Senin, 02 Februari 2015

Jingga untuk Matahari #fanfiction-13

Tari membuka pintu rumah. Senyumnya merekah melihat siapa yang berdiri di depannya. Ari. Pagi ini, cowok itu telah berdiri di teras, mengenakan seragam sekolah rapi seperti biasa saat menjemputnya. Motornya hitam besarnya terparkir manis di depan pagar.
“Kak!” Tubuh Tari seperti bergerak sendiri, melangkah maju dan memeluk Ari. “Lo kemana, sih? Gue kangen.”
Tapi Tari merasakan ada yang aneh dengan tubuh yang dipeluknya. Kedua lengan Ari bergeming, tidak membalas pelukan itu. Ari juga tidak bersuara sedikit pun. Ragu-ragu Tari melepas pelukannya dan mendongak untuk menatap Ari. Satu hal lagi yang membuatnya kaget. Ternyata cowok itu tengah menangis! Air matanya bergulir turun tanpa suara.
“Kak...” Tari tercekat, terlalu kaget dengan keadaan ini.
“Maafin gue, Tar,” bisik cowok itu serak. “Maaf.”
“Maaf buat apa? Lo kenapa nangis?”
Kedua lengan Ari terulur, menangkup kedua pipi Tari. Ia menatap dalam-dalam gadis itu dengan matanya yang sembab. Tersirat kesungguhan yang amat sangat dalam nada suaranya ketika kemudian ia berbisik, “Kita putus.”
Kedua mata Tari membelalak. “Tapi....” Gadis itu menggeleng-geleng, berusaha menolak. “Gue nggak ngerti, Kak.”
Ari tak menjawab kebingungan yang terpancar jelas di hadapannya. Cowok itu tiba-tiba melepaskan pipi Tari, lalu balik badan dan berlari ke motornya.
“Kak! Kak Ari!” Teriakan Tari kalah oleh raungan mesin motor Ari, yang sepersekian detik kemudian melesat kencang meninggalkannya.
“Kak Ariii!” Tubuh Tari terduduk mendadak seiring dengan jeritan itu. Ia terengah-engah di atas tempat tidurnya. Matanya menatap nyalang ke sekeliling. Ternyata ia masih di dalam kamarnya yang gelap. Ternyata tadi itu hanya mimpi. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang hangat meleleh di pipinya.
Kejadian itu terlalu menyakitkan, bahkan untuk menjadi mimpi sekalipun. Alasan kenapa Ari menangis, juga atas keanehan sikapnya, yang kemudian berujung pada kata putus. Tari menggeleng-geleng, ingin mengenyahkan mimpi itu dari benaknya. Ia tak sanggup harus mengingat kembali mimpi itu, yang seolah mengisyaratkan perpisahan dengan seseorang yang ia cintai. Dengan Matahari-nya. Ia menghapus air matanya cepat-cepat.
“Sial, kenapa gue nangis, sih?” gumam Tari. “Itu kan cuma mimpi.”
Ketika kembali membaringkan diri, Tari menjadi gelisah. Benarkah itu sekadar mimpi biasa seperti kata-katanya tadi? Ataukah, ada makna tersembunyi di baliknya? Apakah mimpi itu sebuah pertanda?

***

Tari melangkah dengan lesu menuju halte. Ari tidak muncul pagi ini di depan rumahnya. Berarti cowok itu masih berada di antah berantah dan belum ingin pulang. Tapi sebenarnya Tari juga merasa lega, karena ia tidak harus menghadapi kejadian seperti di mimpi buruknya semalam.
Tiba di halte, bus yang menuju sekolahnya belum kelihatan. Tempat duduk di sekitarnya penuh, jadi gadis itu berdiri beberapa meter dari halte. Mungkin untuk kesejuta kalinya pagi ini, Tari menunduk sambil menghela napas, merenungkan kemungkinan Ari berada. Memang sepertinya dugaan Ridho kemarin tidak salah. Ari tengah berada di Malang saat ini bersama Mama dan Ata. Pertanyaannya, apa cowok itu akan pulang? Satu hal yang ditakutkan Tari, Ari pergi meninggalkannya untuk menetap di Malang tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal, dan untuk selamanya ia tidak akan melihat wajah cowok itu lagi. Tari kembali menghela napas. Ia tidak ingin hal itu terjadi. Sejujurnya, ia tidak pernah ingin berpisah dengan Ari, bagaimana pun kelakuan cowok itu kepadanya selama ini.
