Jumat, 08 Mei 2015

Jingga untuk Matahari #fanfiction-20

Sinar matahari sore membangunkan Ari dari tidurnya yang tak bermimpi. Selama beberapa saat, ia membiarkan tubuhnya tetap berbaring terlentang. Matanya berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan dengan cahaya yang memenuhi kamarnya. Otaknya berputar cepat mengumpulkan memori beberapa jam terakhir, dan seketika itu pula kepalanya berdenyut sakit.
Saat melirik jam di dinding, Ari menyadari bahwa ia tertidur hampir 6 jam penuh. Tubuhnya nyaris tak punya daya untuk bangkit, namun Ari memaksakan diri. Ia tidak ingin hanya berbaring malas-malasan di sini tanpa mengetahui kabar terbaru kondisi kedua sahabatnya. Jadi ia segera mandi dan bersiap untuk pergi.

***

“Ganti channel bisa kali, Ji. Cari yang bening gitu, kek. Suaranya bikin kepala gue mau pecah, nih.”
“Yee, semuanya sama aja, Dho. Nggak ada yang jernih salurannya.”
“Matiin aja deh. Matiin.”
“Tadi lo sendiri yang minta nonton tivi. Gimana, sih?”
Tepat ketika Oji menekan tombol power di remote dan layar televisi padam, pintu kamar mereka terbuka. Ari berdiri di ambangnya. Tubuhnya membeku, sama seperti ketika ia pertama kali membuka pintu ruangan ini.
Ari, Ridho, dan Oji belum pernah seemosional ini sejak mereka bersahabat. Belum pernah ada sejarahnya mereka merasa begitu bahagia bisa melihat sahabat-sahabatnya seperti saat ini. Sejenak, ketiganya hanya saling bertukar pandang.
“Hei, Bos,” panggil Oji lirih. Bibirnya melengkungkan senyum.
Ari balas tersenyum. Senyum sedih dan lelah, namun juga lega. “Hei, Ji.”
“Masuk, Ri. Jangan bengong aja di pintu.” Kali ini Ridho yang bicara. Suaranya serak, hingga ia berdehem-dehem untuk membersihkan tenggorokannya.
Ari melangkah masuk, lalu menutup pintu. Setelah semalaman dicekam berbagai macam ketakutan dan rasa gelisah, sekarang ia bisa sedikit bernapas lega melihat kedua sahabatnya telah siuman. Ia melangkah menghampiri Oji yang duduk di tempat tidurnya, kemudian memeluk sahabatnya itu erat.
“Wow, wow, ati-ati, Bos. Ng.. rusuk gue masih memar.”
Ari buru-buru melepas pelukannya. “Sori, sori.”
Oji nyengir. “Nggak masalah. Nggak lama lagi juga sembuh.”
Ari beralih ke tempat tidur Ridho. Temannya itu belum bisa duduk. Masih berbaring dengan kepala diperban. Namun seulas senyum tersungging di bibirnya. “Lo baik-baik aja, kan?” tanyanya.
Ari mengangguk. “Nggak separah kalian,” jawabnya pelan. Ari tidak bisa membendung emosinya lagi. Air matanya perlahan jatuh, bentuk penyesalannya yang terdalam. Tangannya menggenggam salah satu tangan Ridho erat-erat. Kepalanya menunduk. “Apa gue masih pantes minta maaf ke kalian?” bisiknya pedih.
“Buat apa lo minta maaf?” balas Ridho lemah. “Bukan salah elo, Ri. Sama sekali bukan.”
“Ridho bener, Bos,” timpal Oji. “Lo nggak salah. Emang posisi kita aja yang waktu itu lagi nggak menguntungkan. Kita nggak pernah nyalahin elo. Jangan feeling guilty gitu, lah.”
“Jangan nangis, ah. Gue jadi tersanjung nih ditangisin Matahari Senja si kepala batu,” kata Ridho lagi.
Ari menghela napas dalam-dalam. Diusapnya air mata yang masih mengalir, lalu mengangkat wajah. Diberinya sebentuk senyum kepada Ridho. “Thanks, Dho.” Kemudian kepalanya beralih menoleh ke Oji. “Thanks, Ji.”
No problem,” jawab Ridho, sejenak meremas tangan Ari di genggamannya.
“Gimana kepala elo?” tanya Ari.
“Cuma gegar otak ringan. Nggak kenapa-napa. Masih pusing aja. Efek bius juga. Gue belom boleh duduk terlalu lama. Tapi tenang aja, kepala gue nggak kalah keras kok dari kepala elo.”
Ari tertawa kecil. “Elo gimana, Ji?” tanya Ari lagi.
“Yah, gue udah bilang tadi. Rusuk gue memar, untungnya nggak ada yang retak ato patah. Beberapa hari lagi pasti udah baikan. Tapi sama kayak Ridho, gue belom boleh duduk terlalu lama ato jalan-jalan. Bikin bete aja,” gerutu Oji.
“Yah, gue juga pasti bakalan bete di kelas kalo nggak ada kalian. Garing tau nggak. Ato gue pura-pura sakit aja ya biar bisa nemenin kalian di sini?” kata Ari nyengir.
“Wah, jangan, Bos!” Oji pura-pura melotot ngeri. “Ntar Bu Sam marah kalo pas nengokin kita, trus dia liat kita bolos barengan gini di rumah sakit. Kasian si Ridho kalo harus dengerin ceramahnya Bu Sam. Bisa beneran ancur kepala dia. Jadi mending lo tetep sekolah, jadi anak baik dan duduk manis di bangku lo, trus sampein salam kita buat Bu Sam. Salam kangen, gitu ya.”
“Bikin bete aja,” sahut Ari meniru gerutuan Oji tadi. Ridho tertawa kecil, sementara Oji cuma nyengir karena dadanya masih sakit untuk diajak tertawa.
Ari tersenyum tipis. Dia sungguh tidak suka membayangkan harus melewati hari-hari di kelas tanpa kedua sahabatnya ini. Ia bergerak ke tempat tidur Oji, lalu duduk di sana, di dekat kaki sahabatnya. Ia tidak berani duduk di tempat tidur Ridho, takut kalau gerakannya membuat kepala Ridho sakit.
“Gue mau cerita sesuatu ke kalian,” katanya pelan.
Oji beringsut mendekat dengan hati-hati, berusaha tidak membuat banyak gerakan pada tubuhnya. “Cerita aja. Kita siap dengerin.”
Ridho berbaring sedikit menyamping agar bisa melihat ke arah Ari. “Ya. Cerita aja. Gue tau lo pasti punya banyak berita sejak kejadian kemaren sore.”
Ari menarik napas panjang, kemudian menahannya sebentar sebelum akhirnya ia hembuskan keras-keras. Tidak mungkin baginya untuk bercerita tanpa emosi. Memikirkannya saja sudah berhasil membuat dadanya sesak. Namun akhirnya, ia memulai cerita itu. Semua yang terjadi sejak Ridho dan Oji tak sadarkan diri di area tawuran kemarin. Bagaimana mereka bisa selamat, dan apa yang harus Ari bayar setelahnya. Suaranya lirih dan tersendat. Kalimatnya kadang tedengar berantakan. Ridho dan Oji mendengarkan dengan penuh perhatian tanpa pernah menyela. Hingga ketika akhirnya Ari bercerita tentang kejadian pagi tadi di rumah Tari, keduanya tidak bisa menahan diri lagi.
“Lo gila, Bos. Gimana bisa lo putusin dia?” Oji ternganga.
“Lo nggak seharusnya ngorbanin hubungan lo sama Tari. Lo pikir kami nggak bisa jaga diri? Ini di rumah sakit, Ri. Angga nggak akan berani macem-macem,” tambah Ridho.
Ari menghela napas, berusaha menahan sabar. “Nggak. Gue nggak mau ambil resiko itu. Gue nggak mau nempatin kalian dalam bahaya untuk kedua kalinya. Nggak! Jangan bilang apa-apa lagi! Jangan bikin gue nyesel sama keputusan gue. Gue sama Tari bubar, titik.” Ada kepedihan yang amat jelas saat Ari mengucapkan kalimat terakhirnya. Rasa sakit yang bahkan bisa Oji dan Ridho rasakan.
Oji menyentuh bahu Ari. “Lo nggak mungkin ngelepasin dia.”
“Tapi gue harus,” jawab Ari dengan kepala tertunduk. Nada suaranya begitu pahit. “Gue tau gue nggak bisa. Tapi itu bukan alesan. Gue nggak mau kehilangan kalian berdua.”
“Jadi lo milih kehilangan Tari?” tanya Ridho telak.
Ari membisu. Sungguh ia tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Dia tidak ingin kehilangan siapapun yang selama ini berada di sisinya. Kehilangan adalah sesuatu yang menghancurkan. Ari pernah mengalaminya sebelum ini. Jadi dia tahu rasanya. Tapi untuk sekarang memang tidak ada pilihan lain. “Lo tau jawabannya, Dho,” sahutnya kemudian dengan nada enggan. “Tapi apa lagi yang bisa gue lakukan? Paling nggak Tari juga bakalan aman setelah gue lepasin dia.”
Suasana di dalam kamar menjadi hening. Sampai dua orang perawat masuk ke kamar untuk memeriksa kondisi Oji dan Ridho. Ari segera menyingkir dari tempat tidur Oji, menunggu di sofa yang pernah didudukinya kemarin, mengamati kedua temannya yang sedang menjalani pemeriksaan rutin. Mungkin pemandangan ini akan menjadi pemandangan akrab untuk hari-hari ke depan.

