Selasa, 21 April 2015

Jingga untuk Matahari #fanfiction-19

Ari terbangun di dalam ruangan serba putih. Bau antiseptik yang menyengat menyergap hidungnya.
“Ari? Sayang? Kamu udah bangun?” Mendadak Mama berdiri di samping ranjangnya, menggenggam tangannya erat. Wajahnya berlinang air mata. “Gimana perasaan kamu?”
“Baik, Ma. Ari nggak pa-pa.” Ari mengerjap beberapa kali. “Di mana ini? Rumah sakit?”
“Iya. Bentar. Mama panggilin dokter.”
Setelah dokter memeriksanya secara keseluruhan, Ari dinyatakan tidak mengalami luka serius. Hanya memar di kepala dan beberapa bagian tubuhnya. Ia diperbolehkan pulang. Ketika Mama mengurus pembayaran di bagian administrasi, Ata berjalan mendekati Ari yang sedang turun perlahan dari tempat tidur.
“Baikan?”
Ari mengangguk. “Gue nggak pa-pa.”
“Kayaknya lo perlu liat sesuatu. Ayo.”
Ari berjalan mengikuti Ata dengan bingung. Cowok itu berhenti di depan sebuah kamar. Dilambaikannya tangan ke arah pintu, meminta Ari untuk masuk. Ari membeku begitu membuka pintu tadi.
Oji dan Ridho, dua sahabatnya, kini berbaring tak berdaya di masing-masing ranjang yang terpisahkan oleh sekat berwana hijau. Kepala Ridho diperban, sementara Oji lebih parah. Cowok itu bertelanjang dada, dengan perban melilit di sekujur tubuh atasnya. Ari tercekat, tak bisa berkata apa-apa.
“Mereka...”
“Cuma dibius. Buat kelancaran obatnya,” jelas Ata.
Dengan gerakan kaku, Ari pertama-tama menghampiri Oji. Temannya itu mengenakan alat bantu pernapasan di hidung. Matanya terpejam rapat. Wajahnya babak belur di mana-mana. Ari menutup mata, tak sanggup melihat kondisi Oji yang begitu mengenaskan. “Maafin gue, Ji,” katanya lirih.
Kemudian dia beranjak mendekati Ridho. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan Oji. Sama-sama memakai alat bantu pernapasan dan memar di mana-mana. “Maafin gue, Dho,” bisik Ari.
Cowok itu menjatuhkan diri di satu-satunya sofa yang ada di ruangan itu. Terguncang. Diremasnya rambut dengan frustasi. Ia merasa bersalah. Kedua sahabatnya yang kini terkapar lemah itu murni karena kebodohannya. Kalau saja ia tidak meminta Oji dan Ridho menyelamatkan Sonia... Kalau saja ia mendengarkan Ata untuk tidak keluar menghadapi Brawijaya... Kalau saja...
“Ngerti kan lo sekarang kenapa gue harus libatin Gita?” kata Ata yang tiba-tiba berdiri di depannya.
Ari menunduk, menyangga kepalanya dengan tangan yang ia tumpukan di lutut.
“Lo nggak tau gimana cemasnya Mama tadi. Dia nangis nggak berenti-berenti nungguin lo siuman. Ini aja lo termasuk nggak dapet luka parah. Nggak kayak sobat-sobat lo itu, yang udah hampir mati.”
“Stop,” kata Ari lemas. “Mereka nggak akan mati.”
“Emang nggak. Belom maksud gue. Coba aja gue nggak muncul bawa Gita waktu itu. Udah beneran jadi almarhum mereka. Dan mungkin juga elo.”
“Gue bilang, stop!” desis Ari tajam. Diangkatnya muka menghadap ke arah Ata.
Ata menghela napas, menyerah. “Oke. Gue nggak akan bilang apa-apa lagi. Gue nggak akan nuntut terima kasih dari elo.”
“Keluar,” perintah Ari. “Bawa Mama pulang.”
“Lo juga harus pulang. Harus istirahat.”
“Nggak. Gue mau jagain mereka di sini.”
“Jangan bego,” tukas Ata. “Lo sendiri butuh dijagain.”
Ari menatap Ata tajam. “Gue bukan anak kecil lagi.”
Kedua kembar itu saling tatap. Kata-kata Ari barusan memicu emosi yang tidak mereka kenal. Memori keduanya seketika terlempar ke masa-masa kecil mereka, masa-masa di mana Ata masih selalu menjaga Ari ketika bermain bersama. Ya. Itu pernah terjadi. Ribuan hari yang lalu. Hingga kini nyaris tidak ada lagi yang tersisa dari masa-masa itu.
“Gue minta,” kata Ata lirih, hampir tidak bisa meredam emosinya yang mewujud dalam bentuk getaran suara. “Sekali aja. Lo turutin kata-kata gue.”
“Tapi...” Ari tak bisa meneruskan kalimatnya. Dengan enggan, akhirnya cowok itu menuruti permintaan Ata. “Oke. Gue balik.”

***

Ari berbaring menatap langit-langit kamar. Mama bersikeras agar dia menginap di rumah kontrakan. Kini untuk sementara Ari menempati kamar tamu. Semenjak ia berbaring sendirian di sini, pikirannya tak lepas dari Tari.
Ingin sekali ia mengabaikan janjinya pada Angga, karena bagaimanapun, Gita terluka bukan karena dirinya. Demi Tuhan! Apa Angga tidak bisa melihat situasi? Ari sudah menjauhi Gita, tidak pernah menyeret gadis itu lagi dalam urusannya dengan Angga. Dia tidak melanggar janjinya. Ata yang melakukannya. Dan Ata tidak tahu apa-apa soal perjanjian sialan itu. Sesungguhnya ini tidak adil. Ari tidak seharusnya menanggung apa yang bukan menjadi kesalahannya.
Tok, tok, tok..
Kepala Ata muncul dari balik pintu yang baru saja diketuk. “Belom tidur?”
Ari bangkit dari posisi tidur. Ia duduk bersandar pada kepala ranjang. “Ada apa?” tanyanya datar.
“Boleh gue ngomong sesuatu?”
Ari terdiam sejenak. Apapun itu yang akan dibicarakan oleh Ata, bisa dipastikan akan membuat kepalanya sakit. Tapi ia ingin tahu apa lagi yang diinginkan saudaranya. “Masuk,” katanya singkat.
Ata melangkah ke arahnya, kemudian duduk di sisi tempat tidur di dekat kakinya. Cowok itu terlihat gelisah. “Gue udah tau sekarang.”
“Tentang?”
“Perjanjian lo sama Angga.”
Ari menarik napas tajam. “Siapa yang cerita?”
“Gue iseng nanya ke Ical tadi. Dia jelasin ke gue panjang lebar. Gita nggak boleh disentuh. Itu aturan nomor satu dari elo. Makanya...” Ata berhenti sejenak saat Ari menatapnya dengan pandangan menusuk. Diam-diam ia menelan ludah. “Mm, makanya gue heran kenapa lo milih ngelawan Angga sampe mau mati gitu, padahal ada kartu as di tangan lo.”
Ari masih tak mengatakan apa-apa. Ata mendesah keras. Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan mondar-mandir sambil meremas rambutnya. Ketika akhirnya ia berhenti, tatapannya langsung jatuh ke Ari. “Gue nggak tau, oke?” katanya lirih. “Gue bener-bener nggak tau, Ri. Gue pikir cuma itu satu-satunya cara buat nyelametin kalian. Gue...” Ata menelan ludah lagi. “Gue minta maaf.”
Kata maaf yang sejak awal sama sekali tidak diharapkan oleh Ari, karena tidak akan mengubah keadaan. Ia tetap menatap Ata dengan dingin.
“Denger.” Ata kembali duduk di sebelahnya ketika Ari tidak menanggapi. “Gue minta tepatin janji lo. Lepasin Tari.”
Kedua alis Ari terangkat. Kaget. Setelah permintaan maaf yang ia kira benar-benar tulus keluar dari bibir Ata, sekarang saudaranya itu malah menyuruhnya melepaskan Tari? Kurang ajar! Sepasang bibir Ari terkatup, membentuk garis lurus yang keras. Otot-ototnya mengencang, sehingga tubuhnya langsung meneriakkan protes karena mereka masih kesakitan. Akhirnya Ari melemaskan tubuhnya lagi. Hanya tatapannya yang semakin menusuk mengarah ke Ata. “Apa lo bilang?” desisnya. “Coba ulangi sekali lagi.”
“Gue minta, lo lepasin Tari,” ulang Ata hati-hati.
“Tari milik gue,” kata Ari defensif. Nadanya rendah dan sarat ancaman, tanda ia tidak mau dibantah. “Selamanya tu cewek tetep milik gue.”
“Apa lo nggak ngerti keadaan?” sahut Ata putus asa.
“Jelasin ke gue, keadaan apa yang belom gue ngerti!” tukas Ari dengan rahang mengertak.
“Selama lo pingsan di rumah sakit, Angga nemuin gue. Dia minta gue mastiin lo tepatin janji lo. Dia minta gue jadi saksi kalo lo udah mutusin Tari. Dia minta gue ngawasin Tari selama di sekolah, mastiin lo nggak deket-deket lagi sama tu cewek.”
“Dan lo setuju?” Ari terperangah. “Bener-bener bajingan lo, Ta! Lo nggak mikirin perasaan gue? Lo dukung si bangsat itu? Lo sekongkol sama dia buat misahin gue sama Tari? Gitu, hah?!”
“Dia ngancem, oke?!” bentak Ata, berusaha membela diri. “Menurut lo, apa lebih baik gue biarin dia macem-macem ke Ridho sama Oji yang lagi terkapar gitu?”
Ari tersentak. “Nggak!” desisnya cepat. “Dia nggak akan berani macem-macem ke sahabat-sahabat gue!”
“Siapa bilang dia nggak berani?” Ata melemparkan tatapan mencemooh. “Jangan terlalu naif, Ri. Lo pikir Ridho sama Oji sekarang tiduran di ranjang rumah sakit gara-gara siapa? Ulah siapa?”
Ari terdiam. Kepalanya berdenyut sakit. Ia memijit pelipisnya. Ata yang menyaksikan kondisi adik kembarnya, akhirnya memutuskan untuk mengakhiri percakapan. Cowok itu bangkit. “Lebih baik sekarang lo istirahat. Baru lo pikirin,” sejenak, ia mencondongkan tubuh ke arah Ari, “putusin Tari, relain dia buat Angga, ato lo liat sahabat-sahabat lo mati.”
Tubuh Ari membeku. Entah bagaimana kalimat yang diucapkan Ata terasa seperti ancaman langsung. Bukan dari Angga, melainkan dari Ata sendiri. Ini bukan pilihan. Bukan haknya untuk membuat keputusan. Ini adalah keharusan. Tidak mungkin ia mengorbankan nyawa kedua sahabat karibnya demi Tari. Bukan tak mungkin Tari juga akan ikut terseret dalam bahaya kalau Ari bersikeras menahan cewek itu di sisinya. Jadi... lepaskan gadis itu!