“Tar?”
Tari terlonjak kaget. Saking seriusnya ia terlarut dalam pikiran, suara motor yang berhenti tepat di depannya pun tak terdengar.
“Serius banget ngelamunnya,” kata Angga sambil membuka helm.
Tari hanya menggeleng kecil, tak ingin menanggapi kata-kata Angga. Ngapain sih ni cowok nongol mulu? gerutunya dalam hati.
“Keliatannya lo sedih banget. Kenapa? Ada masalah?”
Kejengkelan Tari mulai terbit, tapi ia tetap tak ingin membuka mulut untuk cowok ini. Jadi ia hanya memasang tampang cemberut sambil menggeleng lagi.
“Tar, ini gue serius nanyanya.” Kali ini Angga turun dari motor dan berdiri di hadapannya. “Sumpah, muka lo udah kayak orang mau bunuh diri. Ada masalah apa, sih? Lo bisa cerita ke gue. Mungkin gue bisa bantu.”
Satu-satunya hal yang bisa lo lakuin untuk membantu adalah pergi dari hadapan gue. “Nggak, makasih,” sahut Tari sambil tersenyum kecut. “Gue masih punya telinga orang lain buat dengerin masalah gue.”
“Apa bedanya telinga gue sama telinga mereka?”
“Jelas beda, lah. Telinga mereka tulus, sementara telinga lo pasti banyak maunya ntar. Udah deh, nggak usah sok perhatian.”
Angga menghela napas begitu kebaikannya ditolak. Dituduh sok perhatian pula. Tapi cowok itu pantang menyerah. “Berangkat bareng, yuk? Lo nggak dijemput Ari, kan?”
“Nah ini, nih,” dengus Tari. “Yang kayak gini yang tadi gue bilang banyak maunya. Lo suruh gue cerita, trus ujung-ujungnya lo suruh gue naik ke boncengan lo. “Cerita sambil jalan aja,” gitu kan pasti? Sori, gue udah tau.”
“Ya ampun, Tar. Elo kenapa, sih?”
“Masih berani nanya gue kenapa?!” bentak Tari dengan mata melotot.
Angga menggeleng-geleng pelan. “Sesusah itu ya lo percaya sama gue sekarang? Gue sama sekali nggak ada niat jahat sama elo, Tar,” katanya dengan raut putus asa. Mendadak, cowok itu berlutut di depannya. Karena kaget plus malu jadi tontonan di pinggir jalan, Tari mundur setengah langkah. “Apa-apaan sih lo? Berdiri!” desis Tari.
“Apa kesalahan gue waktu itu emang terlalu berat buat lo maafin?” Tanpa peduli keadaan di sekelilingnya, Angga bicara sambil menunduk seolah sedang melakukan pengakuan dosa. “Gue udah nggak tau gimana caranya minta maaf ke elo, Tar. Mungkin gue emang udah lukain lo berkali-kali. Gue pernah ninggalin elo saat lo membutuhkan gue, sehingga lo harus ngadepin Ari sendirian. Bilang aja, gue emang pengecut. Dan yang terakhir ini yang paling parah. Gue culik lo demi bikin perjanjian itu sama Ari. Gue akuin, cara itu emang keterlaluan. Gue sebenernya nggak mau libatin elo dalam masalah. Gue nggak pernah berniat lukain lo kayak gitu.” Angga menarik napas panjang. Detik berikutnya, ia mengangkat wajah dan menatap langsung ke mata Tari, untuk menunjukkan seberapa dalamnya ia bersungguh-sungguh. “Karena gue sayang sama elo, Tar. Dari dulu, sampe sekarang.”
