Tari
membuka pintu rumah. Senyumnya merekah melihat siapa yang berdiri di depannya.
Ari. Pagi ini, cowok itu telah berdiri di teras, mengenakan seragam sekolah
rapi seperti biasa saat menjemputnya. Motornya hitam besarnya terparkir manis
di depan pagar.
“Kak!”
Tubuh Tari seperti bergerak sendiri, melangkah maju dan memeluk Ari. “Lo
kemana, sih? Gue kangen.”
Tapi
Tari merasakan ada yang aneh dengan tubuh yang dipeluknya. Kedua lengan Ari
bergeming, tidak membalas pelukan itu. Ari juga tidak bersuara sedikit pun.
Ragu-ragu Tari melepas pelukannya dan mendongak untuk menatap Ari. Satu hal
lagi yang membuatnya kaget. Ternyata cowok itu tengah menangis! Air matanya
bergulir turun tanpa suara.
“Kak...”
Tari tercekat, terlalu kaget dengan keadaan ini.
“Maafin
gue, Tar,” bisik cowok itu serak. “Maaf.”
“Maaf
buat apa? Lo kenapa nangis?”
Kedua
lengan Ari terulur, menangkup kedua pipi Tari. Ia menatap dalam-dalam gadis itu
dengan matanya yang sembab. Tersirat kesungguhan yang amat sangat dalam nada
suaranya ketika kemudian ia berbisik, “Kita putus.”
Kedua
mata Tari membelalak. “Tapi....” Gadis itu menggeleng-geleng, berusaha menolak.
“Gue nggak ngerti, Kak.”
Ari
tak menjawab kebingungan yang terpancar jelas di hadapannya. Cowok itu
tiba-tiba melepaskan pipi Tari, lalu balik badan dan berlari ke motornya.
“Kak!
Kak Ari!” Teriakan Tari kalah oleh raungan mesin motor Ari, yang sepersekian
detik kemudian melesat kencang meninggalkannya.
“Kak
Ariii!” Tubuh Tari terduduk mendadak seiring dengan jeritan itu. Ia
terengah-engah di atas tempat tidurnya. Matanya menatap nyalang ke sekeliling.
Ternyata ia masih di dalam kamarnya yang gelap. Ternyata tadi itu hanya mimpi.
Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang hangat meleleh di pipinya.
Kejadian
itu terlalu menyakitkan, bahkan untuk menjadi mimpi sekalipun. Alasan kenapa
Ari menangis, juga atas keanehan sikapnya, yang kemudian berujung pada kata
putus. Tari menggeleng-geleng, ingin mengenyahkan mimpi itu dari benaknya. Ia tak
sanggup harus mengingat kembali mimpi itu, yang seolah mengisyaratkan
perpisahan dengan seseorang yang ia cintai. Dengan Matahari-nya. Ia menghapus
air matanya cepat-cepat.
“Sial,
kenapa gue nangis, sih?” gumam Tari. “Itu kan cuma mimpi.”
Ketika
kembali membaringkan diri, Tari menjadi gelisah. Benarkah itu sekadar mimpi biasa
seperti kata-katanya tadi? Ataukah, ada makna tersembunyi di baliknya? Apakah
mimpi itu sebuah pertanda?
***
Tari
melangkah dengan lesu menuju halte. Ari tidak muncul pagi ini di depan
rumahnya. Berarti cowok itu masih berada di antah berantah dan belum ingin
pulang. Tapi sebenarnya Tari juga merasa lega, karena ia tidak harus menghadapi
kejadian seperti di mimpi buruknya semalam.
Tiba
di halte, bus yang menuju sekolahnya belum kelihatan. Tempat duduk di
sekitarnya penuh, jadi gadis itu berdiri beberapa meter dari halte. Mungkin
untuk kesejuta kalinya pagi ini, Tari menunduk sambil menghela napas,
merenungkan kemungkinan Ari berada. Memang sepertinya dugaan Ridho kemarin
tidak salah. Ari tengah berada di Malang saat ini bersama Mama dan Ata. Pertanyaannya,
apa cowok itu akan pulang? Satu hal yang ditakutkan Tari, Ari pergi
meninggalkannya untuk menetap di Malang tanpa sempat mengucapkan selamat
tinggal, dan untuk selamanya ia tidak akan melihat wajah cowok itu lagi. Tari
kembali menghela napas. Ia tidak ingin hal itu terjadi. Sejujurnya, ia tidak
pernah ingin berpisah dengan Ari, bagaimana pun kelakuan cowok itu kepadanya
selama ini.