***

Ari melempar kepalanya ke bantal-bantal, dan otomatis mengerang kesakitan. Kepalanya serasa akan meledak. Ia tekan kepalanya kuat-kuat hingga denyutan menyiksa itu mereda. Setelah itu, diraihnya ponsel di meja samping tempat tidur. Masih dalam posisi tiduran, ia memutuskan untuk menelepon Tari.
“Kak Ari!” Ari menjauhkan ponselnya sejauh lengan begitu Tari menjawab panggilannya dengan jeritan.
“Hai,” gumamnya kemudian.
“Kak Ari, gimana keadaan elo? Gue denger... lo masuk rumah sakit.” Suara Tari mendadak lirih dan bergetar. Gadis itu mulai menangis. Oh, tidak!
“Hei, Tar. Ssstt... Gue baik-baik aja. Gue nggak nginep di rumah sakit, kok. Gue udah boleh pulang,” kata Ari menenangkan. “Dari mana lo tau gue di rumah sakit?”
Tari menghembuskan napas lega. Diusapnya air mata dari pipi. “Kak Ata,” jawabnya, tidak berniat menjelaskan apa-apa. “Gue tadi mau jenguk, tapi nggak ada orang di rumah, jadi gue harus jaga rumah. Gue mau telepon, takutnya gangguin elo istirahat.”
Dada Ari langsung menghangat. Mendengar suara gadis itu seolah mengangkat seluruh bebannya. Cowok itu memejamkan mata, menikmati kehangatan dari bentuk kekhawatiran Tari atas dirinya. Gadis itu begitu perhatian. Kemudian dia dihadapkan kepada permasalahan pokok di sini. Dia harus melepas gadis itu. Harus! Tapi tidak sekarang. Tidak melalui telepon.
“Gue ke rumah elo besok pagi.”
“Eh? Ngapain, Kak? Lo istirahat aja di rumah. Gue yang jenguk ke situ.”
“Nggak,” tolak Ari tegas. “Gue yang ke situ. Titik.”
“Lagi sakit, masih aja bossy,” gerutu Tari, memunculkan senyum tipis di bibir Ari. “Ya deh. Besok gue tunggu. Tapi janji lo nggak akan maksain diri, oke?”
“Janji.”
“Ya udah, istirahat deh. Kayaknya suara lo lemes banget.”
“Yah, badan gue kayak abis ditabrak truk rasanya.”
“Masa?” Tari ternganga. “Separah itu? Nah, mendingan lo tiduran aja di rumah. Nggak usah ke rumah gue.”
“Nggak, nggak,” sahut Ari cepat. “Cuma bercanda. Gue nggak selemah yang lo pikirin, tau. Pokoknya gue ke rumah lo besok. Sampai ketemu.” Karena tak ingin dibantah lagi, Ari segera menutup telepon.
Suasana seketika hening. Ari tahu sebenarnya dia masih ingin mendengar suara Tari. Ia ingin mendengarnya sepanjang malam ini. Ia ingin menghabiskan waktu bersama gadis itu selama dia masih memiliki kesempatan. Ia tidak ingin tidur. Ia tidak ingin hari besok datang. Ia tidak ingin melepas gadis itu.
“Maafin gue, Tar,” katanya lirih. Matanya terpejam perlahan. Tanpa bisa dicegah, setetes air mata mengalir menuruni pelipisnya.