Tari sebenarnya tidak kaget. Ia mengakui, dirinya juga pernah menyayangi cowok ini. Sampai sekarang pun kalau kejadiannya tidak seperti ini, bisa saja rasa itu masih ada. Sebenarnya apa yang berbeda? Apa yang berubah dari cowok yang tengah berlutut di hadapannya ini dengan cowok yang dulu selalu melindunginya dari Ari? Tari tak menemukan perbedaan itu. Angga yang ia kenal masih seperti dulu. Cowok yang ramah dan selalu baik kepadanya. Tapi hanya karena satu kesalahan! Hanya satu! Dan rasa yang tersisa di hatinya untuk cowok itu langsung musnah.
“Maaf, Ga,” sahut Tari lirih. “Tapi gue sayang sama Ari.”
Jawaban atas pertanyaan Angga berhari-hari yang lalu terjawab sudah. Gadis ini memang menyayangi rivalnya. Penolakan langsung dari gadis itu terhadap dirinya kembali menambah retakan di hati. Namun Angga sudah terlalu kebal menahan sakit yang ditimbulkan retakan seperti itu. Jadi cowok itu malah menyunggingkan senyum, lalu berdiri. “Gue tau, Tar. Gue bisa lihat kok gimana sayangnya elo sama dia.”
Angga menaiki motornya, lalu memakai helm. Tapi ia tidak langsung pergi. Setelah menghidupkan mesin, diangkatnya kaca helm dan menoleh lagi ke Tari. “Gue cuma mau lo tau yang sebenernya aja. Makasih udah bersedia dengerin pengakuan gue. Dan sekarang, lo percaya kan kalo gue nggak sejahat itu? Naik, yuk? Gue anterin sampe depan sekolah.”
Melihat Tari yang masih ragu, Angga kembali menambahkan, “Tar, kalo lo emang maafin gue, naik ke boncengan gue sekarang.”
Angga masih menunggu sementara Tari tetap berdiri di tempatnya. Gadis itu tengah berperang melawan dirinya sendiri. Sebagian dirinya ingin sekali memaafkan cowok itu, tapi sebagian dirinya lagi menolak dan tetap bersikukuh kalau cowok itu masih menyimpan niatan jahat. Ia merasa tubuhnya seperti didorong ke depan namun kakinya terpaku di tanah.
“Tar?” panggil Angga. “Lo masih belom yakin?”
Tari menarik napas dalam-dalam. Akhirnya gadis itu menyerah. Kakinya maju dua langkah mendekati motor Angga. Tangannya sudah menyentuh jok motor saat tiba-tiba pinggangnya diseret ke belakang.
“Jangan coba-coba, Tar,” bisik orang yang tadi menyentakkannya menjauhi motor Angga. Tari menoleh. “Kak Ridho?” bisiknya kaget.
Ridho menoleh ke arah Angga yang kini tengah menatapnya tajam. “Apapun rencana lo kali ini, gue nggak akan biarin itu terjadi. Lebih baik lo jauhin Tari,” katanya dengan nada ancaman yang berbahaya.
Tari mendengar Angga menggeram di balik helmnya. Cowok yang baru saja mengucapkan sayang padanya itu balas menatap Ridho dengan penuh amarah, tapi memilih untuk pergi tanpa berkata-kata lagi. Motornya meraung keras sebelum melesat meninggalkan tempatnya terparkir tadi.
Ridho menarik tangan Tari ke arah sedannya. Cowok itu juga terlihat geram. Ia membukakan pintu penumpang depan untuk Tari. “Tunggu di sini. Pakai seatbelt lo. Kunci pintunya,” katanya setelah gadis itu duduk di dalam mobil.
Ridho berjalan menjauh. Begitu mencapai tempat yang tidak terjangkau pandangan Tari, suara Ari sudah terdengar dari ponsel yang menempel di telinganya.
“Halo?”
“Di mana lo, kuya?!” bentak Ridho langsung. “Cewek lo nih, pagi-pagi udah digangguin Angga. Kalo lo nggak segera balik, gue nggak tanggung jawab kalo dia kenapa-kenapa nantinya.”
“Dia kenapa?” sahut Ari seketika panik. “Dia diapain sama Angga?”