***

Hari Minggu siang, Ari kembali berkunjung ke rumah sakit tempat Ridho dan Oji dirawat. Kedua temannya telah dipindahkan ke kamar VVIP yang lebih luas dan berfasilitas lengkap. Semua tagihan rumah sakit akan langsung dikirimkan ke Ari, yang bersikeras untuk menanggung biaya perawatan kedua temannya itu. Ari meminta kedua temannya tetap dirawat di satu ruangan, sehingga ia tidak kerepotan saat membesuk.
Saat ketiganya sedang mengobrol seru, mendadak pintu kamar diketuk dari luar. Ari bangkit untuk membukanya, dan seketika terpaku begitu mendapati siapa yang berdiri di depan pintu. Tari juga tidak kalah kaget saat Ari berdiri di depannya. Perasaan keduanya seketika kacau balau.
“Siapa, Ri?” tanya Ridho yang tidak bisa melihat tamunya karena terhalang tubuh Ari.
Ari bergeser ke samping tanpa suara. “Masuk,” gumamnya.
Tari melangkah masuk dengan kepala menunduk. “Makasih,” sahutnya pelan.
Ridho dan Oji saling bertatapan saat melihat pemandangan di depan mereka. Dua Matahari yang selama ini selalu terlihat memanja mata saat keduanya bersama, kini menjelma menjadi dua sosok yang saling asing, nyaris terasa seperti awal pertemuan mereka. Kembali ke titik nol. Kedua Matahari itu telah meninggalkan galaksi yang pernah menyatukan mereka, tersesat dalam ruang angkasa tak terbatas, tidak bisa saling meraih lagi.
“Gue kasih lo privasi,” kata Ari lagi, masih berupa gumaman, kemudian melangkah keluar.
Setelah Ari menutup pintu di belakangnya, Tari menghembuskan napas yang tanpa sadar ia tahan, kemudian menggeleng-geleng pelan untuk mengenyahkan sesuatu yang mengganggu pikirannya. Begitu kepalanya terangkat, ia langsung mendapati Ridho dan Oji tengah menatapnya.
“Hai, Kak,” katanya pelan. Ia meletakkan parsel buah yang dibawanya ke meja. Diseretnya sebuah kursi ke sebelah kaki tempat tidur Oji, dan menghadapkannya ke arah Ridho, sehingga ia bisa menatap kedua cowok itu. “Maaf baru sempet jenguk, soalnya Mama sama Papa baru aja pulang dari...”
“Apa itu tadi?” bisik Oji tajam, memotong ucapan Tari.
Kening Tari berkerut. “Apanya yang apa?”
“Itu tadiiii, lo sama Ariii...” desis Oji tidak sabar. “Kenapa kalian...”
“Ji, udahlah,” kali ini Ridho yang memotong perkataan Oji. Tidak tega juga dia melihat raut wajah Tari yang seperti akan menangis. Cewek itu menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.
Tari menghela napas beberapa kali untuk menenangkan diri. “Gue... juga nggak tau, Kak,” katanya lirih. “Gue nggak tau harus gimana ngadepin Kak Ari sekarang. Kita udah nggak... ng... bareng lagi. Buat gue rasanya aneh banget, juga sakit.”
“Lo tau lo sama dia masih sama-sama suka. Jangan nyerah, Tar. Pasti ada jalan buat lo sama Ari buat balikan,” ucap Ridho sabar.
“Oh, oh! Gue punya quotes, nih. Lumayan buat ngembaliin semangat elo, Tar. Dengerin yaa..” Oji berdehem-dehem sejenak. “Lo tau kan kalo pas senja itu matahari selalu balik ke cakrawala?”
Tari mengangguk-angguk, belum mengerti maksud Oji. Sementara Ridho berusaha menahan senyum.
“Nah, itu sama aja kayak cinta. Cinta itu selalu kembali, Tar. Nggak peduli sejauh apapun dia pergi, biar lo nggak liat wajahnya lagi, percayalah kalo dia nggak pernah ninggalin elo. Emang kadang kita harus berpisah sama orang yang kita cintai. Tapi kalo waktunya udah tiba, kayak matahari sama garis cakrawala, pasti kalian akan dipertemukan kembali di kala senja, melebur menjadi satu dan tak terpisahkan dalam cinta abadi.” Oji mengakhiri kalimatnya dengan cengiran yang ia tujukan kepada Ridho. “Gimana kata-kata gue?”
Ridho mengacungkan kedua jempolnya sambil berdecak kagum. “Sip abis, men. Aje gile. Salah kalo lo masuk jurusan IPA. Jadi anak Bahasa aja sono.”
Oji cengengesan. Bangga juga dia dengan rangkaian kalimat romantisnya. Kemudian dia menyadari gadis yang duduk tidak jauh darinya sedang mengerutkan kening, tampaknya memikirkan dengan serius ucapannya tadi. “Cinta selalu kembali,” kata Tari lirih, mengulang quotes dari Oji. Cewek itu mengangkat wajah, menatap Oji dengan sebentuk senyum. “Makasih, Kak. Seenggaknya gue punya pegangan sekarang. Suer, kata-kata lo ngena banget.”
Oji ikut tersenyum. “Sama-sama, Tar. Soal gituan sih kecil. Serahkan saja kepada Oji si Pujangga Cinta.”