***

“Ari, mau ke mana kamu, Nak?” Mama yang baru saja memasuki kamar terkejut melihat Ari memakai jaketnya, bersiap untuk pergi.
“Pergi sebentar, Ma,” sahut Ari. “Ada urusan penting.”
“Tapi kamu kan...”
“Ari baik-baik aja,” potong Ari cepat. Ia melangkah mendekati Mama, lalu mencium keningnya lembut. “Mama nggak usah khawatir, oke?”
Akhirnya sang Mama luluh, meski kecemasannya tidak surut. Wajah Ari terlihat pucat. Cara berjalannya menyiratkan bahwa putra bungsunya itu masih kesakitan. Setelah mendapat izin, Ari melangkah keluar, dan langsung menemukan Ata yang sedang menonton televisi.
“Mau ke mana?” tanya Ata.
“Menurut lo?” sahut Ari tak acuh, berjalan begitu saja melewati Ata tanpa menoleh.
“Tunggu sebentar.” Ata mengikutinya sampai halaman. Ditariknya lengan Ari sebelum saudaranya itu mencapai pagar. “Ke rumah Tari?” tanyanya begitu Ari menghadap ke arahnya.
“Gue nggak mau sahabat-sahabat gue mati,” jawab Ari rendah setelah terdiam sesaat. Dilepasnya cekalan Ata, kemudian berjalan keluar pagar. Ia memang tidak membawa motornya kemari. Motor hitam itu masih bertengger manis di parkiran sekolah. Tidak ada yang mengambilnya sejak dia masuk ke rumah sakit. Jadi terpaksa cowok itu berjalan keluar kompleks untuk mencari taksi.
Sepanjang perjalanan, Ari menghela napas berkali-kali. Ini bukan sesuatu yang ia rasa bisa ia lalui. Bahkan cowok itu tidak menyiapkan kata-kata yang akan disampaikannya kepada Tari. Dengan sepenuh hati, ia berharap Tari mau mengerti. Atas kesalahan fatal saudara kembarnya yang membuat ini semua harus terjadi.
Taksi berhenti di depan jalan kecil menuju rumah Tari. Ari menarik napas panjang-panjang. “Pak, tungguin sini. Saya nggak lama. Bisa?”
Supir taksi di depannya mengangguk. “Bisa, Mas.” Agak curiga juga supir itu saat melirik kondisi Ari dari spion tengah. Ari penumpang pertamanya hari ini, cukup pagi untuk ukuran orang yang membutuhkan taksi di hari Sabtu, dan tampang cowok itu sudah seperti orang mau gantung diri.
Ari mengulurkan selembar uang berwarna biru. “Buat beli rokok dulu, Pak.”
Setelah itu ia keluar. Dengan langkah gamang, ia menghabiskan jarak yang memisahkannya dengan rumah Tari. Tekad bajanya perlahan runtuh begitu ia berdiri di depan pagar. Tangannya gemetar ketika membuka pintu pagar perlahan agar tidak menimbulkan suara.
Tari membuka pintu setelah Ari mengetuk dua kali. “Kak Ari?” Cewek itu terperangah kaget melihat kondisi Ari yang sepucat mayat.
“Hai,” sapa Ari sambil berusaha tersenyum. Bibir dan tenggorokannya terasa kering. “Boleh gue masuk?”
“Mama sama Papa lagi...” Tari menggantung ucapannya. Setelah mengerutkan kening seperti tengah berpikir, akhirnya cewek itu menggeleng-geleng. “Ng... nggak pa-pa. Masuk aja.” Ia bergeser dari ambang pintu, memberi jalan untuk Ari.
“Nyokap Bokap lo lagi pergi?”
Tari mengangguk. “Dari kemaren gue di rumah sendirian. Keluarga lagi nginep di rumah saudara di Bandung.”
“Kalo gitu kita bicara di luar aja.”
“Nggak. Nggak pa-pa. Masuk aja. Lo lagi sakit gini.” Tari meraih tangan Ari, kemudian menyeretnya masuk dan mendudukkannya di sofa. “Mau minum teh?”
Ari menggeleng. “Gue nggak lama.”
“Oh... oke.” Tari mengangguk ragu-ragu. Sikap Ari aneh sekali. Cewek itu duduk dengan hati-hati di sebelah Ari. “Gimana keadaan lo?”
“Gue... baik,” jawab Ari pelan tanpa menatap Tari. Ia terlihat sangat tertekan.
“Kak, ada apa?” tanya Tari. Karena tidak kunjung mendapat jawaban dari cowok di sebelahnya, tanpa bisa menahan lagi, Tari menubrukkan dirinya ke pelukan Ari, melingkarkan lengannya erat-erat pada cowok itu. “Lo bikin gue kuatir, Kak.”
“Hei, Tar. Ng... pelan-pelan.” Ari berusaha untuk tidak bergerak atau mengerang. Wajahnya mengernyit menahan sakit.
Tari berjengit seperti baru sadar. “Sori, sori,” katanya panik. “Sakit?”
Tubuh Ari merileks. “Nggak parah banget. Cuma... kaget aja.”
Tari menatap Ari dengan prihatin. “Kenapa sih lo maksain ke sini kalo lo masih kesakitan gitu?”
Ari menelan ludah. Ini dia saatnya. “Ada yang mau gue omongin. Nggak bisa lewat telepon.” Diraihnya tangan Tari, kemudian menyelipkan jemarinya di antara jemari gadis itu. Ia butuh pegangan, dan juga butuh tindakan pencegahan kalau gadis itu akan berlari menghindar nanti. Kedua matanya terarah pada jari mereka yang berpaut. Ari merasa tidak memiliki cukup kekuatan untuk menatap langsung ke mata Tari. “Tapi gue minta, jangan lari. Jangan marah. Dengerin gue dulu.”
Tari menatapnya bingung. “Ng.. emangnya...”
“Janji sama gue!” potong Ari cepat, tidak memberi Tari kesempatan untuk bertanya. “Tolong,” suaranya sekarang lirih, namun penuh penekanan, juga permohonan. “Janji sama gue, lo nggak akan membenci gue.”
“Kenapa sih, Kak?” tanya Tari tidak sabar.
“Sialan, Tar. Kenapa sih lo nggak bisa bilang “ya gue janji” gitu aja? Lo nggak perlu nanya-nanya,” desah Ari dengan nada putus asa. Cowok itu masih menunduk.
“Tapi elo...”
“Kita putus.”
Suara lirih Ari seperti tidak nyata. Tari hampir tidak mempercayai pendengarannya sendiri. “Apa?” bisiknya. Jantungnya serasa menghilang dari rongga dada. Mulutnya ternganga. Ingin mengatakan sesuatu, namun tak ada suara yang keluar.
“Plis, Tar. Jangan minta gue ngulangin kalimat itu lagi.” Ari kali ini mengangkat muka. Wajahnya terlihat begitu tersiksa.
“Pu..tus?” Tari menatap kosong. “Kita... putus?” Ia refleks menarik tangannya, namun Ari menggenggamnya lebih erat. “Jangan!” desis cowok itu. “Plis, jangan lari.”
“Kenapa?” Tari menunduk. Suaranya hampir tidak terdengar kalau saja suasana di sekitar mereka tidak benar-benar senyap.
“Percaya sama gue. Gue bener-bener terpaksa, Tar.”
Tari tidak menyahut. Cewek itu tetap menunduk, menatap tangannya yang digenggam erat oleh Ari. Lalu, tiba-tiba saja air matanya jatuh, menetes tepat di antara jemari mereka.
“Hei, Tar. Ssst, tolong, jangan nangis.” Ari menguraikan pegangannya, lalu ganti memeluk cewek itu. Ditekannya kepala Tari di dada, tepat di mana sumber rasa sakitnya. Rasa sakit yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perkelahian kemarin. Rasa sakit ini murni dari jantungnya, yang seolah memompa lahar panas. Menyebarkan perih ke seluruh tubuh. Siksaan yang hampir tak tertahankan.
“Kenapa, Kak? Kenapa?” tanya Tari dengan isakan teredam. “Lo... marah... sama gue?”
“Jangan pernah berpikir ini semua kesalahan elo.” Ari mengetatkan pelukannya. Mempersiapkan gadis itu, juga mempersiapkan diri. Ditelannya ludah susah payah. Kerongkongannya kering kerontang, menimbulkan rasa perih ketika ia menelan. “Gita terlibat di tawuran kemaren.”
Ari bisa merasakan tubuh yang dipeluknya menegang. Sedetik, tubuh itu memberontak, ingin melepaskan diri. “Jangan, Tari. Jangan,” bisik Ari, begitu sarat permohonan. Cowok itu panik dan ketakutan. “Plis, jangan lari dari gue.”
Tari akhirnya berhenti memberontak karena pelukan Ari membatu. “Lo libatin Gita?” bisiknya dengan nada tak percaya.
“Gue nggak bermaksud...”
“Lo lupa sama perjanjian itu? Lo nyerahin gue ke Angga?” Kedua tangan Tari mengepal di sisi tubuhnya yang masih dipeluk erat.
“Dengerin gue dulu...”
Tari mendorong dada Ari kuat-kuat. Terpaksa ia mengeraskan hati saat melihat cowok itu kembali mengernyit kesakitan. Pelukan Ari terurai. Kini keduanya saling bertatapan. “Nggak ada yang perlu dijelasin,” kata Tari dengan suara dan tubuh bergetar oleh amarah. Cewek itu lalu bangkit ke pintu depan, berdiri di sebelah daun pintunya yang terbuka. “Keluar.”
Ari tercekat. “Tar...”
“Keluar,” potong Tari. “Keluar dari rumah gue ato gue bakal teriak.”
“Tapi gue nggak...”
“Keluar! Gue nggak mau denger apa-apa dari elo!” Tari mulai berteriak sambil menutup telinga.
Ari menyerah. Cowok itu mendesah sebelum berdiri dari sofa. Ia berhenti tepat di depan Tari. Kembali kedua pasang mata itu bertemu. Sepasang mata hitam dan sepasang mata cokelat. Keduanya sama-sama penuh luka. Sama-sama tersiksa. Sama-sama menyimpan air mata. Sesaat, tidak ada yang bersuara di antara mereka. Bumi seolah berhenti berputar, menunggu salah satu di antara keduanya bergerak. Jam di dinding pun seolah tidak berdetak. Keduanya tersesat. Tidak bisa menemukan satu sama lain.
Ari menatap Tari dengan beribu emosi. Ia ingin berteriak keras-keras untuk melegakan dadanya. Namun teriakan itu tak bisa keluar. Hanya bergaung di jurang tak terjembatani yang kini memisahkan dirinya dengan Tari. Gadis ini... luput dari genggamannya. Tak teraih lagi. Jiwanya yang telah takluk dan terikat kuat oleh cintanya kepada gadis ini, perlahan-lahan terkulai. Mati.
Dengan begitu hati-hati, ia rengkuh tubuh cewek itu. “Gue harus bilang apa biar lo percaya?” bisiknya serak. Air matanya jatuh di pundak Tari. Air mata penyesalan, juga keputusasaan. “Maafin gue, Tar. Maaf.”
Tari memejamkan mata. Hatinya remuk. Dadanya sesak. Kenapa harus berakhir seperti ini? Semua mimpi indah itu, semua kenangan itu, perlahan memudar, meninggalkannya terseok sendirian.
“Gue nggak pernah mau ngelepasin elo, Tar. Tapi gue terpaksa. Bener-bener terpaksa.” Dengan enggan, Ari melepaskan pelukannya. Diangkatnya dagu cewek itu, memaksanya untuk menatap matanya. “Lo harus inget itu.”
Tari merasakan sapuan lembut di pipinya. Hatinya sekarang porak poranda dilanda badai hebat. Namun ada sebentuk gelenyar hangat mengaliri tubuhnya saat kemudian Ari beralih mencium kedua kelopak matanya yang terpejam.
Ari ikut memejamkan mata saat menyandarkan keningnya ke kening Tari. “Gue cinta sama elo, Jingga Matahari,” katanya selirih hembusan angin. “Selamat tinggal.”
Kalimat itu meruntuhkan pertahanan Tari, membuka gerbang air matanya hingga mengalir tak terkendali. Amarahnya kini kehilangan arti. “Jangan pergi,” isaknya pelan, memohon sepenuh hati.
Namun Tari merasakan kening dan kedua tangan Ari terlepas dari tubuhnya, kemudian hawa di sekitarnya menjadi dingin. Dalam kegelapan, ia mendengar langkah kaki Ari yang menjauh. “Jangan pergi, Kak. Jangan tinggalin gue.”
Tari tak mendengar apa-apa lagi. Suasana di sekitarnya benar-benar hening sekarang. Tari membelalakkan mata. Ari sudah pergi. Cowok itu tidak terlihat lagi. Pintu pagar depan tertutup rapat. Kejadian barusan seperti mimpi. Tari memejamkan mata lagi, berharap bahwa ini benar-benar mimpi. Tapi dia tidak bisa menyangkal. Ucapan selamat tinggal dari Ari terus bergema di kepalanya.
Setelah menutup pintu, ia meluruh jatuh. Tenggelam dalam tangisan hebat. Untuk seseorang yang baru saja meninggalkannya. Untuk belati yang tanpa ampun menyiksa nuraninya. Untuk pelukan perpisahan yang perlahan membunuhnya..
“Gue juga cinta sama elo, Matahari Senja.” Itulah jawabannya!

