Sabtu
pagi, Tari membuka matanya yang berat. Tidak perlu cermin untuk memastikan
matanya bengkak. Ia berguling-guling sebentar di tempat tidur, masih malas
untuk beranjak.
“Tari,
bangun! Nggak boleh males-malesan! Ayo sarapan,” teriak Mama dari luar
kamarnya.
“Iya,
Ma,” sahut Tari, kemudian mengeluh dalam hati. Mama pasti akan bertanya perihal
matanya yang bengkak.
Mendadak
ponsel di samping bantalnya berdering. Semoga
bukan Ari, semoga bukan Ari, doanya dalam hati sambil meraih ponselnya. Dan
itu memang bukan Ari. Tari mengerutkan kening membaca nama Ata yang tertera di
layar ponsel.
“Ya,
Kak Ata?” jawabnya pelan setelah sebelumnya sempat berdebat dengan diri
sendiri.
“Bisa
ketemuan hari ini?” sahut Ata langsung. Satu hal lagi yang menegaskan bahwa Ata
sangat mirip dengan Ari, yaitu keduanya tidak suka basa-basi.
“Ketemuan?”
ulang Tari agak kaget. “Mau apa?”
“Ada
yang pingin gue bicarain sama elo.”
“Kenapa
nggak bicara di telepon aja, Kak?”
“Ck,
pokoknya ntar gue tunggu di Central Park, foodcourt.
Jam dua siang, oke?”
Dan
sambungan terputus begitu saja. Tari menatap layar ponsel dengan kening
berkerut semakin dalam. Sebenarnya hari ini dia malas kemana-mana. Ajakan Fio untuk
menonton drama Korea terbaru pun kemarin malam ia tolak. Ia ingin mengurung
diri seharian ini. Namun Tari tidak punya cukup keberanian untuk menolak ajakan
Ata. Jadi dengan ogah-ogahan ia berdiri dan melangkah ke kamar mandi, berusaha
sebisa mungkin untuk tidak bertatap muka dengan Mama.
***
Jam
setengah dua, Tari telah tiba di mal yang tadi disebutkan Ata. Ia langsung naik
ke foodcourt, meski ia tahu masih ada
waktu setengah jam dari waktu yang ditentukan. Tari memesan minuman, namun
tidak menyentuhnya sama sekali. Ia hanya bergerak-gerak gelisah di kursinya,
mulai menyesal karena berangkat terlalu awal.
Ketika
ponselnya menjeritkan ringtone, Tari
berharap itu dari Ata yang akan memberinya kabar. Namun perkiraannya meleset. Sekarang
justru panggilan dari Ari. Tari menggigit bibir, bingung.
“Ya,
Kak?” Akhirnya ia angkat panggilan itu, berusaha tidak terdengar takut.
“Lo
lagi di mana?”
“Ng...
gue lagi jalan di mal sama Fio,” dusta Tari, karena tidak mungkin ia membohongi
Ari tentang keberadaannya saat ini. Ari pasti bisa mendengar suasana sekitar
yang begitu ramai. Dan lebih tidak mungkin ia jujur mengatakan kalau dia sedang
menunggu Ata. “Kenapa?”
“Nggak
pa-pa. Nanya aja. Gue...”
Tari
tidak mendengar kelanjutan kalimat Ari karena seseorang tiba-tiba duduk di
kursi di hadapannya. Matanya membelalak dan tubuhnya membeku. Angga, seseorang
yang baru saja duduk di hadapannya, balas menatap Tari lurus-lurus dengan salah
satu alis terangkat.
“Tar?”
tanya Ari heran karena Tari tidak menanggapi perkataannya.
“Ehm,
Kak... sori, gue tutup dulu. Ini... ee... lagi ada diskon kaset-kaset drama
Korea. Gue mau bantuin Fio borongin kaset dulu. Ntar telepon lagi ya. Daah.”