“Nggak diapa-apain. Maksud gue, belom diapa-apain. Mungkin baru dicolek-colek dikit,” jawab Ridho pedas. “Coba aja kalo gue nggak jemput dia pagi ini di halte, udah ilang tu cewek dibawa si Angga. Dia udah hampir naik ke boncengannya Angga, tau.”
Jawaban Ridho membuat Ari semakin panik. “Di mana dia sekarang?”
“Aman di mobil gue,” jawab Ridho sambil melirik ke arah mobilnya di kejauhan.
Ari tercenung mendengarnya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan Tari nanti kalau saja Ridho tidak menyelamatkan gadis itu. “Makasih, Dho. Gue bener-bener utang budi sama elo.”
Ridho mendesah. “Gue sih nggak keberatan, Ri. Tapi lo mikir juga dong kalo mau minggat. Sekarang lo udah punya Tari di sini. Lo nggak bisa seenak jidat ninggalin dia. Dia cewek elo, bukan cewek gue. Jadi sebenernya gue nggak punya hak buat seret-seret dia kayak tadi. Gue juga nggak bisa terus-terusan ngawasin dia. Bisa-bisa gue dicap cowok tukang nikung ntar, mau embat punya temen sendiri.”
“Oke, oke, gue ngerti,” jawab Ari berat. “Gue usahain balik secepetnya.”
“Bagus,” kata Ridho singkat sebelum memutuskan sambungan. Cowok itu balik badan, kembali melangkah ke mobilnya. Begitu duduk di sebelah Tari, ia menggeleng-geleng pelan. “Gue nggak ngerti, Tar,” katanya. “Baru kemaren kita ngomongin ini. Tapi kalo kayak gini caranya, gue harus nanya sekali lagi. Lo beneran selingkuh sama Angga?”
“Apa? Nggak, Kak! Bukan seperti itu,” tukas Tari. “Tadi dia cuma... cuma mau nganterin ke sekolah, kok.”
“Dan lo mau?” Ridho mengangkat kedua alisnya.
“Nggak segampang itu, dong,” dengus Tari. “Tadi dia ngemis-ngemis ke gue, tau. Malah sampe berlutut juga. Malu-maluin nggak tuh?”
Ridho menghidupkan mesin mobilnya. Sudah ia duga kejadiannya memang tidak seperti bayangan awalnya. “Trus? Dia ngomong apa aja?” tanyanya saat mobil mulai berjalan. “Kenapa akhirnya lo mau dianterin sama dia?”
“Ng... dia minta maaf soal kejadian dulu itu,” sahut Tari, tentu saja memilih untuk menyimpan pengakuan sayang Angga untuk dirinya sendiri.
“Lo maafin dia?” tanya Ridho lagi, kali ini agak pelan.
“Gue belom tau,” jawab Tari jujur. “Gue nggak bisa terus-terusan benci sama Angga. Bikin gue capek sendiri. Dan sebenernya gue udah kenal Angga sejak dulu. Dia baik.” Tari menatap keluar jendela. Penjelasannya berhenti sampai di situ.
Suasana di dalam mobil mendadak hening sampai sedan yang mereka tumpangi berhenti di parkiran sekolah.
“Makasih, Kak,” kata Tari. Tepat sebelum tangannya membuka pintu, Ridho mencekalnya. “Tar?”
Tari menoleh. “Kenapa?”
“Lo sayang sama Angga? Dulu, maksud gue.”
Tari tertegun mendengar pertanyaan Ridho. Ridho memang bukan orang yang berhak memaksanya menjawab, namun entah kenapa Tari memilih untuk tidak lagi menutupi kebenaran. “Gue dulu emang pernah sayang sama dia, Kak. Dan... dia juga sayang sama gue. Sampe sekarang.”

***

“Mau ikut gue kerja lagi nggak?” tanya Ata setelah sarapan.
Ari menggeleng. “Gue musti pulang sekarang juga, Ta. Tapi nggak tanpa lo dan Mama.”
Keduanya terdiam saat mendadak Mama masuk ke ruang keluarga. “Ata, belom berangkat kamu, Nak?”
