Sinar
matahari sore membangunkan Ari dari tidurnya yang tak bermimpi. Selama beberapa
saat, ia membiarkan tubuhnya tetap berbaring terlentang. Matanya berkedip
beberapa kali untuk menyesuaikan dengan cahaya yang memenuhi kamarnya. Otaknya
berputar cepat mengumpulkan memori beberapa jam terakhir, dan seketika itu pula
kepalanya berdenyut sakit.
Saat
melirik jam di dinding, Ari menyadari bahwa ia tertidur hampir 6 jam penuh.
Tubuhnya nyaris tak punya daya untuk bangkit, namun Ari memaksakan diri. Ia
tidak ingin hanya berbaring malas-malasan di sini tanpa mengetahui kabar
terbaru kondisi kedua sahabatnya. Jadi ia segera mandi dan bersiap untuk pergi.
***
“Ganti
channel bisa kali, Ji. Cari yang bening gitu, kek. Suaranya bikin kepala gue mau
pecah, nih.”
“Yee,
semuanya sama aja, Dho. Nggak ada yang jernih salurannya.”
“Matiin
aja deh. Matiin.”
“Tadi
lo sendiri yang minta nonton tivi. Gimana, sih?”
Tepat
ketika Oji menekan tombol power di
remote dan layar televisi padam, pintu kamar mereka terbuka. Ari berdiri di
ambangnya. Tubuhnya membeku, sama seperti ketika ia pertama kali membuka pintu
ruangan ini.
Ari,
Ridho, dan Oji belum pernah seemosional ini sejak mereka bersahabat. Belum
pernah ada sejarahnya mereka merasa begitu bahagia bisa melihat
sahabat-sahabatnya seperti saat ini. Sejenak, ketiganya hanya saling bertukar
pandang.
“Hei,
Bos,” panggil Oji lirih. Bibirnya melengkungkan senyum.
Ari
balas tersenyum. Senyum sedih dan lelah, namun juga lega. “Hei, Ji.”
“Masuk,
Ri. Jangan bengong aja di pintu.” Kali ini Ridho yang bicara. Suaranya serak,
hingga ia berdehem-dehem untuk membersihkan tenggorokannya.
Ari
melangkah masuk, lalu menutup pintu. Setelah semalaman dicekam berbagai macam
ketakutan dan rasa gelisah, sekarang ia bisa sedikit bernapas lega melihat
kedua sahabatnya telah siuman. Ia melangkah menghampiri Oji yang duduk di
tempat tidurnya, kemudian memeluk sahabatnya itu erat.
“Wow,
wow, ati-ati, Bos. Ng.. rusuk gue masih memar.”
Ari
buru-buru melepas pelukannya. “Sori, sori.”
Oji
nyengir. “Nggak masalah. Nggak lama lagi juga sembuh.”
Ari
beralih ke tempat tidur Ridho. Temannya itu belum bisa duduk. Masih berbaring
dengan kepala diperban. Namun seulas senyum tersungging di bibirnya. “Lo
baik-baik aja, kan?” tanyanya.
Ari
mengangguk. “Nggak separah kalian,” jawabnya pelan. Ari tidak bisa membendung
emosinya lagi. Air matanya perlahan jatuh, bentuk penyesalannya yang terdalam.
Tangannya menggenggam salah satu tangan Ridho erat-erat. Kepalanya menunduk.
“Apa gue masih pantes minta maaf ke kalian?” bisiknya pedih.
“Buat
apa lo minta maaf?” balas Ridho lemah. “Bukan salah elo, Ri. Sama sekali
bukan.”
“Ridho
bener, Bos,” timpal Oji. “Lo nggak salah. Emang posisi kita aja yang waktu itu lagi
nggak menguntungkan. Kita nggak pernah nyalahin elo. Jangan feeling guilty gitu, lah.”
“Jangan
nangis, ah. Gue jadi tersanjung nih ditangisin Matahari Senja si kepala batu,”
kata Ridho lagi.
