Di
hari berikutnya, Rosalie memberitahu Jonathan bahwa Mr. Steven mengizinkan
mereka menggunakan ruang musik. Pukul 2.30, Jonathan belum tiba juga. Rosalie
yang telah menunggu selama setengah jam lebih, menjadi gelisah.
“Maaf,
aku terlambat.” Tiba-tiba pintu ruang musik terbuka dan Jonathan melangkah
masuk dengan santai.
Rosalie
cemberut. “Kau sungguh terlambat, Jo. Jangan lakukan ini lagi! Datang terlambat
bukan kebiasaan yang baik!”
“Hei,
tak ada anak yang berani memarahiku sebelum ini!” protes Jonathan.
“Itu
bukan alasan!” Rosalie menatap Jonathan dengan tajam. “Dengar, Jo. Aku tak
takut denganmu. Jadi, aku akan memarahimu jika kau memang bersalah.”
“Huh,
benar-benar gadis pemberani.”
“Terserah
apa katamu.” Rosalie membuka bukunya dan mulai menulis di papan tulis.
“Maaf,”
kata Jonathan tiba-tiba setelah keduanya tak bersuara selama beberapa saat. “Aku
tadi mendapat hukuman dari Mrs. Katie.”
“Apa
yang kau lakukan?” tanya Rosalie tanpa menoleh.
“Aku
tertidur di kelasnya.”
“Kau
sungguh pembuat masalah yang hebat, Jo.”
“Hei,
itu bukan sepenuhnya salahku. Aku yakin kau tau betapa membosankannya pelajaran
Sejarah.”
“Tidak.
Pelajaran Sejarah adalah pelajaran yang baik dan sangat berguna.”
“Berguna?
Untuk apa kita mempelajari hal-hal di masa lalu? Padahal orang bijak sering
berkata, yang lalu biarlah berlalu.”
Rosalie
tak dapat menahan senyum gelinya. “Ya, tapi dengan mempelajari Sejarah, kita
bisa menjadi lebih bijak ke depannya. Bahkan lebih bijak dari orang bijak yang
berkata “yang lalu biarlah berlalu”. Dengan belajar Sejarah, kita tak akan
mengulangi kesalahan yang sama lagi.”
“Jangan
mulai menceramahiku,” gerutu Jonathan. “Semua yang kau katakan persis dengan
apa yang dikatakan Mrs. Katie. Dan aku akan pilih angkat kaki dari sini jika
harus mendengar ulang semua kata-kata itu.”
“Kau
benar-benar bandel.”
Jonathan
merengut. “Dan kau sepertinya menganggap semua mata pelajaran itu
menyenangkan.”
“Memang.
Kecuali olahraga.”
“Olahraga
justru satu-satunya pelajaran kesukaanku.”
“Karena
itu menjadi kesempatanmu untuk mem-bully
anak-anak kelas bawah yang memiliki jam olahraga yang sama denganmu.”
Jonathan
tertawa. “Jujur deh, kau sering memata-mataiku, kan?”
“Sama
sekali tak pernah. Tapi aku tau watak seorang cowok sepertimu.”
Jonathan
mengangguk-angguk. “Jenius.”
Keduanya
terdiam. Rosalie tetap menuliskan rumus-rumus di papan tulis sambil menerangkan,
dan Jonathan diam memperhatikan. Otaknya mulai merekam segalanya. Lima menit
kemudian, Rosalie berhenti.
“Apa
kau sudah mencatatnya?”
“Sudah
terekam baik di otakku.” Jonathan mengetuk-ngetuk kepalanya.
“Bagus.
Sekarang, buka bukumu halaman 49, dan kerjakan latihan-latihannya.”
“Okay, Ma’am.”
Rosalie
menatap Jonathan dengan kening berkerut. “Bahkan, kau lebih tua dariku.”
“Berapa
umurmu?”
“Tujuh
belas di bulan Desember.”
“Woah,
mengejutkan. Bagaimana kau bisa di kelas 12 ketika umurmu hanya 16 tahun?”
“Aku
mengambil kelas akselerasi.”
“Hm,
Rose, kau sungguh membuatku bingung. Kadang, kau melakukan hal yang bodoh. Tapi
sebenarnya, kau adalah gadis yang sangat-sangat cerdas.”
“Jangan
memujiku. Kerjakan saja tugasmu.”
“Dan
kau gadis yang galak.”
“Dan
kau orang yang aneh,” balas Rosalie.
“Dan
kau tidak ramah,” kata Jonathan lagi.
“Dan
kau begitu cerewet.”
“Dan
kau...”
“Cukup,
Jo!” potong Rosalie jengkel.
“Oke,
oke.” Jonathan mengangkat tangan tanda menyerah. “Sekarang, sementara aku
menyelesaikan tugasku, tugasmu adalah bermain piano.”
Rosalie
duduk di belakang piano. “Kau bisa bermain piano?”
“Tidak.
Tapi aku suka musik instrumental, terutama piano.”
“Fakta
yang cukup aneh untuk seorang yang bandel sepertimu. Cowok lain mungkin sedang
asyik mendengarkan musik-musik rock
atau reggeae, sementara kau sedang
mendengarkan musik-musik karya Mozart, Beethoven, atau bahkan Kitaro.”
“Apa
ada yang salah dengan itu?”
“Tidak
ada sih. Jadi, apa yang bisa kau mainkan?”
“Aku
bisa bermain gitar cukup baik.”
Rosalie
tersenyum. “Kalau begitu, suatu hari nanti, kau harus menunjukkan kebolehanmu
padaku.”
“Yeah,
dan aku akan membuatmu terkejut.”
“Coba
saja kalau bisa.” Rosalie tertawa. “Dengarkan lagu ini, Jo. Ini lagu favoritku.