“Lo yang ngomong ke Mama. Dan apapun jawaban Mama, kita harus terima, oke?” bisik Ata, lalu menoleh ke Mama. “Ini baru mau berangkat. Dah, Ma.” Cowok itu mencium tangan dan pipi Mama seperti biasa, lalu berjalan keluar rumah.
“Nggak ikut lagi, Ri?” goda Mama. Begitu Ari menggeleng, wanita itu tertawa kecil. “Pasti bosen kan di sana? Mending juga nemenin Mama di sini.”
Sebelum Mama melangkah ke ruangan menjahitnya, Ari menggandeng wanita itu ke sofa. “Ma, duduk dulu sebentar. Ari mau ngomong sesuatu.”
Kening Mama berkerut bingung saat dirinya didudukkan di sofa sementara Ari berlutut di hadapannya. “Ada apa, Ri? Ada masalah?” tanyanya cemas saat menyadari raut wajah Ari yang berubah keruh.
“Ari harus pulang, Ma.”
Mama terdiam sesaat. Perlahan, kepalanya mengangguk. “Ya. Mama ngerti. Memang kamu seharusnya pulang, Ri. Kamu nggak bisa ninggalin kehidupan kamu di Jakarta gitu aja.”
“Tapi Ari nggak mau pisah lagi sama Mama sama Ata.” Ari meletakkan kepalanya di pangkuan Mama, persis seperti anak kecil. “Ari takut Ari nggak bisa liat kalian lagi selamanya.”
“Sst, Ari kok ngomong gitu, sih?” Mama mengusap kepala anak bungsunya. “Kita tetep bisa saling ketemu, kok. Kalo Ata lagi ada libur, pasti nanti kami nengokin kamu ke Jakarta. Kamu juga kalo libur bisa ke sini, Ri. Kita masih bisa telepon-teleponan.”
“Ari kesepian di Jakarta, Ma,” kata cowok itu serak. Air matanya kemudian jatuh, juga di pangkuan Mamanya. “Selama sembilan tahun Ari kangen sama Mama. Papa nggak pernah ada saat Ari butuh orang tua. Ari hidup sendiri di Jakarta, tanpa orang tua dan saudara. Plis, Ma. Ari nggak mau hidup kayak gitu lagi.”
Air mata Mama ikut mengalir. Hatinya sakit saat harus mendengar kenyataan pahit anak bungsunya, sampai anak itu menangis di pangkuannya seperti ini. “Maafin Mama, Nak,” isak wanita itu. “Maafin Mama udah ninggalin kamu. Maafin Mama udah bikin hidup kamu kayak gini.”
Untuk sesaat, hanya air mata keduanya yang saling bicara. Tapi dalam hati, Ari telah bertekad untuk membawa Mama dan Ata ke Jakarta, bagaimana pun caranya. Cowok itu mengangkat kepala. Tangannya mengusap sisa air matanya, kemudian bergerak juga mengusap air mata yang mengalir di pipi Mama. “Ma, ikut Ari ke Jakarta, yuk?”
“Ata kan lagi nggak libur, Sayang.”
Ari menggeleng-geleng. “Ini bukan cuma mampir, Ma. Maksud Ari, Mama dan Ata ikut tinggal di Jakarta sama Ari.”
Mama terperangah. “Kamu tau itu nggak mungkin.”
“Plis, Ma.” Ari meraih kedua tangan Mama dan menggenggamnya. “Nggak ada yang nggak mungkin. Ari udah ngomong ini ke Ata. Dia mau-mau aja asal Mama juga ikut. Jadi, sekarang tinggal keputusan Mama yang Ari tunggu.”
“Tapi itu keputusan yang berat, Ri.” Mama menghela napas dan menatap Ari. Betapa sesungguhnya ia ingin selalu bersama kedua anaknya di sisa hidupnya. Ia ingin membagi kasih sayangnya secara adil pada kedua kembar itu. Dan di atas semuanya, ia sebenarnya ingin menebus sembilan tahun waktu yang ia lewatkan tanpa Ari.
“Kalo Mama nggak mau ikut Ari ke Jakarta, Ari yang akan tinggal di sini selamanya. Nggak peduli apapun yang terjadi,” tegas Ari sungguh-sungguh.
“Jangan bodoh, Ri. Kamu masih harus sekolah di Jakarta.”
