Senin
pagi. Ata membuka matanya yang berat. Tubuhnya sangat lelah setelah perjalanan
jauh dari Jakarta ke Malang, ditambah ia tidak bisa langsung beristirahat
karena seluruh anggota keluarganya beramai-ramai menanyakan tentang keadaan Ari
di Jakarta. Ata membiarkan Mama untuk tidur lebih dulu, dan dia yang dengan
terpaksa menanggapi setiap pertanyaan yang terlontar, yang kebanyakan ia jawab
dengan, “Ari sehat dan baik-baik aja. Serius!”
Tengah
malam, barulah anggota keluarganya “melepaskannya” dari banjiran pertanyaan.
Ata menyeret tubuh ke kamar di mana ia harus berbagi dengan Mama. Dilihatnya
Mama telah terlelap tanpa sempat mengganti baju. Ata menyelimuti wanita itu dan
mengecup keningnya lembut, setelah itu ia ikut terlelap di samping mamanya. Ia
bahkan lupa mengabari saudara kembarnya tentang kepulangan mereka.
“Ata?
Kamu udah bangun? Yuk, sarapan.”
Ata
bangkit duduk. Mama sepertinya telah mandi dan sekarang berdiri di ambang
pintu. Sejak pertama kali mereka menginjak rumah ini, inilah pertama kalinya
Ata melihat wajah Mama begitu berseri.
“Oke,
Ma. Ata mandi dulu,” sahutnya agak curiga.
“Cepet
ya. Jangan lama-lama mandinya. Semuanya udah nunggu di ruang makan,” seru Mama
tertahan, kemudian berlalu dari hadapannya.
Ata
semakin curiga, jadi ia memutuskan untuk segera mandi dan turun ke ruang makan.
Sambil melangkah ke kamar mandi, ia memijit tengkuknya yang pegal. Sebenarnya
dia ingin tidur seharian ini, tapi ia harus berangkat bekerja. Bosnya sudah
begitu baik memberi toleransi waktu untuk cuti selama sebulan, jadi Ata tidak
ingin membuang-buang waktu kerjanya lagi karena keuangan mereka menipis.
Ata
mandi secepat yang ia bisa, lalu turun setelah berpakaian. Di tengah tangga pun
ia bisa mendengar ramainya suara keluarga mereka dari arah ruang makan.
Biasanya memang ramai, tapi sepertinya tidak pernah seheboh ini sampai Mbah
Kakung tertawa-tawa dan Mbah Uti berceloteh panjang lebar. Tanda tanya di
benaknya semakin besar.
Dengan
melompati setiap dua anak tangga sekaligus, Ata tiba di ambang pintu ruang
makan setelah beberapa langkah lebar. Matanya mengamati keramaian yang tercipta
tidak wajar di ruangan itu, mencoba mencari sebabnya. Sampai kemudian “sebab”
itu sendiri yang menoleh ke arahnya.
Ata
terpaku. Beberapa meter di depannya, duduk di bangku yang biasa ia duduki saat
makan, seseorang yang menyerupai dirinya menoleh, kemudian tersenyum. “Eh, Ta.
Udah selesai mandinya? Ayo, makan. Ditungguin lama banget,” panggil orang itu.
Ata
justru terpaku. Tidak memercayai pengelihatannya. Ari ada di sini? Di rumahnya?
Di Malang?? Mustahil! Tapi siapa lagi di dunia ini yang memiliki wajah begitu
serupa dengan dirinya selain Ari?
Ata
sadar semua orang di ruangan itu sekarang tengah menatapnya, tapi Ata tidak
peduli. Tatapannya tidak lepas dari Ari. Ia yakin mulutnya menganga lebar dan
ekspresinya jadi tidak keruan.
“Ata?”
tegur Mama, menyentakkan Ata hingga cowok itu tergeragap. “Eh, iya, Ma.”
Tubuhnya bergerak kaku mengambil kursi plastik yang kemudian ia letakkan di
sebelah Ari. Diam-diam saudara kembarnya itu tersenyum geli.
“Kaget
banget ya?” tanyanya.
“Bukan
kaget lagi, Ri,” gerutu Ata yang sudah berhasil mengendalikan diri. “Gue yakin
jantung gue jatoh ke lantai tadi.”
Ari
tertawa, diikuti beberapa anggota keluarganya, sementara Mama tersenyum sambil
mengambilkan nasi di piring Ari.
“Kapan
nyampe?”