***

Ari hampir saja membalikkan badan dan meraih Tari dalam pelukan lagi saat cewek itu memohon kepadanya untuk tidak pergi. Tapi dia tidak bisa tinggal. Tidak kalau nyawa kedua sahabatnya yang menjadi taruhan. Jadi dengan segenap tenaga, ia langkahkan kaki keluar, sama sekali tidak menoleh lagi ke dalam rumah. Ditinggalkannya tempat itu, bersama seseorang yang berbagi kehancuran bersamanya.
Ya. Ari hancur. Sama seperti Tari. Kalau pertahanannya tidak begitu kuat, bisa dipastikan ia juga akan terjatuh ke tanah dan menangis. Ketika kemudian tiba di taksi yang masih menunggunya, Ari memutuskan untuk pulang ke rumahnya, bukan ke rumah Mama. Ia butuh waktu untuk sendiri. Ia butuh waktu untuk menerima kenyataan ini. Tidak akan ia biarkan si brengsek Ata menonton kejatuhannya.
Ari menghela napas berat. Dadanya masih sakit. Dan akan terus seperti itu karena ia tak lagi mempunyai obat penawar. Gadis yang selama ini berhasil menutup luka-lukanya kini ia biarkan pergi. Bukan hanya membuka kembali setiap balutan, tapi juga menorehkan luka lebih dalam di sana.
Tiba di rumahnya, Ari melesat ke kamar, mengunci pintu, lalu ambruk ke tempat tidur. Ia mati-matian menahan air mata, hingga akhirnya jatuh tertidur karena kelelahan.






Bersambung...




Nyesek sendiri baca part ini :'(
Maaf kalo part ini cuma dikit, udah nggak kuat mau nambahin *lambaikan tangan ke kamera*
Mungkin untuk part-part selanjutnya masih konsen sama hubungannya Ari-Tari yaa
Yoook komeeen ^^

Minggu, 19 April 2015

Jingga untuk Matahari #fanfiction-18

“Ta?” panggil Ari, menyentakkan Ata dari lamunannya tentang Aira. “Lo kenapa, sih?” tanya Ari bingung.
Ata buru-buru menggeleng. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Tenggorokannya kering. Berbagai macam emosi berkecamuk dalam benaknya. “Balik gih,” katanya pelan, nyaris tak terdengar.
“Tunggu!” Ari mencekal lengan Ata saat saudara kembarnya itu membalikkan badan. Ditariknya lengan itu hingga Ata berputar menghadap ke arahnya lagi. “Bilang dulu sama gue. Lo ada urusan apa sama Angga?”
Urusan hidup dan mati, Ri. Lo nggak akan ngerti. Ata menelan ludah susah payah tanpa menjawab pertanyaan Ari.
Kepada seseorang yang telah ia lukai begitu dalam. Kepada hati yang telah ia permainkan begitu kejam. Kepada gadis yang telah ia hantarkan ke ambang kematian. Kalau bisa, Ata ingin berlutut memohon ampun kepada Aira. Namun kesempatan itu telah lama hilang, bahkan nyaris tidak pernah ada sama sekali. Aira terlanjur pergi. Tak akan bisa kembali sekeras apapun Ata mencari dan menanti. Dalam setiap doa yang ia panjatkan, selalu terselip teriakan keras menghakimi diri. Karena jauh di dalam hati, Ata menyadari, ada sebuah rasa yang tak terpahami. Antara dia, dengan gadis yang kini telah terbaring dipeluk bumi.
Tak ada seorang pun yang tahu. Ata lebih dari menyesal. Tapi tetap, permohonan maaf darinya tak akan pernah terucap. Selamanya hanya akan menggantung di batas dimensi dunia mereka tanpa pernah tersampaikan.
Kini Ata hanya menemukan satu jalan, yang kemudian dia tempuh demi meringankan rasa bersalahnya. Untuk jiwa yang masih tertinggal bersama kepingan hati, Ata ingin menebus dosa masa lalunya. Untuk Angga, hati yang tanpa sengaja ikut ia hancurkan atas kematian Aira, Ata ingin menemukan gadis pengganti bagi cowok itu, sekadar sebagai penutup luka dan pengisi kekosongan. Dan entah ini ironi atau tragedi, gadis yang ia cari selama ini tiba-tiba muncul, hadir mendampingi saudara kembarnya.
Tari memenuhi segala kriteria yang ia ajukan sebagai gadis pengganti. Ata menemukan sisi “Aira” dalam diri Tari. Manis, lucu, galak, enerjik, pemberontak, dan yang paling penting, ternyata Angga menyukai gadis itu! Makin lengkaplah persyaratan yang terpenuhi. Jadi Tari adalah kunci utama dari segala rencananya. Kalau memang hanya ini satu-satunya cara, Ata tak akan segan-segan meloloskan gadis itu dari genggaman Ari, kemudian menyerahkannya kepada Angga. Satu beban terangkat, hutang masa lalu terbayar sudah!
Ketika akhirnya Ari kehilangan Tari, Ata yakin rencana-rencananya yang lain otomatis akan berjalan sesuai harapan.
“Nah, kan. Bengong lagi,” tegur Ari. Diguncangnya lengan Ata. “Ada masalah apa sih, Ta? Kok lo aneh banget gini?”
Tatapan Ata mulai terfokus begitu ia menemukan kembali kendali dalam dirinya. Kemudian dilemparnya tatapan itu ke kedua mata Ari, yang sekelam matanya. “Lo kenal sama Aira?” tanya Ata lirih, menyerupai bisikan. Diam-diam ia dicekam ketakutan, karena kalau ternyata Ari masih mengingat Aira, itu artinya dia sedang melakukan pengakuan dosa sekarang. Tak bisa menghindar lagi.
Kening Ari berkerut mendengar nama itu. “Aira siapa? Tadi nanyain Angga. Kok jadi Aira?”
“Angga. Aira. Lo inget sesuatu tentang nama-nama itu? Apapun? Kenalan lo dulu? Atau siapapun yang pernah lo temui dan kebetulan namanya Aira?” kejar Ata. Tanpa sadar intensitas kecemasannya meningkat, nyaris membuat suaranya tercekik.
Kerutan di kening Ari kian rapat, tanda cowok itu berpikir keras. Kalau Ata begitu ingin ia mengingat sesuatu tentang seseorang bernama Aira, ini pasti hal yang penting, dan mungkin bisa memberi sedikit petunjuk atas keanehan saudara kembarnya itu. Tapi akhirnya Ari menggeleng, menyerah. “Nggak. Gue nggak ngerasa pernah kenal sama yang namanya Aira.”
Ata mendesah. Sarat kekecewaan, namun juga kelegaan. Wajar kalau Ari tidak ingat. Kejadian itu hampir 3 tahun yang lalu. Dan Aira hadir di antara berjuta gadis lain yang berusaha merebut perhatian Ari. Hanya satu nama, dan beberapa kali pertemuan yang bisa dihitung dengan jari, tentu tidak akan melekatkan nama Aira begitu saja dalam memori Ari.
“Emang kenapa?” tanya Ari lagi, mulai putus asa bertanya kepada Ata.
“Nggak. Nggak pa-pa. Udah sono, lo balik. Udah malem.”
Ari menghela napas, gagal membujuk Ata untuk bicara. Tanpa bertanya-tanya lagi, ia memutuskan pergi dari situ.