“Pokoknya Ari nggak peduli,” tukas Ari, membungkam mamanya. “Ayolah, Ma. Justru karena Ari harus selesaiin sekolah, Mama juga harus nemenin Ari di sana. Paling nggak sampe lulus SMA. Bentar lagi, kok. Nggak ada setahun. Ata juga bisa nerusin sekolah di sana. Jadi dia bisa dapet ijazah SMA. Bisa lanjut kuliah. Bisa jadi orang yang lebih sukses. Coba Mama bayangin itu.”
Mama terdiam. Ari menunggu sambil harap-harap cemas. Kalau Mama tetap tidak berubah pikiran, apa yang harus dilakukannya? Ia harus pulang secepatnya, tapi ia tidak bisa meninggalkan Mama.
Saat Mama menatapnya, Ari menahan napas. Apa yang akan dikatakan Mama setelah ini adalah penentuan masa depannya. Jakarta, atau Malang? Keluarga, atau Tari? Sekolah, atau bekerja?
“Ri,” kata Mama pelan. Tangannya mengusap kepala Ari. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. “Dulu saat kita masih hidup terpisah, Mama pernah berjanji pada diri Mama sendiri. Suatu hari nanti saat Mama berhasil ketemu sama kamu lagi, Mama akan ngabulin apapun yang kamu mau.”
Harapan dan rasa optimis mulai tumbuh di hati Ari. “Jadi?” tanyanya tidak sabar sekaligus bersemangat.
Senyuman Mama semakin terkembang. “Jadi, untuk kali ini, mungkin Mama akan turuti keinginan kamu. Mama ikut kamu ke Jakarta.”
Ari hampir tidak memercayai pendengarannya sendiri. Mama akan ikut ke Jakarta! Dan kali ini tidak akan pulang lagi ke Malang tanpa ijin darinya! Mereka akan tinggal bersama! Refleks Ari berdiri dan menarik Mama untuk ikut berdiri, lalu memeluk wanita itu erat. “Ini bukan mimpi kan, Ma?” bisiknya dengan air mata yang sulit dibendung, yang kemudian tumpah di bahu mamanya. “Ari bakal punya Mama lagi setiap pulang sekolah? Ari bakal punya Mama lagi setiap Ari kesepian?”
“Sekarang Mama akan selalu ada buat kamu, Sayang,” Mama balas memeluk Ari erat. Sudut bibirnya tak kuasa ditarik turun dan air matanya tak berhenti mengalir. Ya, untuk sekarang dan selamanya, ia tidak akan melepaskan dan membiarkan Ari hidup menderita lagi.

***

Seharian itu, tidak ada sedikitpun materi pelajaran yang masuk ke otak Tari. Semuanya masuk telinga kanan dan langsung keluar lagi lewat telinga kiri. Apalagi Tari duduk di sebelah jendela. Sebentar-sebentar ia melamun sambil menatap keluar jendela, membuatnya berkali-kali kena peringatan dari guru-guru.
“Tar, lo kenapa, sih?” tanya Fio saat istirahat. Dia yang duduk semeja dengan Tari lama-lama heran juga. Tari menggeleng, bikin sahabatnya itu gemas. “Dari tadi ditanyain geleng mulu jawabnya. Padahal jelas banget lo kenapa-napa. Soal Kak Ari lagi?”
Tari kembali menggeleng. Ia menelungkupkan tubuh ke meja dengan kepala bersandar di lengan. “Gue pusing, Fi.”
“Kalo pusing ke UKS aja. Yuk gue anterin.”
Lagi-lagi Fio mendapat gelengan kepala. “Fi, kenapa sih gue harus kenal Ari, Angga, dan mereka-mereka itu yang bikin hidup gue jadi ruwet? Gue cuma mau jadi anak SMA biasa, yang bebas dari masalah. Eh... nyatanya sekarang malah “masalah” tuh jadi makanan gue sehari-hari. Nggak ada masalah dikit aja, gue mati kali ya? Ato jangan-jangan gue kena kutuk, lagi.”