Aku membuatnya sendiri.”
Rosalie
mulai memainkan sebuah lagu yang benar-benar indah. Jari-jarinya menari-nari
dengan anggun di atas tuts piano. Tanpa sadar Jonathan menutup mata, menikmati
lagu itu.
“Jo?”
Tiba-tiba Rosalie berhenti bermain. “Kerjakan soal matematikamu.”
“Maaf.”
Jonathan meringis. “Mendengar lagumu membuatku lupa keadaan sekeliling. Ehm,
omong-omong, apa judulnya?”
“My Dreams.”
“Boleh
aku tau alasannya?”
“Selesaikan
dulu pekerjaanmu.”
“Baiklah.”
Jonathan mengambil penanya dan mengerjakan soal-soal yang tertulis di buku.
Rosalie menatapnya sebentar, lalu melanjutkan permainannya.
“Selesai!”
Jonathan membanting penanya ke meja beberapa saat kemudian.
“Cepat
sekali,” komentar Rose. “Bawa kemari.”
Jonathan
mendekati Rosalie dan memberikan bukunya. Dia duduk di samping gadis itu.
Jari-jarinya menekan tuts-tuts piano dengan sembarangan, menghasilkan nada yang
tak beraturan.
“Jo,
kau merusak konsentrasiku dengan lagumu itu.”
“Hei,
kau mengejekku.” Jonathan cemberut.
“Itu
fakta.” Rosalie mengangkat bahu. “Kau masih membuat banyak kesalahan di jawaban
akhirmu. Meski kau menggunakan semua rumus yang tepat, tapi kau harus tahu cara
menggunakannya agar jawabanmu bisa benar. Perhatikan.” Rose menerangkan soal
demi soal. “Mengerti?”
“Ya.
Tapi harus berapa kali kubilang? Aku tak suka menghitung.”
“Tapi
kan...”
“Jangan
berdebat! Sekarang, karena pekerjaanku sudah selesai, jawab pertanyaanku tadi.”
Jonathan mengambil bukunya dari tangan Rosalie dan memasukannya ke dalam tas.
“Pertanyaan
apa?”
“Tentang
judul lagumu.”
“Oh,
itu. Hm, karena itu memang bercerita tentang mimpi-mimpiku. Cita-citaku.”
“Apa
mimpimu?”
“Cukup
banyak.”
“Salah
satu yang terbesar?”
“Kau
akan tahu jika kau mendengarkan lagu ini sekali lagi.”
“With my pleasure, Ma’am.”
“Berhenti
memanggilku dengan sebutan itu,” omel Rosalie.
“I’m sorry, Ma’am.”
Rosalie
tambah cemberut. “Apa aku harus memukulmu agar kau bisa bersikap lebih sopan,
anak kecil?”
“Jangan.
Ampuni aku, Ma’am.”
“Well, terserah. Sekarang, tutup matamu.
Dengar lagu ini baik-baik. Dengarkan dengan hati, Jo. Bukan sekedar telinga.
Dan kau akan mendapatkan jawaban atas pertanyaanmu tadi.”
Jonathan
menutup kedua matanya. Untuk kedua kalinya, Rosalie memainkan lagu yang sama.
Jonathan baru menyadari bahwa lagu itu sangat indah. Walau nadanya mengalun
lembut, tapi dengan jelas Jonathan bisa menangkap semangat dari lagu itu.
Setiap nada menerobos masuk ke dalam hatinya. Memberinya kekuatan. Membuatnya
“hidup”.
“Rose,”
bisik Jonathan. “Lagu ini begitu... sempurna.”
“Yeah,
aku tahu.” Rosalie tersenyum. “Lagu ini selalu menjadi kekuatanku. Dengar,
Jonathan,” desah Rosalie. “Bisakah kau membayangkan sebuah dunia yang indah
dari lagu ini? Dapatkah kau mendengar burung-burung bernyanyi untukmu? Sinar matahari
memelukmu, angin bertiup begitu lembut, juga pohon-pohon dan lengan-lengan rumput
menari di sekelilingmu.”
“Ya,
Rose. Aku... bisa... melihat... itu semua,” ujar Jonathan perlahan. “Ini begitu
indah.”
“Dan
sekarang, aku akan memberimu dunia yang berbeda. Tetap pejamkan matamu.”
Rosalie mengubah nada pianonya. “Apa yang kau lihat sekarang?”
“Mm,
aku tak bisa melihat apapun,” jawab Jonathan.
“Oke.
Aku akan membantumu. Pertama, keluarlah dari kegelapan, Jo. Kalahkan mereka.
Dan sekarang, kau melihat sebuah kota besar. Kota yang begitu besar dengan
gedung-gedung pencakar langit berderet sepanjang jalan. Sebuah kota
bergemerlapan yang membuatmu begitu terpesona. Kota dimana orang-orang berbakat
berkumpul dan bersaing untuk menunjukkan bakat mereka. Berusaha untuk menarik
perhatian setiap orang.”
“Katakan,
Rose! Beritahu aku!” bisik Jonathan.
“New
York.”
Jonathan
terdiam sebentar. “Aku bisa melihatnya sekarang. Kota ini berada tepat di depan
mataku. Ini sangat... menakjubkan.”
Rosalie
ikut menutup matanya, tapi jemarinya tetap bergerak lancar dan anggun tanpa
kesalahan di atas tuts piano. Dia meresapi lagunya. Dan dia juga bisa melihat
kota besar itu di depan mata seketika itu juga. Kota yang telah menjadi impiannya
sejak lama. Tiba-tiba hatinya terasa hangat.
“Aku
ingin hidup lebih lama. Aku ingin mimpi-mimpiku jadi kenyataan,” bisiknya
pelan.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar