A.
Latar
Belakang
Salah satu dampak dari kemajuan zaman adalah semakin
luasnya pergaulan para remaja. Apabila tidak dibarengi dengan pertahanan nilai
dan moral yang kuat, hal tersebut dapat membuat remaja terjerumus dalam
pergaulan bebas. Bentuk pergaulan bebas yang beberapa tahun terakhir ini umum
ditemukan pada remaja Indonesia adalah gaya berpacaran yang tidak sehat, antara
lain melakukan hubungan seks pra nikah. Menurut survei yang dilakukan oleh
Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementrian Kesehatan (Kemenkes)
pada tahun 2013, sekitar 62,7% remaja di Indonesia telah melakukan hubungan
seks pra nikah. Resiko terbesar dari hubungan seks pra nikah adalah kehamilan
yang tidak diinginkan (KTD), dan seringkali berujung pada aborsi. Masih
berdasar survei yang sama, sekitar 20% dari 94.270 remaja yang mengalami hamil
di luar nikah pernah melakukan aborsi.
Menurut Mohammad (dalam Istiarti dkk, 2006), aborsi
didefinisikan sebagai tindakan penghentian kehamilan dengan cara-cara tertentu
sebelum janin dapat hidup di luar rahim ibunya (usia kurang dari 20 minggu atau
berat kurang dari 500 gram). Angka aborsi di Indonesia terbilang cukup tinggi
meski tindakan ini telah dilarang, baik oleh UU, KUHP, maupun fatwa MUI. Setiap
tahunnya, praktik aborsi di Indonesia mencapai 2,5 juta kasus dan 30% di
antaranya dilakukan oleh remaja. Survei terbaru pada tahun 2016 yang dilakukan
oleh peneliti PSKK (Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan) UGM, Sri
Purwatiningsih, menyebutkan bahwa tingkat remaja yang hamil dan aborsi cukup
tinggi, mencapai 58%. Selain itu, Pusat Penelitian Kesehatan Universitas
Indonesia menemukan tiap tahun rata-rata terjadi sekitar 2 juta kasus aborsi
tidak aman.
Masalah aborsi pada
remaja perlu mendapatkan penanganan serius karena dapat menimbulkan berbagai
dampak negatif. Dari sudut pandang masyarakat, aborsi merupakan tindakan yang
melanggar hukum serta norma-norma sosial dan agama. Selain itu, aborsi juga
akan memunculkan berbagai prasangka dan label yang buruk terhadap pelakunya.
Sementara dari sudut pandang pelakunya sendiri, mereka akan merasakan kesakitan,
baik fisik maupun psikologis. Bahkan dalam kasus yang ekstrem, para pelaku
aborsi bisa sampai meninggal dunia.
Di sini penulis ingin
memaparkan alasan-alasan yang dapat mendasari remaja melakukan tindakan aborsi
dilihat dari beberapa pendekatan Psikologi, serta dampak psikis yang timbul
dari tindakan aborsi tersebut.
B.
Kasus
Aborsi yang Dilakukan Remaja di Indonesia
Meskipun tindakan aborsi telah dilarang, baik oleh norma-norma
sosial maupun hukum, serta dapat menimbulkan dampak negatif, tapi nyatanya
praktik aborsi oleh remaja masih kerap ditemui di tengah masyarakat. Seperti
kasus yang dialami seorang wanita dengan nama samaran Andini yang berasal dari
Jakarta. Ia menyatakan bahwa dirinya positif hamil ketika berada di bangku SMA.
Hubungan Andini dengan kekasihnya, seorang pria yang berusia 6 tahun lebih tua
darinya, tidak mendapat restu keluarga. Andini sempat terbuai janji manis dari
sang kekasih hingga akhirnya kabur dari rumah dan tinggal bersama kekasih masa
mudanya itu. Hingga ketika ia pulang, orang tuanya meminta Andini untuk
melakukan tes urine, dan hasilnya positif.
Orang tua Andini panik karena beberapa bulan lagi
anak mereka akan menyelesaikan pendidikannya, tapi Andini memohon agar
diizinkan melahirkan dan merawat calon bayinya meski harus seorang diri. Namun
orang tua Andini tetap memaksa anaknya untuk menggugurkan kandungannya dengan
cara makan nanas setiap hari. Cara tersebut rupanya tidak berhasil, hingga pada
akhirnya mereka mengambil jalan pintas dengan mendatangi klinik aborsi. Sejak
kejadian itu, Andini masih teringat jelas pengalamannya saat proses aborsi yang
menyakitkan tersebut.
Kasus kedua datang dari seorang perempuan berinisial
O. O merupakan mahasiswi di perguruan tinggi swasta di Depok. Ia telah melakukan
aborsi satu kali. Berbeda dengan Andini yang melakukan aborsi karena paksaan
orang tua, alasan O melakukan aborsi adalah karena takut pendidikannya akan
terhambat apabila ia tetap mempertahankan kehamilannya. Selain itu O juga belum
siap untuk membina kehidupan berumah tangga dan merasa malu dipandang rendah,
serta takut apabila lingkungannya mengetahui tentang kehamilannya yang di luar
nikah, baik itu lingkungan keluarga maupun lingkungan sekitar. Saat akan dan
setelah melakukan aborsi, O mengaku mengalami beberapa gejala stres, mulai dari
nafsu makan berkurang, sulit berkonsentrasi, depresi, serta menurunnya minat
dan antusiasme.
C.
Menelaah
Penyebab Remaja Melakukan Aborsi melalui Pendekatan Psikologi
Psikologi adalah ilmu yang memabahas terkait
pikiran, otak, dan perilaku manusia. Ilmu psikologi banyak digunakan untuk
mencari penyebab atas tindakan yang dilakukan seseorang ataupun sekelompok
orang. Dalam hal ini, kami akan menyoroti penyebab yang mendasari remaja di
Indonesia melakukan praktik aborsi melalui dua pendekatan yang terdapat di
psikologi.
1.
Aborsi,
konsep diri, dan konformitas dalam Pendekatan Psikologi Sosial
Penyebab praktik aborsi paling luas saat ditinjau
menggunakan pendekatan psikologi sosial. Aspek pertama yang akan diangkat
adalah mengenai konsep diri. Konsep diri merupakan asumsi seseorang tentang
kualitas kepribadiannya meliputi karakteristik fisik, psikologis, sosial,
emosi, aspirasi, dan prestasi dirinya yang diperoleh melalui pengalaman
individu dalam interaksinya dengan orang lain di masa lalu dan masa sekarang.
Menurut Calhoun dan Acocella (1990), konsep diri dibedakan menjadi 2 macam,
yaitu konsep diri negatif dan konsep diri positif. Seseorang dengan konsep diri
negatif biasanya sensitif terhadap kritik, responsif terhadap pujian, hiperkritis
terhadap orang lain, memiliki kecenderungan merasa tidak disenangi oleh orang
lain, dan bersikap pesimistis. Sementara seseorang dengan konsep diri positif
biasanya akan lebih yakin pada kemampuannya, merasa setara dengan orang lain, menerima
pujian tanpa rasa malu, menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai
perasaan, keinginan, dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh
masyarakat, dan mereka mampu memperbaiki diri.
Pada umumnya, remaja memilih melakukan aborsi
dikarenakan oleh perasaan malu akibat kehamilan yang terjadi sebelum menikah
yang dapat menimbulkan aib bagi keluarga. Selain itu, remaja yang hamil di luar
nikah menghindari kritikan yang akan diberikan oleh orang lain terhadap
dirinya, memiliki kecenderungan merasa tidak disenangi sehingga tidak dapat
menciptakan persahabatan yang hangat, bersikap pesimis dengan keadaan dirinya
jika melanjutkan kehamilan, serta mengeluh dengan keadaan dirinya dan takut
jika dirinya tidak menerima pujian dari orang lain. Dengan alasan tersebut,
dapat dikatakan remaja yang hamil di luar nikah dan melakukan aborsi cenderung
memiliki konsep diri negatif, sesuai dengan teori konsep diri yang dikemukakan
oleh Calhoun dan Acocella.
Aspek selanjutnya yaitu tentang social influence. Terdapat 3 tipe social influence, yaitu:
1. Conformity
(konformitas)
2. Obedience to authority
(kepatuhan terhadap otoritas)
3. Complience
(kerelaan)
Masalah aborsi di sini dapat dihubungkan dengan dua
tipe pertama, yaitu konformitas dan kepatuhan terhadap otoritas. Definisi
sederhana dari konformitas adalah ketika seseorang melakukan suatu perbuatan
tertentu karena orang lain juga melakukan perbuatan tersebut. Menurut Wrightsman
& Deaux (1981), ada 4 macam konformitas, yaitu informational conformity, complience conformity, identification
conformity, dan internalization conformity. Complience conformity terjadi ketika seseorang melakukan
konformitas untuk memperoleh reward
dan menghindari punishment. Remaja
yang aborsi cenderung melakukan konformitas pada jenis ini. Mereka berusaha
menghindari punishment berupa
pandangan buruk dan penolakan masyarakat kepada dirinya yang hamil di luar
nikah, sehingga ia memilih untuk menggugurkan kandungannya.
