Ari
terbangun di dalam ruangan serba putih. Bau antiseptik yang menyengat menyergap
hidungnya.
“Ari?
Sayang? Kamu udah bangun?” Mendadak Mama berdiri di samping ranjangnya,
menggenggam tangannya erat. Wajahnya berlinang air mata. “Gimana perasaan
kamu?”
“Baik,
Ma. Ari nggak pa-pa.” Ari mengerjap beberapa kali. “Di mana ini? Rumah sakit?”
“Iya.
Bentar. Mama panggilin dokter.”
Setelah
dokter memeriksanya secara keseluruhan, Ari dinyatakan tidak mengalami luka
serius. Hanya memar di kepala dan beberapa bagian tubuhnya. Ia diperbolehkan
pulang. Ketika Mama mengurus pembayaran di bagian administrasi, Ata berjalan
mendekati Ari yang sedang turun perlahan dari tempat tidur.
“Baikan?”
Ari
mengangguk. “Gue nggak pa-pa.”
“Kayaknya
lo perlu liat sesuatu. Ayo.”
Ari
berjalan mengikuti Ata dengan bingung. Cowok itu berhenti di depan sebuah
kamar. Dilambaikannya tangan ke arah pintu, meminta Ari untuk masuk. Ari membeku
begitu membuka pintu tadi.
Oji
dan Ridho, dua sahabatnya, kini berbaring tak berdaya di masing-masing ranjang
yang terpisahkan oleh sekat berwana hijau. Kepala Ridho diperban, sementara Oji
lebih parah. Cowok itu bertelanjang dada, dengan perban melilit di sekujur
tubuh atasnya. Ari tercekat, tak bisa berkata apa-apa.
“Mereka...”
“Cuma
dibius. Buat kelancaran obatnya,” jelas Ata.
Dengan
gerakan kaku, Ari pertama-tama menghampiri Oji. Temannya itu mengenakan alat
bantu pernapasan di hidung. Matanya terpejam rapat. Wajahnya babak belur di mana-mana.
Ari menutup mata, tak sanggup melihat kondisi Oji yang begitu mengenaskan.
“Maafin gue, Ji,” katanya lirih.
Kemudian
dia beranjak mendekati Ridho. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan Oji.
Sama-sama memakai alat bantu pernapasan dan memar di mana-mana. “Maafin gue,
Dho,” bisik Ari.
Cowok
itu menjatuhkan diri di satu-satunya sofa yang ada di ruangan itu. Terguncang.
Diremasnya rambut dengan frustasi. Ia merasa bersalah. Kedua sahabatnya yang
kini terkapar lemah itu murni karena kebodohannya. Kalau saja ia tidak meminta
Oji dan Ridho menyelamatkan Sonia... Kalau saja ia mendengarkan Ata untuk tidak
keluar menghadapi Brawijaya... Kalau saja...
“Ngerti
kan lo sekarang kenapa gue harus libatin Gita?” kata Ata yang tiba-tiba berdiri
di depannya.
Ari
menunduk, menyangga kepalanya dengan tangan yang ia tumpukan di lutut.
“Lo
nggak tau gimana cemasnya Mama tadi. Dia nangis nggak berenti-berenti nungguin
lo siuman. Ini aja lo termasuk nggak dapet luka parah. Nggak kayak sobat-sobat
lo itu, yang udah hampir mati.”
“Stop,”
kata Ari lemas. “Mereka nggak akan mati.”
“Emang
nggak. Belom maksud gue. Coba aja gue nggak muncul bawa Gita waktu itu. Udah
beneran jadi almarhum mereka. Dan mungkin juga elo.”
“Gue
bilang, stop!” desis Ari tajam. Diangkatnya muka menghadap ke arah Ata.
Ata
menghela napas, menyerah. “Oke. Gue nggak akan bilang apa-apa lagi. Gue nggak
akan nuntut terima kasih dari elo.”