“Baru
aja. Pas lo masih molor.”
“Kenapa
nggak bilang-bilang sih kalo mau ke sini?”
“Lo
sendiri nggak bilang-bilang kalo lo sama Mama mau pulang,” protes Ari. “Lo
nggak tau gue kagetnya kayak apa pas tau kalian udah balik ke sini. Kenapa
nggak kabar-kabar dulu?”
“Maafin
kami, Ri,” sahut Mama. “Ari mau makan pake apa?” tawarnya tanpa meneruskan
permintaan maafnya barusan.
Ari
menatap ke meja makan makan. Tempe dan tahu bacem, tumis kangkung, sawi
rebus, sambal terasi, juga kerupuk. Memang begitu sederhana, namun berhasil
membuat bibirnya terkembang lebar. “Apa aja boleh, Ma. Ari nggak bakal nolak.”
Mama
mengambilkan lauk pauk, kemudian meletakkan piring di hadapan Ari.
“Nggak
sekalian minta disuapin?” sindir Ata. “Asal kalian tau. Di Jakarta, Ari selalu
minta disuapin Mama.”
“Nggak,
deng. Bo'ong tuh,” tukas Ari.
“Idih,
kapan gue bo'ong? Tanya aja Mama kalo nggak percaya.”
Seluruh
anggota keluarganya lagi-lagi tertawa. Ari menghela napas. “Terserah, deh.
Pokoknya beberapa hari ini Mama jadi milik gue.”
“Ee,
udah, udah. Ayo makan. Ata mau Mama ambilin juga?” Mama menengahi.
“Nggak
usah, Ma.” Ata mengambil piring dan mengisinya dengan nasi serta lauk pauk.
Baru saja akan menyuapkan sesendok nasi ke mulut, cowok itu menyadari sesuatu.
“Beberapa hari? Maksudnya, lo mau tinggal di sini beberapa hari?”
Ari
mengangguk. “Boleh, kan?” tanyanya, bukan kepada Ata, melainkan kepada anggota
keluarga yang lain.
Mbah
Uti yang pertama menyahut, “Kamu boleh tinggal di sini selama yang kamu mau,
Nang. Tapi ya kayak gini ini rumah Mbah Kakung sama Mbah Uti, sederhana. Ndak
kayak rumah kamu di Jakarta. Tidurnya juga desek-desekan. Kamu betah ndak?”
“Jangan
khawatir. Ari nggak keberatan disuruh tidur di lantai asal serumah sama
kalian,” jawab Ari. Ditatapnya Mbah Uti yang juga balas menatapnya dengan haru.
Betapa ia merindukan sosok tua ini. Tadi saat tiba di sini, orang kedua yang
dipeluknya paling erat dan paling lama setelah Mama adalah Mbah Uti. Ari sempat
takut wanita tua ini terkena serangan jantung saat ia mengucapkan kata-kata,
“Ini... Ari... Uti. Ini bukan Ata. Ini Ari. Dari Jakarta.” Ari bersumpah ia
tidak merasakan jantung Mbah Uti berdetak saat mereka berpelukan. Tapi kemudian
Mbah Uti terisak sambil menyebut namanya, membuat dirinya juga tidak bisa
menahan air mata.
“Nanti
Ari tidur sama Ata di kamar Mama. Biar Mama tidur sama Budhe Yani. Kebetulan
Pakdhe Heru lagi tugas di Medan beberapa minggu,” kata Mama, dan seperti
kebiasannya di Jakarta, tangannya dengan lembut mengusap-usap punggung Ari di
sebelahnya.
“Siap,
Ma!” Ari mengangguk patuh.
Suasana
kembali riuh. Mereka menikmati sarapan sambil mengobrol dan bercanda. Ari
merasa dadanya sesak oleh kehangatan. Suasana seperti ini yang setengah mati ia
rindukan. Makanan paling sederhana pun bisa menjadi sangat lezat di lidahnya.
Ia tidak akan melepaskan lagi kebahagiaan ini. Tidak akan pernah!
***
“Ma,
Ata berangkat kerja dulu.” Ata mencium tangan dan kening Mama yang masih
mengobrol dengan Ari di ruang keluarga.
Mama
balas mencium kedua pipi Ata. “Ati-ati, Sayang.”
Ata
mengangguk. Kemudian beralih kepada Ari. “Gue berangkat dulu, bro.”
“Gue
ikut!” Mendadak Ari berdiri dari sofa.
“Ikut?