***

Mengobrol dengan Oji dan Ridho dapat membuat perasaan Tari sedikit ringan saat keluar dari kamar rawat dua cowok itu. Namun mendung seketika kembali menggelayuti hati saat ia tanpa sengaja berpapasan dengan Ari di koridor rumah sakit. Keduanya ingin menghindar, tapi apa daya, kedua kaki mereka malah berhenti melangkah tanpa diminta.
“Hei,” sapa Ari pelan.
“Hei, Kak,” jawab Tari. Matanya tidak berani menatap ke wajah Ari, hingga ia pura-pura tertarik pada taman di samping koridor.
“Udah makan?”
Tari sedikit tersentak. Dari sekian banyak pertanyaan, kenapa pertanyaan itu yang harus keluar? Hati-hati, ia menatap Ari. Cowok itu terlihat kacau. Rambutnya berantakan. Ada lingkaran gelap di sekeliling matanya. Tatapannya masih sama dengan terakhir kali ia dan cowok itu bertemu. Tatapan tersiksa, yang seolah kehilangan fokusnya.
Kepala Tari menggeleng menjawab pertanyaan Ari. “Belom.”
Ari mendesah. Tangannya mengacak rambutnya yang agak panjang, membuatnya tambah berantakan. “Lo harus makan.”
“Ntar aja di rumah.” Tari menggigit bibir bawahnya. Matanya mulai merebak mengingat saat terakhir Ari memaksanya makan dengan ancaman manis, tidak lebih dari dua hari yang lalu. Betapa banyak yang telah terjadi dalam waktu sesingkat itu, mengubah segalanya di antara mereka. “Mm, permisi, Kak. Gue pulang dulu.” Dengan kepala menunduk, ia berjalan ke sisi Ari, melewati cowok itu.
“Gue anterin.” Ari mendadak mencekal tangan Tari dan memutar tubuh cewek itu kembali ke hadapannya.
Tari kembali tersentak. “Nggak,” tolaknya seketika. Ia tidak bisa membayangkan suasana canggung yang pasti terjadi kalau dia kembali ke boncengan cowok ini. Tari juga tidak ingin menanggung sakit di dadanya jika harus mengingat cowok yang memboncenginya bukan lagi miliknya. Tidak bisa lagi ia peluk dari belakang. Tidak bisa lagi ia ajak ngobrol dan bercanda sesuka hati.
“Kenapa nggak?”
“Lo lupa gue udah jadi cewek orang lain?” jawaban Tari meluncur begitu saja. Bukan maksudnya untuk menyakiti Ari. Bukan maksudnya untuk membuat Ari merasa bersalah. Bukan. Bukan itu! Tapi sepertinya itulah yang sekarang terjadi. Raut wajah Ari kontan berubah kaku. Sorot tersiksa di matanya semakin jelas terpancar, seolah cowok itu sedang dibakar hidup-hidup. Rahangnya mengeras. Kehancuran jelas membayang di wajahnya. Cekalannya di tangan Tari otomatis terlepas.
“Gue...” Ari tidak bisa menemukan kata-kata. Tangannya kembali bergerak ke rambutnya, mengusapkan jemari di antaranya dengan kasar. Tanpa bicara apapun lagi, ia membalikkan badan, menjejalkan kedua tangannya ke saku jaket, lalu melangkah pergi.
Sepeninggal Ari, Tari masih berdiri di tempatnya tanpa suara, menyesali ucapannya tadi. Keadaan ini begitu membingungkan, membuat perasaannya campur aduk dan hatinya jungkir balik tak menentu. Ketika air mata mulai mengancam akan jatuh, ia segera membalikkan badan dan meninggalkan tempat itu.

***

Tari mengerang tertahan. Kondisi hatinya yang sudah suram sejak bertemu dengan Ari sekarang kesuramannya bertambah pekat saat melihat motor Angga terparkir di depan pagar rumahnya. Si pemilik motor pun berdiri menunggu di samping motor hitam itu. Tari menghirup napas dalam-dalam, menguatkan diri, lalu melangkah mendekat.
“Mau apa lo?” ketus Tari begitu tiba di depan Angga, sama sekali tidak berniat untuk beramah tamah.
“Halo, Tar,” Angga justru menyambutnya dengan senyuman lebar.
“Gue nanya, mau apa lo ke sini?” Tari mulai melotot. Tangannya gatal ingin mencakar senyum di wajah Angga.
Tidak mengacuhkan tampang sadis Tari, Angga pura-pura menatapnya dengan kebingungan. “Emangnya nggak boleh ya mampir ke rumah cewek sendiri?”
“Gue bukan cewek elo,” tukas Tari pedas. “Gue nggak ngerasa pernah ditembak sama elo. Gue nggak ngerasa pernah nerima lo jadi cowok gue. Gue bahkan nggak ngerasa kita pernah deket!”
Angga menggeleng-geleng sambil mendesah. Ia tahu Tari akan keras kepala. “Lo pasti udah tau kan kalo Ari ngelanggar janjinya tentang Gita? Ato jangan-jangan Ari belom bilang sama elo?”
“Dia udah bilang, jangan nuduh seenaknya,” bela Tari.
“Trus? Lo tau kan apa artinya itu?” kata Angga sambil mengangkat alis tinggi-tinggi. Ia memperpendek jarak dengan cewek di depannya.
Tari menekan kemarahan yang mulai naik ke permukaan. “Denger,” desisnya berang. “Untuk lo ketahui, gue bukan barang yang bisa diserah-terima seenaknya, dan gue bukan bola yang bisa dioper-oper sesuka hati sama kalian. Gue manusia, gue orang, dan gue cewek yang jelas-jelas masih hidup, oke?! Gue cewek yang punya harga diri, otak, dan hati! Gue berhak mutusin apapun dalam hidup gue!” Tari berteriak. Matanya yang memelototi Angga sudah berkaca-kaca, nyaris pecah menjadi tangisan.
Tanpa diduga, Angga menariknya ke pelukan. Reaksi refleks Tari jelas memberontak, tapi ia merasa tidak punya cukup daya untuk melawan Angga. Tubuhnya terasa lemah setelah dipaksa menerima kenyataan menyakitkan yang datang bertubi-tubi sejak kemarin. Hingga akhirnya ia biarkan cowok itu memeluknya erat dan menekan kepalanya ke dada.
“Gue tau lo masih kaget,” bisik Angga dengan nada lembut. “Gue tau lo masih sakit. Gue bisa ngerasain itu, Tar. Gue bukan monster. Gue nggak akan tega liat cewek yang gue sayangi sedih.”
“Kalo lo emang nggak tega liat gue sedih, kenapa lo misahin gue sama Kak Ari?” tanya Tari lirih. Suaranya bergetar.
“Karena gue egois,” tandas Angga. Ia menghela napas, kemudian suaranya melembut lagi, “Maafin gue. Tapi kali ini gue harus egois. Gue cinta sama elo, dan gue akan perjuangin cinta gue.” Dikecupnya kening Tari sekilas. “Nangis aja, nggak pa-pa. Nangis aja kalo emang masih sakit.”
Kedua mata Tari mengkhianati pemiliknya. Hatinya memang masih terasa perih. Batinnya masih merintih kesakitan. Ia sudah berusaha mati-matian menahan air mata, tapi kalimat Angga berhasil menjebol pertahanannya. Setetes air mata meluncur jatuh, disusul yang lain, hingga ia terisak di dada Angga. Rasanya mudah sekali baginya untuk menangis. Tinggal mengingat nama Ari, lalu seketika itu juga air matanya akan hadir. Dan sayangnya, ia mengingat nama Ari hampir setiap waktu.
Samar-samar di antara tangisannya, ia bisa mendengar Angga berkata, “Untuk kali ini aja, Tar, gue biarin lo nangis karena dia. Gue janji, gue akan berusaha bikin lo tersenyum mulai sekarang.”

***

Ata mengamati kedua orang yang masih berpelukan itu dari kejauhan. Ia tahu Tari menangis, terlihat dari bahu cewek itu yang berguncang dan isakan lirih yang gagal diredamnya. Angga terlihat membisikkan sesuatu dengan lembut, berusaha menenangkan gadis di pelukannya.
Ata tidak tahu apa yang harus ia rasakan. Senang karena rencananya berhasil? Lega karena hutangnya pada Angga telah terbayarkan? Puas karena melihat Ari perlahan hancur? Atau justru ia harus merasa menyesal? Merasa bersalah?
Ata memaki dirinya dalam hati. Ia tahu ia brengsek. Tapi tidak ada seorangpun di dunia ini yang memahami luka hatinya. Luka yang telah ia pendam sekian lama, sejak umurnya masih delapan tahun.
Perceraian kedua orang tuanya yang mengawali segala penderitaan ini. Ketika ia melihat Mama dan Papa saling membentak. Ketika ia berdiri kebingungan melihat Ari menangis. Dan ketika ia meringkuk bersembunyi di halaman belakang untuk lari dari kekacauan di dalam rumah. Sebuah luka tergoreskan.
Kemudian ketika ia melihat Mama masih berusaha tersenyum padanya meski matanya memerah. Ketika ia dan Ari kelaparan menunggu Mama yang ternyata berada di rumah Tante Lidya. Dan ketika ia diam-diam mendapati Mama sedang menangis sedih di ruang keluarga saat tengah malam. Luka lain terciptakan.
Juga ketika ia melihat Papa tidak lagi ramah padanya. Ketika ia dicengkeram ketakutan saat berangkat sekolah karena Papa menyetir seperti orang gila. Dan ketika ia mendapat pukulan di pipi dari pria yang sejak dulu dipanggilnya Papa saat ia ribut bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Sekali lagi sebuah luka hadir di hati kecilnya yang rapuh.
Ata meyakinkan diri bahwa ia harus kuat. Ia mempunyai harapan layaknya seorang anak kecil bahwa suatu hari nanti, saat ia terbangun dari tidurnya, Mama dan Papa akan menyambutnya dengan ciuman dan pelukan seperti dulu. Bahwa semua akan baik-baik saja dan kembali seperti semula. Tapi perlahan ia sadar harapannya hanya harapan kosong yang mustahil bisa terjadi.
Di suatu pagi dia malah mendapati keadaan kian berubah. Ia menyadari Papa dan Mama tidak lagi memperhatikannya. Keduanya sibuk memberi perhatian lebih pada Ari. Berlomba memberi barang yang bagus kepada kembarannya saat ulang tahun mereka. Saling berebut untuk memenuhi kebutuhan Ari sementara keduanya seakan lupa masih punya seorang anak laki-laki lain yang juga memiliki kebutuhan. Ata dilupakan. Ata ditinggalkan.
Puncaknya adalah ketika Mama dan Papa memperebutkan hak asuh Ari.
Luka-luka yang selama ini Ata rasakan seolah tidak ada artinya dibanding dengan perebutan hak asuh itu. Akhirnya Ata mengetahui alasan mengapa Mama dan Papa bersikap begitu baik pada Ari dan lebih perhatian pada saudara kembarnya itu. Karena mereka lebih menginginkan Ari, bukan dirinya. Mereka lebih menyayangi Ari, bukan dirinya. Ata hancur seketika.
Setelah Papa dan Mama resmi bercerai, Ata merasa lebih bahagia bisa tinggal bersama Mama. Namun ternyata semua tidak seperti yang ia bayangkan. Penderitaannya belum cukup sampai di situ. Kepingan hati yang susah payah ia tata agar utuh kembali, lagi-lagi harus berderak dan pecah berserak.
Mama masih tidak bisa memedulikannya. Wanita itu pergi setiap hari mencari Ari. Ari, Ari, dan Ari! Kenapa semua harus selalu tentang saudara kembarnya itu? Ata kembali merasa tak diinginkan. Ia hanya bisa menangis saat ia sedih, saat ia marah, saat ia kelaparan, saat ia kedinginan, saat ia kesakitan, dan saat ia tidak punya siapa-siapa di sampingnya. Kehadiran Tante Lidya pun tidak bisa mengobati hatinya yang terlanjur remuk.
Meski begitu Ata selalu berusaha menjadi anak yang baik. Ia menyayangi Mama, bagaimana pun sikap wanita itu kepadanya. Ia berharap Mama bisa menoleh lagi ke arahnya kalau ia menjadi anak baik seperti Ari. Usahanya berhasil. Perlahan, Mama kembali memberi perhatian. Ia kembali menjadi sosok yang selama ini Ata rindukan, yang membelai kepalanya dan memeluknya saat tidur. Meski Mama masih terus berusaha mencari Ari, Ata tidak peduli. Yang penting Mama kembali bersamanya, dan mulai menerima kenyataan bahwa yang sekarang berdiri di depannya adalah Ata. Hanya Ata. Bukan Ari. Akan ia jaga wanita itu dengan segenap upaya.
Dalam jatuh bangunnya menjalani kehidupan ini, Ata berjalan membawa seribu luka. Sama seperti Ari, ia mati-matian membangun dinding kokoh yang menegakkan punggungnya dan menghindarkannya dari keterpurukan. Ia topang pula Mama bersamanya, mengajak wanita itu tetap berjalan di sisinya, melupakan masa lalu, mengikhlaskan apa yang telah terjadi di luar kuasa mereka.
Kini setelah Ata berhasil menemukan Ari, seribu luka itu muncul begitu saja dari balik dinding, berteriak menuntut balasan. Kepada saudara kembarnya, yang kehidupannya lebih terjamin ketimbang dirinya. Seribu luka itu membutakannya, menyeret Ata dalam lubang gelap, dan satu-satunya jalan untuk bisa keluar adalah menarik Ari jatuh ke sana. Ata ingin Ari merasakan apa yang dia rasakan. Ata ingin Ari mengalami apa itu yang namanya disingkirkan, ditinggalkan, tidak dipedulikan, dan tidak diinginkan. Ata ingin Ari kehilangan semua perhatian yang selama ini telah ia dapatkan.
Dalam hati, Ata tahu itu tidak adil. Ari, adik kecilnya yang manis, yang selalu membagi permen yang ia dapatkan sebagai upah menemani Mama menjahit, tidak pantas menjadi tempat pelampiasan kemarahan Ata. Semua yang terjadi bukan kesalahan Ari, bukan pula keinginan Ari. Bukan Ari yang menjadi sebab kedua orang tuanya bercerai. Bukan Ari yang meminta untuk diperebutkan. Ata sangat menyadari itu.
Suara motor Angga menyentakkan Ata dari banjiran pikiran yang membingungkan. Ata merasa tubuhnya limbung sesaat. Ia menyandarkan punggung ke tembok gang tempatnya bersembunyi sejak tadi. Napasnya terengah-engah seolah ia baru saja lari maraton. Tidak! Ia tidak boleh mundur sekarang! Ia tidak harus merasa menyesal atau merasa bersalah pada saudara kembarnya. Semua ini memang apa yang diinginkannya sejak awal. Saat sudah setengah jalan seperti ini, Ata tidak seharusnya meragukan rencananya sendiri.
Setelah napasnya tenang, Ata menengok ke depan rumah Tari. Gadis itu masih di sana. Berdiri diam menatap tanah di bawahnya. Ata melihat Tari menarik napas panjang, menghembuskannya kuat-kuat, kemudian berbalik masuk ke rumah.


Bersambung...