Bentuk konformitas lain yang juga cenderung
dilakukan oleh remaja yang aborsi adalah identification
conformity. Dilihat dari pengertiannya, identification
conformity terjadi ketika seseorang mengidentifikasi norma-norma kelompok
untuk menjaga hubungan dengan kelompok. Dalam kasus aborsi, kelompok yang
dimaksud adalah masyarakat sekitar. Remaja yang hamil di luar nikah biasanya
mengetahui bahwa ia telah melanggar norma dalam masyarakat. Aborsi kemudian
dijadikan sebagai cara agar remaja terlihat masih mematuhi norma tersebut,
sehingga ia tetap bisa menjaga hubungan sosialnya dengan masyarakat sekitar.
Selain konformitas, tipe social influence kedua yang berhubungan dengan tindakan aborsi pada
remaja adalah kepatuhan terhadap otoritas. Tipe social influence ini terjadi ketika seseorang mematuhi apa yang
dikehendaki oleh pihak yang secara sah memiliki otoritas. Dalam kasus aborsi
yang dialami oleh Andini, diketahui bahwa Andini dipaksa oleh orang tuanya
untuk menggugurkan kandungan, meski sebenarnya dia ingin mempertahankan janin
tersebut. Di sini Andini terpaksa mematuhi kehendak ayah dan ibunya karena
mereka memiliki otoritas berdasarkan status mereka sebagai orang tua Andini.
2.
Kematangan
Emosi dan Self-efficacy pada Remaja
yang Melakukan Aborsi menurut Psikologi Perkembangan
Remaja
selalu ingin berusaha mengatasi permasalahannya dengan berbagai cara, sesuai
dengan kemampuannya. Dalam perkembangan kognitif, remaja sampai pada masa
pengambilan keputusan. Banyak masalah yang dihadapi remaja yang menuntut mereka
untuk mengambil keputusan. Mulai dari hal sederhana seperti memilih pakaian
yang akan dikenakan, hingga menentukkan rencana masa depan.
Dalam
kasus kehamilan pra-nikah, remaja dihadapkan pada pilihan untuk melahirkan
bayinya atau menggugurkannya. Secara umum, terdapat dua hal yang mempengaruhi
keputusannya, yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar diri remaja.
Kematangan emosi, kepribadian, intuisi, dan usia merupakan faktor yang
mempengaruhi pengambilan keputusan dari dalam (Noorderhaven, 1995), hal ini
berjalan seiringan dengan perkembangan diri remaja.
Berdasarkan
hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKKRI) tahun 2007 terhadap
remaja perempuan dan laki-laki usia 15-19 tahun yang tidak menikah, terdapat
beberapa masalah yang dihadapi remaja di Indonesia yang mana dipengaruhi oleh
faktor dari dalam dan luar diri. Faktor dari dalam meliputi masalah psikologis
dan sosial, belum matangnya emosi, kurangnya kontrol diri, kemampuan pengambilan
keputusan yang rendah, serta tidak terbiasa mempertahankan mempertahankan usaha
untuk mencapai tujuan. Sedangkan faktor dari luar meliputi persoalan keluarga,
pengaruh negatif teman sebaya dan komunitas.
Dalam
sebuah penelitian yang dilakukan oleh Florence J. Peilouw dan M. Nursalim
(2013), ditemukan adanya hubungan yang positif antara pengambilan keputusan
dengan kematangan emosi dan self-efficacy
pada diri remaja. Pada kasus aborsi yang dialami Andini, terlihat bahwa
keputusan aborsi merupakan permintaan dari orang tuanya. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian di atas, bahwa Andini yang merupakan pelajar SMA memiliki
tingkat kematangan emosi dan self-efficacy
yang rendah, di mana keputusan yang diambilnya masih sangat dipengaruhi oleh
aspek eksternal, yakni keluarganya.