Ari
menghela napas dalam-dalam. Diusapnya air mata yang masih mengalir, lalu
mengangkat wajah. Diberinya sebentuk senyum kepada Ridho. “Thanks, Dho.” Kemudian kepalanya beralih menoleh ke Oji. “Thanks, Ji.”
“No problem,” jawab Ridho, sejenak
meremas tangan Ari di genggamannya.
“Gimana
kepala elo?” tanya Ari.
“Cuma
gegar otak ringan. Nggak kenapa-napa. Masih pusing aja. Efek bius juga. Gue
belom boleh duduk terlalu lama. Tapi tenang aja, kepala gue nggak kalah keras
kok dari kepala elo.”
Ari
tertawa kecil. “Elo gimana, Ji?” tanya Ari lagi.
“Yah,
gue udah bilang tadi. Rusuk gue memar, untungnya nggak ada yang retak ato
patah. Beberapa hari lagi pasti udah baikan. Tapi sama kayak Ridho, gue belom
boleh duduk terlalu lama ato jalan-jalan. Bikin bete aja,” gerutu Oji.
“Yah,
gue juga pasti bakalan bete di kelas kalo nggak ada kalian. Garing tau nggak.
Ato gue pura-pura sakit aja ya biar bisa nemenin kalian di sini?” kata Ari
nyengir.
“Wah,
jangan, Bos!” Oji pura-pura melotot ngeri. “Ntar Bu Sam marah kalo pas nengokin
kita, trus dia liat kita bolos barengan gini di rumah sakit. Kasian si Ridho
kalo harus dengerin ceramahnya Bu Sam. Bisa beneran ancur kepala dia. Jadi
mending lo tetep sekolah, jadi anak baik dan duduk manis di bangku lo, trus sampein
salam kita buat Bu Sam. Salam kangen, gitu ya.”
“Bikin
bete aja,” sahut Ari meniru gerutuan Oji tadi. Ridho tertawa kecil, sementara
Oji cuma nyengir karena dadanya masih sakit untuk diajak tertawa.
Ari
tersenyum tipis. Dia sungguh tidak suka membayangkan harus melewati hari-hari
di kelas tanpa kedua sahabatnya ini. Ia bergerak ke tempat tidur Oji, lalu
duduk di sana, di dekat kaki sahabatnya. Ia tidak berani duduk di tempat tidur
Ridho, takut kalau gerakannya membuat kepala Ridho sakit.
“Gue
mau cerita sesuatu ke kalian,” katanya pelan.
Oji
beringsut mendekat dengan hati-hati, berusaha tidak membuat banyak gerakan pada
tubuhnya. “Cerita aja. Kita siap dengerin.”
Ridho
berbaring sedikit menyamping agar bisa melihat ke arah Ari. “Ya. Cerita aja.
Gue tau lo pasti punya banyak berita sejak kejadian kemaren sore.”
Ari
menarik napas panjang, kemudian menahannya sebentar sebelum akhirnya ia
hembuskan keras-keras. Tidak mungkin baginya untuk bercerita tanpa emosi.
Memikirkannya saja sudah berhasil membuat dadanya sesak. Namun akhirnya, ia
memulai cerita itu. Semua yang terjadi sejak Ridho dan Oji tak sadarkan diri di
area tawuran kemarin. Bagaimana mereka bisa selamat, dan apa yang harus Ari
bayar setelahnya. Suaranya lirih dan tersendat. Kalimatnya kadang tedengar
berantakan. Ridho dan Oji mendengarkan dengan penuh perhatian tanpa pernah
menyela. Hingga ketika akhirnya Ari bercerita tentang kejadian pagi tadi di
rumah Tari, keduanya tidak bisa menahan diri lagi.
“Lo
gila, Bos. Gimana bisa lo putusin dia?” Oji ternganga.
“Lo
nggak seharusnya ngorbanin hubungan lo sama Tari. Lo pikir kami nggak bisa jaga
diri? Ini di rumah sakit, Ri. Angga nggak akan berani macem-macem,” tambah
Ridho.
Ari
menghela napas, berusaha menahan sabar. “Nggak. Gue nggak mau ambil resiko itu.
Gue nggak mau nempatin kalian dalam bahaya untuk kedua kalinya. Nggak! Jangan
bilang apa-apa lagi! Jangan bikin gue nyesel sama keputusan gue. Gue sama Tari
bubar, titik.” Ada kepedihan yang amat jelas saat Ari mengucapkan kalimat
terakhirnya. Rasa sakit yang bahkan bisa Oji dan Ridho rasakan.
Oji
menyentuh bahu Ari. “Lo nggak mungkin ngelepasin dia.”
“Tapi
gue harus,” jawab Ari dengan kepala tertunduk. Nada suaranya begitu pahit. “Gue
tau gue nggak bisa. Tapi itu bukan alesan. Gue nggak mau kehilangan kalian
berdua.”
“Jadi
lo milih kehilangan Tari?” tanya Ridho telak.
Ari
membisu. Sungguh ia tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Dia tidak ingin
kehilangan siapapun yang selama ini berada di sisinya. Kehilangan adalah
sesuatu yang menghancurkan. Ari pernah mengalaminya sebelum ini. Jadi dia tahu
rasanya. Tapi untuk sekarang memang tidak ada pilihan lain. “Lo tau jawabannya,
Dho,” sahutnya kemudian dengan nada enggan. “Tapi apa lagi yang bisa gue
lakukan? Paling nggak Tari juga bakalan aman setelah gue lepasin dia.”
Suasana
di dalam kamar menjadi hening. Sampai dua orang perawat masuk ke kamar untuk
memeriksa kondisi Oji dan Ridho. Ari segera menyingkir dari tempat tidur Oji,
menunggu di sofa yang pernah didudukinya kemarin, mengamati kedua temannya yang
sedang menjalani pemeriksaan rutin. Mungkin pemandangan ini akan menjadi
pemandangan akrab untuk hari-hari ke depan.
***
Hari
Minggu siang, Ari kembali berkunjung ke rumah sakit tempat Ridho dan Oji
dirawat. Kedua temannya telah dipindahkan ke kamar VVIP yang lebih luas dan
berfasilitas lengkap. Semua tagihan rumah sakit akan langsung dikirimkan ke
Ari, yang bersikeras untuk menanggung biaya perawatan kedua temannya itu. Ari
meminta kedua temannya tetap dirawat di satu ruangan, sehingga ia tidak
kerepotan saat membesuk.
Saat
ketiganya sedang mengobrol seru, mendadak pintu kamar diketuk dari luar. Ari
bangkit untuk membukanya, dan seketika terpaku begitu mendapati siapa yang
berdiri di depan pintu. Tari juga tidak kalah kaget saat Ari berdiri di
depannya. Perasaan keduanya seketika kacau balau.
“Siapa,
Ri?” tanya Ridho yang tidak bisa melihat tamunya karena terhalang tubuh Ari.
Ari
bergeser ke samping tanpa suara. “Masuk,” gumamnya.
Tari
melangkah masuk dengan kepala menunduk. “Makasih,” sahutnya pelan.
Ridho
dan Oji saling bertatapan saat melihat pemandangan di depan mereka. Dua
Matahari yang selama ini selalu terlihat memanja mata saat keduanya bersama,
kini menjelma menjadi dua sosok yang saling asing, nyaris terasa seperti awal
pertemuan mereka. Kembali ke titik nol. Kedua Matahari itu telah meninggalkan
galaksi yang pernah menyatukan mereka, tersesat dalam ruang angkasa tak
terbatas, tidak bisa saling meraih lagi.
“Gue
kasih lo privasi,” kata Ari lagi, masih berupa gumaman, kemudian melangkah
keluar.
Setelah
Ari menutup pintu di belakangnya, Tari menghembuskan napas yang tanpa sadar ia
tahan, kemudian menggeleng-geleng pelan untuk mengenyahkan sesuatu yang
mengganggu pikirannya. Begitu kepalanya terangkat, ia langsung mendapati Ridho
dan Oji tengah menatapnya.
“Hai,
Kak,” katanya pelan. Ia meletakkan parsel buah yang dibawanya ke meja.
Diseretnya sebuah kursi ke sebelah kaki tempat tidur Oji, dan menghadapkannya
ke arah Ridho, sehingga ia bisa menatap kedua cowok itu. “Maaf baru sempet
jenguk, soalnya Mama sama Papa baru aja pulang dari...”
“Apa
itu tadi?” bisik Oji tajam, memotong ucapan Tari.
Kening
Tari berkerut. “Apanya yang apa?”
“Itu
tadiiii, lo sama Ariii...” desis Oji tidak sabar. “Kenapa kalian...”
“Ji,
udahlah,” kali ini Ridho yang memotong perkataan Oji. Tidak tega juga dia
melihat raut wajah Tari yang seperti akan menangis. Cewek itu menggigit bibir
bawahnya kuat-kuat.
Tari
menghela napas beberapa kali untuk menenangkan diri. “Gue... juga nggak tau,
Kak,” katanya lirih. “Gue nggak tau harus gimana ngadepin Kak Ari sekarang.
Kita udah nggak... ng... bareng lagi. Buat gue rasanya aneh banget, juga
sakit.”
“Lo
tau lo sama dia masih sama-sama suka. Jangan nyerah, Tar. Pasti ada jalan buat
lo sama Ari buat balikan,” ucap Ridho sabar.
“Oh,
oh! Gue punya quotes, nih. Lumayan
buat ngembaliin semangat elo, Tar. Dengerin yaa..” Oji berdehem-dehem sejenak.
“Lo tau kan kalo pas senja itu matahari selalu balik ke cakrawala?”
Tari
mengangguk-angguk, belum mengerti maksud Oji. Sementara Ridho berusaha menahan
senyum.
“Nah,
itu sama aja kayak cinta. Cinta itu selalu kembali, Tar. Nggak peduli sejauh
apapun dia pergi, biar lo nggak liat wajahnya lagi, percayalah kalo dia nggak
pernah ninggalin elo. Emang kadang kita harus berpisah sama orang yang kita
cintai. Tapi kalo waktunya udah tiba, kayak matahari sama garis cakrawala,
pasti kalian akan dipertemukan kembali di kala senja, melebur menjadi satu dan
tak terpisahkan dalam cinta abadi.” Oji mengakhiri kalimatnya dengan cengiran
yang ia tujukan kepada Ridho. “Gimana kata-kata gue?”
Ridho
mengacungkan kedua jempolnya sambil berdecak kagum. “Sip abis, men. Aje gile.
Salah kalo lo masuk jurusan IPA. Jadi anak Bahasa aja sono.”
Oji
cengengesan. Bangga juga dia dengan rangkaian kalimat romantisnya. Kemudian dia
menyadari gadis yang duduk tidak jauh darinya sedang mengerutkan kening,
tampaknya memikirkan dengan serius ucapannya tadi. “Cinta selalu kembali,” kata
Tari lirih, mengulang quotes dari
Oji. Cewek itu mengangkat wajah, menatap Oji dengan sebentuk senyum. “Makasih,
Kak. Seenggaknya gue punya pegangan sekarang. Suer, kata-kata lo ngena banget.”
Oji
ikut tersenyum. “Sama-sama, Tar. Soal gituan sih kecil. Serahkan saja kepada
Oji si Pujangga Cinta.”
***
Mengobrol
dengan Oji dan Ridho dapat membuat perasaan Tari sedikit ringan saat keluar
dari kamar rawat dua cowok itu. Namun mendung seketika kembali menggelayuti
hati saat ia tanpa sengaja berpapasan dengan Ari di koridor rumah sakit.
Keduanya ingin menghindar, tapi apa daya, kedua kaki mereka malah berhenti
melangkah tanpa diminta.
“Hei,”
sapa Ari pelan.
“Hei,
Kak,” jawab Tari. Matanya tidak berani menatap ke wajah Ari, hingga ia
pura-pura tertarik pada taman di samping koridor.
“Udah
makan?”
