Rabu, 16 Januari 2013

Just for a Moment (2)



Di hari berikutnya, Rosalie memberitahu Jonathan bahwa Mr. Steven mengizinkan mereka menggunakan ruang musik. Pukul 2.30, Jonathan belum tiba juga. Rosalie yang telah menunggu selama setengah jam lebih, menjadi gelisah.
“Maaf, aku terlambat.” Tiba-tiba pintu ruang musik terbuka dan Jonathan melangkah masuk dengan santai.
Rosalie cemberut. “Kau sungguh terlambat, Jo. Jangan lakukan ini lagi! Datang terlambat bukan kebiasaan yang baik!”
“Hei, tak ada anak yang berani memarahiku sebelum ini!” protes Jonathan.
“Itu bukan alasan!” Rosalie menatap Jonathan dengan tajam. “Dengar, Jo. Aku tak takut denganmu. Jadi, aku akan memarahimu jika kau memang bersalah.”
“Huh, benar-benar gadis pemberani.”
“Terserah apa katamu.” Rosalie membuka bukunya dan mulai menulis di papan tulis.
“Maaf,” kata Jonathan tiba-tiba setelah keduanya tak bersuara selama beberapa saat. “Aku tadi mendapat hukuman dari Mrs. Katie.”
“Apa yang kau lakukan?” tanya Rosalie tanpa menoleh.
“Aku tertidur di kelasnya.”
“Kau sungguh pembuat masalah yang hebat, Jo.”
“Hei, itu bukan sepenuhnya salahku. Aku yakin kau tau betapa membosankannya pelajaran Sejarah.”
“Tidak. Pelajaran Sejarah adalah pelajaran yang baik dan sangat berguna.”
“Berguna? Untuk apa kita mempelajari hal-hal di masa lalu? Padahal orang bijak sering berkata, yang lalu biarlah berlalu.”
Rosalie tak dapat menahan senyum gelinya. “Ya, tapi dengan mempelajari Sejarah, kita bisa menjadi lebih bijak ke depannya. Bahkan lebih bijak dari orang bijak yang berkata “yang lalu biarlah berlalu”. Dengan belajar Sejarah, kita tak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi.”
“Jangan mulai menceramahiku,” gerutu Jonathan. “Semua yang kau katakan persis dengan apa yang dikatakan Mrs. Katie. Dan aku akan pilih angkat kaki dari sini jika harus mendengar ulang semua kata-kata itu.”
“Kau benar-benar bandel.”
Jonathan merengut. “Dan kau sepertinya menganggap semua mata pelajaran itu menyenangkan.”
“Memang. Kecuali olahraga.”
“Olahraga justru satu-satunya pelajaran kesukaanku.”
“Karena itu menjadi kesempatanmu untuk mem-bully anak-anak kelas bawah yang memiliki jam olahraga yang sama denganmu.”
Jonathan tertawa. “Jujur deh, kau sering memata-mataiku, kan?”
“Sama sekali tak pernah. Tapi aku tau watak seorang cowok sepertimu.”
Jonathan mengangguk-angguk. “Jenius.”
Keduanya terdiam. Rosalie tetap menuliskan rumus-rumus di papan tulis sambil menerangkan, dan Jonathan diam memperhatikan. Otaknya mulai merekam segalanya. Lima menit kemudian, Rosalie berhenti.
“Apa kau sudah mencatatnya?”
“Sudah terekam baik di otakku.” Jonathan mengetuk-ngetuk kepalanya.
“Bagus. Sekarang, buka bukumu halaman 49, dan kerjakan latihan-latihannya.”
Okay, Ma’am.”
Rosalie menatap Jonathan dengan kening berkerut. “Bahkan, kau lebih tua dariku.”
“Berapa umurmu?”
“Tujuh belas di bulan Desember.”
“Woah, mengejutkan. Bagaimana kau bisa di kelas 12 ketika umurmu hanya 16 tahun?”
“Aku mengambil kelas akselerasi.”
“Hm, Rose, kau sungguh membuatku bingung. Kadang, kau melakukan hal yang bodoh. Tapi sebenarnya, kau adalah gadis yang sangat-sangat cerdas.”
“Jangan memujiku. Kerjakan saja tugasmu.”
“Dan kau gadis yang galak.”
“Dan kau orang yang aneh,” balas Rosalie.
“Dan kau tidak ramah,” kata Jonathan lagi.
“Dan kau begitu cerewet.”
“Dan kau...”
“Cukup, Jo!” potong Rosalie jengkel.
“Oke, oke.” Jonathan mengangkat tangan tanda menyerah. “Sekarang, sementara aku menyelesaikan tugasku, tugasmu adalah bermain piano.”
Rosalie duduk di belakang piano. “Kau bisa bermain piano?”
“Tidak. Tapi aku suka musik instrumental, terutama piano.”
“Fakta yang cukup aneh untuk seorang yang bandel sepertimu. Cowok lain mungkin sedang asyik mendengarkan musik-musik rock atau reggeae, sementara kau sedang mendengarkan musik-musik karya Mozart, Beethoven, atau bahkan Kitaro.”
“Apa ada yang salah dengan itu?”
“Tidak ada sih. Jadi, apa yang bisa kau mainkan?”
“Aku bisa bermain gitar cukup baik.”
Rosalie tersenyum. “Kalau begitu, suatu hari nanti, kau harus menunjukkan kebolehanmu padaku.”
“Yeah, dan aku akan membuatmu terkejut.”
“Coba saja kalau bisa.” Rosalie tertawa. “Dengarkan lagu ini, Jo. Ini lagu favoritku. Aku membuatnya sendiri.”