D.
Stres
Akibat Aborsi Dilihat dari Pendekatan Psikologi Klinis
Dalam pembahasan ini, aspek psikologi klinis yang
diangkat adalah stres. Menurut Lazarus (dalam Davis, 1999), stres merupakan
suatu gejala umum yang dialami individu yang bercirikan adanya pengalaman
mencemaskan atau menegangkan secara intensif dan relatif menekan yang muncul
karena keadaan atau situasi eksternal yang terus memaksa individu untuk
memenuhi tuntutan yang tidak biasa pada dirinya. Sementara Sarafino (1998),
mendefinisikan stres sebagai reaksi individu terhadap stimulus lingkungan yang
merupakan penyebab terjadinya stres (stressor).
Pada kasus aborsi, seorang remaja dihadapkan pada
stresor yakni stigma buruk tentang dirinya yang sudah mengandung diluar nikah,
tuntutan menggugurkan calon bayi demi menutupi kehamilan dari tetangga,
keluarga, dan sebagainya. Sebagaimana yang diungkapkan Pratiwi (2004),
alasan-alasan yang mendorong aborsi, antara lain kekhawatiran akan gagalnya
studi yang sedang dijalani, ketidaksiapan menghadapi kemungkinan-kemungkinan
perubahan hidup, ketidaksiapan ekonomi di kemudian hari, ketidaksiapan membina
rumah tangga, perasaan malu kepada lingkungan sekitar.
Usia remaja merupakan masa yang rentan akan
pergaulan bebas, dimana pergaulan bebas merupakan salah satu penyebab banyaknya
kasus kehamilan pranikah. Banyak dari remaja yang memilih melakukan aborsi
dengan alasan untuk menghindari malu dan takut diketahui oleh orang lain.
Aborsi dilakukan dengan tanpa keraguan, namun terkadang para wanita sering
mengalami stres yang berkepanjangan sebelum dan sesudah aborsi, timbul perasaan
bersalah, marah, menyesal dan sedih, dan pasangannya pun dapat mengalami
perasaan yang sama (Shostak dalam Sudarsono, 1995).
Sebuah penelitian dilakukan oleh Ahmad Yudhie K.
Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gunadarama, terhadap dua orang wanita
usia 18-23 tahun yang melakukan aborsi, salah satunya adalah kasus O yang telah
dijelaskan di atas. Untuk subjek kedua, alasan ia melakukan aborsi adalah karena ia merasa takut dan malu jika pihak
keluarga mengetahui kasus kehamilan pranikahnya. Ia juga mengalami kebingungan
apakah harus mempertahankan kehamilannya atau tidak karena ditinggal sang pacar
yang tidak mau bertanggung jawab, sementara di sisi lain kedua subjek juga
tidak pernah berharap bahwa keputusan aborsi adalah suatu hal yang benar yang
harus diambil dan dilakukan, apalagi bila dikaitkan dengan idealisme dan
nilai-nilai pribadi yang dimilikinya (agama), sehingga muncullah perasaan
bersalah dan penyesalan.
Sebelum aborsi kedua subjek mengalami gejala stres
kognitif yang ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi. Kedua subjek
sama-sama mengalami gejala stres kognitif berupa munculnya delusi dan gangguan
pikiran, hanya saja khusus subjek 1, delusi dan gangguan pikiran hanya muncul
pada masa setelah aborsi, sementara subjek 2 mengalaminya pada saat sebelum
maupun setelah aborsi.
Stres
yang dikarenakan aborsi dapat berakibat pada fisik, kognitif, mental, dan
tingkah laku pelakunya. Gejala fisik yang muncul seperti nafsu makan berkurang,
mual, dan sakit kepala. Untuk gejala kognitif biasanya ditandai oleh sulitnya
berkonsentrasi, delusi, dan gangguan pikiran. Sementara gejala emosional dan
mental mencakup depresi, rasa tidak berdaya, harga diri menurun, rasa ingin
marah terus menerus, serta berkurangnya minat terhadap kehidupan. Yang terakhir
adalah gejala behavioral atau tingkah laku. Gejala ini ditandai oleh menurunnya
minat atau antusiasme, menurunnya energi dan kelincahan aktivitas tubuh, insomnia
(sulit tidur), sering menangis dan ingin menangis, selalu gelisah, dan cenderung
pendiam.
E.