***

Motor itu memasuki garasi yang gelap, sehingga ketika Ari mematikan mesinnya dan lampu depan motor padam, ia nyaris tak bisa melihat apa-apa. Setelah mengunci pintu-pintu di belakangnya, Ari memasuki rumahnya yang juga gelap gulita, menandakan tidak ada seorang pun di dalamnya. Beberapa hari terakhir ini ayahnya tidak terlihat. Dan Ari merasa bersyukur karenanya. Sambil menghidupkan lampu di setiap ruangan, ia merogoh ponsel dari saku celana. Jari-jarinya dengan cepat menekan nomor ponsel Tari. Panggilannya dijawab pada dering ketiga.
“Ya, Kak?” Suara Tari yang terdengar lebih tenang berhasil menghangatkan hatinya.
“Lagi apa?” tanya Ari lembut. “Udah mandi, kan? Makan malem?”
“Barusan mandi. Males makan, nggak laper.”
Ari mendesah jengkel. “Lo harus makan, Tar.”
“Tapi gue nggak laper, Kaaak.”
“Bandel,” dengus Ari. Ia telah tiba di kamarnya. Ditekannya sakelar di sebelah pintu sehingga lampu menyala terang. Ia menjepit ponsel di antara telinga dan bahu ketika kedua tangannya menutup jendela dan gorden yang masih terbuka. “Sakit baru tau rasa lo. Pokoknya kalo lo nggak mau makan, gue ke rumah lo sekarang. Gue suapin sampe abis satu piring, dan gue pastiin itu atas izin dari Nyokap lo.” Begitu jendela dan gorden yang menghiasi bingkainya tertutup rapat, cowok itu merebahkan diri di tempat tidur.
Sementara itu di seberang, Tari meringis. Ancaman dari Ari terdengar begitu manis. “Iya, deh. Gue makan abis ini.”
“Janji?”
“Janji.”
“Kalo sampe lo ketauan boong?”
“Gue nggak boong.” Tari mendelik gemas.
“Tapi firasat gue kok nggak enak ya,” pancing Ari.
Akhirnya Tari menyerah. Gadis itu beranjak dari tempat tidurnya, kemudian melangkah ke dapur. “Iyaa, gue makan,” gerutunya ke ponsel.
Ari tersenyum lebar. “Bagus. Gue sebenernya pingin ke situ nemenin makan, tapi udah malem. Gue temenin di telepon aja, deh. Jadi gue tau lo beneran makan nasi apa nggak.”
Lagi-lagi Tari meringis mendengar kata-kata Ari. Meski sarat akan ancaman, namun memang seperti itulah bentuk sayang Ari kepadanya. Sejenak ia melupakan permasalahannya dengan Ata. Ia menyendok nasi sesedikit mungkin, berniat mengunyahnya pelan-pelan sambil mengobrol sehingga Ari tidak menyadari ia makan mungkin hanya dua-tiga sendok. Karena dirinya benar-benar tidak lapar saat ini.
“Udah ambil nasi?”
“Udah.” Tari menatap ke piringnya sambil tersenyum puas.
“Tambah lagi. Firasat gue bilang kalo di piring lo cuma ada dua sendok nasi.”
Senyuman Tari memudar. Gadis itu kini menganga lebar. Gila. Pakai ilmu batin apa si Ari? “Kok kayaknya firasat lo kuat banget ya?” sindir Tari kecut, merasa tak bisa lolos sedikitpun dari Ari meski mereka sedang tidak bersama.
Ari terkekeh lembut. “Kalo urusannya sama elo sih gampang, Tar. Buruan tambah nasinya, trus makan.”
Mau tak mau Tari menurut. Ia menambah satu sendok lagi ke piringnya, kemudian duduk di salah satu kursi makan. Didengarnya Ari mendesah. “Cuma nambah satu sendok kan lo?”
Bener-bener ni cowok... Tari meringis. “Yang penting nambah kan? Kok lo tau banget gitu, sih? Ato jangan-jangan lo ada di sini ya sekarang lagi ngeliatin gue?” Gadis itu celingukan sesaat memindai seluruh dapurnya. “Ngumpet di mana lo? Kalo ngumpet di belakang lemari dapur ati-ati aja. Suka ada cicak di situ.”
Ari meledak dalam tawa. Sementara wajah Tari perlahan memerah mengingat “serangan cicak” yang pernah dilancarkan Ari di sekolah untuk mengganggunya. Bego, ngapain sih gue nyebut-nyebut cicak sialan itu?
“Gue nggak takut sama cicak,” kata Ari di sela tawanya. “Paling jijik dikit. Yang jelas sih nggak sampai pingsan.”
Wajah Tari tambah memerah begitu kejadian memalukan itu terputar dalam benaknya. Untung saja ia tidak berhadapan langsung dengan Ari saat ini. Bisa-bisa cowok itu menggodanya tanpa henti kalau melihat wajahnya yang semerah kepiting rebus. Ia buru-buru menyuap sesendok penuh nasi dan lauk ke mulutnya. Pasrah dengan godaan Ari.
Setelah reda dari tawa, Ari rupanya belum puas. Kesempatan untuk menggoda ceweknya selalu menjadi saat yang ia tunggu-tunggu. “Nggak. Gue nggak lagi di situ. Ato lo mau gue ke situ? Gue berangkat sekarang nih kalo lo emang minta. Dan... gue bisa bantu lo usir cicak-cicak di balik lemari dapur lo.”
“Nggak. Nggak perlu,” ketus Tari, pula-pula galak. Disuapnya lagi satu sendok besar nasi. Tau-tau nasi di piringnya sudah habis. Gagal sudah rencana untuk mengecoh Ari.
“Udah selesai makannya?” tanya Ari terkejut begitu mendengar gemericik air wastafel saat Tari mencuci piringnya. Cewek itu meletakkan ponsel di konter dekat wastafel dalam keadaan speaker aktif.
Tari baru menjawab setelah meletakkan kembali piring dan sendok yang telah bersih di rak. “Udah. Dilarang protes! Gue udah makan. Udah kenyang. Lo nggak bisa maksa gue lagi.”
Ari berdecak. “Ya deh. Sekarang istirahat.”
Bossy banget,” dengus Tari pelan.
“Gue denger itu, Sayang,” sahut Ari dengan nada manis dibuat-buat.
Tari melangkah ke kamarnya dalam diam. “Jadi?” tanyanya begitu duduk di tempat tidur.
“Apanya?” Ari balik bertanya bingung.
“Ada lagi yang mau lo omongin?”
Ari terdiam sejenak. “Mau cerita apa sebenernya yang bikin elo nangis tadi sore?” tanyanya penuh harap.
Tari sadar cepat atau lambat Ari akan bertanya. Ia menyesali reaksi berlebihannya tadi sore. Kalau saja ia bisa memutar balik waktu, ia tidak ingin menangis di hadapan Ari. Ia tahu ia telah membuat cowok itu cemas. Dan Ari terkenal tidak suka berkompromi dengan siapapun yang membuatnya tidak tenang.
“Tar?”
“Gimana kalo lo aja yang cerita?” sahut Tari. “Kayaknya lo masih utang penjelasan deh ke gue. Soal kepindahan Ata.”
Ari menghela napas. “Kenapa sih tiba-tiba lo pingin tau banget?”
“Kenapa sih lo nggak mau ngasih tau?” balas Tari.
Karena tak mendapat jawaban yang memuaskan, Ari mengubah redaksi pertanyaannya. “Tar, jujur sama gue. Apa bener...” Cowok itu terdiam sejenak, mencari kata-kata yang pas, “Tadi sore lo nangis gara-gara Ata?”
Pertanyaan itu membuat Tari terkesiap. “Kok lo tiba-tiba nanya gitu?”
“Stop, stop,” potong Ari frustasi. “Stop jawab pertanyaan gue dengan pertanyaan balik. Gue mau jawaban yang pake titik, bukan pake tanda tanya lagi, oke? Jangan bikin gue jengkel, Tar.”
Tari menggigit bibir bawahnya. “Ng... kita bahas besok aja ya, Kak. Gue ngantuk.”
Ari memutuskan untuk mengalah. Ia menghembuskan napas perlahan, menahan kesabarannya. “Oke. Tidur gih. Malem, Tar.”
“Malem, Kak.” Tari memutuskan sambungan terlebih dulu. Diingatkan lagi tentang masalah Ata membuatnya gelisah. Ia bangkit menuju meja belajar untuk menyiapkan jadwal pelajaran besok, dan baru teringat kalau ada PR Matematika yang belum dikerjakannya.
“Mampus! Kelupaan!” Tari menepuk jidat.