Rosalie mulai memainkan sebuah lagu yang benar-benar indah. Jari-jarinya menari-nari dengan anggun di atas tuts piano. Tanpa sadar Jonathan menutup mata, menikmati lagu itu.
“Jo?” Tiba-tiba Rosalie berhenti bermain. “Kerjakan soal matematikamu.”
“Maaf.” Jonathan meringis. “Mendengar lagumu membuatku lupa keadaan sekeliling. Ehm, omong-omong, apa judulnya?”
My Dreams.”
“Boleh aku tau alasannya?”
“Selesaikan dulu pekerjaanmu.”
“Baiklah.” Jonathan mengambil penanya dan mengerjakan soal-soal yang tertulis di buku. Rosalie menatapnya sebentar, lalu melanjutkan permainannya.
“Selesai!” Jonathan membanting penanya ke meja beberapa saat kemudian.
“Cepat sekali,” komentar Rose. “Bawa kemari.”
Jonathan mendekati Rosalie dan memberikan bukunya. Dia duduk di samping gadis itu. Jari-jarinya menekan tuts-tuts piano dengan sembarangan, menghasilkan nada yang tak beraturan.
“Jo, kau merusak konsentrasiku dengan lagumu itu.”
“Hei, kau mengejekku.” Jonathan cemberut.
“Itu fakta.” Rosalie mengangkat bahu. “Kau masih membuat banyak kesalahan di jawaban akhirmu. Meski kau menggunakan semua rumus yang tepat, tapi kau harus tahu cara menggunakannya agar jawabanmu bisa benar. Perhatikan.” Rose menerangkan soal demi soal. “Mengerti?”
“Ya. Tapi harus berapa kali kubilang? Aku tak suka menghitung.”
“Tapi kan...”
“Jangan berdebat! Sekarang, karena pekerjaanku sudah selesai, jawab pertanyaanku tadi.” Jonathan mengambil bukunya dari tangan Rosalie dan memasukannya ke dalam tas.
“Pertanyaan apa?”
“Tentang judul lagumu.”
“Oh, itu. Hm, karena itu memang bercerita tentang mimpi-mimpiku. Cita-citaku.”
“Apa mimpimu?”
“Cukup banyak.”
“Salah satu yang terbesar?”
“Kau akan tahu jika kau mendengarkan lagu ini sekali lagi.”
With my pleasure, Ma’am.”
“Berhenti memanggilku dengan sebutan itu,” omel Rosalie.
I’m sorry, Ma’am.”
Rosalie tambah cemberut. “Apa aku harus memukulmu agar kau bisa bersikap lebih sopan, anak kecil?”
“Jangan. Ampuni aku, Ma’am.”
Well, terserah. Sekarang, tutup matamu. Dengar lagu ini baik-baik. Dengarkan dengan hati, Jo. Bukan sekedar telinga. Dan kau akan mendapatkan jawaban atas pertanyaanmu tadi.”
Jonathan menutup kedua matanya. Untuk kedua kalinya, Rosalie memainkan lagu yang sama. Jonathan baru menyadari bahwa lagu itu sangat indah. Walau nadanya mengalun lembut, tapi dengan jelas Jonathan bisa menangkap semangat dari lagu itu. Setiap nada menerobos masuk ke dalam hatinya. Memberinya kekuatan. Membuatnya “hidup”.
“Rose,” bisik Jonathan. “Lagu ini begitu... sempurna.”
“Yeah, aku tahu.” Rosalie tersenyum. “Lagu ini selalu menjadi kekuatanku. Dengar, Jonathan,” desah Rosalie. “Bisakah kau membayangkan sebuah dunia yang indah dari lagu ini? Dapatkah kau mendengar burung-burung bernyanyi untukmu? Sinar matahari memelukmu, angin bertiup begitu lembut, juga pohon-pohon dan lengan-lengan rumput menari di sekelilingmu.”
“Ya, Rose. Aku... bisa... melihat... itu semua,” ujar Jonathan perlahan. “Ini begitu indah.”
“Dan sekarang, aku akan memberimu dunia yang berbeda. Tetap pejamkan matamu.” Rosalie mengubah nada pianonya. “Apa yang kau lihat sekarang?”
“Mm, aku tak bisa melihat apapun,” jawab Jonathan.
“Oke. Aku akan membantumu. Pertama, keluarlah dari kegelapan, Jo. Kalahkan mereka. Dan sekarang, kau melihat sebuah kota besar. Kota yang begitu besar dengan gedung-gedung pencakar langit berderet sepanjang jalan. Sebuah kota bergemerlapan yang membuatmu begitu terpesona. Kota dimana orang-orang berbakat berkumpul dan bersaing untuk menunjukkan bakat mereka. Berusaha untuk menarik perhatian setiap orang.”
“Katakan, Rose! Beritahu aku!” bisik Jonathan.
“New York.”
Jonathan terdiam sebentar. “Aku bisa melihatnya sekarang. Kota ini berada tepat di depan mataku. Ini sangat... menakjubkan.”
Rosalie ikut menutup matanya, tapi jemarinya tetap bergerak lancar dan anggun tanpa kesalahan di atas tuts piano. Dia meresapi lagunya. Dan dia juga bisa melihat kota besar itu di depan mata seketika itu juga. Kota yang telah menjadi impiannya sejak lama. Tiba-tiba hatinya terasa hangat.
“Aku ingin hidup lebih lama. Aku ingin mimpi-mimpiku jadi kenyataan,” bisiknya pelan.



Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar