban untuk berada di sisi cowok itu, bagaimana pun keadaannya. Tari menghirup napas dalam-dalam.

Oke. Gw tunggu

Dua puluh menit setelah pesan balasan itu terkirim, Tari mendengar suara motor berhenti di depan rumahnya. Sekali lagi ia menghirup napas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya dengan oksigen.
“Tari, dicariin Ari,” panggil Mama dari luar kamarnya.
“Iya, Ma. Tunggu sebentar.” Tari menatap dirinya di cermin sekali lagi. “Ayo, Tari. Hadapi aja,” bisiknya penuh tekad, kemudian keluar kamar.
Sebulat apapun tekadnya di dalam kamar tadi, semua itu langsung musnah begitu ia tiba di hadapan Ari. Tari yakin ia tidak akan sanggup menatap mata Ari secara langsung tanpa memikirkan apa yang telah diperbuat cowok itu di belakangnya. Hatinya serasa diremas-remas seiring berkurangnya jarak antara ia dan Ari. Tapi cowok itu bahkan tidak menatapnya. Ari sedang duduk di sofa ruang tamu sambil bertopang dagu, tenggelam dalam lamunan dengan pandangan kosong.
Tari tetap melangkah mendekat tanpa suara. Pikiran Ari sepertinya benar-benar sedang berada di alam lain, sehingga ketika Tari yang kini telah berdiri tepat di depannya menepuk bahunya pelan, cowok itu terlonjak kaget.
“Tar,” panggilnya pelan.
Detik itu juga Tari menyadari Ari sedang mengalami waktu yang berat. Hal itu terpancar jelas di kedua matanya. Sorot tersiksa dan terluka. Refleks ia melupakan sejenak permasalahan hatinya tentang foto kontroversial Ari dengan Vero. Cewek itu menangkup kedua pipi Ari dan bertanya khawatir, “Kenapa, Kak?”
“Gue akhirnya tau...” kata Ari lirih. “Gue akhirnya tau alesan Bokap Nyokap gue cerai.”
Jadi ini yang tadi menjadi bahan pembicaraan antara Ata, Ari, dan ayah mereka. Yang pasti berujung tidak baik, seperti biasa. Tari terdiam. Ia biarkan Ari meneruskan ceritanya. Namun Ari juga memilih diam, hingga Tari menyimpulkan bahwa pembicaraan keluarga tadi siang cukup menguras emosi sampai-sampai Ari tidak sanggup mengulang kembali percakapan itu.
Tiba-tiba Ari berdiri. Tangannya meraih pergelangan tangan Tari.
“Kak, mau kemana?” tanya Tari saat Ari menyeretnya keluar rumah.
“Ke tempat gue bisa meluk elo.”

***

Ata baru tiba kembali di rumah Tante Lidya saat matahari hampir terbenam. Mama menyambutnya dengan khawatir.
“Ata, kamu kemana aja seharian ini? Kenapa baru pulang jam segini?” Mama mengusap rambut dari dahi Ata, sementara cowok itu sendiri menatap kosong ke lantai. Wajahnya pucat.
“Ata, Nak...”
Ucapan Mama terhenti oleh pelukan Ata. Cowok itu tanpa malu menangis tersedu di bahu mamanya. “Ayo kita balik ke Malang, Ma,” isaknya. “Ata nggak mau tinggal di Jakarta lebih lama.”
Mama terkejut karena dua hal. Yang pertama adalah karena sebelumnya, Matahari-nya yang satu ini belum pernah menangis seperti ini selama sembilan tahun terakhir. Selama ini Ata selalu terlihat tegar, selalu siap meminjamkan dadanya sebagai tempat Mama menyandarkan diri dan menumpahkan air mata. Tak pernah sedikit pun Ata meluapkan emosinya dalam bentuk tangis kesedihan, sesulit apapun keadaannya. Yang kedua, adalah karena permintaan Ata untuk segera kembali ke Malang. Tapi Mama mengerti, keadaan semakin sulit setelah kehadiran mantan suaminya di antara mereka.
Perlahan, Mama mengusap punggung Ata. “Iya. Kita akan kembali ke Malang secepatnya.”