***

Pagi itu begitu tenang. Tidak ada sesuatu yang tidak normal. Segalanya berjalan seperti biasa sampai motor yang ditumpangi Ari dan Tari berhenti di parkiran sekolah. Keduanya berjalan bersama menyusuri koridor utama tanpa kecurigaan sama sekali, tidak menyadari adanya sepasang mata yang mengawasi. Sepasang mata yang bahkan sudah tertancap lurus-lurus ke arah mereka sejak motor Ari memasuki gerbang sekolah. Tapi si pemilik mata setajam elang itu berada jauh dari keberadaan keduanya, berdiri bersandar pada salah satu pilar lantai atas gedung kelas 12, hanya mengamati dalam diam.
Ata menarik napas tajam saat melihat Ari mengulurkan tangan untuk mengusap kepala Tari sebelum keduanya berpisah. Hatinya disesaki perasaan aneh melihat bagaimana luwesnya Ari menyentuh Tari, bagaimana nyamannya gadis itu menerima sentuhan Ari, juga bagaimana keduanya saling bertatapan dan tersenyum. Semuanya terlihat begitu... normal. Begitu biasa. Begitu wajar. Seolah kedua insan itu telah saling mengenal dan saling menerima selama bertahun-tahun. Kemudian Ata dihadapkan pada kenyataan yang sudah jelas divisualkan. Ari mencintai gadis itu!
Tari menaiki tangga menuju kelasnya, sementara Ari berbelok ke lapangan, menghampiri teman-temannya. Kini tatapan tajam Ata hinggap di kedua sahabat karib Ari. Ridho dan Oji. Pion-pion lain dalam permainnya. Dan hari inilah yang telah dipilihnya menjadi hari untuk membentangkan papan catur, sehingga ia bisa mulai menggerakkan pion-pion miliknya sesuai keinginan.
Sementara itu Ari yang biasanya selalu waspada, kini sama sekali tidak mengira adanya bahaya yang mendekat, yang ironisnya, berasal dari saudara kembarnya sendiri. Bahaya yang mengincar dia, ceweknya, serta dua sobat karibnya. Bahaya yang menjadi mata pisau untuk tali hubungannya dengan Tari, siap memotongnya. Cowok itu terlihat santai setelah memastikan Tari baik-baik saja pagi ini. Ia bergabung bersama Ridho, Oji, dan beberapa teman sekelasnya yang lain yang sedang duduk-duduk di bawah pohon di tepi lapangan.
“Nanti jadi futsal, kan?” tanya Ridho.
Ari mengangguk. “Jadi, dong. Akhir pekan gini.”
“Mana sodara kembar lo?” tanya Eki. “Nggak berangkat bareng?”
“Nggak. Gue bareng Tari.”
“Duileee, cewek mulu yang dipentingin. Sodara serahim pun dilupain,” cibir Eki lagi.
“Ya mending bareng cewek, lah,” sergah Oji. “Enak gitu kan boncengan sama cewek, apalagi pacar sendiri. Biar orang-orang yang ngeliat pada ngiri. Kalo boncengan sama yang sejenis sih nggak ada untungnya lagi. Nggak bisa dipeluk, nggak ada manis-manisnya.”
Ari tertawa, diikuti teman-temannya yang lain. Dirangkulnya bahu Oji di sebelahnya. “Bener tuh. Elo kelamaan jomblo kali, Ki. Ketauan nggak pernah boncengan sama cewek.”
“Bukan jomblo, Ri,” kata Eki membela diri. “Single gitu looh. Single! Gue kan udah kelas 12, musti konsen ujian, rajin belajar, nyari perguruan tinggi, nggak bisa mikir cewek dulu.”
“Ngeles mulu looooo!!” seru teman-temannya serentak, dan beberapa tangan langsung melayang untuk menjitak Eki. Mereka tahu persis bagaimana teman mereka itu kini tengah naksir mati-matian seorang adik kelas, anak kelas 11. Jadi kalau Eki bilang dia sedang tidak bisa memikirkan tentang pacar dan segala yang berhubungan dengan itu, bisa dipastikan tu cowok ngibul.
Eki jadi terkekeh-kekeh sambil berusaha melindungi kepalanya. “Ampuun, ampuun. Ampunilah cowok yang masih ingin bertemu dengan jodohnya ini. Jangan bunuh gue dulu. Ntar jodoh gue nangis.”
Kalimatnya itu malah membuat teman-temannya makin geli dan semakin bernafsu untuk memukul kepalanya. Beberapa dari mereka tak tahan untuk melontarkan berbagai celetukan.
“Justru kasian kalo sampe tu cewek ketemu sama lo.”
“Iya, bisa nangis tujuh hari tujuh malem dia begitu liat jodohnya ternyata Eki si Sableng.”
“Udah mimpi sepanjang hidup bisa berjodoh sama pangeran, eeh ketemunya malah sama pangeran kodok!”
“Kalo gue jadi ceweknya, mending mati aja kali ya.”
“Jadi lo nggak usah ketemu aja sama dia, Ki. Kasian dia.”
“Bener tuh! Bener!”
Ari dan Ridho, dua orang yang tidak ikut melemparkan hinaan untuk Eki, hanya tertawa. “Sadis emang mereka,” kata Ari pelan, yang diberi anggukan setuju oleh Ridho.
Keadaan berbalik sekarang. Eki yang daritadi jadi sasaran ejekan teman-temannya, kini berdiri sambil mengacungkan tinjunya, pura-pura marah dan tersinggung berat. “Gue nggak terima harga diri gue hancur terinjak-injak secara tidak hormat di kaki nista kalian. Awas ya!”
“Kabuuuuuur!!!” Segerombolan cowok itu lari tunggang langgang menghindar dari Eki, yang segera mengejar mereka. Ari dan Ridho geleng-geleng kepala, masih sambil tertawa geli, kemudian menyusul teman-temannya yang berlari menuju kelas.
Benar-benar tidak ada yang menyadari bahwa ketenangan yang berlangsung saat ini adalah jenis ketenangan sebelum badai.