“Tar?”
Tari
terlonjak kaget. Saking seriusnya ia terlarut dalam pikiran, suara motor yang
berhenti tepat di depannya pun tak terdengar.
“Serius
banget ngelamunnya,” kata Angga sambil membuka helm.
Tari
hanya menggeleng kecil, tak ingin menanggapi kata-kata Angga. Ngapain sih ni cowok nongol mulu? gerutunya
dalam hati.
“Keliatannya
lo sedih banget. Kenapa? Ada masalah?”
Kejengkelan
Tari mulai terbit, tapi ia tetap tak ingin membuka mulut untuk cowok ini. Jadi
ia hanya memasang tampang cemberut sambil menggeleng lagi.
“Tar,
ini gue serius nanyanya.” Kali ini Angga turun dari motor dan berdiri di
hadapannya. “Sumpah, muka lo udah kayak orang mau bunuh diri. Ada masalah apa,
sih? Lo bisa cerita ke gue. Mungkin gue bisa bantu.”
Satu-satunya hal yang
bisa lo lakuin untuk membantu adalah pergi dari hadapan gue.
“Nggak, makasih,” sahut Tari sambil tersenyum kecut. “Gue masih punya telinga
orang lain buat dengerin masalah gue.”
“Apa
bedanya telinga gue sama telinga mereka?”
“Jelas
beda, lah. Telinga mereka tulus, sementara telinga lo pasti banyak maunya ntar.
Udah deh, nggak usah sok perhatian.”
Angga
menghela napas begitu kebaikannya ditolak. Dituduh sok perhatian pula. Tapi
cowok itu pantang menyerah. “Berangkat bareng, yuk? Lo nggak dijemput Ari,
kan?”
“Nah
ini, nih,” dengus Tari. “Yang kayak gini yang tadi gue bilang banyak maunya. Lo
suruh gue cerita, trus ujung-ujungnya lo suruh gue naik ke boncengan lo.
“Cerita sambil jalan aja,” gitu kan pasti? Sori, gue udah tau.”
“Ya
ampun, Tar. Elo kenapa, sih?”
“Masih
berani nanya gue kenapa?!” bentak Tari dengan mata melotot.
Angga
menggeleng-geleng pelan. “Sesusah itu ya lo percaya sama gue sekarang? Gue sama
sekali nggak ada niat jahat sama elo, Tar,” katanya dengan raut putus asa.
Mendadak, cowok itu berlutut di depannya. Karena kaget plus malu jadi tontonan
di pinggir jalan, Tari mundur setengah langkah. “Apa-apaan sih lo? Berdiri!” desis
Tari.
“Apa
kesalahan gue waktu itu emang terlalu berat buat lo maafin?” Tanpa peduli
keadaan di sekelilingnya, Angga bicara sambil menunduk seolah sedang melakukan
pengakuan dosa. “Gue udah nggak tau gimana caranya minta maaf ke elo, Tar.
Mungkin gue emang udah lukain lo berkali-kali. Gue pernah ninggalin elo saat lo
membutuhkan gue, sehingga lo harus ngadepin Ari sendirian. Bilang aja, gue
emang pengecut. Dan yang terakhir ini yang paling parah. Gue culik lo demi
bikin perjanjian itu sama Ari. Gue akuin, cara itu emang keterlaluan. Gue
sebenernya nggak mau libatin elo dalam masalah. Gue nggak pernah berniat lukain
lo kayak gitu.” Angga menarik napas panjang. Detik berikutnya, ia mengangkat
wajah dan menatap langsung ke mata Tari, untuk menunjukkan seberapa dalamnya ia
bersungguh-sungguh. “Karena gue sayang sama elo, Tar. Dari dulu, sampe
sekarang.”
Tari
sebenarnya tidak kaget. Ia mengakui, dirinya juga pernah menyayangi cowok ini.
Sampai sekarang pun kalau kejadiannya tidak seperti ini, bisa saja rasa itu
masih ada. Sebenarnya apa yang berbeda? Apa yang berubah dari cowok yang tengah
berlutut di hadapannya ini dengan cowok yang dulu selalu melindunginya dari
Ari? Tari tak menemukan perbedaan itu. Angga yang ia kenal masih seperti dulu.
Cowok yang ramah dan selalu baik kepadanya. Tapi hanya karena satu kesalahan!
Hanya satu! Dan rasa yang tersisa di hatinya untuk cowok itu langsung musnah.
“Maaf,
Ga,” sahut Tari lirih. “Tapi gue sayang sama Ari.”
Jawaban
atas pertanyaan Angga berhari-hari yang lalu terjawab sudah. Gadis ini memang
menyayangi rivalnya. Penolakan langsung dari gadis itu terhadap dirinya kembali
menambah retakan di hati. Namun Angga sudah terlalu kebal menahan sakit yang
ditimbulkan retakan seperti itu. Jadi cowok itu malah menyunggingkan senyum,
lalu berdiri. “Gue tau, Tar. Gue bisa lihat kok gimana sayangnya elo sama dia.”
Angga
menaiki motornya, lalu memakai helm. Tapi ia tidak langsung pergi. Setelah
menghidupkan mesin, diangkatnya kaca helm dan menoleh lagi ke Tari. “Gue cuma
mau lo tau yang sebenernya aja. Makasih udah bersedia dengerin pengakuan gue.
Dan sekarang, lo percaya kan kalo gue nggak sejahat itu? Naik, yuk? Gue anterin
sampe depan sekolah.”
Melihat
Tari yang masih ragu, Angga kembali menambahkan, “Tar, kalo lo emang maafin gue,
naik ke boncengan gue sekarang.”
Angga
masih menunggu sementara Tari tetap berdiri di tempatnya. Gadis itu tengah
berperang melawan dirinya sendiri. Sebagian dirinya ingin sekali memaafkan
cowok itu, tapi sebagian dirinya lagi menolak dan tetap bersikukuh kalau cowok
itu masih menyimpan niatan jahat. Ia merasa tubuhnya seperti didorong ke depan
namun kakinya terpaku di tanah.
“Tar?”
panggil Angga. “Lo masih belom yakin?”
Tari
menarik napas dalam-dalam. Akhirnya gadis itu menyerah. Kakinya maju dua langkah
mendekati motor Angga. Tangannya sudah menyentuh jok motor saat tiba-tiba
pinggangnya diseret ke belakang.
“Jangan
coba-coba, Tar,” bisik orang yang tadi menyentakkannya menjauhi motor Angga.
Tari menoleh. “Kak Ridho?” bisiknya kaget.
Ridho
menoleh ke arah Angga yang kini tengah menatapnya tajam. “Apapun rencana lo
kali ini, gue nggak akan biarin itu terjadi. Lebih baik lo jauhin Tari,”
katanya dengan nada ancaman yang berbahaya.
Tari
mendengar Angga menggeram di balik helmnya. Cowok yang baru saja mengucapkan
sayang padanya itu balas menatap Ridho dengan penuh amarah, tapi memilih untuk
pergi tanpa berkata-kata lagi. Motornya meraung keras sebelum melesat
meninggalkan tempatnya terparkir tadi.
Ridho
menarik tangan Tari ke arah sedannya. Cowok itu juga terlihat geram. Ia
membukakan pintu penumpang depan untuk Tari. “Tunggu di sini. Pakai seatbelt lo. Kunci pintunya,” katanya
setelah gadis itu duduk di dalam mobil.
Ridho
berjalan menjauh. Begitu mencapai tempat yang tidak terjangkau pandangan Tari,
suara Ari sudah terdengar dari ponsel yang menempel di telinganya.
“Halo?”
“Di
mana lo, kuya?!” bentak Ridho langsung. “Cewek lo nih, pagi-pagi udah
digangguin Angga. Kalo lo nggak segera balik, gue nggak tanggung jawab kalo dia
kenapa-kenapa nantinya.”
“Dia
kenapa?” sahut Ari seketika panik. “Dia diapain sama Angga?”