***

Ari meninggalkan motornya di depan rumah Tari. Ia dan gadis itu berjalan bersama bergandengan tangan tanpa suara maupun tujuan. Sampai mereka tiba di sebuah taman. Karena malam itu malam Sabtu, taman kompleks yang tidak terlalu luas ini lumayan ramai. Beberapa pedagang yang sibuk melayani pembeli dan anak-anak yang sedang bermain kembang api menceriakan suasana.
Ari menggandeng Tari ke arah kolam ikan yang terletak di salah satu sudut taman. Di depannya terdapat kursi semen. Ari melepaskan tangan Tari, kemudian duduk menghadap kolam, kembali menatap kosong ke arah titik-titik cahaya lampu taman yang terpantul di permukaan kolam.
Tari berdiri bingung. Setelah bergerak-gerak gelisah tanpa tujuan selama beberapa saat, akhirnya ia mengambil keputusan. Pelan-pelan ia berjalan mendekati punggung Ari. Dengan ragu dan sedikit rikuh, ia melingkarkan kedua lengannya ke leher Ari, memeluk cowok itu dari belakang.
Tubuh Ari sedikit tersentak. Sampai kemudian ia merasakan napas Tari yang hangat berhembus pelan di lehernya.
“Gue nggak akan pernah ngerti gimana sulitnya kehidupan elo, Kak,” kata Tari lirih. “Gue nggak akan bisa bayangin kayak apa sakit yang lo rasakan selama ini. Dan gue mungkin nggak akan bisa nyembuhin luka-luka lo. Jadi tolong bilang ke gue, apa yang bisa gue lakuin untuk sedikit meringankan beban elo?”
“Dengan selalu ada di samping gue, Tar,” sahut Ari setelah terdiam beberapa detik. “Dengan selalu bersedia meluk gue kayak gini tiap gue kesakitan.”

***

Malam ini ada begitu banyak air mata yang tumpah. Termasuk milik Tari. Sepulangnya dari acara berjalan-jalan tadi, Ari langsung pamit. Dan begitu Tari sendirian di kamar, air matanya tak terbendung lagi.
Sesuatu di dalam dadanya berdenyut sakit, menimbulkan sesak yang makin lama makin menyiksa. “Elo tega, Kak,” katanya lirih di sela isakannya. “Gue selalu ada buat elo. Kenapa elo mengkhianati gue?”
Isakannya semakin menjadi, tapi berusaha ia redam dengan menenggelamkan wajah pada bantal. Ia tidak ingin keluarganya mendengar tangisannya. Di luar kesadaran, ia meraih ponsel dan menelepon sahabatnya.
“Ya, Tar?” sahut Fio di seberang.
Cerita Tari langsung meluncur deras sehingga Fio tidak bisa menyela sedikit pun. Mulai dari peristiwa pulang sekolah sampai yang baru saja terjadi.
“Gue harus gimana, Fi?” tanyanya pada akhirnya.
Fio, yang dari tadi cuma bisa diam terkaget-kaget, menghela napas sebentar. “Jangan nanya gue, Tar. Gue nggak bisa mutusin yang terbaik buat elo. Ini udah nyangkut perasaan. Tanya aja sama hati lo sendiri, lo beneran percaya sama Ari apa nggak?”
Tari kembali tenggelam dalam tangisnya, membuat Fio kebingungan. “Tar, jangan nangis gitu, dong...”

“Fio...” potong Tari lirih, kesulitan berbicara, “Fio... Gue sayang dia, Fi. Gue mencintai Ari dan nggak akan ada yang bisa mengubah perasaan itu.”




Bersambung...




Halooooo!! Ketemu lagi sama akuuu, hehe
Lama ya nungguinnya? Maaf yaaa :(
Kemaren badan sempet drop lamaa, sampe bolos sekolah seminggu lebih
Trus masuk-masuk tugas sekolahnya udah segunung
Aduh puciiiiing *malah curcol*
Lanjutannya nggak janji bisa cepet
Ini aja udah aku post dua part sekalian, banyak banget lagi, jadi ya sabar aja
Makasiiih udah baca karya aku yg rada2 gaje ini, heuheuheu