***

Waktu hampir menunjukkan pukul 3 sore. Ari dan teman-teman cowok sekelasnya termasuk Ata masih berdiam di ruang kelas. Sudah menjadi kebiasaan, mereka menunggu pukul setengah 4 sebelum akhirnya berangkat ke tempat futsal. Namun sepertinya rencana futsal itu harus ditunda dulu. Mendadak, Andi, salah seorang adik kelas yang dinobatkan menjadi jendral tertinggi angkatan kelas 11 dalam pasukan perang Airlangga, berhenti di ambang pintu kelas Ari dengan terengah-engah.
“Brawijaya!” serunya.
Tanpa butuh penjelasan apa-apa, tubuh Ari mencelat dari kursi. Diikuti Andi dan semua teman sekelasnya, cowok itu melesat keluar kelas, berlari menyusuri koridor.
“Kasih tau mereka!” tunjuk Ari pada kelas-kelas dengan pintu terbuka yang masih memuat beberapa orang penghuni. Cowok itu tidak berhenti, sementara beberapa temannya menyebar, menghampiri kelas lain untuk mengumpulkan pasukan.
“Kita pasti kekurangan orang, Bos,” kata Oji yang berlari di sampingnya. Ia mengikuti langkah Ari yang melompati setiap dua anak tangga sekaligus. Ari mendesis. Ia tahu Oji benar. Dalam waktu sesore ini, pasti banyak dari anak buahnya yang sudah pulang.
“Sialan emang si Angga! Apa sih rencana dia!” geramnya. Dalam hati ia sedikit bersyukur telah mengantar Tari pulang tadi, sehingga cewek itu jauh dari bahaya.
“Ri, ada apa?” Tiba-tiba Ata berlari menjejeri. Wajahnya berkerut tidak mengerti.
Ari otomatis menghentikan langkah, sehingga teman-temannya juga ikut berhenti. Ari sejenak lupa Ata bersama mereka. Ata yang anak baru, yang tidak tahu apa-apa soal tawuran. Ia mencengkeram bahu Ata. “Anak SMA Brawijaya cari ribut. Udah biasa.”
“Cari ribut? Mm, maksudnya, kita mau tawuran?”
Well, ya. Selamat datang di Jakarta.”
Ata menatap berkeliling. Kini semuanya sudah berkumpul di lapangan, menunggu instruksi selanjutnya dari sang panglima perang. Hanya ada sekitar belasan sampai dua puluhan anak di sini. “Nggak mungkin dengan pasukan sekecil ini!” seru Ata, meneriakkan keraguan yang bergema dalam benak setiap orang.
“Trus apa?” sentak Ari tidak sabar. “Lo mau kami mundur? Biarin mereka ngancurin sekolah kita dan nempatin anak-anak lain dalam bahaya?”
“Ya, lebih baik gitu,” sahut Ata tegas. “Daripada kita keluar dan nggak selamet. Nggak ada gunanya juga. Mending kita tunggu di dalem.”
Ari mendesis. Ia ketatkan cengkeramannya pada bahu Ata sambil merapatkan tubuhnya. Kemudian ia berbisik tajam di sebelah telinga Ata. “Bukan elo pemimpinnya, bro. Lo nggak tau apa-apa.” Kemudian ia melanjutkan dengan suara lebih keras dan demonstratif, dengan sangat jelas menyatakan bahwa kalimat ini bukan hanya ditujukan kepada Ata, melainkan kepada pasukan di sekelilingnya. “Dan anak SMA Airlangga nggak pernah ngumpet. Kita bukan pengecut! Inget itu.”
Berpasang-pasang mata hanya menyaksikan dalam diam. Beberapa anak yang sudah terlanjur terbakar rasa nasionalisme, yang ingin mempertahankan tanah miliknya sampai titik darah penghabisan, setuju dengan Ari. Sementara beberapa yang lainnya setuju dengan Ata, meski mereka tidak mengungkapkannya terang-terangan. Bagaimanapun, memang Ari pemimpinnya di sini.
Ari sejenak menatap Ata sebelum melepaskan cengkeramannya. “Kalo lo nggak mau ikut, tunggu aja di sini. Bantu evakuasi anak-anak yang masih keliaran. Kumpulin di ruang kelas yang jauh dari gerbang.”
Setelah itu, ia berteriak kepada pasukannya untuk segera menuju medan perang sebelum rombongan musuh tiba di depan sekolah. Ata yang masih berdiri diam di tempatnya, menatap Ari dengan sepasang mata yang perlahan mengelam. Ujung-ujung bibirnya tertarik ke atas, tidak bisa menahan seringaian. Kemudian ditinggalkannya tempat itu, melangkah ke salah satu ruang kelas di area kelas 10.

***

Suasana kacau balau. Ari memaksa otaknya berpikir keras bagaimana menyiasati keadaan ini, di mana pasukan yang berlari di belakangnya sama sekali tidak memadai untuk menyeimbangkan posisi. Ia memutuskan untuk membentuk formasi melingkar di beberapa titik, menghindari adanya serangan dari belakang punggung. Ia berdiri diapit Ridho dan Oji di kanan kirinya. Mendadak matanya menangkap sesosok gadis yang berdiri bingung di balik sebatang pohon, beberapa meter darinya. Ari menyipitkan mata.
“Sialan. Itu anteknya Vero,” desis Ari yang mengenali Sonia, salah satu personil The Scissors yang sekarang tengah bersembunyi ketakutan.
“Biarin aja,” sahut Oji tak acuh.
“Nggak bisa. Lo berdua, seret dia ke sekolah. Cepet.”
Ridho dan Oji melesat maju ketika kini cewek tadi jadi sasaran anak-anak Brawijaya. Keduanya berusaha saling melindungi karena tidak ada pasukan yang bisa mereka rekrut sebagai bodyguard. Ketika tiba di tempat Sonia, Ridho tanpa pikir panjang meraih tangan cewek itu.
“Ngapain sih lo berdiri di sini? Lari!” bentaknya marah.
Mendadak wajah cewek itu memucat sambil melihat ke belakang punggung Ridho. Baik Ridho maupun Oji tidak sempat menyadari bahwa dari tikungan di dekat mereka berdiri, muncul sekitar sepuluh anak Brawijaya, dan kebanyakan dari mereka membawa tongkat kayu.
Ari yang menoleh sekilas untuk melihat tugas kedua temannya, kontan terkesiap kaget. “Lari, Dho! Oji! Lari!!!” serunya keras dan panik. Terlambat. Pasukan Brawijaya yang daritadi bersembunyi di balik tikungan itu menyerbu ke arah Ridho dan Oji.
“Brengsek!” umpat Ridho, sadar bahwa tidak ada kesempatan baginya untuk lari. Karena hanya ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Sonia, ia lepaskan cekalannya dari tangan cewek itu, kemudian mendorongnya pergi. “Lari! Lari! Lari! Balik ke sekolah! Lewat jalur yang tadi gue buka! Jangan nengok-nengok lagi!!” teriaknya tak mau dibantah.
Teriakan Ridho bagai cambuk bagi Sonia. Dengan segenap upaya dan kenekatan, ia berlari, mengikuti jalur yang tadi dilewati Ridho dan Oji sambil melindungi kepalanya agar tidak menjadi korban batu nyasar.
“Siap, Ji?” Ridho menoleh sekilas ke Oji. Tanpa menunggu jawaban, ia melayangkan pukulan keras ke salah satu anak Brawijaya yang sudah mendekat.
“Gila! Mereka milih berantem!” Ari mendengar salah seorang temannya berseru kaget. Ia panik. Benar-benar panik. Tidak tahu cara untuk menyelamatkan kedua sahabatnya dengan pasukan yang semakin berkurang jumlahnya, sementara pasukan lawan sepertinya muncul tak ada habisnya.
“Lo, kawal cewek itu sampe sekolah! Balik lagi secepatnya!” Ari menunjuk Sonia yang berlari tanpa perlindungan. Tak urung, tangannya yang menunjuk Sonia mulai bergetar. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Ridho dan Oji mulai kewalahan melawan anak-anak Brawijaya.
“Brengsek! Brengsek! Brengsek!” Ari akhirnya memilih maju, ikut berkelahi bersama kedua sahabatnya.
“Jangan, Ri!” teriak Andi.
“Mereka bisa mati, bego!” bentak Ari.
“Tapi lo juga bisa mati!”
“Persetan!” Ari tak lagi mengindahkan teriakan Andi. Diiringi tatap kengerian dari pasukannya, cowok itu berlari kencang menghampiri kedua sahabatnya yang masih berkelahi mati-matian. Tidak ada seorang pun dari pasukannya yang memilih untuk ikut terjun ke titik panas medan perang. Mereka tetap membentuk barikade untuk melindungi sekolah, karena memang itu yang diperintahkan Ari kepada mereka setiap kali akan terlibat tawuran.
“Inget, apapun yang terjadi, sekolah tetep nomor satu. Jangan pernah peduliin gue biar gue lagi sekarat. Kalo emang situasinya parah banget, kalian harus tetep lindungi Airlangga, oke?”
Ini adalah apa yang dimaksud dengan “situasi parah banget” oleh Ari. Jadi mereka memilih untuk tetap memprioritaskan sekolah, tidak berani melanggar perintah sang panglima perang.
“Ngapain lo ke sini, Ri?” bentak Ridho.
“Lo pikir lo bisa menang?” balas Ari membentak. Dengan kekuatan penuh, dipukulnya seorang anak Brawijaya yang sudah akan mengayunkan tongkat kayu ke arahnya, hingga anak itu mental ke belakang. Di tengah pertempuran, dari kerumunan Brawijaya di sekelilingnya, tiba-tiba menyeruak seseorang yang daritadi dicari-cari oleh Ari. Angga. Cowok itu melangkah ke arahnya dengan santai. Ari berhenti bergerak. Matanya menatap tajam saat Angga berdiri tepat di depannya.
“Kalian nggak akan menang,” kata Angga dengan senyum licik dan angkuh.
Ari bergerak secepat kilat, menghadiahi bogem mentah ke wajah Angga.
“Brengsek!” umpat Angga sambil meludahkan darah dari mulutnya. Matanya berkilat marah. “Abisin dia. Juga temen-temennya.”
Mendadak saja anak-anak Brawijaya bergerak bersamaan, menutup semua akses jalan. Teman-teman Ari tidak bisa lagi melihat pertempuran itu. Kawanan Brawijaya menenggelamkan pemimpin mereka bersama kedua sahabatnya.
Karena sudah mendapat lampu hijau dari Angga, pasukan Brawijaya kini tak segan-segan mengayunkan balok kayu di tangan mereka. Salah seorang berhasil mengenai bagian belakang kepala Ridho, membuatnya ambruk ke tanah seketika dengan kepala mengucurkan darah.
“Ridho!” seru Ari. Pemandangan ini terlalu mengerikan baginya. Selama ini, tidak pernah sekalipun antara dirinya, Oji, atau Ridho yang sampai terkapar di tanah saat tawuran. Kejatuhan Ridho membuat Ari bergerak semakin membabi buta. Tak lama, giliran Oji yang terjatuh di tanah saat sebatang balok kayu menghantam keras dadanya. Ketika cowok itu terbaring di tanah, kaki-kaki di sekitarnya segera menendanginya tanpa ampun.
“Stop! Stop!” teriak Ari panik. Tentu saja tidak ada seorang pun yang bersedia menuruti perintahnya. Kepanikan membuatnya lengah, hingga tidak menyadari saat balok kayu yang lain mengincar kepalanya. Ari merasakan pukulan keras itu. Ia terjatuh seketika. Kepalanya pening hebat. Ribuan kunang-kunang memenuhi pandangannya.
“Lo bakal mati hari ini,” desis Angga yang membungkuk di sampingnya. “Dan lo harus mati di tangan gue.” Ditendangnya keras-keras perut Ari.
Ari hanya bisa mengerang di tanah. Sial! Apa cuma sampe di sini? Nggak! Gue nggak boleh mati sekarang! tekadnya dalam hati, mempertahankan kesadarannya. Dengan sisa kekuatan, ia menoleh ke arah Ridho dan Oji yang babak belur, sudah tak sadarkan diri sejak tadi. Maafin gue, Dho, Ji.
“Anggada! Stop! Lepasin mereka!” teriak sebuah suara menggelegar. Ari membuka matanya yang berat saat mengenali suara itu. Semua gerakan terhenti mendengar teriakan yang berasal dari Ata. Ari menatapnya tak percaya setelah matanya menemukan Ata yang berdiri di tepi jalan, beberapa meter darinya. Bukan saja karena Ata berani menerjunkan diri ke area tawuran, tapi juga karena gadis yang berada dalam pelukan saudara kembarnya.
“Lepasin mereka, ato sepupu lo mati.” Ata mengacungkan pisau ke leher Gita yang berada dalam pelukannya.
Angga menatap Ata terperangah. Tak percaya sepupunya ditempatkan dalam bahaya yang begitu besar.
“Lo udah janji,” desis Angga kepada Ari, tanpa melepaskan tatapan dari sepasang mata Gita yang membeliak ketakutan.
“Gue... nggak ada sangkut pautnya,” sahut Ari sambil berusaha duduk dengan susah payah, kemudian terbatuk hebat.
“Lo janji nggak akan melibatkan Gita!” bentak Angga, benar-benar marah. “Stop!” teriaknya ngeri kepada Ata saat cowok itu semakin mendekatkan mata pisaunya ke leher Gita.
“Lepasin mereka. Tinggalin sekolah ini. Suruh pasukan lo mundur,” sahut Ata tenang, dengan sengaja mengusapkan ujung pisaunya ke sebelah pipi Gita.
“Jangan. Sakiti. Dia,” geram Angga penuh penekanan. “Gue mundur. Lepasin dia.”
“Nggak. Temen-temen lo harus pergi dulu. Baru gue lepasin dia.”
Tidak ada pilihan lain. Angga meminta teman-temannya pergi. Cowok itu tetap mematung di tempat bersama Bram, yang juga menatap Ata dengan aura membunuh.
“Ata. Lepasin Gita,” kata Ari serak. Masih sulit memercayai tindakan berani Ata. Berani, namun gegabah. Saudara kembarnya itu tidak tahu bagaimana dampak dari ulahnya ini.
“Woi! Jangan pada bengong! Bawa mereka!” teriak Ata kepada pasukan Airlangga yang berdiri diam. Mendengar otoritas itu, mereka segera bergerak, menggotong tubuh Ridho dan Oji. Namun Ari menolak meninggalkan tempat.
“Gue bisa jalan sendiri!” bentaknya kepada Andi yang sudah mengulurkan tangan. Andi berdecak, jengkel dengan sifat Ari yang begitu keras kepala.
“Ata! Lo bego! Lepasin dia!” sembur Ari setelah teman-temannya pergi. Kini jalanan itu lengang. Hanya ada dirinya, Ata, Gita, Angga, dan Bram, bersama sisa-sisa pertempuran.
Ata melangkah mendekat, masih bersama Gita di pelukannya. Begitu tiba di hadapan Angga, didorongnya tubuh gadis itu. Dengan sigap Angga menangkapnya, kemudian memeriksa Gita secara cepat, memastikan cewek itu tidak terluka. Namun ada setetes darah mengalir dari pipi kanan Gita. Bekas luka dari pisau Ata.
“Lo terluka,” kata Angga dengan suara bergetar. Tangannya bergerak lembut mengusap darah dari pipi Gita. Sepupunya itu meringis kesakitan. Diserahkannya Gita kepada Bram. “Bawa dia.”
Bram benar-benar panik melihat Gita yang pucat dan terluka. Setelah melayangkan pandangan dendam kesumat ke arah Ata, ia pergi membawa cewek itu.
“Lo lukain dia,” kata Angga geram. Bukan kepada Ata yang jelas-jelas sudah menyeret Gita dalam masalah. Kalimat itu ia tujukan kepada Ari, oknum yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya. “Lo tau apa artinya itu,” tambahnya.
“Nggak,” bisik Ari, tidak mampu berteriak untuk membantah. “Nggak bisa!”
“Tari sekarang sah milik gue.” Angga mengucapkan satu kalimat yang paling ditakutkan oleh Ari. “Lo melanggar perjanjian itu. Putusin dia segera,”
“Nggak bisa! Bukan gue yang melibatkan Gita! Lo liat sendiri!”
 “Gue nggak peduli elo ato sodara kembar lo yang ngelakuin itu. Yang jelas Gita terluka di tangan kalian!” bentak Angga tegas. Ia dan Ata bertatapan sejenak dengan ekspresi tak terbaca.
“Pergi,” desis Ata kemudian.
Angga membalikkan badan. Sebuah senyuman terkembang di bibirnya.