Ikut kemana?”
“Ikut
ke tempat kerja elo, lah.”
Ata
membelalak. “Serius, nih? Gue kerja sampe malem hari ini, Ri. Lo bisa mati
bosen di sana.”
“Gue
bisa jalan-jalan ntar kalo bosen.”
“Emangnya
kamu tau daerah Malang?” tanya Mama sangsi. “Ntar kesasar, lho.”
Namun
Ari tetap bersikukuh. “Bisa nyari taksi. Ari kan tau alamat sini.”
“Dasar
ngeyel,” dengus Ata, membuat saudara kembarnya nyengir. “Ya udah. Ntar gue
anter jalan-jalan sebentar pas makan siang.”
“Yes!
Yuk berangkat. Daah, Ma!” Ari menyeret tangan Ata keluar rumah. Mama hanya
tersenyum sambil menggelengkan kepala.
***
Ari
dan Ata berjalan kaki menyusuri kompleks perumahan yang agak kumuh itu.
Sepanjang jalan, beberapa tetangga yang disapa Ata hanya bisa melongo saat
melihat cowok itu mendadak ada dua. Berkali-kali pula Ari dan Ata menahan tawa
melihat ekspresi orang-orang tadi.
“Gila,
mereka kayak abis liat hantu aja,” komentar Ari setengah tertawa saat untuk
kedua kalinya “kejutan” dari mereka hampir membuat orang nyaris terjungkal dari
sepeda.
“Elo
sih, maksa ikut. Gue bakal jadi berita nih di penjuru kampung,” gerutu Ata
pura-pura jengkel.
Ari
merangkul bahu Ata. “Tenang aja, bro. Kita adepin bersama.”
Keduanya
tiba di depan kompleks, kemudian naik angkutan umum. Harus berganti angkutan
umum sekali lagi untuk tiba di tempat Ata bekerja. Ata berjalan memasuki
bengkel yang lumayan besar itu, sambil mengisyaratkan agar Ari mengikutinya. Ia
menepuk pundak seorang laki-laki bertubuh besar yang sedang membungkuk
mengerjakan sesuatu di dalam kap depan sebuah mobil. Orang itu berdiri dan menoleh.
“Bos,
kenalin. Ini saudara kembarku dari Jakarta. Namanya Ari.”
Ari
mengulurkan tangan, yang segera disambut ramah oleh laki-laki gondrong dengan
lengan penuh tato itu. “Ooh, jadi ini toh saudara kamu itu. Hei, panggil aja
aku Gerry, bos saudara kamu ini.”
Ari
mengangguk-angguk. Kemudian ia diperkenalkan juga dengan teman-teman Ata yang
lain.
“Ya
udah, Bos. Ada kerjaan?” tanya Ata sambil melepas kausnya, hingga ia hanya
mengenakan kaus dalam.
“Tuh,
ada sedan. Baru aja masuk.”
“Oke.”
Ata menoleh ke arah Ari yang masih sibuk melihat-lihat sekeliling. “Ri,
sekarang terserah elo mau ngapain. Gue mau kerja. Kalo mau pergi kabar-kabar
dulu.”
Ari
kembali mengangguk-angguk. “Gue tunggu lo aja deh di sini.”
Ata
mengangkat bahu sambil menggumamkan kata “terserah”. Ia melangkah ke sedan yang
sudah terparkir di salah satu sudut bengkel. Setelah menyiapkan peralatannya,
Ata membuka kap mesin depan. “Lo kenapa tiba-tiba ke sini, sih?” tanya cowok
itu setelah beberapa saat mengutak-atik mesin di depannya. “Bukannya gue nggak
seneng lo tinggal di sini, sumpah. Tapi gimana dengan kehidupan lo di Jakarta?
Sekolah lo? Bokap? Tari?”
Ari
yang sejak tadi berdiri bersandar pada jeep di sebelah sedan yang sedang
dikerjakan Ata, merenungkan pertanyaan saudaranya beberapa saat. “Jujur aja,
waktu gue berangkat ke sini, gue nggak mikirin itu semua. Yang gue tau, gue
harus nyusul kalian saat itu juga.”
Gerakan
Ata terhenti. Ia menegakkan badan menatap Ari. “Lo nggak pamit sama Tari?”
Ari
menggeleng. “Gue bahkan belom sempet bicara sama dia sejak hari Sabtu.”
“Kenapa?
Lagi berantem?”