“Nggak
diapa-apain. Maksud gue, belom
diapa-apain. Mungkin baru dicolek-colek dikit,” jawab Ridho pedas. “Coba aja
kalo gue nggak jemput dia pagi ini di halte, udah ilang tu cewek dibawa si
Angga. Dia udah hampir naik ke boncengannya Angga, tau.”
Jawaban
Ridho membuat Ari semakin panik. “Di mana dia sekarang?”
“Aman
di mobil gue,” jawab Ridho sambil melirik ke arah mobilnya di kejauhan.
Ari
tercenung mendengarnya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan Tari nanti
kalau saja Ridho tidak menyelamatkan gadis itu. “Makasih, Dho. Gue bener-bener
utang budi sama elo.”
Ridho
mendesah. “Gue sih nggak keberatan, Ri. Tapi lo mikir juga dong kalo mau
minggat. Sekarang lo udah punya Tari di sini. Lo nggak bisa seenak jidat
ninggalin dia. Dia cewek elo, bukan cewek gue. Jadi sebenernya gue nggak punya
hak buat seret-seret dia kayak tadi. Gue juga nggak bisa terus-terusan ngawasin
dia. Bisa-bisa gue dicap cowok tukang nikung ntar, mau embat punya temen
sendiri.”
“Oke,
oke, gue ngerti,” jawab Ari berat. “Gue usahain balik secepetnya.”
“Bagus,”
kata Ridho singkat sebelum memutuskan sambungan. Cowok itu balik badan, kembali
melangkah ke mobilnya. Begitu duduk di sebelah Tari, ia menggeleng-geleng
pelan. “Gue nggak ngerti, Tar,” katanya. “Baru kemaren kita ngomongin ini. Tapi
kalo kayak gini caranya, gue harus nanya sekali lagi. Lo beneran selingkuh sama
Angga?”
“Apa?
Nggak, Kak! Bukan seperti itu,” tukas Tari. “Tadi dia cuma... cuma mau
nganterin ke sekolah, kok.”
“Dan
lo mau?” Ridho mengangkat kedua alisnya.
“Nggak
segampang itu, dong,” dengus Tari. “Tadi dia ngemis-ngemis ke gue, tau. Malah
sampe berlutut juga. Malu-maluin nggak tuh?”
Ridho
menghidupkan mesin mobilnya. Sudah ia duga kejadiannya memang tidak seperti bayangan
awalnya. “Trus? Dia ngomong apa aja?” tanyanya saat mobil mulai berjalan.
“Kenapa akhirnya lo mau dianterin sama dia?”
“Ng...
dia minta maaf soal kejadian dulu itu,” sahut Tari, tentu saja memilih untuk
menyimpan pengakuan sayang Angga untuk dirinya sendiri.
“Lo
maafin dia?” tanya Ridho lagi, kali ini agak pelan.
“Gue
belom tau,” jawab Tari jujur. “Gue nggak bisa terus-terusan benci sama Angga.
Bikin gue capek sendiri. Dan sebenernya gue udah kenal Angga sejak dulu. Dia
baik.” Tari menatap keluar jendela. Penjelasannya berhenti sampai di situ.
Suasana
di dalam mobil mendadak hening sampai sedan yang mereka tumpangi berhenti di
parkiran sekolah.
“Makasih,
Kak,” kata Tari. Tepat sebelum tangannya membuka pintu, Ridho mencekalnya.
“Tar?”
Tari
menoleh. “Kenapa?”
“Lo
sayang sama Angga? Dulu, maksud gue.”
Tari
tertegun mendengar pertanyaan Ridho. Ridho memang bukan orang yang berhak
memaksanya menjawab, namun entah kenapa Tari memilih untuk tidak lagi menutupi
kebenaran. “Gue dulu emang pernah sayang sama dia, Kak. Dan... dia juga sayang
sama gue. Sampe sekarang.”
***
“Mau
ikut gue kerja lagi nggak?” tanya Ata setelah sarapan.
Ari
menggeleng. “Gue musti pulang sekarang juga, Ta. Tapi nggak tanpa lo dan Mama.”
Keduanya
terdiam saat mendadak Mama masuk ke ruang keluarga. “Ata, belom berangkat kamu,
Nak?”
“Lo
yang ngomong ke Mama. Dan apapun jawaban Mama, kita harus terima, oke?” bisik
Ata, lalu menoleh ke Mama. “Ini baru mau berangkat. Dah, Ma.” Cowok itu mencium
tangan dan pipi Mama seperti biasa, lalu berjalan keluar rumah.
“Nggak
ikut lagi, Ri?” goda Mama. Begitu Ari menggeleng, wanita itu tertawa kecil.
“Pasti bosen kan di sana? Mending juga nemenin Mama di sini.”
Sebelum
Mama melangkah ke ruangan menjahitnya, Ari menggandeng wanita itu ke sofa. “Ma,
duduk dulu sebentar. Ari mau ngomong sesuatu.”
Kening
Mama berkerut bingung saat dirinya didudukkan di sofa sementara Ari berlutut di
hadapannya. “Ada apa, Ri? Ada masalah?” tanyanya cemas saat menyadari raut
wajah Ari yang berubah keruh.
“Ari
harus pulang, Ma.”
Mama
terdiam sesaat. Perlahan, kepalanya mengangguk. “Ya. Mama ngerti. Memang kamu
seharusnya pulang, Ri. Kamu nggak bisa ninggalin kehidupan kamu di Jakarta gitu
aja.”
“Tapi
Ari nggak mau pisah lagi sama Mama sama Ata.” Ari meletakkan kepalanya di
pangkuan Mama, persis seperti anak kecil. “Ari takut Ari nggak bisa liat kalian
lagi selamanya.”
“Sst,
Ari kok ngomong gitu, sih?” Mama mengusap kepala anak bungsunya. “Kita tetep
bisa saling ketemu, kok. Kalo Ata lagi ada libur, pasti nanti kami nengokin
kamu ke Jakarta. Kamu juga kalo libur bisa ke sini, Ri. Kita masih bisa
telepon-teleponan.”
“Ari
kesepian di Jakarta, Ma,” kata cowok itu serak. Air matanya kemudian jatuh,
juga di pangkuan Mamanya. “Selama sembilan tahun Ari kangen sama Mama. Papa
nggak pernah ada saat Ari butuh orang tua. Ari hidup sendiri di Jakarta, tanpa
orang tua dan saudara. Plis, Ma. Ari nggak mau hidup kayak gitu lagi.”
Air
mata Mama ikut mengalir. Hatinya sakit saat harus mendengar kenyataan pahit
anak bungsunya, sampai anak itu menangis di pangkuannya seperti ini. “Maafin
Mama, Nak,” isak wanita itu. “Maafin Mama udah ninggalin kamu. Maafin Mama udah
bikin hidup kamu kayak gini.”
Untuk
sesaat, hanya air mata keduanya yang saling bicara. Tapi dalam hati, Ari telah
bertekad untuk membawa Mama dan Ata ke Jakarta, bagaimana pun caranya. Cowok
itu mengangkat kepala. Tangannya mengusap sisa air matanya, kemudian bergerak
juga mengusap air mata yang mengalir di pipi Mama. “Ma, ikut Ari ke Jakarta,
yuk?”
“Ata
kan lagi nggak libur, Sayang.”
Ari
menggeleng-geleng. “Ini bukan cuma mampir, Ma. Maksud Ari, Mama dan Ata ikut
tinggal di Jakarta sama Ari.”
Mama
terperangah. “Kamu tau itu nggak mungkin.”
“Plis,
Ma.” Ari meraih kedua tangan Mama dan menggenggamnya. “Nggak ada yang nggak
mungkin. Ari udah ngomong ini ke Ata. Dia mau-mau aja asal Mama juga ikut.
Jadi, sekarang tinggal keputusan Mama yang Ari tunggu.”
“Tapi
itu keputusan yang berat, Ri.” Mama menghela napas dan menatap Ari. Betapa
sesungguhnya ia ingin selalu bersama kedua anaknya di sisa hidupnya. Ia ingin
membagi kasih sayangnya secara adil pada kedua kembar itu. Dan di atas
semuanya, ia sebenarnya ingin menebus sembilan tahun waktu yang ia lewatkan
tanpa Ari.
“Kalo
Mama nggak mau ikut Ari ke Jakarta, Ari yang akan tinggal di sini selamanya.
Nggak peduli apapun yang terjadi,” tegas Ari sungguh-sungguh.
“Jangan
bodoh, Ri. Kamu masih harus sekolah di Jakarta.”