Tari
sedikit tersentak. Dari sekian banyak pertanyaan, kenapa pertanyaan itu yang harus
keluar? Hati-hati, ia menatap Ari. Cowok itu terlihat kacau. Rambutnya
berantakan. Ada lingkaran gelap di sekeliling matanya. Tatapannya masih sama
dengan terakhir kali ia dan cowok itu bertemu. Tatapan tersiksa, yang seolah
kehilangan fokusnya.
Kepala
Tari menggeleng menjawab pertanyaan Ari. “Belom.”
Ari
mendesah. Tangannya mengacak rambutnya yang agak panjang, membuatnya tambah
berantakan. “Lo harus makan.”
“Ntar
aja di rumah.” Tari menggigit bibir bawahnya. Matanya mulai merebak mengingat
saat terakhir Ari memaksanya makan dengan ancaman manis, tidak lebih dari dua
hari yang lalu. Betapa banyak yang telah terjadi dalam waktu sesingkat itu,
mengubah segalanya di antara mereka. “Mm, permisi, Kak. Gue pulang dulu.”
Dengan kepala menunduk, ia berjalan ke sisi Ari, melewati cowok itu.
“Gue
anterin.” Ari mendadak mencekal tangan Tari dan memutar tubuh cewek itu kembali
ke hadapannya.
Tari
kembali tersentak. “Nggak,” tolaknya seketika. Ia tidak bisa membayangkan
suasana canggung yang pasti terjadi kalau dia kembali ke boncengan cowok ini.
Tari juga tidak ingin menanggung sakit di dadanya jika harus mengingat cowok
yang memboncenginya bukan lagi miliknya. Tidak bisa lagi ia peluk dari
belakang. Tidak bisa lagi ia ajak ngobrol dan bercanda sesuka hati.
“Kenapa
nggak?”
“Lo
lupa gue udah jadi cewek orang lain?” jawaban Tari meluncur begitu saja. Bukan
maksudnya untuk menyakiti Ari. Bukan maksudnya untuk membuat Ari merasa
bersalah. Bukan. Bukan itu! Tapi sepertinya itulah yang sekarang terjadi. Raut
wajah Ari kontan berubah kaku. Sorot tersiksa di matanya semakin jelas
terpancar, seolah cowok itu sedang dibakar hidup-hidup. Rahangnya mengeras.
Kehancuran jelas membayang di wajahnya. Cekalannya di tangan Tari otomatis
terlepas.
“Gue...”
Ari tidak bisa menemukan kata-kata. Tangannya kembali bergerak ke rambutnya,
mengusapkan jemari di antaranya dengan kasar. Tanpa bicara apapun lagi, ia
membalikkan badan, menjejalkan kedua tangannya ke saku jaket, lalu melangkah
pergi.
Sepeninggal
Ari, Tari masih berdiri di tempatnya tanpa suara, menyesali ucapannya tadi.
Keadaan ini begitu membingungkan, membuat perasaannya campur aduk dan hatinya
jungkir balik tak menentu. Ketika air mata mulai mengancam akan jatuh, ia
segera membalikkan badan dan meninggalkan tempat itu.
***
Tari
mengerang tertahan. Kondisi hatinya yang sudah suram sejak bertemu dengan Ari
sekarang kesuramannya bertambah pekat saat melihat motor Angga terparkir di
depan pagar rumahnya. Si pemilik motor pun berdiri menunggu di samping motor
hitam itu. Tari menghirup napas dalam-dalam, menguatkan diri, lalu melangkah
mendekat.
“Mau
apa lo?” ketus Tari begitu tiba di depan Angga, sama sekali tidak berniat untuk
beramah tamah.
“Halo,
Tar,” Angga justru menyambutnya dengan senyuman lebar.
“Gue
nanya, mau apa lo ke sini?” Tari mulai melotot. Tangannya gatal ingin mencakar
senyum di wajah Angga.
Tidak
mengacuhkan tampang sadis Tari, Angga pura-pura menatapnya dengan kebingungan.
“Emangnya nggak boleh ya mampir ke rumah cewek sendiri?”
“Gue
bukan cewek elo,” tukas Tari pedas. “Gue nggak ngerasa pernah ditembak sama
elo. Gue nggak ngerasa pernah nerima lo jadi cowok gue. Gue bahkan nggak
ngerasa kita pernah deket!”
