Selasa, 19 Desember 2017

Menyelami Sisi Psikologis Remaja Pelaku Aborsi di Indonesia


A.    Latar Belakang
Salah satu dampak dari kemajuan zaman adalah semakin luasnya pergaulan para remaja. Apabila tidak dibarengi dengan pertahanan nilai dan moral yang kuat, hal tersebut dapat membuat remaja terjerumus dalam pergaulan bebas. Bentuk pergaulan bebas yang beberapa tahun terakhir ini umum ditemukan pada remaja Indonesia adalah gaya berpacaran yang tidak sehat, antara lain melakukan hubungan seks pra nikah. Menurut survei yang dilakukan oleh Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementrian Kesehatan (Kemenkes) pada tahun 2013, sekitar 62,7% remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seks pra nikah. Resiko terbesar dari hubungan seks pra nikah adalah kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), dan seringkali berujung pada aborsi. Masih berdasar survei yang sama, sekitar 20% dari 94.270 remaja yang mengalami hamil di luar nikah pernah melakukan aborsi.
Menurut Mohammad (dalam Istiarti dkk, 2006), aborsi didefinisikan sebagai tindakan penghentian kehamilan dengan cara-cara tertentu sebelum janin dapat hidup di luar rahim ibunya (usia kurang dari 20 minggu atau berat kurang dari 500 gram). Angka aborsi di Indonesia terbilang cukup tinggi meski tindakan ini telah dilarang, baik oleh UU, KUHP, maupun fatwa MUI. Setiap tahunnya, praktik aborsi di Indonesia mencapai 2,5 juta kasus dan 30% di antaranya dilakukan oleh remaja. Survei terbaru pada tahun 2016 yang dilakukan oleh peneliti PSKK (Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan) UGM, Sri Purwatiningsih, menyebutkan bahwa tingkat remaja yang hamil dan aborsi cukup tinggi, mencapai 58%. Selain itu, Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia menemukan tiap tahun rata-rata terjadi sekitar 2 juta kasus aborsi tidak aman.
Masalah aborsi pada remaja perlu mendapatkan penanganan serius karena dapat menimbulkan berbagai dampak negatif. Dari sudut pandang masyarakat, aborsi merupakan tindakan yang melanggar hukum serta norma-norma sosial dan agama. Selain itu, aborsi juga akan memunculkan berbagai prasangka dan label yang buruk terhadap pelakunya. Sementara dari sudut pandang pelakunya sendiri, mereka akan merasakan kesakitan, baik fisik maupun psikologis. Bahkan dalam kasus yang ekstrem, para pelaku aborsi bisa sampai meninggal dunia.
Di sini penulis ingin memaparkan alasan-alasan yang dapat mendasari remaja melakukan tindakan aborsi dilihat dari beberapa pendekatan Psikologi, serta dampak psikis yang timbul dari tindakan aborsi tersebut.

B.     Kasus Aborsi yang Dilakukan Remaja di Indonesia
Meskipun tindakan aborsi telah dilarang, baik oleh norma-norma sosial maupun hukum, serta dapat menimbulkan dampak negatif, tapi nyatanya praktik aborsi oleh remaja masih kerap ditemui di tengah masyarakat. Seperti kasus yang dialami seorang wanita dengan nama samaran Andini yang berasal dari Jakarta. Ia menyatakan bahwa dirinya positif hamil ketika berada di bangku SMA. Hubungan Andini dengan kekasihnya, seorang pria yang berusia 6 tahun lebih tua darinya, tidak mendapat restu keluarga. Andini sempat terbuai janji manis dari sang kekasih hingga akhirnya kabur dari rumah dan tinggal bersama kekasih masa mudanya itu. Hingga ketika ia pulang, orang tuanya meminta Andini untuk melakukan tes urine, dan hasilnya positif.
Orang tua Andini panik karena beberapa bulan lagi anak mereka akan menyelesaikan pendidikannya, tapi Andini memohon agar diizinkan melahirkan dan merawat calon bayinya meski harus seorang diri. Namun orang tua Andini tetap memaksa anaknya untuk menggugurkan kandungannya dengan cara makan nanas setiap hari. Cara tersebut rupanya tidak berhasil, hingga pada akhirnya mereka mengambil jalan pintas dengan mendatangi klinik aborsi. Sejak kejadian itu, Andini masih teringat jelas pengalamannya saat proses aborsi yang menyakitkan tersebut.
Kasus kedua datang dari seorang perempuan berinisial O. O merupakan mahasiswi di perguruan tinggi swasta di Depok. Ia telah melakukan aborsi satu kali. Berbeda dengan Andini yang melakukan aborsi karena paksaan orang tua, alasan O melakukan aborsi adalah karena takut pendidikannya akan terhambat apabila ia tetap mempertahankan kehamilannya. Selain itu O juga belum siap untuk membina kehidupan berumah tangga dan merasa malu dipandang rendah, serta takut apabila lingkungannya mengetahui tentang kehamilannya yang di luar nikah, baik itu lingkungan keluarga maupun lingkungan sekitar. Saat akan dan setelah melakukan aborsi, O mengaku mengalami beberapa gejala stres, mulai dari nafsu makan berkurang, sulit berkonsentrasi, depresi, serta menurunnya minat dan antusiasme.

C.    Menelaah Penyebab Remaja Melakukan Aborsi melalui Pendekatan Psikologi
Psikologi adalah ilmu yang memabahas terkait pikiran, otak, dan perilaku manusia. Ilmu psikologi banyak digunakan untuk mencari penyebab atas tindakan yang dilakukan seseorang ataupun sekelompok orang. Dalam hal ini, kami akan menyoroti penyebab yang mendasari remaja di Indonesia melakukan praktik aborsi melalui dua pendekatan yang terdapat di psikologi.
1.      Aborsi, konsep diri, dan konformitas dalam Pendekatan Psikologi Sosial
Penyebab praktik aborsi paling luas saat ditinjau menggunakan pendekatan psikologi sosial. Aspek pertama yang akan diangkat adalah mengenai konsep diri. Konsep diri merupakan asumsi seseorang tentang kualitas kepribadiannya meliputi karakteristik fisik, psikologis, sosial, emosi, aspirasi, dan prestasi dirinya yang diperoleh melalui pengalaman individu dalam interaksinya dengan orang lain di masa lalu dan masa sekarang. Menurut Calhoun dan Acocella (1990), konsep diri dibedakan menjadi 2 macam, yaitu konsep diri negatif dan konsep diri positif. Seseorang dengan konsep diri negatif biasanya sensitif terhadap kritik, responsif terhadap pujian, hiperkritis terhadap orang lain, memiliki kecenderungan merasa tidak disenangi oleh orang lain, dan bersikap pesimistis. Sementara seseorang dengan konsep diri positif biasanya akan lebih yakin pada kemampuannya, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan, dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat, dan mereka mampu memperbaiki diri.
Pada umumnya, remaja memilih melakukan aborsi dikarenakan oleh perasaan malu akibat kehamilan yang terjadi sebelum menikah yang dapat menimbulkan aib bagi keluarga. Selain itu, remaja yang hamil di luar nikah menghindari kritikan yang akan diberikan oleh orang lain terhadap dirinya, memiliki kecenderungan merasa tidak disenangi sehingga tidak dapat menciptakan persahabatan yang hangat, bersikap pesimis dengan keadaan dirinya jika melanjutkan kehamilan, serta mengeluh dengan keadaan dirinya dan takut jika dirinya tidak menerima pujian dari orang lain. Dengan alasan tersebut, dapat dikatakan remaja yang hamil di luar nikah dan melakukan aborsi cenderung memiliki konsep diri negatif, sesuai dengan teori konsep diri yang dikemukakan oleh Calhoun dan Acocella.
Aspek selanjutnya yaitu tentang social influence. Terdapat 3 tipe social influence, yaitu:
1.      Conformity (konformitas)
2.      Obedience to authority (kepatuhan terhadap otoritas)
3.      Complience (kerelaan)
Masalah aborsi di sini dapat dihubungkan dengan dua tipe pertama, yaitu konformitas dan kepatuhan terhadap otoritas. Definisi sederhana dari konformitas adalah ketika seseorang melakukan suatu perbuatan tertentu karena orang lain juga melakukan perbuatan tersebut. Menurut Wrightsman & Deaux (1981), ada 4 macam konformitas, yaitu informational conformity, complience conformity, identification conformity, dan internalization conformity. Complience conformity terjadi ketika seseorang melakukan konformitas untuk memperoleh reward dan menghindari punishment. Remaja yang aborsi cenderung melakukan konformitas pada jenis ini. Mereka berusaha menghindari punishment berupa pandangan buruk dan penolakan masyarakat kepada dirinya yang hamil di luar nikah, sehingga ia memilih untuk menggugurkan kandungannya.
Bentuk konformitas lain yang juga cenderung dilakukan oleh remaja yang aborsi adalah identification conformity. Dilihat dari pengertiannya, identification conformity terjadi ketika seseorang mengidentifikasi norma-norma kelompok untuk menjaga hubungan dengan kelompok. Dalam kasus aborsi, kelompok yang dimaksud adalah masyarakat sekitar. Remaja yang hamil di luar nikah biasanya mengetahui bahwa ia telah melanggar norma dalam masyarakat. Aborsi kemudian dijadikan sebagai cara agar remaja terlihat masih mematuhi norma tersebut, sehingga ia tetap bisa menjaga hubungan sosialnya dengan masyarakat sekitar.
Selain konformitas, tipe social influence kedua yang berhubungan dengan tindakan aborsi pada remaja adalah kepatuhan terhadap otoritas. Tipe social influence ini terjadi ketika seseorang mematuhi apa yang dikehendaki oleh pihak yang secara sah memiliki otoritas. Dalam kasus aborsi yang dialami oleh Andini, diketahui bahwa Andini dipaksa oleh orang tuanya untuk menggugurkan kandungan, meski sebenarnya dia ingin mempertahankan janin tersebut. Di sini Andini terpaksa mematuhi kehendak ayah dan ibunya karena mereka memiliki otoritas berdasarkan status mereka sebagai orang tua Andini.

2.      Kematangan Emosi dan Self-efficacy pada Remaja yang Melakukan Aborsi menurut Psikologi Perkembangan
Remaja selalu ingin berusaha mengatasi permasalahannya dengan berbagai cara, sesuai dengan kemampuannya. Dalam perkembangan kognitif, remaja sampai pada masa pengambilan keputusan. Banyak masalah yang dihadapi remaja yang menuntut mereka untuk mengambil keputusan. Mulai dari hal sederhana seperti memilih pakaian yang akan dikenakan, hingga menentukkan rencana masa depan.
Dalam kasus kehamilan pra-nikah, remaja dihadapkan pada pilihan untuk melahirkan bayinya atau menggugurkannya. Secara umum, terdapat dua hal yang mempengaruhi keputusannya, yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar diri remaja. Kematangan emosi, kepribadian, intuisi, dan usia merupakan faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dari dalam (Noorderhaven, 1995), hal ini berjalan seiringan dengan perkembangan diri remaja.
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKKRI) tahun 2007 terhadap remaja perempuan dan laki-laki usia 15-19 tahun yang tidak menikah, terdapat beberapa masalah yang dihadapi remaja di Indonesia yang mana dipengaruhi oleh faktor dari dalam dan luar diri. Faktor dari dalam meliputi masalah psikologis dan sosial, belum matangnya emosi, kurangnya kontrol diri, kemampuan pengambilan keputusan yang rendah, serta tidak terbiasa mempertahankan mempertahankan usaha untuk mencapai tujuan. Sedangkan faktor dari luar meliputi persoalan keluarga, pengaruh negatif teman sebaya dan komunitas.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Florence J. Peilouw dan M. Nursalim (2013), ditemukan adanya hubungan yang positif antara pengambilan keputusan dengan kematangan emosi dan self-efficacy pada diri remaja. Pada kasus aborsi yang dialami Andini, terlihat bahwa keputusan aborsi merupakan permintaan dari orang tuanya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian di atas, bahwa Andini yang merupakan pelajar SMA memiliki tingkat kematangan emosi dan self-efficacy yang rendah, di mana keputusan yang diambilnya masih sangat dipengaruhi oleh aspek eksternal, yakni keluarganya.