***

Maafin Aul kalo part ini lama, maaf, maaaaaaf...
Dan mungkin untuk part selanjutnya bakalan lama lagi, maaf, maaf, maaaaaaaaaaaaaaaaaf bgt...
Nggak tau kenapa lagi rada nggak mood nerusin JUM, malah sekarang Aul selingkuh ke cerita Aul yang terbaru
Sekadar ngabarin aja nih, bagi yang belom tau, Aul masih asyik nerusin cerita "Sunshine is Still You", tapi maaf nggak dipost di sini Kalo kalian mau baca, buka aja profil wattpad Aul, username-nya @Rossecret_98
Aul nggak janji yaa, tapi kayaknya untuk sementara waktu Aul masih pingin fokus ke cerita itu
Kalian bisa baca cerita itu buat selingan, tapi ya syaratnya kalian baca dulu novel "Sunshine Becomes You" karya Ilana Tan, soalnya "Sunshine is Still You" ini sekuelnya, oke? :D
Tunggu sampe Aul dapet inspirasi buat nerusin JUM yaa, hehe
Soalnya, asli, ini masih mentok sampe di sini ._.

Selasa, 21 April 2015

Jingga untuk Matahari #fanfiction-19

Ari terbangun di dalam ruangan serba putih. Bau antiseptik yang menyengat menyergap hidungnya.
“Ari? Sayang? Kamu udah bangun?” Mendadak Mama berdiri di samping ranjangnya, menggenggam tangannya erat. Wajahnya berlinang air mata. “Gimana perasaan kamu?”
“Baik, Ma. Ari nggak pa-pa.” Ari mengerjap beberapa kali. “Di mana ini? Rumah sakit?”
“Iya. Bentar. Mama panggilin dokter.”
Setelah dokter memeriksanya secara keseluruhan, Ari dinyatakan tidak mengalami luka serius. Hanya memar di kepala dan beberapa bagian tubuhnya. Ia diperbolehkan pulang. Ketika Mama mengurus pembayaran di bagian administrasi, Ata berjalan mendekati Ari yang sedang turun perlahan dari tempat tidur.
“Baikan?”
Ari mengangguk. “Gue nggak pa-pa.”
“Kayaknya lo perlu liat sesuatu. Ayo.”
Ari berjalan mengikuti Ata dengan bingung. Cowok itu berhenti di depan sebuah kamar. Dilambaikannya tangan ke arah pintu, meminta Ari untuk masuk. Ari membeku begitu membuka pintu tadi.
Oji dan Ridho, dua sahabatnya, kini berbaring tak berdaya di masing-masing ranjang yang terpisahkan oleh sekat berwana hijau. Kepala Ridho diperban, sementara Oji lebih parah. Cowok itu bertelanjang dada, dengan perban melilit di sekujur tubuh atasnya. Ari tercekat, tak bisa berkata apa-apa.
“Mereka...”
“Cuma dibius. Buat kelancaran obatnya,” jelas Ata.
Dengan gerakan kaku, Ari pertama-tama menghampiri Oji. Temannya itu mengenakan alat bantu pernapasan di hidung. Matanya terpejam rapat. Wajahnya babak belur di mana-mana. Ari menutup mata, tak sanggup melihat kondisi Oji yang begitu mengenaskan. “Maafin gue, Ji,” katanya lirih.
Kemudian dia beranjak mendekati Ridho. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan Oji. Sama-sama memakai alat bantu pernapasan dan memar di mana-mana. “Maafin gue, Dho,” bisik Ari.
Cowok itu menjatuhkan diri di satu-satunya sofa yang ada di ruangan itu. Terguncang. Diremasnya rambut dengan frustasi. Ia merasa bersalah. Kedua sahabatnya yang kini terkapar lemah itu murni karena kebodohannya. Kalau saja ia tidak meminta Oji dan Ridho menyelamatkan Sonia... Kalau saja ia mendengarkan Ata untuk tidak keluar menghadapi Brawijaya... Kalau saja...
“Ngerti kan lo sekarang kenapa gue harus libatin Gita?” kata Ata yang tiba-tiba berdiri di depannya.
Ari menunduk, menyangga kepalanya dengan tangan yang ia tumpukan di lutut.
“Lo nggak tau gimana cemasnya Mama tadi. Dia nangis nggak berenti-berenti nungguin lo siuman. Ini aja lo termasuk nggak dapet luka parah. Nggak kayak sobat-sobat lo itu, yang udah hampir mati.”
“Stop,” kata Ari lemas. “Mereka nggak akan mati.”
“Emang nggak. Belom maksud gue. Coba aja gue nggak muncul bawa Gita waktu itu. Udah beneran jadi almarhum mereka. Dan mungkin juga elo.”
“Gue bilang, stop!” desis Ari tajam. Diangkatnya muka menghadap ke arah Ata.
Ata menghela napas, menyerah. “Oke. Gue nggak akan bilang apa-apa lagi. Gue nggak akan nuntut terima kasih dari elo.”
“Keluar,” perintah Ari. “Bawa Mama pulang.”
“Lo juga harus pulang. Harus istirahat.”
“Nggak. Gue mau jagain mereka di sini.”
“Jangan bego,” tukas Ata. “Lo sendiri butuh dijagain.”
Ari menatap Ata tajam. “Gue bukan anak kecil lagi.”
Kedua kembar itu saling tatap. Kata-kata Ari barusan memicu emosi yang tidak mereka kenal. Memori keduanya seketika terlempar ke masa-masa kecil mereka, masa-masa di mana Ata masih selalu menjaga Ari ketika bermain bersama. Ya. Itu pernah terjadi. Ribuan hari yang lalu. Hingga kini nyaris tidak ada lagi yang tersisa dari masa-masa itu.
“Gue minta,” kata Ata lirih, hampir tidak bisa meredam emosinya yang mewujud dalam bentuk getaran suara. “Sekali aja. Lo turutin kata-kata gue.”
“Tapi...” Ari tak bisa meneruskan kalimatnya. Dengan enggan, akhirnya cowok itu menuruti permintaan Ata. “Oke. Gue balik.”

