Huaaaaaah, si Angel sampe berdebu nih saking lamanya nggak aku urusin
Maaf ya blog-ku tersayang tercinta dan terkasih, aku sibuk banget selama ini *sok jadi orang penting*
Kali ini aku mau kembali meramaikan blog dengan ceritaku, hehe
Dan ini adalah tentang....... jeng! jeng! jeng! Ari dan Tari!!!
Siapa sih yang nggak kenal mereka? Pasangan fenomenal yang ngetop BGT berkat kisahnya di novel serial JDS dan JDE
Hai hai, Mama Esti Kinasih, jangan PHP terus dong T_T
Katanya bulan ini terbit lah, bulan itu terbit lah, nyatanya JUM belum terbit juga sampai sekarang
Plis, Ma... Para penggemarmu butuh kepastian, jangan menggantung kita seperti ini *alaynya kumat*
Tapi yang pasti kita selalu setia menunggu kok, walau harus jatuh bangun :') *tambah parah alaynya*
Oke, mungkin sekarang udah bukan jaman fanfic Jingga untuk Matahari, tapi yaa karena aku udah terlanjur bikin, mending aku post aja deh, kan lumayan bisa jadi obat sementara untuk kerinduan kalian pada sosok Matahari Senja sampai JUM terbit :)
Bikinnya sebenernya udah lama, hampir setahun yang lalu, cuma emang dari dulu nggak ada niat buat aku publish
Tapi daripada jadi sampah di laptop, mending aku share, iya nggak?
Ya udah deh, pembukaannya kepanjangan, hehe...
Silahkan membaca, harap komen juga, okaaay? ;)
***
“Ji,
cewek gue ngambek lagi.” Kalimat singkat yang dilontarkan Ari begitu masuk ke
kelas mengalihkan perhatian Oji yang sedari tadi sibuk menyalin PR Matematika
milik Deva ke bukunya. Cowok itu meletakkan pensil, kemudian berdiri. “Siap,
Bos! Berangkat!”
Keduanya
berjalan keluar kelas dan langsung menyeret Ridho yang baru akan mencapai
ambang pintu.
“Ikut,”
perintah Ari tanpa penjelasan lebih lanjut, yang sudah lebih dari cukup untuk
membuat Ridho mengikuti langkah lebar kedua sahabatnya. Sangat tahu kemana
tujuan mereka. Kelas sepuluh sembilan.
“Ada
masalah apa lagi, nih?” tanya Ridho ketika ketiganya menuruni anak-anak tangga.
“Gue
cium dia kemaren,” jawab Ari santai tanpa menoleh, sehingga tak melihat dua
pasang mata milik Oji dan Ridho yang kontan membelalak lebar.
“Cium
pipi?” tanya Ridho lagi, terdengar ragu, karena sepertinya dia sudah bisa menebak
jawaban dari pertanyaannya sendiri.
“Nggak,
lah.” Ari mengetuk-ngetuk sepasang bibirnya yang mengembangkan seulas senyum
lebar menggunakan jari telunjuk. Jelas saja Ridho dan Oji melotot lagi.
“Keterlaluan
kalo itu, Bos. Pantes aja dia marah!” seru Oji sambil memukul kepala Ari, sementara
itu Ridho menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir.
Ari
malah terkekeh geli. “Dia cerewet banget kemaren. Jadi gue suruh diem. Dan
kalian tahu sendiri gue paling nggak suka bikin dia bungkam pake kata-kata.”
Oh
ya. Tentu saja. Seperti yang diketahui semua orang, Ari lebih suka bertindak
langsung daripada berdebat, yang sering kali tindakannya itu bisa dikategorikan
nekat dan berani. Mencium seseorang bernama Tari seharusnya bukan sesuatu yang
mengagetkan bagi Ridho dan Oji. Apalagi kalau mengingat kelakuan-kelakuan Ari
terhadap Tari di masa-masa awal keduanya bertemu. Tidak mengherankan dan sudah
bisa diprediksi oleh otak setiap orang, bahwa Ari mendaratkan ciuman untuk
Tari, bukan sekadar di pipi, pasti memang akan terjadi, cepat atau lambat.