Tari langsung memutus panggilan, takut Angga keburu bersuara dan Ari akan
mendengarnya.
“Halo,
Tar,” sapa Angga dengan senyum begitu Tari memasukkan ponsel ke tas. “Kenapa
teleponnya ditutup? Gue ganggu ya?”
“Ngapain
lo di sini?” balas Tari tanpa menjawab pertanyaan Angga.
Senyuman
Angga berubah menjadi senyum geli. “Ini tempat umum, Tar. Siapa aja berhak ke
sini. Lagian tempat duduk ini kosong. Daritadi gue nyari tempat kosong susah
banget. Dan kebetulan gue liat elo duduk sendiri. Jadi... yah, begitulah.”
“Gue
lagi nunggu temen,” ketus Tari, mengisyaratkan kalau bangku yang diduduki Angga
sudah ada yang punya. Gadis itu enggan mencari tempat duduk lain, karena –
benar kata Angga tadi – foodcourt ini
ramai dan penuh. Mendapat tempat duduk kosong memang anugerah tersendiri. Jadi
kalau salah satu dari mereka harus mencari tempat duduk lain, silahkan saja tu
cowok yang hengkang. Lagian Tari merasa dia yang duduk di sana duluan.
“Temen
lo? Siapa? Fio imajiner?” sahut Angga lagi, masih geli. “Sejak kapan lo suka
bohongin Ari?”
“Bukan
urusan elo,” desis Tari dengan gigi gemeretak. Suaranya mulai menyimpan
kemarahan.
“Oke.
Kalo gitu gue numpang duduk di sini sampe temen lo dateng. Nggak pa-pa, kan?”
Tari
tidak menjawab. Ia membuang muka, enggan bertatapan dengan Angga lebih lama.
Keduanya tidak bersuara. Kak Ata ke mana
siiih? keluh Tari dalam hati, bolak-balik memeriksa jam tangannya. Memang
belum pukul dua. Jadi wajar kalau Ata belum tiba.
“Jadi,”
kata Angga tiba-tiba. Ia memajukan kursinya mendekati Tari. “Foto itu nggak
ngaruh ya?”
“Gue
bilang, bukan urusan elo,” desis Tari lagi.
“Ck,
ck, ck,” Angga berdecak. Ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi sambil
melipat tangan di depan dada. “Segitu cintanya ya elo sama dia?”
Tak
ada sahutan dari bibir Tari. Gadis itu pun masih membuang muka. Namun Angga tak
sekalipun melepaskan pandangannya dari Tari. “Tar,” panggilnya, memulai aksinya
untuk mengipas bara. “Jujur deh sama gue. Lo pasti pernah meluk Ari, kan? Dan
lo juga pasti pernah dicium kan sama dia? Atau mungkin malah elo yang nyium
dia?”
Kali
ini Tari menoleh. Sepasang matanya mulai memancarkan letupan. Bahkan cewek itu
mencondongkan tubuhnya mendekati Angga. “Sori, ya. Gue nggak semurah itu sampe
cium-cium cowok sembarangan!”
Mengambil
kesempatan itu, Angga ikut mencondongkan tubuhnya ke arah Tari, hingga wajah
mereka sekarang hanya berjarak beberapa senti. Hebatnya, Tari tidak menarik
mundur kepalanya. Gadis itu sedang emosi sampai-sampai rasa takutnya pada Angga
menghilang.
“Gue
nggak bilang lo cewek murahan, Tar,” kata Angga lembut. “Jadi, taruhlah jawaban
pertanyaan gue tadi “iya”. Pasti lo emang pernah, paling nggak satu kali, berpelukan
sama Ari. Nah,” Angga sengaja menggantung kalimatnya sebentar. Semakin ia
dekatkan wajahnya. Ditatapnya kedua mata Tari dengan intens. “Pernah lo
bayangin nggak, kalau tangan Ari, yang selalu meluk elo itu, juga dipake buat
pelukan sama cewek lain? Lo bayangin nggak, kalau bibir Ari itu juga pernah
buat ciuman sama cewek lain?”
Reaksi
Tari persis seperti yang ia harapkan. Gadis itu terperangah mendengar kenyataan
palsu yang baru saja ia bisikkan. Angga yakin bara yang tadi dikipasnya
sekarang telah menyala menjadi api. “Gue cowok, Tar,” katanya lagi, “Gue tau
gimana tingkah laku kaum kami. Ari nggak akan beda sama cowok-cowok kebanyakan.
Nggak mungkin ada cowok yang tahan kalo deket-deket sama cewek, termasuk Ari.
Apalagi dia selalu dikelilingi cewek-cewek cantik. Iya, nggak? Silahkan lo
sangkal, tapi foto itu udah jadi bukti. Dan juga, gue udah kenal Ari sejak kami
SMP, jadi gue tau betul gimana aslinya dia.”
Tari
tak mampu berkata-kata. Ia menatap Angga dengan tatapan kosong. Angga kemudian
mengusap kepalanya lembut. “Tolong, percaya sama gue, oke? Gue cuma nggak mau
lo nyesel nanti,” katanya sebelum pergi.
***
Beberapa
menit setelah Angga pergi, Tari menelungkupkan tubuh ke meja dengan kedua
lengan sebagai bantalan. Pusing. Setiap kata yang keluar dari mulut Angga
berhasil mempengaruhinya. Bukannya ia tidak percaya pada Ari, tapi... foto
itu... kata-kata Angga tentang kaum cowok tadi... Apa ada notasi lain untuk
menyebutkan kata “tidak percaya”?
Memang
Tari tidak tahu bagaimana rasanya jadi cowok. Apalagi jadi Ari yang notabene
idola cewek satu sekolah. Ia tidak tahu bagaimana kehidupan Ari di balik gedung
kelas 12 sana, terlebih di luar sekolah. Ia percaya saja dengan rumor bahwa Ari
tidak pernah pacaran, tidak pernah tertarik dengan cewek-cewek yang selalu
mengelilinginya, dan bla, bla, bla. Tapi semua itu hanya rumor! Dan yang
namanya rumor alias gosip belum tentu benar. Ajaibnya, rumor itulah yang
menjadi tonggak utama kepercayaannya kepada Ari selama ini.
Tari
kaget sendiri mendapati kenyataan tadi, tidak menyangka dirinya bisa sebodoh
itu.
“Tar?”
Tari
spontan mengangkat wajah dan menegakkan tubuh mendengar suara berat yang
memanggilnya. Seseorang yang berwajah begitu serupa dengan pacarnya kini telah
duduk di tempat Angga duduk tadi. Tari hampir saja kena serangan jantung kalau
tidak segera menyadari bahwa cowok di depannya ini adalah Ata, bukan Ari.
“Kenapa?”
tanya Ata. “Lo sakit? Kok wajahnya pucet gitu?”
“Cuma
pusing dikit.” Tari menggeleng-geleng cepat. “Jadi, apa yang mau Kak Ata
bicarain?”
Ata
menatapnya lama, tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Tari lama kelamaan
jengah juga ditatap seperti itu.
“Kok
Kak Ata baru aja dateng? Sekarang udah jam dua lebih,” protes Tari karena Ata
sepertinya tidak berniat menjawab pertanyaannya.
Perlahan,
kedua mata Ata menyipit, membuat Tari diam-diam bergidik. “Lo tau? Gue udah
sampe sini dari tadi.”
Tari
terkejut mendengar kata-kata Ata. Sejak tadi? Tadi kapan? Apa Ata...
“Ya,
gue liat elo sama Angga,” kata Ata menjawab pertanyaan batin Tari. Ia memajukan
kursinya. Matanya makin menyipit tajam. “Apa ini? Lo selingkuh sama Angga?”
“Selingkuuuh???”
Tari memekik dengan kedua mata membulat. “Jangan nuduh keterlaluan gitu, Kak!”
Ata
mengangkat bahu. “Gue nggak tau gimana benernya. Tapi kalo emang terbukti elo
selingkuh sama Angga ato siapapun, liat aja. Lo nggak akan cuma berurusan sama
Ari. Tapi juga sama gue.”
Kata-kata
Ata begitu tajam dan mengancam, membuat Tari ingin menangis ketakutan, juga
jengkel. Kak Ata ngomong apa sih?! Selingkuh
sama Angga?? Kayak nggak ada cowok lain aja yang lebih enak buat diajak
selingkuh!
Ata
menatap Tari sebentar. “Kayaknya lo suntuk di sini. Jalan, yuk?”
“Kemana?”
“Kemana
aja. Ayo!” Tanpa menunggu persetujuan, Ata menarik tangan Tari.
***
Cuaca
sudah tidak sepanas tadi siang saat Ata dan Tari berjalan bersisian di sebuah
taman kota. Matahari pukul tiga sore tidak lagi bersinar terik dan mulai
condong ke barat, sehingga yang tersisa hanya kehangatannya di antara semilir
angin.
Taman
kota itu berbentuk nyaris persegi. Di setiap sudut ada pohon beringin raksasa
yang menaungi sepasang ayunan di bawahnya. Ata mengambil tempat di salah satu
ayunan, dan Tari mengikuti jejaknya. Selama beberapa menit, keduanya hanya
terdiam sambil beberapa kali menendangkan kaki ke tanah agar dapat berayun.
Ata
menghela napas perlahan. “Gue emang bukan Ari, Tar. Tapi gue tau gimana kondisi
hati dia. Udah terlalu banyak luka di sana. Tolong, jagain hati Ari. Jangan
lukain dia lebih dalem lagi. Dia udah cukup menderita. Jadi, jangan selingkuh,
oke?”
Diam-diam
Tari menggerutu dalam hati. Siapa juga yang selingkuh?! Jelas ia tahu Ari
sangat menderita. Tapi apa Ata tidak tahu kalau hati Tari sendiri juga
menderita? Bahwa ia juga kesakitan? Bahwa ia juga terluka? Justru Ari yang
tertuduh mau selingkuh!
“Gue
sama Nyokap bakal balik ke Malang besok.”
Kalimat
Ata membungkam gerutuan Tari. Cewek itu menatap Ata kaget. “Besok? Maksudnya
besok Minggu?”
Ata
tersenyum kecut. “Iyalah.” Cowok itu menghela napas lagi. Kali ini lebih berat.
“Kayaknya percuma gue sama Nyokap tetep tinggal di Jakarta.”
“Apa
itu gara-gara... kejadian kemaren sama papanya Kak Ata?” tanya Tari hati-hati.
“Ari
cerita ya ke elo?”
Tari
baru akan menjawab, namun Ata menyela. Nadanya terdengar getir. “Enak banget
ya. Ari selalu punya tempat pelarian buat rasa sakitnya. Dia bisa numpahin
semua keluh kesahnya ke elo kapanpun dia butuh. Gue rasa gue juga nggak bakal
sesakit ini kalo gue punya cewek kayak elo.”
“Tapi,
Kak Ata kan punya Mama...”
“Itu
beda, Tar,” tukas Ata. “Gue nggak bisa membagi setiap beban gue ke Nyokap,
karena gue tau Nyokap sendiri udah punya beban yang lebih berat, dan gue nggak
mau nambah-nambahin lagi. Justru gue yang harus selalu jadi penerima semua
keluh kesah Nyokap. Gue yang harus selalu jadi tempat sandaran tiap kali Nyokap
capek sama semua bebannya. Tapi gue nggak tau kemana gue sendiri harus
bersandar kalo gue capek.”