Angga
menggeleng-geleng sambil mendesah. Ia tahu Tari akan keras kepala. “Lo pasti
udah tau kan kalo Ari ngelanggar janjinya tentang Gita? Ato jangan-jangan Ari
belom bilang sama elo?”
“Dia
udah bilang, jangan nuduh seenaknya,” bela Tari.
“Trus?
Lo tau kan apa artinya itu?” kata Angga sambil mengangkat alis tinggi-tinggi.
Ia memperpendek jarak dengan cewek di depannya.
Tari
menekan kemarahan yang mulai naik ke permukaan. “Denger,” desisnya berang.
“Untuk lo ketahui, gue bukan barang yang bisa diserah-terima seenaknya, dan gue
bukan bola yang bisa dioper-oper sesuka hati sama kalian. Gue manusia, gue
orang, dan gue cewek yang jelas-jelas masih hidup, oke?! Gue cewek yang punya
harga diri, otak, dan hati! Gue berhak mutusin apapun dalam hidup gue!” Tari
berteriak. Matanya yang memelototi Angga sudah berkaca-kaca, nyaris pecah
menjadi tangisan.
Tanpa
diduga, Angga menariknya ke pelukan. Reaksi refleks Tari jelas memberontak,
tapi ia merasa tidak punya cukup daya untuk melawan Angga. Tubuhnya terasa
lemah setelah dipaksa menerima kenyataan menyakitkan yang datang bertubi-tubi
sejak kemarin. Hingga akhirnya ia biarkan cowok itu memeluknya erat dan menekan
kepalanya ke dada.
“Gue
tau lo masih kaget,” bisik Angga dengan nada lembut. “Gue tau lo masih sakit.
Gue bisa ngerasain itu, Tar. Gue bukan monster. Gue nggak akan tega liat cewek
yang gue sayangi sedih.”
“Kalo
lo emang nggak tega liat gue sedih, kenapa lo misahin gue sama Kak Ari?” tanya
Tari lirih. Suaranya bergetar.
“Karena
gue egois,” tandas Angga. Ia menghela napas, kemudian suaranya melembut lagi,
“Maafin gue. Tapi kali ini gue harus egois. Gue cinta sama elo, dan gue akan
perjuangin cinta gue.” Dikecupnya kening Tari sekilas. “Nangis aja, nggak
pa-pa. Nangis aja kalo emang masih sakit.”
Kedua
mata Tari mengkhianati pemiliknya. Hatinya memang masih terasa perih. Batinnya
masih merintih kesakitan. Ia sudah berusaha mati-matian menahan air mata, tapi
kalimat Angga berhasil menjebol pertahanannya. Setetes air mata meluncur jatuh,
disusul yang lain, hingga ia terisak di dada Angga. Rasanya mudah sekali
baginya untuk menangis. Tinggal mengingat nama Ari, lalu seketika itu juga air
matanya akan hadir. Dan sayangnya, ia mengingat nama Ari hampir setiap waktu.
Samar-samar
di antara tangisannya, ia bisa mendengar Angga berkata, “Untuk kali ini aja,
Tar, gue biarin lo nangis karena dia. Gue janji, gue akan berusaha bikin lo
tersenyum mulai sekarang.”
***
Ata
mengamati kedua orang yang masih berpelukan itu dari kejauhan. Ia tahu Tari
menangis, terlihat dari bahu cewek itu yang berguncang dan isakan lirih yang
gagal diredamnya. Angga terlihat membisikkan sesuatu dengan lembut, berusaha
menenangkan gadis di pelukannya.
Ata
tidak tahu apa yang harus ia rasakan. Senang karena rencananya berhasil? Lega
karena hutangnya pada Angga telah terbayarkan? Puas karena melihat Ari perlahan
hancur? Atau justru ia harus merasa menyesal? Merasa bersalah?
Ata
memaki dirinya dalam hati. Ia tahu ia brengsek. Tapi tidak ada seorangpun di
dunia ini yang memahami luka hatinya. Luka yang telah ia pendam sekian lama,
sejak umurnya masih delapan tahun.