“No comment,” ucap Ridho dengan wajah
datar, dan lagi-lagi Ari terkekeh dibuatnya. Kini cowok itu tengah memikirkan
bagaimana reaksi Tari begitu melihat wajahnya nanti. Tanpa sadar, Ari mengusap
pipi kirinya yang menjadi tempat pendaratan telapak tangan Tari semalam. Cukup
keras juga Tari menamparnya, tapi memang tak berpengaruh apapun untuk Ari
selain menimbulkan sekelebat rasa kaget. Itu pun hanya sebentar. Sampai
sekarang, masih terekam jelas dalam ingatannya bagaimana marahnya wajah Tari
sesaat setelah ia cium. Wajah itulah yang membuatnya dihantui perasaan bersalah
dan gelisah semalaman karena Tari tak menjawab satupun panggilannya.
Oji,
yang berjalan di sebelah kiri Ari, menoleh heran. “Kenapa?”
“Kena
gampar.”
“Pantes.”
Oji manggut-manggut.
“Untung
cuma kena gampar tangan dia. Coba kalo kena gampar emak-bapaknya. Mau ngomong
apa lo?” Ridho menimpali, yang hanya dijawab seringaian oleh Ari.
Kelas
X-9 masih setengah kosong saat Ari melangkah masuk dan melemparkan tatapannya
ke penjuru kelas. “Tari mana?” tanyanya kepada penghuni kelas tersebut yang
semuanya kompak mengunci mulut begitu dia muncul tadi, tanpa bersusah payah
menjelaskan Tari yang mana yang dia cari meski di dunia ini ada jutaan orang
bernama Tari.
“Belom
dateng, Kak,” jawab Nyoman yang posisinya paling dekat dengannya.
Ari
mengangguk-angguk, memutuskan untuk menunggu gadis itu datang dengan bercokol
di bangku panjang yang ada di luar kelas Tari, membuat semua anak yang lewat di
koridor itu membungkukkan badan rendah-rendah dengan kesopanan luar biasa
ketika melintas di hadapan orang yang paling ditakuti di SMA Airlangga, apalagi
orang itu duduk bersama kedua sahabatnya yang juga sama-sama ditakuti.
Begitu
sang pentolan sekolah keluar dari kelas mereka, semua anak kelas X-9 sibuk
menerka-nerka, kira-kira “ada” dan “akan ada” kejadian apa lagi setelah Tari
datang nanti. Yang pasti sesuatu yang menarik. Tak perlu bertanya-tanya lebih
lama karena beberapa menit kemudian Tari terlihat di ujung koridor, datang
bersama Fio dengan wajah suram, seperti siap mengamuk. Sepasang matanya yang
berkilat-kilat ketika melihat Ari juga jelas menunjukkan bahwa di antara
keduanya sedang ada masalah. Lagi-lagi.
Titik-titik
penonton mulai terbentuk di sekeliling mereka ketika Oji mencegat langkah kedua
cewek itu beberapa meter dari pintu kelas, sementara Ari dan Ridho berdiri tidak
jauh dari ketiganya. Memperhatikan.
“Mau
apa lo?!” bentak Tari. “Minggir! Kami mau lewat!”
“Wih,
kasar amat. Yang nyium elo bukan gue kali, Tar,” kata Oji santai, tak bisa
menahan senyum geli biar kena bentak dan pelototan seperti itu.
Kini
tatapan penuh bara kemarahan tadi beralih kepada Ari. Dengan geram, Tari
mendorong tubuh Oji agar menyingkir dari hadapannya. Kakinya melangkah cepat
menghampiri Ari, yang justru menyambutnya dengan senyuman hangat.
“Pagi,
Tar.” Seolah letupan amarah di sepasang mata Tari tidak ada, Ari menyapa gadis
itu dengan ramah.
“Minggir
lo,” desis Tari. Bukan ditujukkan untuk Ari tentu saja, melainkan untuk Ridho.
“Dho,
mending lo minggat dulu. Soalnya kalo ni cewek ngamuk, dia bakalan sama bahayanya
kayak gue. Lihat. Kami emang jodoh, kan?”
Ridho
menanggapi perkataan sahabatnya dengan tawa. Sebelum berjalan pergi, ia
membungkukkan badan sedikit untuk menyejajarkan wajahnya dengan wajah Tari. “Marahin
aja Ari sepuas lo. Oke?”
Sekarang
giliran Ari yang tertawa. “Thanks,
Dho.”
“Yoi,”
jawab Ridho nyengir.
Ari
mengembalikan perhatiannya kepada cewek yang tengah mengatupkan rahang
kuat-kuat di hadapannya itu. Sesaat, tidak ada yang bicara di antara keduanya.