Ata
menundukkan kepala, berusaha meredam emosi. Tari menatapnya bingung, baru
menyadari kebenaran kata-kata Ata. Itu artinya presepsinya tentang Ata selama
ini salah. Ia kira Ata hidup lebih bahagia bersama ibunya, karena ia mempunyai
sosok penuh kasih yang selalu menyayanginya. Berbeda dengan nasib Ari yang
harus hidup bersama ayahnya. Namun ternyata kehidupan Ata jauh lebih berat.
Tari
ikut menatap tanah di bawahnya, masih sambil berayun pelan.
“Tar?”
“Hm?”
Tari menoleh, namun Ata tidak balas menatapnya.
“Boleh
gue minta sesuatu?”
“Minta
apa, Kak?” tanya Tari penasaran.
“Gue
pingin ngerasain, sekali aja, sesuatu yang selama ini Ari dapetin.”
Tari
menatap Ata dengan tak mengerti. Ata sendiri tersenyum tipis, masih tidak
menoleh ke arahnya. “Lo tau selama ini Ari udah dapetin segalanya, lebih dari
gue. Pendidikan, harta, masa remaja... Dan gue cuma minta satu hal, Tar. Untuk
kali ini aja.” Ata menarik napas panjang, mendramatisir keadaan. “Mau nggak...
lo peluk gue?”
Tari
terkesiap mendengar permintaan Ata. Gadis itu terpaku di tempat. Ayunan yang
dinaikinya pun ikut bergeming.
Ata
tersenyum kecil. “Gue tau lo pasti nggak mau, karena kesetiaan lo ke Ari. Oke,
gue ngerti. Gue nggak maksa, kok. Gue cuma... yah, gue lagi butuh sandaran aja.
Kalo lo emang nggak mau, nggak pa-pa.”
Tiba-tiba
Tari berdiri, dan dalam sedetik ia sudah berpindah ke depan Ata. Ata otomatis
menghentikan ayunannya. Tanpa pikir panjang, Tari meraih kepala cowok itu dan
menyandarkannya di dadanya.
“Untuk
sekali ini aja, Kak,” kata Tari pelan sembari berpikir. Tadi Ata memintanya
untuk tidak berselingkuh. Apakah dengan memeluk cowok itu bukan indikasi dari
selingkuh?
Sementara
Ata yang semula kaget dengan tindakan drastis Tari, kini kembali menemukan
kata-katanya. Bahkan ia balas memeluk pinggang Tari erat. “Iya, Tar. Untuk
sekali ini aja.” Perlahan, bibirnya mencetak senyum kemenangan.
***
“Menurut
lo, yang mana yang lebih bagus?” tanya Ata kepada cewek di depannya.
Cewek
itu mengamati dua lembar foto yang baru saja ia cetak. Mendadak, bibirnya
meringis lebar. “Fotonya sih kita kasih liat yang sama Angga aja. Dan kalo yang
adegan sama elo,” Ia mengeluarkan smartphone
dari tasnya, membuka fitur galeri, dan menunjukkan sebuah video kepada Ata.
Ata
menonton video yang berdurasi satu menit itu, lalu berdecak puas. “Hebat,”
komentarnya. “Simpen dulu video itu. Gue bakal bikin rencana tambahan besok di
Malang.”
Binar
di kedua mata cewek tadi meredup. Ia menatap Ata dengan kecewa. “Apa lo bener
mau balik ke Malang secepat ini?”
“Bener,
lah. Lagian gue udah hampir sebulan tinggal di Jakarta.”
“Trus
gimana dengan rencana kita?”
“Tenang
aja. Udah gue atur. Jadi biar gue udah nggak di Jakarta, lo sama Angga tetep
terusin perintah gue. Sisanya serahin ke Ari sama Tari. Mereka bakal ikutin
skenario gue.”