Ari
tercenung sejenak, lalu menggeleng-geleng lagi. “Nggak. Kami nggak berantem,”
jawabnya, enggan menyinggung permasalahan yang sedang terjadi antara dirinya
dan gadis itu di depan Ata. Ari sendiri juga sebenarnya belum memahami betul
apa permasalahan itu.
Ata
kembali membungkuk untuk meneruskan pekerjaannya. “Mungkin lo harus segera
kabarin dia. Dia pasti khawatir kalo lo mendadak ngilang gini.”
Ari
terdiam. Matanya menatap kosong ke lantai sementara pikirannya berkecamuk hebat.
“Ta?” panggilnya pelan setelah beberapa saat.
“Hm?”
“Gue
mau mutusin dia.”
“Apa?!
Adauw!” Ata meringis sambil mengusap kepalanya yang terantuk kap mobil saking mendadaknya ia
menegakkan punggung. “Lo serius, Ri?” serunya kaget. “Nggak, nggak mungkin. Lo
pasti lagi bercanda, kan?”
Ari
menghela napas berat. “Gue belom yakin, sih. Tapi gue sempet berpikir kalo gue
bakal tinggal di Malang selamanya. Jadi nggak mungkin kan gue nahan Tari tetep
sama gue, cowok yang tega ninggalin dia gitu aja?”
Ata
ternganga. “Gila lo. Lo tau kalo itu nggak mungkin terjadi, Ri. Kok lo nggak
mikirin konsekuensinya, sih? Bokap bakal nyariin elo, dan masalahnya tambah
berbuntut-buntut ntar.”
“Kalo
gitu lo aja yang balik ke Jakarta!” ucap Ari tajam. “Lo mau hidup sama Bokap,
kan? Silahkan aja lo gantiin gue di sana. Gue nggak keberatan kalo harus kerja
di sini. Gue nggak keberatan kalo harus putus sekolah.”
Ata
semakin ternganga. Matanya menyipit. “Ri, tarik ucapan lo!”
“Nggak
bakal!” bentak Ari. Kemudian cowok itu kembali menghela napas sambil membuang
muka. “Gue tau ini gila, Ta. Tapi apa lo nggak mau coba? Gue bisa belajar hidup
di sini. Sementara lo yang lebih pinter bergaul bakal bisa nyesuaiin diri di
sana. Lo nggak harus ngobrol dengan Bokap biar kalian serumah. Bokap nggak akan
ngira kalo itu adalah elo, bukan gue...”
“Oke,
oke. Cukup,” potong Ata. “Gue nggak mau denger apa-apa lagi. Lebih baik lo
diem, dan pikirin kembali keputusan sinting lo itu.”
Kedua
kembar itu lalu saling diam. Ari kembali menatap kosong ke lantai, menuruti
perintah Ata untuk berpikir ulang sementara saudara kembarnya itu kembali
bekerja. Mendadak ponselnya bergetar. Ari menatap layar ponselnya dalam diam
setelah meraih benda itu dari saku celana. Nama Tari tertera di sana.
“Kenapa
nggak diangkat?” tanya Ata yang mendadak sudah berdiri di depannya dan ikut
menatap layar ponsel Ari.
Ari
menggeleng, kemudian mematikan ponselnya.
***
“Nggak
diangkat, Kak,” lapor Tari pada Ridho yang masih duduk di depannya. Tari
mencoba menghubungi nomor Ari sekali lagi, tapi nihil. Ia menggeleng lemas. “Sekarang
malah nggak aktif.”
Ridho
menjambak rambutnya sendiri dengan gemas. “Apa sih yang dipikirin tu anak?
Bikin khawatir aja.”
Tari
menyandarkan punggungnya ke dinding. Tangannya mengetik pesan singkat untuk
Ari, yang entah kapan akan dibaca oleh cowok itu.
“Tar?”
“Hm?”
“Gue
minta maaf. Gara-gara gue ngasih foto itu ke Ari, dia jadi salah paham.”
Tari
menghembuskan napas perlahan. “Nggak perlu minta maaf. Bukan salah elo sama Kak
Oji, kok. Yuk, Kak. Kita ke kantin aja nyusulin Kak Oji.” Setelah memasukkan
ponsel ke dalam tas, Tari bangkit berdiri sambil menyandang tasnya.
“Lo
nggak mau balik ke kelas? Lo kan nggak kena hukuman juga dari gue sama Oji?”
Ridho ikut berdiri sambil menenteng tas milik Fio dan Nyoman.