“Pokoknya
Ari nggak peduli,” tukas Ari, membungkam mamanya. “Ayolah, Ma. Justru karena
Ari harus selesaiin sekolah, Mama juga harus nemenin Ari di sana. Paling nggak
sampe lulus SMA. Bentar lagi, kok. Nggak ada setahun. Ata juga bisa nerusin
sekolah di sana. Jadi dia bisa dapet ijazah SMA. Bisa lanjut kuliah. Bisa jadi
orang yang lebih sukses. Coba Mama bayangin itu.”
Mama
terdiam. Ari menunggu sambil harap-harap cemas. Kalau Mama tetap tidak berubah
pikiran, apa yang harus dilakukannya? Ia harus pulang secepatnya, tapi ia tidak
bisa meninggalkan Mama.
Saat
Mama menatapnya, Ari menahan napas. Apa yang akan dikatakan Mama setelah ini
adalah penentuan masa depannya. Jakarta, atau Malang? Keluarga, atau Tari?
Sekolah, atau bekerja?
“Ri,”
kata Mama pelan. Tangannya mengusap kepala Ari. Bibirnya menyunggingkan senyum
tipis. “Dulu saat kita masih hidup terpisah, Mama pernah berjanji pada diri
Mama sendiri. Suatu hari nanti saat Mama berhasil ketemu sama kamu lagi, Mama
akan ngabulin apapun yang kamu mau.”
Harapan
dan rasa optimis mulai tumbuh di hati Ari. “Jadi?” tanyanya tidak sabar
sekaligus bersemangat.
Senyuman
Mama semakin terkembang. “Jadi, untuk kali ini, mungkin Mama akan turuti keinginan
kamu. Mama ikut kamu ke Jakarta.”
Ari
hampir tidak memercayai pendengarannya sendiri. Mama akan ikut ke Jakarta! Dan
kali ini tidak akan pulang lagi ke Malang tanpa ijin darinya! Mereka akan
tinggal bersama! Refleks Ari berdiri dan menarik Mama untuk ikut berdiri, lalu
memeluk wanita itu erat. “Ini bukan mimpi kan, Ma?” bisiknya dengan air mata
yang sulit dibendung, yang kemudian tumpah di bahu mamanya. “Ari bakal punya
Mama lagi setiap pulang sekolah? Ari bakal punya Mama lagi setiap Ari kesepian?”
“Sekarang
Mama akan selalu ada buat kamu, Sayang,” Mama balas memeluk Ari erat. Sudut
bibirnya tak kuasa ditarik turun dan air matanya tak berhenti mengalir. Ya,
untuk sekarang dan selamanya, ia tidak akan melepaskan dan membiarkan Ari hidup
menderita lagi.
***
Seharian
itu, tidak ada sedikitpun materi pelajaran yang masuk ke otak Tari. Semuanya
masuk telinga kanan dan langsung keluar lagi lewat telinga kiri. Apalagi Tari
duduk di sebelah jendela. Sebentar-sebentar ia melamun sambil menatap keluar jendela,
membuatnya berkali-kali kena peringatan dari guru-guru.
“Tar,
lo kenapa, sih?” tanya Fio saat istirahat. Dia yang duduk semeja dengan Tari
lama-lama heran juga. Tari menggeleng, bikin sahabatnya itu gemas. “Dari tadi
ditanyain geleng mulu jawabnya. Padahal jelas banget lo kenapa-napa. Soal Kak
Ari lagi?”
Tari
kembali menggeleng. Ia menelungkupkan tubuh ke meja dengan kepala bersandar di
lengan. “Gue pusing, Fi.”
“Kalo
pusing ke UKS aja. Yuk gue anterin.”
Lagi-lagi
Fio mendapat gelengan kepala. “Fi, kenapa sih gue harus kenal Ari, Angga, dan
mereka-mereka itu yang bikin hidup gue jadi ruwet? Gue cuma mau jadi anak SMA
biasa, yang bebas dari masalah. Eh... nyatanya sekarang malah “masalah” tuh
jadi makanan gue sehari-hari. Nggak ada masalah dikit aja, gue mati kali ya?
Ato jangan-jangan gue kena kutuk, lagi.”