***
“Kok
lo tiba-tiba mau nginep sini, Tar?” Nyoman menatap Tari heran. Ia kaget saat
tadi jam tujuh malam mendapati Tari berdiri di depan rumahnya, membawa ransel
besar, dan berkata kalau dia mau menginap sampai besok Senin.
Tari
merebahkan diri di tempat tidur Nyoman. “Lagi pingin aja, Man. Lo keberatan?”
“Bukannya
keberatan sih,” Nyoman ikut mengempaskan pantat di sebelah Tari. “Tapi kan
biasanya lo nginep di rumah Fio. Lo lagi marahan sama dia?”
“Nggak,
lah,” jawab Tari langsung. “Cuma, tempat itu terlalu gampang ditebak,”
gumamnya.
“Apa?
Lo bilang apa?”
“Nggak
pa-pa, hehe.” Tari menimpuk wajah Nyoman dengan bantal. “Man, jalan-jalan yuk?
Malem Minggu gini masa lo kencan ama bantal?”
“Ayok!
Jalan-jalan ke mana? Traktir ya?”
“Huuu,
maunya.” Sekali lagi Tari menimpuk Nyoman sambil ketawa, kali ini dengan
guling. “Bentar, gue telepon Fio dulu. Ajak dia sekalian.”
“Kalo
gitu gue siap-siap deh. Lo keluar dulu sana, gue mau ganti baju.”
Tari
melangkah keluar kamar Nyoman sambil menempelkan ponsel ke telinga. “Hei, Fi?”
sapanya begitu Fio mengangkat telepon.
“Kenapa,
Tar? Jangan bilang lo mau nangis lagi!” kata Fio tajam. Soalnya dia lagi males
dengerin Tari nangis. Bikin dia merasa bersalah karena tidak bisa menghibur
sahabatnya itu.
Tari
meringis, meski tahu Fio tak akan bisa melihatnya. “Nggak, kok. Gue malem ini
nginep di rumah Nyoman, dan kita mau jalan abis ini. Ikutan yuk?”
“Waah,
kok nggak ngajak-ngajak dari tadi, sih? Kebetulan gue bosen banget di rumah.
Oke, gue ke situ abis ini, tungguin ya.”
“Sip
siiip...”
***
Akhirnya
Fio bergabung untuk menginap di rumah Nyoman. Tari sengaja mematikan ponselnya
malam ini. Ia memang sedang berusaha menghindar dari Ari. Paling tidak untuk
malam ini dan sehari besok.
“Tar,
Kak Ari nelepon gue, nih,” lapor Fio.
“Biarin
aja, Fi! Jangan diangkat!”
Fio
terpaksa menuruti, meski ia ngeri juga membayangkan konsekuensinya. Tak lama,
giliran Nyoman yang ketiban getahnya. “Tar, sekarang Kak Ari nelepon gue,”
lapornya.
“Dibilangin
biarin aja. Nggak usah diangkat. Pokoknya kalo dia telepon ato SMS jangan
ditanggepin, oke?”
Nyoman
dan Fio bertatapan. Sebenernya Ari sama Tari sedang ada masalah apa, sih? Fio
sudah bisa menebak, pasti ada hubungannya dengan foto yang kemarin Tari
ceritakan. Tapi ia belum paham apa maksud Tari dengan menghindar seperti ini.
“Matiin
aja deh tu HP lo berdua. Berisik, tau nggak.”
Mau
tidak mau Fio dan Nyoman menurut.
Sementara
di tempat lain, Ari masih berdiri di depan rumah Fio. Ia mengumpat pelan begitu
panggilannya untuk Fio dan Nyoman tidak ada yang diangkat, padahal ia hanya
memiliki kontak dua cewek itu, orang-orang yang bisa menghubungkannya dengan
Tari.
Tadi
ia sudah menelepon Tari berkali-kali. Berkali-kali juga gadis itu me-reject panggilannya. Langsung saja Ari
tancap gas ke rumah Tari. Namun gadis itu sudah kabur, sementara sang Mama juga
tidak mengetahui kemana Tari pergi karena anaknya tadi hanya pamit mau menginap
di rumah teman selama dua malam. Tidak disebutkan siapa teman yang dimaksud
Tari.