Tari
lagi-lagi menggeleng. “Nggak. Ini namanya setia kawan, Kak. Kalo sahabat lagi
kena bencana, ya kita musti ikutan susah, dong.”
Senyuman
geli kontan terbentuk di bibir Ridho. “Halah, ngeles mulu. Bilang aja lo lagi males
pelajaran.”
“Nah,
itu lo tau!”
“Emang
dasar lo ya!” Senyuman Ridho berubah menjadi cengiran lebar. “Udah bener-bener
ketularan Ari. Ati-ati deh, Tar. Jangan bandel-bandel kayak dia. Apalagi lo tuh
cewek, masih kelas sepuluh pula.”
Mau
tak mau Tari ikutan nyengir. “Mau gimana lagi, Kak? Gue emang lagi males
pelajaran, sih. Salah Kak Ari juga bikin gue cemas kayak gini. Udah, yuk ah, ke
kantin.”
***
“Bos,
aku keluar dulu. Jalan-jalan sebentar.”
Gerry mengangguk mengizinkan. Ari dan Ata berjalan keluar bengkel, kemudian mencari
angkutan umum.
“Mau
ke mana, Ta?” tanya Ari setelah mereka mendapatkan sebuah angkutan.
“Nyari
makan, lah.”
“Ya
gue tau kalo itu. Makan di mana maksud gue?”
“Lo
minta makan di mana?”
“Kalo
gue sih terserah. Warteg juga nggak masalah,” sahut Ari yang masih terus
menatap ke luar jendela untuk melihat-lihat suasana kota Malang saat siang
hari.
“Oke.
Kita ke warteg langganan gue aja. Lo mau nambah nasi sebakul sama minum segalon
juga gratis.”
Butuh
waktu lima menit naik angkutan umum untuk tiba di warteg langganan Ata. Setelah
masing-masing memesan seporsi nasi rames, mereka mengambil tempat duduk di
pinggir jendela.
“Ta?”
panggil Ari, membuka percakapan. “Gimana dengan sekolah lo?”
Tatapan
Ata menerawang ke depan. “Sebenernya gue udah cabut sekolah sejak beberapa
bulan yang lalu. Gue nggak bisa fokus sekolah sementara gue harus nyari
penghasilan buat gue sama Mama. Lo tau sendiri, lah. Lagian juga gue udah punya
kerjaan dan gaji tetap.” Ata menepuk bahu Ari di depannya. “Makanya, lo yang
masih punya kesempatan nerusin sekolah, manfaatin baik-baik, Ri. Gue tau lo
juga pusing sama keadaan keluarga kita. Tapi cobalah, tahan dikit lagi. Lo udah
kelas 12, udah mau lulus. Paling nggak lo tamatin SMA, setelah itu lo bebas mau
ngapain aja. Lo boleh nerusin kuliah di Malang, kalo itu keinginan elo. Tapi
jangan cabut sekarang. Pikirin juga perasaan Tari.”
Ari
tercenung mendengarnya. Sampai nasi pesanannya datang, cowok itu masih tetap
bergeming memikirkan kata-kata Ata.
“Udahlah.
Tuh, dimakan dulu nasinya, sebelom dikerubutin laler.”
Ari
meraih piringnya, kemudian mengambil sendok. “Gue awalnya juga mikir gitu, Ta,”
kata Ari pelan sambil mengelap sendoknya menggunakan tisu. “Gue musti kelarin
dulu SMA di Jakarta, baru setelah itu pindah ke Malang. Tapi begitu lo sama
Mama balik ke sini, gue takut. Gue takut kalian bakal pergi lagi dan nggak
pernah kembali, dan gue udah bersumpah nggak akan biarin kita pisahan lagi.”
Keduanya
lalu meneruskan makan dalam diam. Saat nasinya tinggal setengah piring,
tiba-tiba sebersit ide lain timbul di benak Ari. Gerakan makannya terhenti.
Bahkan cowok itu mendadak meletakkan sendok dan mendorong piringnya menjauh.
“Ta,
dengerin gue.”
Ata
jadi ikut berhenti makan. Ia mendongak menatap Ari dengan kedua alis terangkat.
“Telen
dulu, deh. Gue takut lo keselek kalo denger permintaan gue,” kata Ari.
Ata
menuruti kata-kata Ari, karena dia sendiri takut Ari bakalan membuatnya kena
serangan jantung dengan pikiran-pikirannya yang akhir-akhir ini semakin tidak
masuk akal.
“Udah?
Oke, jadi gini. Lo mau gue tetep nerusin sekolah? Lo mau gue balik ke Jakarta? Fine, gue turutin. Tapi dengan satu
syarat.”
“Apaan?”
“Lo
ikut gue balik ke Jakarta. Juga Mama. Lo tinggal di sana, dan nemenin gue
sekolah juga di sana sampe kita berdua lulus. Setelah itu kita bisa balik lagi
ke Malang.”
Tanpa
ada makanan di mulut pun Ata nyaris keselek mendengar syarat yang diajukan Ari.
Cowok itu mencoba mencerna permintaan saudara kembarnya. “Tapi...”
“Soal
biaya... plis, Ta. Sekali ini aja. Kita pake duit Papa. Karena itu juga
sebenernya udah jadi duit gue karena masuk di rekening gue. Kita beli rumah di
sana. Ato paling nggak nyari kontrakan dulu buat elo sama Mama. Gimana? Ini ide
udah lebih masuk akal, Ta, dibanding ide gue yang tadi.”
“Ck,
lo ternyata masih nggak ngerti juga ya.” Ata menggelengkan kepala. “Nggak bisa
segampang itu, Ri.”
“Ayolaah...”
Ari mengibaskan tangan. “Apa lagi sih masalahnya?”
“Lo
lupa sama anceman Papa? Gimana kalo dia mergokin kita ketemuan lagi? Malahan,
kalo dia tau lo ke Malang saat ini, mungkin lo udah dikirim ke luar angkasa,
Ri.”
Rahang
Ari mengeras. “Dia nggak punya hak buat ngatur hidup gue!” desisnya berang
begitu diingatkan akan ancaman ayahnya. “Gue bebas ketemu sama siapapun yang
ingin gue temui. Termasuk kalian. Dan kalo emang dia udah nggak mau nganggep
gue sebagai anak lagi, silahkaan. Gue dengan senang hati ngelepasin jabatan
itu.”
“Ari,
lo kalo ngomong dipikir dulu, deh,” sahut Ata kesal.
“Tapi
beneran, Ta.” Ari menatap Ata dengan sorot lelah. “Tinggal sama Papa itu sama
aja rasanya kayak nggak punya ayah. Kita bakal sering ditinggal, dibiarin hidup
sendiri. Apa sih yang bisa dipertahanin kalo kayak gitu?”
Ata
menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya begitu perlahan. “Gue nggak
bisa mutusin secepat ini. Semua ini masalah yang menyangkut masa depan kita,
juga Mama. Mungkin lo yang harus bilang sendiri ke Mama.”
“Oke.
Kalo misal Mama mau...”
“Mama
nggak mungkin mau.”
“Misal,
Taaa. Misal! Kalo misal Mama mau, lo sendiri gimana?”
Ata
mengangkat bahu. “Mau gimana lagi? Ngebiarin Mama diangkut ke Jakarta sama lo
sementara gue tinggal di Malang tanpa orang tua? No way! Gue ikut! Tapi beneran, deh. Mama nggak bakal setuju.”
“Liat
aja ntar,” sahut Ari dengan senyum penuh keyakinan.
***
Tari
menghabiskan hari itu dengan pikiran tidak tenang. Belum ada kabar dari Ari. Ia
memang belum mencoba menghubungi cowok itu lagi sejak mengirim SMS terakhir
tadi pagi. Ia tahu menelepon cowok itu akan menjadi hal sia-sia. Hingga kini
malam harinya, ia masih duduk di depan meja belajar meski sudah pukul sebelas
malam. Matanya memelototi layar ponsel. “Lo kemana sih, Kak?” desisnya pelan.
Sementara
itu di waktu bersamaan, ratusan kilometer jauhnya dari kamar Tari, Ari juga
tengah duduk di tempat tidur yang digunakannya bersama Ata. Ata sudah terlelap
sejak tadi, sementara Ari masih menatap layar ponselnya yang menampilkan SMS
dari Tari belasan jam yang lalu.
Kak,
lo kmn? Plis, gw mau ngmong
Ari
meraih selembar foto dari saku celananya. Foto yang selalu ia bawa kemana-mana.
Hatinya kembali terbakar setiap melihat foto itu. Ia memang butuh penjelasan.
Ia memang ingin Tari bicara. Tapi tidak lewat telepon. Ia ingin melihat
langsung ke mata cewek itu untuk mengetahui kebenarannya.