***

Ari berbaring menatap langit-langit kamar. Mama bersikeras agar dia menginap di rumah kontrakan. Kini untuk sementara Ari menempati kamar tamu. Semenjak ia berbaring sendirian di sini, pikirannya tak lepas dari Tari.
Ingin sekali ia mengabaikan janjinya pada Angga, karena bagaimanapun, Gita terluka bukan karena dirinya. Demi Tuhan! Apa Angga tidak bisa melihat situasi? Ari sudah menjauhi Gita, tidak pernah menyeret gadis itu lagi dalam urusannya dengan Angga. Dia tidak melanggar janjinya. Ata yang melakukannya. Dan Ata tidak tahu apa-apa soal perjanjian sialan itu. Sesungguhnya ini tidak adil. Ari tidak seharusnya menanggung apa yang bukan menjadi kesalahannya.
Tok, tok, tok..
Kepala Ata muncul dari balik pintu yang baru saja diketuk. “Belom tidur?”
Ari bangkit dari posisi tidur. Ia duduk bersandar pada kepala ranjang. “Ada apa?” tanyanya datar.
“Boleh gue ngomong sesuatu?”
Ari terdiam sejenak. Apapun itu yang akan dibicarakan oleh Ata, bisa dipastikan akan membuat kepalanya sakit. Tapi ia ingin tahu apa lagi yang diinginkan saudaranya. “Masuk,” katanya singkat.
Ata melangkah ke arahnya, kemudian duduk di sisi tempat tidur di dekat kakinya. Cowok itu terlihat gelisah. “Gue udah tau sekarang.”
“Tentang?”
“Perjanjian lo sama Angga.”
Ari menarik napas tajam. “Siapa yang cerita?”
“Gue iseng nanya ke Ical tadi. Dia jelasin ke gue panjang lebar. Gita nggak boleh disentuh. Itu aturan nomor satu dari elo. Makanya...” Ata berhenti sejenak saat Ari menatapnya dengan pandangan menusuk. Diam-diam ia menelan ludah. “Mm, makanya gue heran kenapa lo milih ngelawan Angga sampe mau mati gitu, padahal ada kartu as di tangan lo.”
Ari masih tak mengatakan apa-apa. Ata mendesah keras. Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan mondar-mandir sambil meremas rambutnya. Ketika akhirnya ia berhenti, tatapannya langsung jatuh ke Ari. “Gue nggak tau, oke?” katanya lirih. “Gue bener-bener nggak tau, Ri. Gue pikir cuma itu satu-satunya cara buat nyelametin kalian. Gue...” Ata menelan ludah lagi. “Gue minta maaf.”
Kata maaf yang sejak awal sama sekali tidak diharapkan oleh Ari, karena tidak akan mengubah keadaan. Ia tetap menatap Ata dengan dingin.
“Denger.” Ata kembali duduk di sebelahnya ketika Ari tidak menanggapi. “Gue minta tepatin janji lo. Lepasin Tari.”
Kedua alis Ari terangkat. Kaget. Setelah permintaan maaf yang ia kira benar-benar tulus keluar dari bibir Ata, sekarang saudaranya itu malah menyuruhnya melepaskan Tari? Kurang ajar! Sepasang bibir Ari terkatup, membentuk garis lurus yang keras. Otot-ototnya mengencang, sehingga tubuhnya langsung meneriakkan protes karena mereka masih kesakitan. Akhirnya Ari melemaskan tubuhnya lagi. Hanya tatapannya yang semakin menusuk mengarah ke Ata. “Apa lo bilang?” desisnya. “Coba ulangi sekali lagi.”
“Gue minta, lo lepasin Tari,” ulang Ata hati-hati.
“Tari milik gue,” kata Ari defensif. Nadanya rendah dan sarat ancaman, tanda ia tidak mau dibantah. “Selamanya tu cewek tetep milik gue.”
“Apa lo nggak ngerti keadaan?” sahut Ata putus asa.
“Jelasin ke gue, keadaan apa yang belom gue ngerti!” tukas Ari dengan rahang mengertak.
“Selama lo pingsan di rumah sakit, Angga nemuin gue. Dia minta gue mastiin lo tepatin janji lo. Dia minta gue jadi saksi kalo lo udah mutusin Tari. Dia minta gue ngawasin Tari selama di sekolah, mastiin lo nggak deket-deket lagi sama tu cewek.”
“Dan lo setuju?” Ari terperangah. “Bener-bener bajingan lo, Ta! Lo nggak mikirin perasaan gue? Lo dukung si bangsat itu? Lo sekongkol sama dia buat misahin gue sama Tari? Gitu, hah?!”
“Dia ngancem, oke?!” bentak Ata, berusaha membela diri. “Menurut lo, apa lebih baik gue biarin dia macem-macem ke Ridho sama Oji yang lagi terkapar gitu?”
Ari tersentak. “Nggak!” desisnya cepat. “Dia nggak akan berani macem-macem ke sahabat-sahabat gue!”
“Siapa bilang dia nggak berani?” Ata melemparkan tatapan mencemooh. “Jangan terlalu naif, Ri. Lo pikir Ridho sama Oji sekarang tiduran di ranjang rumah sakit gara-gara siapa? Ulah siapa?”
Ari terdiam. Kepalanya berdenyut sakit. Ia memijit pelipisnya. Ata yang menyaksikan kondisi adik kembarnya, akhirnya memutuskan untuk mengakhiri percakapan. Cowok itu bangkit. “Lebih baik sekarang lo istirahat. Baru lo pikirin,” sejenak, ia mencondongkan tubuh ke arah Ari, “putusin Tari, relain dia buat Angga, ato lo liat sahabat-sahabat lo mati.”
Tubuh Ari membeku. Entah bagaimana kalimat yang diucapkan Ata terasa seperti ancaman langsung. Bukan dari Angga, melainkan dari Ata sendiri. Ini bukan pilihan. Bukan haknya untuk membuat keputusan. Ini adalah keharusan. Tidak mungkin ia mengorbankan nyawa kedua sahabat karibnya demi Tari. Bukan tak mungkin Tari juga akan ikut terseret dalam bahaya kalau Ari bersikeras menahan cewek itu di sisinya. Jadi... lepaskan gadis itu!

***

Ari melempar kepalanya ke bantal-bantal, dan otomatis mengerang kesakitan. Kepalanya serasa akan meledak. Ia tekan kepalanya kuat-kuat hingga denyutan menyiksa itu mereda. Setelah itu, diraihnya ponsel di meja samping tempat tidur. Masih dalam posisi tiduran, ia memutuskan untuk menelepon Tari.
“Kak Ari!” Ari menjauhkan ponselnya sejauh lengan begitu Tari menjawab panggilannya dengan jeritan.
“Hai,” gumamnya kemudian.
“Kak Ari, gimana keadaan elo? Gue denger... lo masuk rumah sakit.” Suara Tari mendadak lirih dan bergetar. Gadis itu mulai menangis. Oh, tidak!
“Hei, Tar. Ssstt... Gue baik-baik aja. Gue nggak nginep di rumah sakit, kok. Gue udah boleh pulang,” kata Ari menenangkan. “Dari mana lo tau gue di rumah sakit?”
Tari menghembuskan napas lega. Diusapnya air mata dari pipi. “Kak Ata,” jawabnya, tidak berniat menjelaskan apa-apa. “Gue tadi mau jenguk, tapi nggak ada orang di rumah, jadi gue harus jaga rumah. Gue mau telepon, takutnya gangguin elo istirahat.”
Dada Ari langsung menghangat. Mendengar suara gadis itu seolah mengangkat seluruh bebannya. Cowok itu memejamkan mata, menikmati kehangatan dari bentuk kekhawatiran Tari atas dirinya. Gadis itu begitu perhatian. Kemudian dia dihadapkan kepada permasalahan pokok di sini. Dia harus melepas gadis itu. Harus! Tapi tidak sekarang. Tidak melalui telepon.
“Gue ke rumah elo besok pagi.”
“Eh? Ngapain, Kak? Lo istirahat aja di rumah. Gue yang jenguk ke situ.”
“Nggak,” tolak Ari tegas. “Gue yang ke situ. Titik.”
“Lagi sakit, masih aja bossy,” gerutu Tari, memunculkan senyum tipis di bibir Ari. “Ya deh. Besok gue tunggu. Tapi janji lo nggak akan maksain diri, oke?”
“Janji.”
“Ya udah, istirahat deh. Kayaknya suara lo lemes banget.”
“Yah, badan gue kayak abis ditabrak truk rasanya.”
“Masa?” Tari ternganga. “Separah itu? Nah, mendingan lo tiduran aja di rumah. Nggak usah ke rumah gue.”
“Nggak, nggak,” sahut Ari cepat. “Cuma bercanda. Gue nggak selemah yang lo pikirin, tau. Pokoknya gue ke rumah lo besok. Sampai ketemu.” Karena tak ingin dibantah lagi, Ari segera menutup telepon.
Suasana seketika hening. Ari tahu sebenarnya dia masih ingin mendengar suara Tari. Ia ingin mendengarnya sepanjang malam ini. Ia ingin menghabiskan waktu bersama gadis itu selama dia masih memiliki kesempatan. Ia tidak ingin tidur. Ia tidak ingin hari besok datang. Ia tidak ingin melepas gadis itu.
“Maafin gue, Tar,” katanya lirih. Matanya terpejam perlahan. Tanpa bisa dicegah, setetes air mata mengalir menuruni pelipisnya.