Perceraian
kedua orang tuanya yang mengawali segala penderitaan ini. Ketika ia melihat
Mama dan Papa saling membentak. Ketika ia berdiri kebingungan melihat Ari
menangis. Dan ketika ia meringkuk bersembunyi di halaman belakang untuk lari
dari kekacauan di dalam rumah. Sebuah luka tergoreskan.
Kemudian
ketika ia melihat Mama masih berusaha tersenyum padanya meski matanya memerah.
Ketika ia dan Ari kelaparan menunggu Mama yang ternyata berada di rumah Tante
Lidya. Dan ketika ia diam-diam mendapati Mama sedang menangis sedih di ruang
keluarga saat tengah malam. Luka lain terciptakan.
Juga
ketika ia melihat Papa tidak lagi ramah padanya. Ketika ia dicengkeram
ketakutan saat berangkat sekolah karena Papa menyetir seperti orang gila. Dan
ketika ia mendapat pukulan di pipi dari pria yang sejak dulu dipanggilnya Papa
saat ia ribut bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Sekali lagi sebuah luka
hadir di hati kecilnya yang rapuh.
Ata
meyakinkan diri bahwa ia harus kuat. Ia mempunyai harapan layaknya seorang anak
kecil bahwa suatu hari nanti, saat ia terbangun dari tidurnya, Mama dan Papa
akan menyambutnya dengan ciuman dan pelukan seperti dulu. Bahwa semua akan
baik-baik saja dan kembali seperti semula. Tapi perlahan ia sadar harapannya
hanya harapan kosong yang mustahil bisa terjadi.
Di
suatu pagi dia malah mendapati keadaan kian berubah. Ia menyadari Papa dan Mama
tidak lagi memperhatikannya. Keduanya sibuk memberi perhatian lebih pada Ari.
Berlomba memberi barang yang bagus kepada kembarannya saat ulang tahun mereka.
Saling berebut untuk memenuhi kebutuhan Ari sementara keduanya seakan lupa
masih punya seorang anak laki-laki lain yang juga memiliki kebutuhan. Ata
dilupakan. Ata ditinggalkan.
Puncaknya
adalah ketika Mama dan Papa memperebutkan hak asuh Ari.
Luka-luka
yang selama ini Ata rasakan seolah tidak ada artinya dibanding dengan perebutan
hak asuh itu. Akhirnya Ata mengetahui alasan mengapa Mama dan Papa bersikap
begitu baik pada Ari dan lebih perhatian pada saudara kembarnya itu. Karena
mereka lebih menginginkan Ari, bukan dirinya. Mereka lebih menyayangi Ari, bukan
dirinya. Ata hancur seketika.
Setelah
Papa dan Mama resmi bercerai, Ata merasa lebih bahagia bisa tinggal bersama
Mama. Namun ternyata semua tidak seperti yang ia bayangkan. Penderitaannya belum
cukup sampai di situ. Kepingan hati yang susah payah ia tata agar utuh kembali,
lagi-lagi harus berderak dan pecah berserak.
Mama
masih tidak bisa memedulikannya. Wanita itu pergi setiap hari mencari Ari. Ari,
Ari, dan Ari! Kenapa semua harus selalu tentang saudara kembarnya itu? Ata
kembali merasa tak diinginkan. Ia hanya bisa menangis saat ia sedih, saat ia marah,
saat ia kelaparan, saat ia kedinginan, saat ia kesakitan, dan saat ia tidak
punya siapa-siapa di sampingnya. Kehadiran Tante Lidya pun tidak bisa mengobati
hatinya yang terlanjur remuk.
Meski
begitu Ata selalu berusaha menjadi anak yang baik. Ia menyayangi Mama,
bagaimana pun sikap wanita itu kepadanya. Ia berharap Mama bisa menoleh lagi ke
arahnya kalau ia menjadi anak baik seperti Ari. Usahanya berhasil. Perlahan,
Mama kembali memberi perhatian. Ia kembali menjadi sosok yang selama ini Ata
rindukan, yang membelai kepalanya dan memeluknya saat tidur. Meski Mama masih
terus berusaha mencari Ari, Ata tidak peduli. Yang penting Mama kembali
bersamanya, dan mulai menerima kenyataan bahwa yang sekarang berdiri di
depannya adalah Ata. Hanya Ata. Bukan Ari. Akan ia jaga wanita itu dengan
segenap upaya.