D.    Stres Akibat Aborsi Dilihat dari Pendekatan Psikologi Klinis
Dalam pembahasan ini, aspek psikologi klinis yang diangkat adalah stres. Menurut Lazarus (dalam Davis, 1999), stres merupakan suatu gejala umum yang dialami individu yang bercirikan adanya pengalaman mencemaskan atau menegangkan secara intensif dan relatif menekan yang muncul karena keadaan atau situasi eksternal yang terus memaksa individu untuk memenuhi tuntutan yang tidak biasa pada dirinya. Sementara Sarafino (1998), mendefinisikan stres sebagai reaksi individu terhadap stimulus lingkungan yang merupakan penyebab terjadinya stres (stressor).
Pada kasus aborsi, seorang remaja dihadapkan pada stresor yakni stigma buruk tentang dirinya yang sudah mengandung diluar nikah, tuntutan menggugurkan calon bayi demi menutupi kehamilan dari tetangga, keluarga, dan sebagainya. Sebagaimana yang diungkapkan Pratiwi (2004), alasan-alasan yang mendorong aborsi, antara lain kekhawatiran akan gagalnya studi yang sedang dijalani, ketidaksiapan menghadapi kemungkinan-kemungkinan perubahan hidup, ketidaksiapan ekonomi di kemudian hari, ketidaksiapan membina rumah tangga, perasaan malu kepada lingkungan sekitar.
Usia remaja merupakan masa yang rentan akan pergaulan bebas, dimana pergaulan bebas merupakan salah satu penyebab banyaknya kasus kehamilan pranikah. Banyak dari remaja yang memilih melakukan aborsi dengan alasan untuk menghindari malu dan takut diketahui oleh orang lain. Aborsi dilakukan dengan tanpa keraguan, namun terkadang para wanita sering mengalami stres yang berkepanjangan sebelum dan sesudah aborsi, timbul perasaan bersalah, marah, menyesal dan sedih, dan pasangannya pun dapat mengalami perasaan yang sama (Shostak dalam Sudarsono, 1995).
Sebuah penelitian dilakukan oleh Ahmad Yudhie K. Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gunadarama, terhadap dua orang wanita usia 18-23 tahun yang melakukan aborsi, salah satunya adalah kasus O yang telah dijelaskan di atas. Untuk subjek kedua, alasan ia melakukan aborsi adalah  karena ia merasa takut dan malu jika pihak keluarga mengetahui kasus kehamilan pranikahnya. Ia juga mengalami kebingungan apakah harus mempertahankan kehamilannya atau tidak karena ditinggal sang pacar yang tidak mau bertanggung jawab, sementara di sisi lain kedua subjek juga tidak pernah berharap bahwa keputusan aborsi adalah suatu hal yang benar yang harus diambil dan dilakukan, apalagi bila dikaitkan dengan idealisme dan nilai-nilai pribadi yang dimilikinya (agama), sehingga muncullah perasaan bersalah dan penyesalan.
Sebelum aborsi kedua subjek mengalami gejala stres kognitif yang ditandai dengan sulit untuk berkonsentrasi. Kedua subjek sama-sama mengalami gejala stres kognitif berupa munculnya delusi dan gangguan pikiran, hanya saja khusus subjek 1, delusi dan gangguan pikiran hanya muncul pada masa setelah aborsi, sementara subjek 2 mengalaminya pada saat sebelum maupun setelah aborsi.
Stres yang dikarenakan aborsi dapat berakibat pada fisik, kognitif, mental, dan tingkah laku pelakunya. Gejala fisik yang muncul seperti nafsu makan berkurang, mual, dan sakit kepala. Untuk gejala kognitif biasanya ditandai oleh sulitnya berkonsentrasi, delusi, dan gangguan pikiran. Sementara gejala emosional dan mental mencakup depresi, rasa tidak berdaya, harga diri menurun, rasa ingin marah terus menerus, serta berkurangnya minat terhadap kehidupan. Yang terakhir adalah gejala behavioral atau tingkah laku. Gejala ini ditandai oleh menurunnya minat atau antusiasme, menurunnya energi dan kelincahan aktivitas tubuh, insomnia (sulit tidur), sering menangis dan ingin menangis, selalu gelisah, dan cenderung pendiam.