“Keluar,”
perintah Ari. “Bawa Mama pulang.”
“Lo
juga harus pulang. Harus istirahat.”
“Nggak.
Gue mau jagain mereka di sini.”
“Jangan
bego,” tukas Ata. “Lo sendiri butuh dijagain.”
Ari
menatap Ata tajam. “Gue bukan anak kecil lagi.”
Kedua
kembar itu saling tatap. Kata-kata Ari barusan memicu emosi yang tidak mereka
kenal. Memori keduanya seketika terlempar ke masa-masa kecil mereka, masa-masa
di mana Ata masih selalu menjaga Ari ketika bermain bersama. Ya. Itu pernah
terjadi. Ribuan hari yang lalu. Hingga kini nyaris tidak ada lagi yang tersisa
dari masa-masa itu.
“Gue
minta,” kata Ata lirih, hampir tidak bisa meredam emosinya yang mewujud dalam bentuk
getaran suara. “Sekali aja. Lo turutin kata-kata gue.”
“Tapi...”
Ari tak bisa meneruskan kalimatnya. Dengan enggan, akhirnya cowok itu menuruti
permintaan Ata. “Oke. Gue balik.”
***
Ari
berbaring menatap langit-langit kamar. Mama bersikeras agar dia menginap di
rumah kontrakan. Kini untuk sementara Ari menempati kamar tamu. Semenjak ia
berbaring sendirian di sini, pikirannya tak lepas dari Tari.
Ingin
sekali ia mengabaikan janjinya pada Angga, karena bagaimanapun, Gita terluka
bukan karena dirinya. Demi Tuhan! Apa Angga tidak bisa melihat situasi? Ari
sudah menjauhi Gita, tidak pernah menyeret gadis itu lagi dalam urusannya
dengan Angga. Dia tidak melanggar janjinya. Ata yang melakukannya. Dan Ata
tidak tahu apa-apa soal perjanjian sialan itu. Sesungguhnya ini tidak adil. Ari
tidak seharusnya menanggung apa yang bukan menjadi kesalahannya.
Tok,
tok, tok..
Kepala
Ata muncul dari balik pintu yang baru saja diketuk. “Belom tidur?”
Ari
bangkit dari posisi tidur. Ia duduk bersandar pada kepala ranjang. “Ada apa?”
tanyanya datar.
“Boleh
gue ngomong sesuatu?”
Ari
terdiam sejenak. Apapun itu yang akan dibicarakan oleh Ata, bisa dipastikan
akan membuat kepalanya sakit. Tapi ia ingin tahu apa lagi yang diinginkan
saudaranya. “Masuk,” katanya singkat.
Ata
melangkah ke arahnya, kemudian duduk di sisi tempat tidur di dekat kakinya.
Cowok itu terlihat gelisah. “Gue udah tau sekarang.”
“Tentang?”
“Perjanjian
lo sama Angga.”
Ari
menarik napas tajam. “Siapa yang cerita?”
“Gue
iseng nanya ke Ical tadi. Dia jelasin ke gue panjang lebar. Gita nggak boleh
disentuh. Itu aturan nomor satu dari elo. Makanya...” Ata berhenti sejenak saat
Ari menatapnya dengan pandangan menusuk. Diam-diam ia menelan ludah. “Mm,
makanya gue heran kenapa lo milih ngelawan Angga sampe mau mati gitu, padahal ada
kartu as di tangan lo.”
Ari
masih tak mengatakan apa-apa. Ata mendesah keras. Ia bangkit dari tempat tidur,
berjalan mondar-mandir sambil meremas rambutnya. Ketika akhirnya ia berhenti,
tatapannya langsung jatuh ke Ari. “Gue nggak tau, oke?” katanya lirih. “Gue
bener-bener nggak tau, Ri. Gue pikir cuma itu satu-satunya cara buat nyelametin
kalian. Gue...” Ata menelan ludah lagi. “Gue minta maaf.”
Kata
maaf yang sejak awal sama sekali tidak diharapkan oleh Ari, karena tidak akan
mengubah keadaan. Ia tetap menatap Ata dengan dingin.
“Denger.”
Ata kembali duduk di sebelahnya ketika Ari tidak menanggapi. “Gue minta tepatin
janji lo. Lepasin Tari.”
Kedua
alis Ari terangkat. Kaget. Setelah permintaan maaf yang ia kira benar-benar
tulus keluar dari bibir Ata, sekarang saudaranya itu malah menyuruhnya
melepaskan Tari? Kurang ajar! Sepasang bibir Ari terkatup, membentuk garis
lurus yang keras. Otot-ototnya mengencang, sehingga tubuhnya langsung
meneriakkan protes karena mereka masih kesakitan. Akhirnya Ari melemaskan
tubuhnya lagi. Hanya tatapannya yang semakin menusuk mengarah ke Ata. “Apa lo
bilang?” desisnya. “Coba ulangi sekali lagi.”
“Gue
minta, lo lepasin Tari,” ulang Ata hati-hati.
“Tari
milik gue,” kata Ari defensif. Nadanya rendah dan sarat ancaman, tanda ia tidak
mau dibantah. “Selamanya tu cewek tetep milik gue.”
“Apa
lo nggak ngerti keadaan?” sahut Ata putus asa.
“Jelasin
ke gue, keadaan apa yang belom gue ngerti!” tukas Ari dengan rahang mengertak.
“Selama
lo pingsan di rumah sakit, Angga nemuin gue. Dia minta gue mastiin lo tepatin
janji lo. Dia minta gue jadi saksi kalo lo udah mutusin Tari. Dia minta gue
ngawasin Tari selama di sekolah, mastiin lo nggak deket-deket lagi sama tu
cewek.”
“Dan
lo setuju?” Ari terperangah. “Bener-bener bajingan lo, Ta! Lo nggak mikirin
perasaan gue? Lo dukung si bangsat itu? Lo sekongkol sama dia buat misahin gue
sama Tari? Gitu, hah?!”
“Dia
ngancem, oke?!” bentak Ata, berusaha membela diri. “Menurut lo, apa lebih baik
gue biarin dia macem-macem ke Ridho sama Oji yang lagi terkapar gitu?”
Ari
tersentak. “Nggak!” desisnya cepat. “Dia nggak akan berani macem-macem ke
sahabat-sahabat gue!”
“Siapa
bilang dia nggak berani?” Ata melemparkan tatapan mencemooh. “Jangan terlalu
naif, Ri. Lo pikir Ridho sama Oji sekarang tiduran di ranjang rumah sakit
gara-gara siapa? Ulah siapa?”
Ari
terdiam. Kepalanya berdenyut sakit. Ia memijit pelipisnya. Ata yang menyaksikan
kondisi adik kembarnya, akhirnya memutuskan untuk mengakhiri percakapan. Cowok
itu bangkit. “Lebih baik sekarang lo istirahat. Baru lo pikirin,” sejenak, ia mencondongkan
tubuh ke arah Ari, “putusin Tari, relain dia buat Angga, ato lo liat
sahabat-sahabat lo mati.”
Tubuh
Ari membeku. Entah bagaimana kalimat yang diucapkan Ata terasa seperti ancaman
langsung. Bukan dari Angga, melainkan dari Ata sendiri. Ini bukan pilihan. Bukan
haknya untuk membuat keputusan. Ini adalah keharusan. Tidak mungkin ia
mengorbankan nyawa kedua sahabat karibnya demi Tari. Bukan tak mungkin Tari juga
akan ikut terseret dalam bahaya kalau Ari bersikeras menahan cewek itu di
sisinya. Jadi... lepaskan gadis itu!
***
Ari
melempar kepalanya ke bantal-bantal, dan otomatis mengerang kesakitan.
Kepalanya serasa akan meledak. Ia tekan kepalanya kuat-kuat hingga denyutan
menyiksa itu mereda. Setelah itu, diraihnya ponsel di meja samping tempat tidur.
Masih dalam posisi tiduran, ia memutuskan untuk menelepon Tari.
“Kak
Ari!” Ari menjauhkan ponselnya sejauh lengan begitu Tari menjawab panggilannya
dengan jeritan.
“Hai,”
gumamnya kemudian.
“Kak
Ari, gimana keadaan elo? Gue denger... lo masuk rumah sakit.” Suara Tari
mendadak lirih dan bergetar. Gadis itu mulai menangis. Oh, tidak!
“Hei,
Tar. Ssstt... Gue baik-baik aja. Gue nggak nginep di rumah sakit, kok. Gue udah
boleh pulang,” kata Ari menenangkan. “Dari mana lo tau gue di rumah sakit?”
Tari
menghembuskan napas lega. Diusapnya air mata dari pipi. “Kak Ata,” jawabnya,
tidak berniat menjelaskan apa-apa. “Gue tadi mau jenguk, tapi nggak ada orang
di rumah, jadi gue harus jaga rumah. Gue mau telepon, takutnya gangguin elo
istirahat.”
Dada
Ari langsung menghangat. Mendengar suara gadis itu seolah mengangkat seluruh
bebannya. Cowok itu memejamkan mata, menikmati kehangatan dari bentuk
kekhawatiran Tari atas dirinya. Gadis itu begitu perhatian. Kemudian dia
dihadapkan kepada permasalahan pokok di sini. Dia harus melepas gadis itu.
Harus! Tapi tidak sekarang. Tidak melalui telepon.
“Gue
ke rumah elo besok pagi.”
“Eh?
Ngapain, Kak? Lo istirahat aja di rumah. Gue yang jenguk ke situ.”
“Nggak,”
tolak Ari tegas. “Gue yang ke situ. Titik.”
“Lagi
sakit, masih aja bossy,” gerutu Tari,
memunculkan senyum tipis di bibir Ari. “Ya deh. Besok gue tunggu. Tapi janji lo
nggak akan maksain diri, oke?”
“Janji.”
“Ya
udah, istirahat deh. Kayaknya suara lo lemes banget.”
“Yah,
badan gue kayak abis ditabrak truk rasanya.”
“Masa?”
Tari ternganga. “Separah itu? Nah, mendingan lo tiduran aja di rumah. Nggak
usah ke rumah gue.”
“Nggak,
nggak,” sahut Ari cepat. “Cuma bercanda. Gue nggak selemah yang lo pikirin,
tau. Pokoknya gue ke rumah lo besok. Sampai ketemu.” Karena tak ingin dibantah
lagi, Ari segera menutup telepon.
Suasana
seketika hening. Ari tahu sebenarnya dia masih ingin mendengar suara Tari. Ia
ingin mendengarnya sepanjang malam ini. Ia ingin menghabiskan waktu bersama
gadis itu selama dia masih memiliki kesempatan. Ia tidak ingin tidur. Ia tidak
ingin hari besok datang. Ia tidak ingin melepas gadis itu.
“Maafin
gue, Tar,” katanya lirih. Matanya terpejam perlahan. Tanpa bisa dicegah, setetes
air mata mengalir menuruni pelipisnya.
***
“Ari,
mau ke mana kamu, Nak?” Mama yang baru saja memasuki kamar terkejut melihat Ari
memakai jaketnya, bersiap untuk pergi.
“Pergi
sebentar, Ma,” sahut Ari. “Ada urusan penting.”
“Tapi
kamu kan...”
“Ari
baik-baik aja,” potong Ari cepat. Ia melangkah mendekati Mama, lalu mencium
keningnya lembut. “Mama nggak usah khawatir, oke?”