***

Ari membeku di tempat dengan mulut menganga. Kalau saja dia sedang dalam posisi berdiri, bisa dipastikan kakinya akan goyah. Namun kini dia sudah dalam keadaan terduduk, tidak bisa jatuh lebih rendah lagi. Cowok itu menatap aspal di bawahnya.
“Gue nggak percaya lo lakuin itu,” bisiknya lirih kepada Ata.
“Lakuin apa?” tanya Ata, terdengar kebingungan di telinga Ari.
Ari mendongak. Tatapannya kosong. Ia ingin marah. Ia ingin menghajar Ata. Ia ingin mencaci saudara kembarnya itu. Tapi tidak bisa. Tubuhnya serasa remuk. Emosinya terkuras habis.
Ata menghela napas. “Gue cuma mau bantuin elo, Ri. Gue nggak mau sodara kembar gue mati konyol di tangan seorang pengecut kayak Angga. Lagian apa lo nggak liat? Kedua sahabat lo udah sekarat gitu.”
“Gue pasti punya cara,” geram Ari, mulai menemukan kekuatannya kembali. Ia berdiri dengan goyah. Ditepisnya tangan Ata yang terulur. “Gue nggak butuh bantuan elo.”
“Oh, jadi elo punya cara? Tapi kok gue liatnya elo udah pasrah gitu ya diinjek-injek Angga?” kata Ata tanpa bisa menyembunyikan sarkasme dalam nadanya. “Jadi cara apa yang masih ada di kepala lo yang udah kena pukul gitu?”
“Pasti. Masih. Ada. Jalan. Pasti.” Ari mati-matian menahan emosi yang membuncah di dadanya.
“Jelas aja masih,” tukas Ata. “Gita. Dia satu-satunya jalan.”
“Apa lo nggak tau apa yang udah lo lakuin?!” bentak Ari, tidak bisa membendung amarahnya lebih lama. Nama Gita menjadi topik sensitif baginya. Didorongnya bahu Ata dengan segenap tenaga yang masih tersisa. “Brengsek lo, Ta!” Cowok itu terengah-engah. Dadanya yang juga sempat terkena pukulan terasa sakit. Ia membungkuk dengan satu tangan bertumpu pada lutut, sementara tangan yang lain menekan dadanya.
Ata menatapnya dengan kening berkerut. “Emangnya apa yang udah gue lakuin?”
“Lo nggak denger kata-kata Angga tadi?”
“Gue denger. Tari sekarang sah milik dia. Apa maksudnya itu? Gue nggak ngerti.”
Ari tidak berkesempatan untuk menjelaskan, karena tiba-tiba tubuhnya ambruk, yang untungnya segera ditangkap oleh Ata.





Bersambung...