Yang satu menunggu, yang lain bertahan. Ari menunggu Tari menumpahkan
amarahnya, namun yang ditunggu malah berusaha untuk tidak melakukannya.
Ari
menghela napas pelan, lalu bicara dengan nada serius, “Lo denger kan kata Ridho
barusan? Kalo lo mau marahin gue, marahin aja sepuasnya. Gue terima.”
Tari
mati-matian menahan mulutnya agar tidak menyemburkan luapan kemarahan yang
telah ia pendam sejak tadi malam. Hanya sepasang matanya yang berbicara kepada
Ari tentang apa yang ada dalam hatinya saat ini. Marah. Benci. Tapi tidak ia
utarakan semua itu lewat sepasang bibirnya, karena ia tahu, sebatas kata-kata
tak akan bisa mewakili seluruh emosi. Tak akan sanggup membebaskannya dari
sesak yang semalaman menghimpit dadanya.
“Tar,”
panggil Ari. “Udah berapa lama kita pa...”
“Kita
putus!” seru Tari tiba-tiba. “Kita putus! Selesai!”
Semua
orang yang mendengar seruan Tari kontan terperangah, menatap Tari seolah-olah
gadis itu sudah tidak waras. Tapi tidak untuk Ari. Sudah terbayang dalam
benaknya sejak pagi tadi tentang akibat dari perbuatannya. Tari minta putus.
Tidak cukup mengagetkan. Sebelum cewek itu melangkah meninggalkannya, Ari
mencekal salah satu pergelangan tangan Tari.
“Lepas,”
desis Tari dingin.
“Gue
mau ngomong,” Ari balas mendesis tajam. Sepasang matanya yang berkilat dan
melontarkan peringatan ternyata tanpa takut ditentang oleh Tari.
“Lepasin
sekarang juga ato gue bakal teriak!”
Ari
tak mempedulikan ancaman itu. Ditariknya tubuh Tari yang meronta hebat semakin
merapat ke tubuhnya sendiri. “Lo marah sama gue?”
“Bangeeet!”
jerit Tari, masih terus berontak.
“Lo
mau pukul gue?”
“Bangeeet!”
“Lo
mau gue cium lagi?” Kali ini Ari menundukkan kepala rendah-rendah ketika
membisikkan pertanyaan itu.
“Ba-
eh, apa?” Pemberontakan Tari terhenti seketika. Ia terpaku. Amarah yang membutakannya
membuatnya tidak sadar kalau dia telah menantang seekor singa jantan yang
tengah kelaparan. Di depan begitu banyak mata pula. Tari memejamkan mata, tidak
sanggup menonton tindakan Ari selanjutnya. Gadis itu sangat tahu, semakin ia
tantang, akan semakin besar pula bahaya terkaman singa yang tengah menjadi
lawannya sekarang.
“Tar,”
panggil Ari lagi. Lembut, namun terasa seperti desiran hawa dingin bagi Tari,
membuat sekujur tubuhnya merinding. “Gue minta maaf.” Satu kalimat pendek yang
diucapkan begitu tulus dari seseorang yang mengharap ampunan. Dengan nada yang
dimengerti semua orang bahwa kalimat itu benar-benar berasal jauh dari lubuk
hati dan berdasar pada seluruh sesal. Kalimat yang berhasil menguraikan satu
persatu tali emosi yang mengekang Tari sejak berjam-jam yang lalu. Sejenak,
sesuatu seperti luruh jauh di dalam hati Tari. Dan ia menyadari apa yang
perlahan memudar itu. Kemarahan.
“Kalo
liat lo marah banget gitu, gue nyesel,” lanjut Ari, diam-diam menyimpan senyum
kemenangan melihat Tari yang bungkam tak melawan. Permohonan maaf diterima,
penyesalan selesai sudah. Meski Tari tidak secara terang-terangan memaafkannya,
Ari tak peduli. Ia bisa melihat jauh di dalam hati Tari, bahwa gadis itu sudah
tidak marah padanya. Atau lebih tepatnya, sudah tidak berhak untuk marah.
Sekarang tinggal membereskan masalah terakhir. Cukup mudah karena kendali sudah
sepenuhnya ada di tangan Ari. “Lo minta apa tadi? Coba ulangi sekali lagi.”
Walau
setiap kata yang keluar dari mulut Ari bernada lembut dan terkesan santai, Tari
malah semakin ketakutan. “Gue... minta putus,” jawabnya lirih.
“Apa?
Gue nggak denger, nih. Bisa nggak ngomongnya kencengan dikit?”
“Ng...
nggak. Itu... eh, bukan apa-apa.” Tari menggeleng-geleng, sudah tidak punya
keberanian untuk mengucapkannya sekali lagi.
Ari
melepaskan cekalannya. Kakinya mundur setengah langkah, menciptakan ruang di
antara dirinya dan Tari. “Silahkan pukul gue.”
“Apa?”
Tari tercengang. Ditatapnya sepasang mata Ari, dan ia menemukan kesungguhan di dalamnya.
Bahkan hal itu sebenarnya tidak dibutuhkan, karena Tari telah mengerti sejak
dulu kalau Ari tidak pernah main-main dengan kata-katanya.
Beberapa
detik terlewat dalam hening yang melingkupi suasana di sekitar mereka. Semua
orang yang menyaksikan menunggu tindakan Tari selanjutnya. Tapi gadis itu
bergeming di tempat. Yang bergerak kemudian malah Ari, merentangkan tangan, dan
memeluk gadis itu. Sorak sorai pecah membahana menggantikan sunyi yang
menegangkan. Tari menundukkan kepala dalam-dalam. Malu setengah mati. Tapi ia
tahu, kalau sampai dia melawan pelukan ini, bisa jadi tindakan Ari akan lebih
memalukan lagi. Jadi ia hanya diam tak berkutik sementara Ari menundukkan
kepala untuk mendekatkan bibir ke telinganya.
“Kita
baik-baik aja?” tanya cowok itu dengan bisikan tajam.
Tari
buru-buru mengangguk.
“Bagus.
We’re fine, okay? Nggak ada kata
putus.” Nada final! Yang itu artinya tak ada lagi hak untuk Tari bicara.
Kecupan ringan di puncak kepala Tari menambah histeria penonton dan gemuruh
tepuk tangan. Ari melepaskan pelukannya setelah memastikan gadis di
rengkuhannya tak akan berani melawan. Belum sempat Tari menghela napas lega,
mendadak Ari memanggilnya lagi.
“Ntar
malem kita jalan. Jam tujuh. Nggak boleh buron.”
Fio
segera berlari menghampiri Tari setelah Ari dan kedua konconya pergi dari situ,
bersamaan dengan bubarnya para penonton. Dipapahnya tubuh lemas Tari ke dalam
kelas.
“Gue
kira sifat Kak Ari udah berubah sejak kalian jadian,” komentarnya sambil
mendudukkan Tari di bangku mereka.
“Berubah
apanya?” dengus Tari. “Dia itu tetep aja kayak gitu biar gue udah jadi
ceweknya. Nyebelin!” teriaknya. Tapi cuma itu. Hanya sebatas jengkel. Tidak ada
kemarahan lebih lanjut apalagi air mata seperti dulu. Karena, bisa dibilang,
Tari sudah kebal dengan semua tindakan Ari.
“Kenapa
elo mau juga jadi cewek dia?” tanya Fio heran.
Tari
terdiam. Sampai sekarang, tak ada ragu sedikit pun dalam hatinya ketika
memikirkan kembali keputusannya untuk menerima Ari dalam hidupnya, beberapa hari
yang lalu. Menerima dalam artian sukarela, atas kemauannya sendiri, bukan
karena paksaan Ari yang selama ini memang berusaha melesak masuk dalam buku
takdirnya meski Tari tidak mengizinkan.
Sejak
kembalinya mama dan saudara kembarnya dalam hidup Ari, Tari mengharapkan sisi
baik pada diri cowok itu bisa semakin sering muncul. Ari telah membuktikan
bahwa dia adalah lelaki yang menyenangkan ketika dulu menyamar menjadi Ata. Dan
Tari nyaman bersamanya. Bersama sosok Ari yang lembut, baik hati, dan penuh
perhatian. Sayangnya, sisi baik itu hingga kini masih sering terkalahkan. Ari
menyembunyikan sisi yang satu itu dan lebih suka memamerkan sisi dalam dirinya
yang lain. Sisi yang telah menyertai lebih dari separuh umur hidupnya. Sisi yang
membuatnya menjadi penguasa mutlak SMA Airlangga. Bandel, kasar, dingin, suka
memaksa, menyiksa, mengintimidasi, dan seabrek sifat buruk lainnya. Membuatnya
tak terkalahkan.
Harapan
Tari sepertinya tinggal harapan. Sejak mereka pacaran pun acara ribut-ribut
lebih sering terjadi ketimbang adegan romantisnya. Itu pun tak peduli tempat. Seperti
biasa. Ribut di sekolah, di mal, di depan rumah, di mana aja. Kalau Ari
berulah, kini Tari tak segan-segan untuk marah, walau akhirnya cewek itu pula
yang harus mundur teratur ketika Ari mulai mematahkan segala upaya protesnya
dengan tindakan-tindakan ekstrem. Sebesar apapun kesalahan cowok itu, mau tak
mau Tari harus memaafkannya. Contohnya saja tragedi ciuman ini. Tapi sepertinya
semua mata di SMA Airlangga memandang setiap acara ribut-ribut antara dirinya
dan Ari sebagai adegan romantis. Bukan suatu pertengkaran.
“Tar,”
panggil Fio, karena sahabatnya itu diam saja sejak ia melontarkan pertanyaan
terakhir.
“Gue
sayang dia,” kata Tari pelan.
“Apa?”
“Gue
sayang dia, Fi,” ulang Tari, tetap tak berani keras-keras. “Jangan tanya sejak
kapan gue sayang sama Ari. Gue sendiri nggak tau.”
Pengakuan
yang tidak pernah didengar telinga Ari. Tari enggan mengatakannya karena cowok
itu sendiri tidak pernah bilang sayang kepadanya. Jadi, untuk apa? Yang
sama-sama tak diketahui keduanya namun juga sama-sama dilakukan oleh keduanya
adalah, rasa sayang mereka memang tak akan diungkapkan lewat kata-kata, namun
akan mereka tunjukkan lewat sikap dan sorot mata. Tak perlu membuang-buang
tenaga melempar sejuta sumpah dan janji palsu untuk setia, yang terpenting
adalah bagaimana mereka menjaga dan mempertahankan komitmen yang telah ada.
Bagian
terpenting nomor dua adalah saling percaya. Tari percaya Ari tak akan berpaling
darinya meski dikelilingi segudang cewek cantik nan seksi, yang tak
bosan-bosannya mendekati Ari setiap hari, di setiap kesempatan. Tinggal
bagaimana dia menilai setiap cewek yang berani bertingkah di dekat cowok itu.
Kalau dirasanya sudah cukup keterlaluan dan melewati ambang batas, Tari akan
melancarkan aksi protes keras. Bukan kepada oknum yang telah menggoda Ari
tentunya, tapi kepada cowoknya langsung. Lebih mudah bagi Ari untuk mempercayai
Tari. Dengan status yang sekarang tengah disandangnya, tak akan ada cowok yang
berani menggoda Tari apalagi colek-colek sembarangan, karena itu sama artinya
dengan mengundang maut, udah nggak sayang nyawa.
Ari
dan Tari. Setiap kisah yang mengiringi langkah keduanya seperti tak ada
habisnya. Selalu enak untuk didengar apalagi disaksikan langsung dengan mata
kepala. Kedua matahari itu benar-benar tak terpisahkan sekarang. Sama-sama
senja yang kala bersatu akan menjadi pemandangan indah memanja mata. Dua
matahari jingga yang memancarkan sinar berbeda. Yang satu berbias panas namun redup,
sementara yang satu begitu dingin namun menyala sangat terang. Pasangan yang
langka, karena memang tak ada sejarahnya ada dua matahari di dalam satu
galaksi. Dua matahari yang akan saling melengkapi ketika bersama. Yang redup
akan menjadi lebih terang, dan yang terang tidak akan terlalu menyilaukan. Juga
kehangatan yang mereka bagikan dalam satu pancaran. Hangat yang nyaman dan menyenangkan,
bukan panas yang membakar apalagi dingin yang menggigilkan. Sempurna.
***
Tiba
kembali di kelas, Oji kembali kepada pekerjaannya menyalin PR Matematika dengan
kecepatan maksimum, karena bel sudah hampir berbunyi sementara mata pelajaran
mengerikan itu jatuh pada jam pertama dan kedua. Sedangkan Ari dengan santai mengeluarkan
ponselnya. Ada pesan masuk. Dari Tari.
Jgn cium2 sembarangan lg!
Senyuman
lebar terkembang di bibir Ari sambil membalas pesan itu.
Knp?
Tak
lama kemudian, balasan dari Tari sampai.
Jgn anggep gw cwk murahan!