Akhirnya
sang Mama luluh, meski kecemasannya tidak surut. Wajah Ari terlihat pucat. Cara
berjalannya menyiratkan bahwa putra bungsunya itu masih kesakitan. Setelah
mendapat izin, Ari melangkah keluar, dan langsung menemukan Ata yang sedang
menonton televisi.
“Mau
ke mana?” tanya Ata.
“Menurut
lo?” sahut Ari tak acuh, berjalan begitu saja melewati Ata tanpa menoleh.
“Tunggu
sebentar.” Ata mengikutinya sampai halaman. Ditariknya lengan Ari sebelum
saudaranya itu mencapai pagar. “Ke rumah Tari?” tanyanya begitu Ari menghadap
ke arahnya.
“Gue
nggak mau sahabat-sahabat gue mati,” jawab Ari rendah setelah terdiam sesaat.
Dilepasnya cekalan Ata, kemudian berjalan keluar pagar. Ia memang tidak membawa
motornya kemari. Motor hitam itu masih bertengger manis di parkiran sekolah.
Tidak ada yang mengambilnya sejak dia masuk ke rumah sakit. Jadi terpaksa cowok
itu berjalan keluar kompleks untuk mencari taksi.
Sepanjang
perjalanan, Ari menghela napas berkali-kali. Ini bukan sesuatu yang ia rasa
bisa ia lalui. Bahkan cowok itu tidak menyiapkan kata-kata yang akan
disampaikannya kepada Tari. Dengan sepenuh hati, ia berharap Tari mau mengerti.
Atas kesalahan fatal saudara kembarnya yang membuat ini semua harus terjadi.
Taksi
berhenti di depan jalan kecil menuju rumah Tari. Ari menarik napas
panjang-panjang. “Pak, tungguin sini. Saya nggak lama. Bisa?”
Supir
taksi di depannya mengangguk. “Bisa, Mas.” Agak curiga juga supir itu saat
melirik kondisi Ari dari spion tengah. Ari penumpang pertamanya hari ini, cukup
pagi untuk ukuran orang yang membutuhkan taksi di hari Sabtu, dan tampang cowok
itu sudah seperti orang mau gantung diri.
Ari
mengulurkan selembar uang berwarna biru. “Buat beli rokok dulu, Pak.”
Setelah
itu ia keluar. Dengan langkah gamang, ia menghabiskan jarak yang memisahkannya
dengan rumah Tari. Tekad bajanya perlahan runtuh begitu ia berdiri di depan
pagar. Tangannya gemetar ketika membuka pintu pagar perlahan agar tidak
menimbulkan suara.
Tari
membuka pintu setelah Ari mengetuk dua kali. “Kak Ari?” Cewek itu terperangah
kaget melihat kondisi Ari yang sepucat mayat.
“Hai,”
sapa Ari sambil berusaha tersenyum. Bibir dan tenggorokannya terasa kering.
“Boleh gue masuk?”
“Mama
sama Papa lagi...” Tari menggantung ucapannya. Setelah mengerutkan kening
seperti tengah berpikir, akhirnya cewek itu menggeleng-geleng. “Ng... nggak
pa-pa. Masuk aja.” Ia bergeser dari ambang pintu, memberi jalan untuk Ari.
“Nyokap
Bokap lo lagi pergi?”
Tari
mengangguk. “Dari kemaren gue di rumah sendirian. Keluarga lagi nginep di rumah
saudara di Bandung.”
“Kalo
gitu kita bicara di luar aja.”
“Nggak.
Nggak pa-pa. Masuk aja. Lo lagi sakit gini.” Tari meraih tangan Ari, kemudian
menyeretnya masuk dan mendudukkannya di sofa. “Mau minum teh?”
Ari
menggeleng. “Gue nggak lama.”
“Oh...
oke.” Tari mengangguk ragu-ragu. Sikap Ari aneh sekali. Cewek itu duduk dengan
hati-hati di sebelah Ari. “Gimana keadaan lo?”
“Gue...
baik,” jawab Ari pelan tanpa menatap Tari. Ia terlihat sangat tertekan.
“Kak,
ada apa?” tanya Tari. Karena tidak kunjung mendapat jawaban dari cowok di
sebelahnya, tanpa bisa menahan lagi, Tari menubrukkan dirinya ke pelukan Ari,
melingkarkan lengannya erat-erat pada cowok itu. “Lo bikin gue kuatir, Kak.”
“Hei,
Tar. Ng... pelan-pelan.” Ari berusaha untuk tidak bergerak atau mengerang.
Wajahnya mengernyit menahan sakit.
Tari
berjengit seperti baru sadar. “Sori, sori,” katanya panik. “Sakit?”
Tubuh
Ari merileks. “Nggak parah banget. Cuma... kaget aja.”
Tari
menatap Ari dengan prihatin. “Kenapa sih lo maksain ke sini kalo lo masih
kesakitan gitu?”
Ari
menelan ludah. Ini dia saatnya. “Ada yang mau gue omongin. Nggak bisa lewat
telepon.” Diraihnya tangan Tari, kemudian menyelipkan jemarinya di antara
jemari gadis itu. Ia butuh pegangan, dan juga butuh tindakan pencegahan kalau
gadis itu akan berlari menghindar nanti. Kedua matanya terarah pada jari mereka
yang berpaut. Ari merasa tidak memiliki cukup kekuatan untuk menatap langsung
ke mata Tari. “Tapi gue minta, jangan lari. Jangan marah. Dengerin gue dulu.”
Tari
menatapnya bingung. “Ng.. emangnya...”
“Janji
sama gue!” potong Ari cepat, tidak memberi Tari kesempatan untuk bertanya.
“Tolong,” suaranya sekarang lirih, namun penuh penekanan, juga permohonan.
“Janji sama gue, lo nggak akan membenci gue.”
“Kenapa
sih, Kak?” tanya Tari tidak sabar.
“Sialan,
Tar. Kenapa sih lo nggak bisa bilang “ya gue janji” gitu aja? Lo nggak perlu
nanya-nanya,” desah Ari dengan nada putus asa. Cowok itu masih menunduk.
“Tapi
elo...”
“Kita
putus.”
Suara
lirih Ari seperti tidak nyata. Tari hampir tidak mempercayai pendengarannya
sendiri. “Apa?” bisiknya. Jantungnya serasa menghilang dari rongga dada.
Mulutnya ternganga. Ingin mengatakan sesuatu, namun tak ada suara yang keluar.
“Plis,
Tar. Jangan minta gue ngulangin kalimat itu lagi.” Ari kali ini mengangkat
muka. Wajahnya terlihat begitu tersiksa.
“Pu..tus?”
Tari menatap kosong. “Kita... putus?” Ia refleks menarik tangannya, namun Ari
menggenggamnya lebih erat. “Jangan!” desis cowok itu. “Plis, jangan lari.”
“Kenapa?”
Tari menunduk. Suaranya hampir tidak terdengar kalau saja suasana di sekitar
mereka tidak benar-benar senyap.
“Percaya
sama gue. Gue bener-bener terpaksa, Tar.”
Tari
tidak menyahut. Cewek itu tetap menunduk, menatap tangannya yang digenggam erat
oleh Ari. Lalu, tiba-tiba saja air matanya jatuh, menetes tepat di antara
jemari mereka.
“Hei,
Tar. Ssst, tolong, jangan nangis.” Ari menguraikan pegangannya, lalu ganti
memeluk cewek itu. Ditekannya kepala Tari di dada, tepat di mana sumber rasa
sakitnya. Rasa sakit yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perkelahian
kemarin. Rasa sakit ini murni dari jantungnya, yang seolah memompa lahar panas.
Menyebarkan perih ke seluruh tubuh. Siksaan yang hampir tak tertahankan.