Fio
menghela napas. “Udah takdir, Tar. Elo juga sih, pake nama Jingga Matahari
segala. Coba kalo nama lo Tukiyem, ato Sarinah, ato siapa lah yang nggak pake
Matahari-Matahari. Mana mungkin cowok-cowok itu tertarik, apalagi Kak Ari.
Mungkin bener nama lo emang kena kutuk. Ganti nama aja deh, jadi Tukiyem. Kali
aja hidup lo jadi adem ayem.”
“Nggak
lucu, ah,” gerutu Tari, tambah pusing sendiri mendengar opini Fio yang ngawur
tentang namanya. Fio tertawa, tapi tawanya langsung hilang begitu melihat siapa
yang sudah duduk di bangku depannya. Oji. Cowok itu tengah menatapnya sambil
menyeringai lucu. “Bukan gitu caranya ngehibur orang, Fi.”
“Eh,
mau apa lo ke sini?” ketus Fio.
Oji
mengelus-elus perutnya. “Gue sama Ridho kelaperan. Bayarin makan dong di
kantin. Sekalian tuh bayarin Tari makan. Begitu baru cara yang bener buat
ngehibur orang.”
Tari
menegakkan tubuh. “Bener tuh, Fi. Yuk ke kantin! Traktir yaaa!!”
“Ih,
elo kok ikut-ikutan Kak Oji malakin gue, sih?!” jerit Fio. “Tau gitu gue
tinggal aja tadi ke kantin!”
“Udaaah,
yuk ah. Keburu masuk.” Tari menarik Fio hingga berdiri dan mendorongnya menuju
pintu.
“Nyoman
mana, sih? Heh, Nyomaaan!! Jangan kabur looo! Tanggung jawab lo juga ini!”
teriak Fio begitu melihat Nyoman yang baru saja mencapai ambang pintu kelas
sehabis dari kantin, langsung balik badan dan lari saat menyadari situasi yang
sedang terjadi.
“Daaaaaah,”
teriak Nyoman, berlari sambil ngakak, lalu dengan cepat menghilang di balik
koridor.
Fio
sudah akan mengejar, tapi langsung dicekal berbarengan oleh Oji dan Tari.
“Eits, nggak usah dikejar. Ntar malah lo ikutan si Nyoman kabur,” tegur Oji.
“Sialan!
Awas lo ya Mamaaan!” seru Fio dengan tinju teracung.
Oji
dan Tari saling tatap. Bibir keduanya meringis lebar. Sepertinya Fio abis ini bakalan
tekor, dan akibatnya, Nyoman tidak akan selamat sampai rumah.
***
Hari
itu terjadi kegemparan di rumah Ari dan Ata di Malang. Setelah Ari mengumumkan
rencana kepindahan Mama dan Ata ke Jakarta, seluruh anggota keluarga mendukung
keputusan itu. Jadi Ari akan pulang ke Jakarta besok pagi untuk mencarikan
rumah kontrakan sebagai tempat tinggal Mama dan Ata. Setelah urusan di Jakarta
selesai, barulah Mama dan Ata menyusul ke sana.
“Gue
nggak sabar, Ta,” kata Ari kepada Ata yang duduk di sebelahnya. Malam ini
mereka duduk di atas atap rumah sambil menatap langit malam.
“Nggak
sabar apa?” tanya Ata yang sibuk mengunyah apel.
“Nggak
sabar nungguin kalian di Jakarta.”
Ata
mendengus. “Lo sendiri belom nyampe Jakarta, Ri. Udah nggak sabar aja.”
Ari
tertawa kecil. Tangan kanannya merangkul bahu Ata. “Tenang, bro. Gue urusin
kepindahan lo ke sekolah gue. Siap-siap aja jadi seleb baru di sana.”
“Yoi,
dan siap-siap aja ketenaran lo di sekolah tenggelam gara-gara ada seleb baru
yang jauh lebih keren kayak gue.”
Giliran
Ari yang mendengus. “Belagu amat. Biar lo kembaran gue, tetep harus ada yang
nomor satu di sekolah itu. Dan nggak akan ada yang bisa gantiin posisi itu
sampe gue lulus dari sana.”
Yakin banget, Ri?
tantang Ata dalam hati. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya. Fine! Kita liat besok! Permainan baru aja
mulai, bro.
Bersambung....