Cewek
murahan? Oke, ini semakin menarik saja. Ari tahu Tari adalah cewek yang berbeda
bila dibandingkan dengan semua cewek di sekolahan ini. Cewek yang tak akan rela
disentuh oleh seorang Matahari Senja. Selama ini Ari muak dengan semua cewek
yang selalu menatapnya dengan penuh keingintahuan, dan kebanyakan dari
cewek-cewek itu minta diperhatikan, hingga segala macam cara sering
dilancarkan. Tari adalah satu-satunya cewek yang menatapnya dengan penuh
penolakan, dan sering kali lebih memilih menghindar ketimbang berurusan
dengannya. Cewek itu tak pernah mau menerima segala macam bentuk kepeduliannya.
Padahal, Ari tak pernah memberi perhatian untuk siapapun, apalagi untuk adik
kelas. Hal ini semakin menegaskan bahwa Tari adalah seseorang yang sangat
berbeda, yang membuat Ari menjadi berbeda pula.
Tapi
demi Tuhan! Ari tidak pernah menganggap Tari sebagai cewek murahan. Mungkin
tindakannya tadi malam memang agak keterlaluan, dan Ari yakin hal itu menjadi
luka bagi Tari. Ia menyesal. Sungguh-sungguh menyesal. Cowok itu bahkan telah
bersumpah, Tari adalah seorang gadis yang akan ia jaga lahir dan batin. Oke,
mungkin tidak secara “batin”, secara dia sendiri masih suka menyiksa batin
Tari. Sadar atau tidak.
Ari
segera mengetik balasan untuk seseorang yang kini menjadi pacar pertamanya itu,
yang membuat geger seisi sekolah beberapa minggu yang lalu ketika ia dengan
resmi menggandeng Tari sebagai pacarnya.
Ok! Tampar gw lg kalo gw udh kelewatan!
Tari
tak membalas. Jadi Ari menganggap masalah ini udah clear. Tak boleh ada lagi protes tentang hal ini. Sedetik ia
memasukkan ponsel ke dalam saku kemeja, mendadak dikeluarkannya lagi benda itu
dan segera ditekannya sederet angka yang telah ia hafalkan di luar kepala,
saking seringnya nomor itu ia hubungi.
Bahkan Ari tidak suka membuka daftar kontak telepon hanya untuk mencari nomor
Tari kalau ingin menghubunginya. Entah kenapa cowok itu lebih suka
menekan-nekan angkanya secara langsung.
Setelah
menunggu beberapa detik sambil mendengarkan nada sambung yang membosankan,
panggilannya diangkat juga. Namun tak ada suara yang menyahut di seberang sana.
Hanya suasana ribut di dalam kelas yang ia dengar.
“Masih
ada yang perlu gue omongin,” kata Ari tanpa basa-basi. “Gue udah sering banget
peringatin hal ini ke elo, tapi kayaknya lo suka banget kalo dapet kesempatan
ngelawan gue dikit aja. Mulai sekarang, jangan pernah lagi lo reject panggilan gue. Karena apa? Karena
kalo lo reject satu kali aja, gue
bakalan muncul di hadapan lo langsung. Ngerti? Oh ya, dan satu lagi. Kalo gue
telepon gini, nggak sopan banget kan kalo dicuekin? Apalagi nggak ada salam
pembuka kayak barusan. Jadi mendingan sekarang lo ngomong atau gue akan lari ke
kelas lo saat ini juga.”
Ari
bisa mendengar Tari mendesah jengkel, dan cowok itu tersenyum geli ketika
kemudian Tari buka bicara dengan menekan seluruh emosinya, “Iyaa, iyaaaa. Ada lagi
yang mau diomongin?”
“Ya.
Ada,” sahut Ari. “Yang harus selalu elo tahu, Tar. Gue nggak pernah sama sekali
dan nggak akan pernah, sekalipun atau
sedikitpun, nganggep elo sebagai cewek murahan.” Bel masuk berbunyi tepat ketika
kalimat itu selesai terucap. “Oke, udah bel. Belajar yang baik,” kata Ari
sebelum mengakhiri pembicaraan mereka.
Bersambung...
bagus,, ditunggu lanjutannya ya.. =)
BalasHapusThanks :)
HapusLanjutannya segera menyusul..
ini... bagus :)) sukaaaa... (hana)
BalasHapusMakasih udah baca :)
HapusIni kerennnnnn
BalasHapus