“Kenapa,
Kak? Kenapa?” tanya Tari dengan isakan teredam. “Lo... marah... sama gue?”
“Jangan
pernah berpikir ini semua kesalahan elo.” Ari mengetatkan pelukannya.
Mempersiapkan gadis itu, juga mempersiapkan diri. Ditelannya ludah susah payah.
Kerongkongannya kering kerontang, menimbulkan rasa perih ketika ia menelan.
“Gita terlibat di tawuran kemaren.”
Ari
bisa merasakan tubuh yang dipeluknya menegang. Sedetik, tubuh itu memberontak,
ingin melepaskan diri. “Jangan, Tari. Jangan,” bisik Ari, begitu sarat
permohonan. Cowok itu panik dan ketakutan. “Plis, jangan lari dari gue.”
Tari
akhirnya berhenti memberontak karena pelukan Ari membatu. “Lo libatin Gita?”
bisiknya dengan nada tak percaya.
“Gue
nggak bermaksud...”
“Lo
lupa sama perjanjian itu? Lo nyerahin gue ke Angga?” Kedua tangan Tari mengepal
di sisi tubuhnya yang masih dipeluk erat.
“Dengerin
gue dulu...”
Tari
mendorong dada Ari kuat-kuat. Terpaksa ia mengeraskan hati saat melihat cowok
itu kembali mengernyit kesakitan. Pelukan Ari terurai. Kini keduanya saling
bertatapan. “Nggak ada yang perlu dijelasin,” kata Tari dengan suara dan tubuh
bergetar oleh amarah. Cewek itu lalu bangkit ke pintu depan, berdiri di sebelah
daun pintunya yang terbuka. “Keluar.”
Ari
tercekat. “Tar...”
“Keluar,”
potong Tari. “Keluar dari rumah gue ato gue bakal teriak.”
“Tapi
gue nggak...”
“Keluar!
Gue nggak mau denger apa-apa dari elo!” Tari mulai berteriak sambil menutup
telinga.
Ari
menyerah. Cowok itu mendesah sebelum berdiri dari sofa. Ia berhenti tepat di depan
Tari. Kembali kedua pasang mata itu bertemu. Sepasang mata hitam dan sepasang
mata cokelat. Keduanya sama-sama penuh luka. Sama-sama tersiksa. Sama-sama
menyimpan air mata. Sesaat, tidak ada yang bersuara di antara mereka. Bumi
seolah berhenti berputar, menunggu salah satu di antara keduanya bergerak. Jam
di dinding pun seolah tidak berdetak. Keduanya tersesat. Tidak bisa menemukan
satu sama lain.
Ari
menatap Tari dengan beribu emosi. Ia ingin berteriak keras-keras untuk
melegakan dadanya. Namun teriakan itu tak bisa keluar. Hanya bergaung di jurang
tak terjembatani yang kini memisahkan dirinya dengan Tari. Gadis ini... luput
dari genggamannya. Tak teraih lagi. Jiwanya yang telah takluk dan terikat kuat
oleh cintanya kepada gadis ini, perlahan-lahan terkulai. Mati.
Dengan
begitu hati-hati, ia rengkuh tubuh cewek itu. “Gue harus bilang apa biar lo
percaya?” bisiknya serak. Air matanya jatuh di pundak Tari. Air mata
penyesalan, juga keputusasaan. “Maafin gue, Tar. Maaf.”
Tari
memejamkan mata. Hatinya remuk. Dadanya sesak. Kenapa harus berakhir seperti
ini? Semua mimpi indah itu, semua kenangan itu, perlahan memudar,
meninggalkannya terseok sendirian.
“Gue
nggak pernah mau ngelepasin elo, Tar. Tapi gue terpaksa. Bener-bener terpaksa.”
Dengan enggan, Ari melepaskan pelukannya. Diangkatnya dagu cewek itu,
memaksanya untuk menatap matanya. “Lo harus inget itu.”