“Paling
ke rumah Fio,” begitu kata Mama Tari.
Sasaran
kedua Ari jelas rumah Fio. Tetapi baik Tari maupun si pemilik rumah tidak ada
di sana, menginap di rumah teman juga katanya. Teman siapa, sih?!
Kembali
Ari mengumpat. Darahnya mulai mendidih karena tingkah laku Tari malam ini. Otaknya
mulai menangkap sinyal adanya sesuatu yang tidak beres. Kenapa cewek itu
seperti sengaja menghindarinya?
Akhirnya
Ari mengirim SMS ke nomor Tari.
Knp kabur2 dr gw?
Sementara
SMS untuk Fio dan Nyoman lebih mengerikan lagi isinya.
Gw tau lo lg sma Tari! Awas ya lo brni
rejct pgln gw! Liat aja ntr di sklh!
Begitu
ancamnya! Gawat nggak tuh? Ari yakin salah satu dari cewek-cewek tadi memang
sedang bersama Tari. Atau mungkin malah dua-duanya. Dan Ari yakin Fio atau
Nyoman akan keder begitu membaca SMS darinya. Bener-bener tu SMS bisa bawa nightmare bagi siapa saja yang menerimanya, atau yang lebih parah, bisa bikin mati berdiri!
Tapi malang, Ari tidak tahu ponsel milik ketiga cewek tadi sedang dalam keadaan
tewas, sementara pemiliknya sekarang lagi ngobrol riuh di kamar Nyoman sambil
cekikik-cekikik seusai jajan bakso bareng. Aman, karena rumah Nyoman tidak akan
terdeteksi oleh Ari.
***
Ata
menyeret kopernya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menjinjing satu
lagi tas pakaian besar. Keduanya baru saja turun dari taksi. Mama berjalan di sampingnya dalam diam.
“Ta?”
panggil Mama sebelum keduanya memasuki lobi bandara.
Ata
menoleh. “Kenapa, Ma?”
Mamanya
terlihat gelisah. Tanpa ditanya pun Ata tahu apa yang tengah menggelayuti
pikiran Mama. Ia meletakkan tas dan melepas kopernya, lalu memeluk Mama.
“Tenang aja, Ma. Kita bisa balik ke Jakarta lagi kapan-kapan,” ucapnya lembut.
Mama
menyandarkan kepalanya ke dada Ata, dada yang telah menyertainya selama
bertahun-tahun dan menerima semua air matanya. “Tapi... Ari...”
“Ssst,
nggak perlu khawatir tentang Ari. Dia anak yang kuat.”
“Tapi...
apa nggak sebaiknya kita pamit ke dia?”
Ata
menggeleng pelan. “Gimana kalo Ari melarang kita pulang? Atau gimana kalo Ari
malah ingin ikut kita ke Malang?”
Mama
terdiam. Kata-kata Ata memang benar. Hal-hal yang tadi disebutkan Ata adalah
sesuatu yang sangat mungkin terjadi kalau mereka mengabari Ari tentang
kepulangan mereka ke Malang hari ini. Dan segalanya akan bertambah runyam.
Tidak ada satupun dari mereka yang ingin mengucapkan salam perpisahan. Atau
bisa jadi malah Mama yang tidak ingin pulang ke Malang begitu melihat Ari. Jadi
lebih baik memang seperti ini. Mereka pulang diam-diam.
“Kita
kabarin Ari begitu kita tiba di Malang,” kata Ata lagi.
Mama
mendongak, menatap wajah Ata, dan mengangguk pelan. Ata menunduk saat Mama
meraih belakang kepalanya, membiarkan wanita yang sangat dicintainya itu
mencium keningnya lembut.
Bersambung...