E.     Pandangan berbagai Teori Psikologi terhadap Aborsi oleh Remaja
1.      Teori Psikodinamika (id, ego, super ego)
Dalam psikodinamika, Freud mengungkapkan tiga bagian dalam diri manusia yaitu id, ego dan super ego. Dalam kasus aborsi yang dilakukan remaja, id pada diri remaja ingin agar perlakuan tidak menyenangkan yang diterima dari lingkungan akibat kehamilan pra-nikahnya menghilang, yaitu dengan cara menghilangkan bayi dalam kandungannya melalui tindakan aborsi. Namun super ego yang cendrung normatif mengatakan bahwa tindakan aborsi merupakan perbuatan dosa. Ego berusaha menjembatani dorongan id tersebut dengan memikirkan keputusan yang mungkin diambil, meskipun bertentangan dengan super ego.

2.      Teori Humanistik (konsep diri)
Konsep diri menurut Rogers adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pegalaman yang berhubungan dengan ‘aku’ dan membedakan ‘aku’ dari yang lain. Konsep diri terbagi menjadi dua: konsep diri real dan konsep diri ideal. Ketidaksesuaian antara real-self dan ideal-self menciptakan inkongruensi yang mengakibatkan pertentangan dan kekacauan batin. Pada diri remaja, ideal-self sangat dipengaruhi oleh introjeksi nilai-nilai orang tertentu seperti orang tua atau masyarakat di sekitarnya. Dalam kasus remaja dengan kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), ideal-selfnya tidak lagi sama dengan real-self yang ia miliki. Idealnya, seorang remaja yang belum menikah tidak sepatutnya hamil. Maka terjadi kekacauan dalam diri remaja yang menyebabkannya memilih jalan aborsi untuk mengurangi jarak antara ideal-self dan real-self.

F.     Kesimpulan
Kasus aborsi yang dilakukan oleh remaja masih banyak ditemukan di Indonesia. Meski memiliki dampak negatif dan melanggar undang-undang, nyatanya praktek aborsi masih sering dijadikan sebagai jalan keluar oleh para remaja atau orang tua atas kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Salah satu alasan utama para remaja melakukan aborsi adalah untuk menghindari perasaan malu dan penolakan dari masyarakat. Selain itu, ada pula remaja yang menggugurkan kandungannya karena dipaksa oleh orang tua. Para remaja yang melakukan tindakan aborsi biasanya adalah para remaja yang memiliki konsep diri negatif.
Keputusan untuk melakukan aborsi juga dipengaruhi oleh kematangan emosi dan self-efficacy yang dimiliki oleh remaja. Contohnya pada kasus Andini. Andini yang merupakan pelajar SMA memiliki tingkat kematangan emosi dan self-efficacy yang rendah, di mana keputusan yang diambilnya masih sangat dipengaruhi oleh aspek eksternal, yakni keluarganya. Dampak aborsi pada remaja tidak hanya menimbulkan kesakitan secara fisik, tapi juga secara psikologis. Dalam beberapa kasus, tindakan ini dapat menimbulkan gejala stres bagi pelakunya.
Dalam teori psikodinamika, keinginan aborsi dikendalikan oleh id remaja, sementara norma dan nilai-nilai dalam super ego sering kali menjadi penghalang diatan melakukan aborsi. Dalam teori konsep diri Rogers, ketimpangan antara diri ideal dan real menciptakan inkongruensi pada diri remaja yang akan melakukan aborsi.




DAFTAR PUSTAKA

Acocella, J. R., & Calhoun, J. F. 1990. Psychology of Adjustment Human Relationship. Ed 3. New York: McGraw-Hill.
Istiarti, Tinuk, Harbandinah Pietojo dan Kunsianah. 2006. “Analisis Faktor - Faktor Yang Berhubungan Dengan Praktik Aborsi Di Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal” dalam Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. Vol. 1, No. 1.
Peilouw J. Florence & M. Nursalim. 2013. “Hubungan Antara Pengambilan Keputusan dengan Kematangan Emosi dan Self-Efficacy pada Remaja” dalam Character, Vol. 01, No. 02.

Wrightsman & Deaux. 1981. Social Psychology in the 80’s. California: Brools