Tari
merasakan sapuan lembut di pipinya. Hatinya sekarang porak poranda dilanda
badai hebat. Namun ada sebentuk gelenyar hangat mengaliri tubuhnya saat
kemudian Ari beralih mencium kedua kelopak matanya yang terpejam.
Ari
ikut memejamkan mata saat menyandarkan keningnya ke kening Tari. “Gue cinta
sama elo, Jingga Matahari,” katanya selirih hembusan angin. “Selamat tinggal.”
Kalimat
itu meruntuhkan pertahanan Tari, membuka gerbang air matanya hingga mengalir
tak terkendali. Amarahnya kini kehilangan arti. “Jangan pergi,” isaknya pelan,
memohon sepenuh hati.
Namun
Tari merasakan kening dan kedua tangan Ari terlepas dari tubuhnya, kemudian
hawa di sekitarnya menjadi dingin. Dalam kegelapan, ia mendengar langkah kaki
Ari yang menjauh. “Jangan pergi, Kak. Jangan tinggalin gue.”
Tari
tak mendengar apa-apa lagi. Suasana di sekitarnya benar-benar hening sekarang.
Tari membelalakkan mata. Ari sudah pergi. Cowok itu tidak terlihat lagi. Pintu
pagar depan tertutup rapat. Kejadian barusan seperti mimpi. Tari memejamkan
mata lagi, berharap bahwa ini benar-benar mimpi. Tapi dia tidak bisa
menyangkal. Ucapan selamat tinggal dari Ari terus bergema di kepalanya.
Setelah
menutup pintu, ia meluruh jatuh. Tenggelam dalam tangisan hebat. Untuk
seseorang yang baru saja meninggalkannya. Untuk belati yang tanpa ampun
menyiksa nuraninya. Untuk pelukan perpisahan yang perlahan membunuhnya..
“Gue
juga cinta sama elo, Matahari Senja.” Itulah jawabannya!
***
Ari
hampir saja membalikkan badan dan meraih Tari dalam pelukan lagi saat cewek itu
memohon kepadanya untuk tidak pergi. Tapi dia tidak bisa tinggal. Tidak kalau
nyawa kedua sahabatnya yang menjadi taruhan. Jadi dengan segenap tenaga, ia langkahkan
kaki keluar, sama sekali tidak menoleh lagi ke dalam rumah. Ditinggalkannya
tempat itu, bersama seseorang yang berbagi kehancuran bersamanya.
Ya.
Ari hancur. Sama seperti Tari. Kalau pertahanannya tidak begitu kuat, bisa
dipastikan ia juga akan terjatuh ke tanah dan menangis. Ketika kemudian tiba di
taksi yang masih menunggunya, Ari memutuskan untuk pulang ke rumahnya, bukan ke
rumah Mama. Ia butuh waktu untuk sendiri. Ia butuh waktu untuk menerima
kenyataan ini. Tidak akan ia biarkan si brengsek Ata menonton kejatuhannya.
Ari
menghela napas berat. Dadanya masih sakit. Dan akan terus seperti itu karena ia
tak lagi mempunyai obat penawar. Gadis yang selama ini berhasil menutup
luka-lukanya kini ia biarkan pergi. Bukan hanya membuka kembali setiap balutan,
tapi juga menorehkan luka lebih dalam di sana.
Tiba
di rumahnya, Ari melesat ke kamar, mengunci pintu, lalu ambruk ke tempat tidur.
Ia mati-matian menahan air mata, hingga akhirnya jatuh tertidur karena
kelelahan.
Bersambung...
Nyesek sendiri baca part ini :'(
Maaf kalo part ini cuma dikit, udah nggak kuat mau nambahin *lambaikan tangan ke kamera*
Mungkin untuk part-part selanjutnya masih konsen sama hubungannya Ari-Tari yaa
Yoook komeeen ^^