***

“Ari, mau ke mana kamu, Nak?” Mama yang baru saja memasuki kamar terkejut melihat Ari memakai jaketnya, bersiap untuk pergi.
“Pergi sebentar, Ma,” sahut Ari. “Ada urusan penting.”
“Tapi kamu kan...”
“Ari baik-baik aja,” potong Ari cepat. Ia melangkah mendekati Mama, lalu mencium keningnya lembut. “Mama nggak usah khawatir, oke?”
Akhirnya sang Mama luluh, meski kecemasannya tidak surut. Wajah Ari terlihat pucat. Cara berjalannya menyiratkan bahwa putra bungsunya itu masih kesakitan. Setelah mendapat izin, Ari melangkah keluar, dan langsung menemukan Ata yang sedang menonton televisi.
“Mau ke mana?” tanya Ata.
“Menurut lo?” sahut Ari tak acuh, berjalan begitu saja melewati Ata tanpa menoleh.
“Tunggu sebentar.” Ata mengikutinya sampai halaman. Ditariknya lengan Ari sebelum saudaranya itu mencapai pagar. “Ke rumah Tari?” tanyanya begitu Ari menghadap ke arahnya.
“Gue nggak mau sahabat-sahabat gue mati,” jawab Ari rendah setelah terdiam sesaat. Dilepasnya cekalan Ata, kemudian berjalan keluar pagar. Ia memang tidak membawa motornya kemari. Motor hitam itu masih bertengger manis di parkiran sekolah. Tidak ada yang mengambilnya sejak dia masuk ke rumah sakit. Jadi terpaksa cowok itu berjalan keluar kompleks untuk mencari taksi.
Sepanjang perjalanan, Ari menghela napas berkali-kali. Ini bukan sesuatu yang ia rasa bisa ia lalui. Bahkan cowok itu tidak menyiapkan kata-kata yang akan disampaikannya kepada Tari. Dengan sepenuh hati, ia berharap Tari mau mengerti. Atas kesalahan fatal saudara kembarnya yang membuat ini semua harus terjadi.
Taksi berhenti di depan jalan kecil menuju rumah Tari. Ari menarik napas panjang-panjang. “Pak, tungguin sini. Saya nggak lama. Bisa?”
Supir taksi di depannya mengangguk. “Bisa, Mas.” Agak curiga juga supir itu saat melirik kondisi Ari dari spion tengah. Ari penumpang pertamanya hari ini, cukup pagi untuk ukuran orang yang membutuhkan taksi di hari Sabtu, dan tampang cowok itu sudah seperti orang mau gantung diri.
Ari mengulurkan selembar uang berwarna biru. “Buat beli rokok dulu, Pak.”
Setelah itu ia keluar. Dengan langkah gamang, ia menghabiskan jarak yang memisahkannya dengan rumah Tari. Tekad bajanya perlahan runtuh begitu ia berdiri di depan pagar. Tangannya gemetar ketika membuka pintu pagar perlahan agar tidak menimbulkan suara.
Tari membuka pintu setelah Ari mengetuk dua kali. “Kak Ari?” Cewek itu terperangah kaget melihat kondisi Ari yang sepucat mayat.
“Hai,” sapa Ari sambil berusaha tersenyum. Bibir dan tenggorokannya terasa kering. “Boleh gue masuk?”
“Mama sama Papa lagi...” Tari menggantung ucapannya. Setelah mengerutkan kening seperti tengah berpikir, akhirnya cewek itu menggeleng-geleng. “Ng... nggak pa-pa. Masuk aja.” Ia bergeser dari ambang pintu, memberi jalan untuk Ari.
“Nyokap Bokap lo lagi pergi?”
Tari mengangguk. “Dari kemaren gue di rumah sendirian. Keluarga lagi nginep di rumah saudara di Bandung.”
“Kalo gitu kita bicara di luar aja.”
“Nggak. Nggak pa-pa. Masuk aja. Lo lagi sakit gini.” Tari meraih tangan Ari, kemudian menyeretnya masuk dan mendudukkannya di sofa. “Mau minum teh?”
Ari menggeleng. “Gue nggak lama.”
“Oh... oke.” Tari mengangguk ragu-ragu. Sikap Ari aneh sekali. Cewek itu duduk dengan hati-hati di sebelah Ari. “Gimana keadaan lo?”
“Gue... baik,” jawab Ari pelan tanpa menatap Tari. Ia terlihat sangat tertekan.
“Kak, ada apa?” tanya Tari. Karena tidak kunjung mendapat jawaban dari cowok di sebelahnya, tanpa bisa menahan lagi, Tari menubrukkan dirinya ke pelukan Ari, melingkarkan lengannya erat-erat pada cowok itu. “Lo bikin gue kuatir, Kak.”
“Hei, Tar. Ng... pelan-pelan.” Ari berusaha untuk tidak bergerak atau mengerang. Wajahnya mengernyit menahan sakit.
Tari berjengit seperti baru sadar. “Sori, sori,” katanya panik. “Sakit?”
Tubuh Ari merileks. “Nggak parah banget. Cuma... kaget aja.”
Tari menatap Ari dengan prihatin. “Kenapa sih lo maksain ke sini kalo lo masih kesakitan gitu?”
Ari menelan ludah. Ini dia saatnya. “Ada yang mau gue omongin. Nggak bisa lewat telepon.” Diraihnya tangan Tari, kemudian menyelipkan jemarinya di antara jemari gadis itu. Ia butuh pegangan, dan juga butuh tindakan pencegahan kalau gadis itu akan berlari menghindar nanti. Kedua matanya terarah pada jari mereka yang berpaut. Ari merasa tidak memiliki cukup kekuatan untuk menatap langsung ke mata Tari. “Tapi gue minta, jangan lari. Jangan marah. Dengerin gue dulu.”
Tari menatapnya bingung. “Ng.. emangnya...”
“Janji sama gue!” potong Ari cepat, tidak memberi Tari kesempatan untuk bertanya. “Tolong,” suaranya sekarang lirih, namun penuh penekanan, juga permohonan. “Janji sama gue, lo nggak akan membenci gue.”
“Kenapa sih, Kak?” tanya Tari tidak sabar.
“Sialan, Tar. Kenapa sih lo nggak bisa bilang “ya gue janji” gitu aja? Lo nggak perlu nanya-nanya,” desah Ari dengan nada putus asa. Cowok itu masih menunduk.
“Tapi elo...”
“Kita putus.”
Suara lirih Ari seperti tidak nyata. Tari hampir tidak mempercayai pendengarannya sendiri. “Apa?” bisiknya. Jantungnya serasa menghilang dari rongga dada. Mulutnya ternganga. Ingin mengatakan sesuatu, namun tak ada suara yang keluar.
“Plis, Tar. Jangan minta gue ngulangin kalimat itu lagi.” Ari kali ini mengangkat muka. Wajahnya terlihat begitu tersiksa.
“Pu..tus?” Tari menatap kosong. “Kita... putus?” Ia refleks menarik tangannya, namun Ari menggenggamnya lebih erat. “Jangan!” desis cowok itu. “Plis, jangan lari.”
“Kenapa?” Tari menunduk. Suaranya hampir tidak terdengar kalau saja suasana di sekitar mereka tidak benar-benar senyap.
“Percaya sama gue. Gue bener-bener terpaksa, Tar.”
Tari tidak menyahut. Cewek itu tetap menunduk, menatap tangannya yang digenggam erat oleh Ari. Lalu, tiba-tiba saja air matanya jatuh, menetes tepat di antara jemari mereka.
“Hei, Tar. Ssst, tolong, jangan nangis.” Ari menguraikan pegangannya, lalu ganti memeluk cewek itu. Ditekannya kepala Tari di dada, tepat di mana sumber rasa sakitnya. Rasa sakit yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perkelahian kemarin. Rasa sakit ini murni dari jantungnya, yang seolah memompa lahar panas. Menyebarkan perih ke seluruh tubuh. Siksaan yang hampir tak tertahankan.
“Kenapa, Kak? Kenapa?” tanya Tari dengan isakan teredam. “Lo... marah... sama gue?”
“Jangan pernah berpikir ini semua kesalahan elo.” Ari mengetatkan pelukannya. Mempersiapkan gadis itu, juga mempersiapkan diri. Ditelannya ludah susah payah. Kerongkongannya kering kerontang, menimbulkan rasa perih ketika ia menelan. “Gita terlibat di tawuran kemaren.”
Ari bisa merasakan tubuh yang dipeluknya menegang. Sedetik, tubuh itu memberontak, ingin melepaskan diri. “Jangan, Tari. Jangan,” bisik Ari, begitu sarat permohonan. Cowok itu panik dan ketakutan. “Plis, jangan lari dari gue.”
Tari akhirnya berhenti memberontak karena pelukan Ari membatu. “Lo libatin Gita?” bisiknya dengan nada tak percaya.
“Gue nggak bermaksud...”
“Lo lupa sama perjanjian itu? Lo nyerahin gue ke Angga?” Kedua tangan Tari mengepal di sisi tubuhnya yang masih dipeluk erat.
“Dengerin gue dulu...”
Tari mendorong dada Ari kuat-kuat. Terpaksa ia mengeraskan hati saat melihat cowok itu kembali mengernyit kesakitan. Pelukan Ari terurai. Kini keduanya saling bertatapan. “Nggak ada yang perlu dijelasin,” kata Tari dengan suara dan tubuh bergetar oleh amarah. Cewek itu lalu bangkit ke pintu depan, berdiri di sebelah daun pintunya yang terbuka. “Keluar.”
Ari tercekat. “Tar...”
“Keluar,” potong Tari. “Keluar dari rumah gue ato gue bakal teriak.”
“Tapi gue nggak...”
“Keluar! Gue nggak mau denger apa-apa dari elo!” Tari mulai berteriak sambil menutup telinga.
Ari menyerah. Cowok itu mendesah sebelum berdiri dari sofa. Ia berhenti tepat di depan Tari. Kembali kedua pasang mata itu bertemu. Sepasang mata hitam dan sepasang mata cokelat. Keduanya sama-sama penuh luka. Sama-sama tersiksa. Sama-sama menyimpan air mata. Sesaat, tidak ada yang bersuara di antara mereka. Bumi seolah berhenti berputar, menunggu salah satu di antara keduanya bergerak. Jam di dinding pun seolah tidak berdetak. Keduanya tersesat. Tidak bisa menemukan satu sama lain.
Ari menatap Tari dengan beribu emosi. Ia ingin berteriak keras-keras untuk melegakan dadanya. Namun teriakan itu tak bisa keluar. Hanya bergaung di jurang tak terjembatani yang kini memisahkan dirinya dengan Tari. Gadis ini... luput dari genggamannya. Tak teraih lagi. Jiwanya yang telah takluk dan terikat kuat oleh cintanya kepada gadis ini, perlahan-lahan terkulai. Mati.
Dengan begitu hati-hati, ia rengkuh tubuh cewek itu. “Gue harus bilang apa biar lo percaya?” bisiknya serak. Air matanya jatuh di pundak Tari. Air mata penyesalan, juga keputusasaan. “Maafin gue, Tar. Maaf.”
Tari memejamkan mata. Hatinya remuk. Dadanya sesak. Kenapa harus berakhir seperti ini? Semua mimpi indah itu, semua kenangan itu, perlahan memudar, meninggalkannya terseok sendirian.
“Gue nggak pernah mau ngelepasin elo, Tar. Tapi gue terpaksa. Bener-bener terpaksa.” Dengan enggan, Ari melepaskan pelukannya. Diangkatnya dagu cewek itu, memaksanya untuk menatap matanya. “Lo harus inget itu.”
Tari merasakan sapuan lembut di pipinya. Hatinya sekarang porak poranda dilanda badai hebat. Namun ada sebentuk gelenyar hangat mengaliri tubuhnya saat kemudian Ari beralih mencium kedua kelopak matanya yang terpejam.
Ari ikut memejamkan mata saat menyandarkan keningnya ke kening Tari. “Gue cinta sama elo, Jingga Matahari,” katanya selirih hembusan angin. “Selamat tinggal.”
Kalimat itu meruntuhkan pertahanan Tari, membuka gerbang air matanya hingga mengalir tak terkendali. Amarahnya kini kehilangan arti. “Jangan pergi,” isaknya pelan, memohon sepenuh hati.
Namun Tari merasakan kening dan kedua tangan Ari terlepas dari tubuhnya, kemudian hawa di sekitarnya menjadi dingin. Dalam kegelapan, ia mendengar langkah kaki Ari yang menjauh. “Jangan pergi, Kak. Jangan tinggalin gue.”
Tari tak mendengar apa-apa lagi. Suasana di sekitarnya benar-benar hening sekarang. Tari membelalakkan mata. Ari sudah pergi. Cowok itu tidak terlihat lagi. Pintu pagar depan tertutup rapat. Kejadian barusan seperti mimpi. Tari memejamkan mata lagi, berharap bahwa ini benar-benar mimpi. Tapi dia tidak bisa menyangkal. Ucapan selamat tinggal dari Ari terus bergema di kepalanya.
Setelah menutup pintu, ia meluruh jatuh. Tenggelam dalam tangisan hebat. Untuk seseorang yang baru saja meninggalkannya. Untuk belati yang tanpa ampun menyiksa nuraninya. Untuk pelukan perpisahan yang perlahan membunuhnya..
“Gue juga cinta sama elo, Matahari Senja.” Itulah jawabannya!