Dalam
jatuh bangunnya menjalani kehidupan ini, Ata berjalan membawa seribu luka. Sama
seperti Ari, ia mati-matian membangun dinding kokoh yang menegakkan punggungnya
dan menghindarkannya dari keterpurukan. Ia topang pula Mama bersamanya,
mengajak wanita itu tetap berjalan di sisinya, melupakan masa lalu,
mengikhlaskan apa yang telah terjadi di luar kuasa mereka.
Kini
setelah Ata berhasil menemukan Ari, seribu luka itu muncul begitu saja dari
balik dinding, berteriak menuntut balasan. Kepada saudara kembarnya, yang
kehidupannya lebih terjamin ketimbang dirinya. Seribu luka itu membutakannya,
menyeret Ata dalam lubang gelap, dan satu-satunya jalan untuk bisa keluar
adalah menarik Ari jatuh ke sana. Ata ingin Ari merasakan apa yang dia rasakan.
Ata ingin Ari mengalami apa itu yang namanya disingkirkan, ditinggalkan, tidak
dipedulikan, dan tidak diinginkan. Ata ingin Ari kehilangan semua perhatian
yang selama ini telah ia dapatkan.
Dalam
hati, Ata tahu itu tidak adil. Ari, adik kecilnya yang manis, yang selalu
membagi permen yang ia dapatkan sebagai upah menemani Mama menjahit, tidak
pantas menjadi tempat pelampiasan kemarahan Ata. Semua yang terjadi bukan
kesalahan Ari, bukan pula keinginan Ari. Bukan Ari yang menjadi sebab kedua
orang tuanya bercerai. Bukan Ari yang meminta untuk diperebutkan. Ata sangat
menyadari itu.
Suara
motor Angga menyentakkan Ata dari banjiran pikiran yang membingungkan. Ata
merasa tubuhnya limbung sesaat. Ia menyandarkan punggung ke tembok gang
tempatnya bersembunyi sejak tadi. Napasnya terengah-engah seolah ia baru saja
lari maraton. Tidak! Ia tidak boleh mundur sekarang! Ia tidak harus merasa
menyesal atau merasa bersalah pada saudara kembarnya. Semua ini memang apa yang
diinginkannya sejak awal. Saat sudah setengah jalan seperti ini, Ata tidak
seharusnya meragukan rencananya sendiri.
Setelah
napasnya tenang, Ata menengok ke depan rumah Tari. Gadis itu masih di sana.
Berdiri diam menatap tanah di bawahnya. Ata melihat Tari menarik napas panjang,
menghembuskannya kuat-kuat, kemudian berbalik masuk ke rumah.
Bersambung...
***
Maafin Aul kalo part ini lama, maaf, maaaaaaf...
Dan mungkin untuk part selanjutnya bakalan lama lagi, maaf, maaf, maaaaaaaaaaaaaaaaaf bgt...
Nggak tau kenapa lagi rada nggak mood nerusin JUM, malah sekarang Aul selingkuh ke cerita Aul yang terbaru
Sekadar ngabarin aja nih, bagi yang belom tau, Aul masih asyik nerusin cerita "Sunshine is Still You", tapi maaf nggak dipost di sini
Kalo kalian mau baca, buka aja profil wattpad Aul, username-nya @Rossecret_98
Aul nggak janji yaa, tapi kayaknya untuk sementara waktu Aul masih pingin fokus ke cerita itu
Kalian bisa baca cerita itu buat selingan, tapi ya syaratnya kalian baca dulu novel "Sunshine Becomes You" karya Ilana Tan, soalnya "Sunshine is Still You" ini sekuelnya, oke? :D
Tunggu sampe Aul dapet inspirasi buat nerusin JUM yaa, hehe
Soalnya, asli, ini masih mentok sampe di sini ._.