Pandangan
berbagai Teori Psikologi terhadap Aborsi oleh Remaja
1. Teori Psikodinamika (id, ego, super
ego)
Dalam
psikodinamika, Freud mengungkapkan tiga bagian dalam diri manusia yaitu id, ego
dan super ego. Dalam kasus aborsi yang dilakukan remaja, id pada diri remaja
ingin agar perlakuan tidak menyenangkan yang diterima dari lingkungan akibat
kehamilan pra-nikahnya menghilang, yaitu dengan cara menghilangkan bayi dalam
kandungannya melalui tindakan aborsi. Namun super ego yang cendrung normatif
mengatakan bahwa tindakan aborsi merupakan perbuatan dosa. Ego berusaha
menjembatani dorongan id tersebut dengan memikirkan keputusan yang mungkin
diambil, meskipun bertentangan dengan super ego.
2. Teori Humanistik (konsep diri)
Konsep
diri menurut Rogers adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pegalaman yang
berhubungan dengan ‘aku’ dan membedakan ‘aku’ dari yang lain. Konsep diri
terbagi menjadi dua: konsep diri real dan konsep diri ideal. Ketidaksesuaian
antara real-self dan ideal-self menciptakan inkongruensi yang
mengakibatkan pertentangan dan kekacauan batin. Pada diri remaja, ideal-self sangat dipengaruhi oleh
introjeksi nilai-nilai orang tertentu seperti orang tua atau masyarakat di
sekitarnya. Dalam kasus remaja dengan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), ideal-selfnya tidak lagi sama dengan real-self yang ia miliki. Idealnya,
seorang remaja yang belum menikah tidak sepatutnya hamil. Maka terjadi
kekacauan dalam diri remaja yang menyebabkannya memilih jalan aborsi untuk
mengurangi jarak antara ideal-self
dan real-self.
F.
Kesimpulan
Kasus aborsi yang dilakukan oleh remaja masih banyak
ditemukan di Indonesia. Meski memiliki dampak negatif dan melanggar
undang-undang, nyatanya praktek aborsi masih sering dijadikan sebagai jalan
keluar oleh para remaja atau orang tua atas kehamilan yang tidak diinginkan
(KTD). Salah satu alasan utama para remaja melakukan aborsi adalah untuk menghindari
perasaan malu dan penolakan dari masyarakat. Selain itu, ada pula remaja yang
menggugurkan kandungannya karena dipaksa oleh orang tua. Para remaja yang
melakukan tindakan aborsi biasanya adalah para remaja yang memiliki konsep diri
negatif.
Keputusan untuk melakukan aborsi juga dipengaruhi
oleh kematangan emosi dan self-efficacy
yang dimiliki oleh remaja. Contohnya pada kasus Andini. Andini yang merupakan
pelajar SMA memiliki tingkat kematangan emosi dan self-efficacy yang rendah, di mana keputusan yang diambilnya masih sangat
dipengaruhi oleh aspek eksternal, yakni keluarganya. Dampak aborsi pada remaja
tidak hanya menimbulkan kesakitan secara fisik, tapi juga secara psikologis.
Dalam beberapa kasus, tindakan ini dapat menimbulkan gejala stres bagi
pelakunya.
Dalam
teori psikodinamika, keinginan aborsi dikendalikan oleh id remaja, sementara
norma dan nilai-nilai dalam super ego sering kali menjadi penghalang diatan
melakukan aborsi. Dalam teori konsep diri Rogers, ketimpangan antara diri ideal
dan real menciptakan inkongruensi pada diri remaja yang akan melakukan aborsi.
DAFTAR
PUSTAKA
Acocella,
J. R., & Calhoun, J. F. 1990. Psychology
of Adjustment Human Relationship. Ed 3. New York: McGraw-Hill.
Istiarti,
Tinuk, Harbandinah Pietojo dan Kunsianah. 2006. “Analisis
Faktor - Faktor Yang Berhubungan Dengan Praktik Aborsi Di Kecamatan Pegandon
Kabupaten Kendal” dalam Jurnal Promosi
Kesehatan Indonesia. Vol. 1, No. 1.
Peilouw J. Florence & M. Nursalim. 2013.
“Hubungan Antara Pengambilan Keputusan dengan Kematangan Emosi dan Self-Efficacy pada Remaja” dalam Character, Vol. 01, No. 02.
Wrightsman & Deaux. 1981. Social Psychology in the 80’s. California: Brools