Tari
menggigit bibir gelisah. Setelah berpikir keras, akhirnya ia mengambil sebuah
keputusan. Diketiknya sebuah pesan dan dikirimnya pesan itu ke Ari. Ia yakin isi
dari SMS itu akan membuat Ari menelponnya saat itu juga.
Ponsel
di tangannya bergetar pelan, menandakan pesan masuk. Seperti dugaannya, pesan
dari Tari. Ari membuka pesan itu.
Kak,
gw diapa-apain sm Angga tadi
Tepat
sasaran! Tanpa berpikir dua kali, Ari langsung menekan-nekan nomor Tari untuk
menghubungi gadis itu. Begitu diangkat, yang didengarnya pertama kali adalah
isakan Tari, membuatnya panik seketika.
“Tar!
Tari! Lo kenapa?” seru Ari dengan nada cemas setengah mati. Tapi Tari masih
menangis di seberang sana. “Tari, jawab gue!” Betapa Ari ingin berlari sampai
ke Jakarta untuk memeluk gadisnya itu. Dalam hati, ia melontarkan seribu satu
sumpah serapah dan umpatan untuk dirinya sendiri. Tentang begitu bodoh dan
teganya ia meninggalkan Tari tanpa pengawasan, begitu gegabahnya ia pergi ke
Malang tanpa memberitahu siapapun, tentang...
“Tari,
plis... Lo diapain sama Angga?” suara Ari memelas. Berbagai macam pikiran buruk
membanjiri benaknya. Dan kalau memang telah terjadi suatu hal yang tidak diinginkan, ia tahu ia tidak bisa berbuat apa-apa saat ini untuk memperbaiki keadaan, saat
dirinya terpisah jauh dari gadis itu. “Tar...”
“Kak,”
potong Tari setengah terisak. “Sebenernya, gue... gue nggak papa. Angga nggak
macem-macem sama gue.”
“Apa?”
Kening Ari kontan berkerut dalam. “Trus apa maksud lo ngirim SMS kayak gitu ke
gue? Kenapa lo nangis?”
“Lo
boleh marahin gue sepuasnya. Tapi gue emang bohong. Gue nggak diapa-apain sama
Angga. Gue cuma mau ngomong sama elo. Gue nangis karena... lo nggak tau gimana
leganya gue pas lo telepon tadi.”
Ari
tertegun. Pikiran-pikiran buruk itu seketika sirna, digantikan berbagai macam
perasaan yang bergejolak dalam hatinya. Marah, jengkel, geli, gemas, lega, juga
senang. Kalau saja Tari ada di depannya, entah sudah dia apakan gadis itu.
Mengacak rambutnya, memeluknya, atau mungkin, diberinya satu cium!
“Kak
Ari, tolong jangan ditutup. Gue mau ngomong,” kata Tari dengan suara yang lebih
tenang. “Gue tau lo marah sama gue. Soal foto itu... gue udah tau. Tapi lo
salah paham, Kak. Gue nggak selingkuh sama Angga. Lo kok bisa mikir gitu, sih?”
“Tapi
foto ini nggak bohong, Tar,” tukas Ari tajam. “Kalo emang lo nggak selingkuh,
ngapain lo ke mal sama Angga?”
Tari
menghela napas pelan. “Gue nggak ke mal sama Angga, Kaaak...” Dengan menahan
kesabaran, penjelasan yang tadi ia ceritakan ke Ridho kembali diulangnya,
dengan berbagai kata meyakinkan seperti “beneran deh, sumpah, suer”, yang ia
tekankan berkali-kali.
“Kak,
lo percaya kan sama gue?” tanya Tari akhirnya karena Ari diam saja.
“Untuk
tau lo bohong apa nggak, gue harus liat elo langsung, Tar. Jadi, kesimpulannya,
gue belom percaya sama elo.” Meski bicara seperti itu, sebenarnya dalam hati
Ari memercayai setiap kata yang keluar dari mulut Tari.
Tari
mendesah. “Ya udah, deh. Terserah elo. Kalo sampe gue bohong, lo boleh siksa
gue dengan cara apapun.” Sedetik setelah mengucapkan itu, Tari tersadar. Ia menutup
mulutnya dengan telapak tangan. Bego,
keceplosan! Salah omong, nih!
Kata-kata
yang terdengar pasrah dan meyakinkan tadi membuat sifat iseng Ari kumat.