***

Ari hampir saja membalikkan badan dan meraih Tari dalam pelukan lagi saat cewek itu memohon kepadanya untuk tidak pergi. Tapi dia tidak bisa tinggal. Tidak kalau nyawa kedua sahabatnya yang menjadi taruhan. Jadi dengan segenap tenaga, ia langkahkan kaki keluar, sama sekali tidak menoleh lagi ke dalam rumah. Ditinggalkannya tempat itu, bersama seseorang yang berbagi kehancuran bersamanya.
Ya. Ari hancur. Sama seperti Tari. Kalau pertahanannya tidak begitu kuat, bisa dipastikan ia juga akan terjatuh ke tanah dan menangis. Ketika kemudian tiba di taksi yang masih menunggunya, Ari memutuskan untuk pulang ke rumahnya, bukan ke rumah Mama. Ia butuh waktu untuk sendiri. Ia butuh waktu untuk menerima kenyataan ini. Tidak akan ia biarkan si brengsek Ata menonton kejatuhannya.
Ari menghela napas berat. Dadanya masih sakit. Dan akan terus seperti itu karena ia tak lagi mempunyai obat penawar. Gadis yang selama ini berhasil menutup luka-lukanya kini ia biarkan pergi. Bukan hanya membuka kembali setiap balutan, tapi juga menorehkan luka lebih dalam di sana.
Tiba di rumahnya, Ari melesat ke kamar, mengunci pintu, lalu ambruk ke tempat tidur. Ia mati-matian menahan air mata, hingga akhirnya jatuh tertidur karena kelelahan.






Bersambung...




Nyesek sendiri baca part ini :'(
Maaf kalo part ini cuma dikit, udah nggak kuat mau nambahin *lambaikan tangan ke kamera*
Mungkin untuk part-part selanjutnya masih konsen sama hubungannya Ari-Tari yaa
Yoook komeeen ^^