Fio menghela napas. “Udah takdir, Tar. Elo juga sih, pake nama Jingga Matahari segala. Coba kalo nama lo Tukiyem, ato Sarinah, ato siapa lah yang nggak pake Matahari-Matahari. Mana mungkin cowok-cowok itu tertarik, apalagi Kak Ari. Mungkin bener nama lo emang kena kutuk. Ganti nama aja deh, jadi Tukiyem. Kali aja hidup lo jadi adem ayem.”
“Nggak lucu, ah,” gerutu Tari, tambah pusing sendiri mendengar opini Fio yang ngawur tentang namanya. Fio tertawa, tapi tawanya langsung hilang begitu melihat siapa yang sudah duduk di bangku depannya. Oji. Cowok itu tengah menatapnya sambil menyeringai lucu. “Bukan gitu caranya ngehibur orang, Fi.”
“Eh, mau apa lo ke sini?” ketus Fio.
Oji mengelus-elus perutnya. “Gue sama Ridho kelaperan. Bayarin makan dong di kantin. Sekalian tuh bayarin Tari makan. Begitu baru cara yang bener buat ngehibur orang.”
Tari menegakkan tubuh. “Bener tuh, Fi. Yuk ke kantin! Traktir yaaa!!”
“Ih, elo kok ikut-ikutan Kak Oji malakin gue, sih?!” jerit Fio. “Tau gitu gue tinggal aja tadi ke kantin!”
“Udaaah, yuk ah. Keburu masuk.” Tari menarik Fio hingga berdiri dan mendorongnya menuju pintu.
“Nyoman mana, sih? Heh, Nyomaaan!! Jangan kabur looo! Tanggung jawab lo juga ini!” teriak Fio begitu melihat Nyoman yang baru saja mencapai ambang pintu kelas sehabis dari kantin, langsung balik badan dan lari saat menyadari situasi yang sedang terjadi.
“Daaaaaah,” teriak Nyoman, berlari sambil ngakak, lalu dengan cepat menghilang di balik koridor.
Fio sudah akan mengejar, tapi langsung dicekal berbarengan oleh Oji dan Tari. “Eits, nggak usah dikejar. Ntar malah lo ikutan si Nyoman kabur,” tegur Oji.
“Sialan! Awas lo ya Mamaaan!” seru Fio dengan tinju teracung.
Oji dan Tari saling tatap. Bibir keduanya meringis lebar. Sepertinya Fio abis ini bakalan tekor, dan akibatnya, Nyoman tidak akan selamat sampai rumah.

***

Hari itu terjadi kegemparan di rumah Ari dan Ata di Malang. Setelah Ari mengumumkan rencana kepindahan Mama dan Ata ke Jakarta, seluruh anggota keluarga mendukung keputusan itu. Jadi Ari akan pulang ke Jakarta besok pagi untuk mencarikan rumah kontrakan sebagai tempat tinggal Mama dan Ata. Setelah urusan di Jakarta selesai, barulah Mama dan Ata menyusul ke sana.
“Gue nggak sabar, Ta,” kata Ari kepada Ata yang duduk di sebelahnya. Malam ini mereka duduk di atas atap rumah sambil menatap langit malam.
“Nggak sabar apa?” tanya Ata yang sibuk mengunyah apel.
“Nggak sabar nungguin kalian di Jakarta.”
Ata mendengus. “Lo sendiri belom nyampe Jakarta, Ri. Udah nggak sabar aja.”
Ari tertawa kecil. Tangan kanannya merangkul bahu Ata. “Tenang, bro. Gue urusin kepindahan lo ke sekolah gue. Siap-siap aja jadi seleb baru di sana.”
“Yoi, dan siap-siap aja ketenaran lo di sekolah tenggelam gara-gara ada seleb baru yang jauh lebih keren kayak gue.”
Giliran Ari yang mendengus. “Belagu amat. Biar lo kembaran gue, tetep harus ada yang nomor satu di sekolah itu. Dan nggak akan ada yang bisa gantiin posisi itu sampe gue lulus dari sana.”

Yakin banget, Ri? tantang Ata dalam hati. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya. Fine! Kita liat besok! Permainan baru aja mulai, bro.





Bersambung....