“Beneran? Boleh siksa elo? Itu hobi gue, lho.” Cowok itu menyeringai. “Yaah,
moga-moga aja lo bohong. Jadi gue bisa siksa elo semau gue.”
“Nggak,
deng. Nggak jadi. Lagian gue nggak bohong, kok. Emangnya lo mau siksa gue
gimana? Lo tega sama gue? Denger gue nangis aja lo nggak tega,” cibir Tari
memberanikan diri.
“Ini
namanya siksaan manis, Tar. Lo nggak akan nangis sedih, tapi nangis bahagia.
Jadi gue tega dengernya.”
“Mana
ada siksaan yang bikin gue nangis bahagia?”
“Lulus
SMA, kita nikah. Gimana?”
“Apa??”
jerit Tari. “Ngimpi aja deh sana! Mana mau gue nikah sama elo.”
Ari
tertawa. “Lo pasti mau, kok. Liat aja ntar. Gue lamar lo di depan Nyokap Bokap
lo.”
“Apaan
sih, Kak!” Diam-diam wajah Tari merah dan memanas sampai ke telinga. Sampai ia
kemudian teringat sesuatu. “Kak, lo sebenernya lagi di mana, sih?”
Ari
terdiam sesaat mendengar pertanyaan Tari. Sejurus kemudian, bibirnya tersenyum
tipis. “Nggak perlu tau. Ntar juga gue balik, kok. Nggak usah kangen gitu lah,
beb. Baru juga satu hari gue tinggal.”
“Kak
Ariiiii!!”
Ari
tertawa lebih keras. “Ya udah, tidur gih sono. Lo kan besok sekolah.”
“Oke.
Lo juga tidur. Jangan begadang terus. Nggak sehat.”
“Iya,
deh, calon istriku.”
“Nggak
lucu,” ketus Tari. “Ng... Kak. Tunggu, tunggu sebentar.”
Ari
yang baru saja akan memutuskan sambungan, kontan batal mendengar suara Tari
yang mendadak gugup. “Ya? Kenapa lagi, Say?”
“Ng...
itu... gue...”
“Iyaa,
lo kenapa?”
“Gue..
gue sayang sama elo.”
Seketika
hening melingkupi keduanya. Namun dalam keheningan sesaat itu, keduanya
sama-sama merasakan pelukan hangat yang menyelimuti sampai ke hati. Bibir Ari
terkembang lebar. “Gue tau,” katanya lembut. “Gue juga sayang sama elo, Tar.”
Senyuman
Ari menular ke bibir Tari. “Daah, Kak.”
Sampai
sambungan terputus pun senyuman itu masih belum mau pergi dari bibir keduanya.
Tari menerjunkan diri ke tempat tidur, dan menutup wajahnya dengan bantal.
Jantungnya berdebar keras hingga dadanya serasa mau meledak. Wajahnya lebih
panas daripada beberapa menit yang lalu saat Ari menggodanya. Tari jadi salah
tingkah, karena ini pertama kalinya mereka saling mengucapkan kata sayang.
Sementara
itu Ari juga berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Gila memang kalau
dia sampai melepaskan gadis itu. “Apa sih yang gue pikirin tadi?” decaknya
kesal. Lalu bibirnya kembali tersenyum. “Love
you, Tar,” bisiknya pelan.
Dan
seolah Tari bisa mendengar, gadis itu juga berbisik pelan. “Love you, Kak.”
Ari tidak tahu, orang yang berbaring di
sebelahnya dengan posisi memunggunginya, ternyata dari tadi ikut menguping
pembicaraannya dengan Tari. Meski hanya mendengar percakapan secara sepihak,
Ata bisa memahami keseluruhan isi obrolan mereka. Kemudian cowok itu tersenyum
penuh arti.
Bersambung...
Kalo udah baca komen dulu laaah :)
Dijamin part 13-nya masih lama
Udah mulai pelajaran tambahan tiap hari -,-
Jadi sambil nunggu, kalian tebak2 sendiri deh kelanjutannya
Apa Ari dan Ata bakal beneran "tukeran posisi" (Ari tetep di Malang, dan Ata pindah ke Jakarta)?
Ato mereka semua bakal balik ke Jakarta sama Mama seperti syarat yang diajukan Ari trus Ata sekolah di Airlangga?
Apa bener Ari sama Tari nggak bakalan putus?
Sebenernya apa sih rencana Ata? Kenapa dia ngelakuin itu semua?
Imagine whatever you want, and then, just leave a comment, okay? ;)