Ari
baru saja akan memakai helm ketika tiba-tiba terdengar keributan dari luar
sekolah. Siswa-siswi yang tadi membanjiri koridor hingga gerbang depan sekarang
arusnya berbalik, kembali berlarian masuk ke dalam sekolah. Suka cita mereka menyambut
akhir jam pelajaran kini diganti kepanikan. Ari langsung tahu apa artinya ini.
“Tar,
lo balik dulu ke kelas! Nanti gue jemput! Cepet!” teriaknya sambil mendorong
tubuh Tari, kemudian dia langsung lenyap di antara kerumunan anak-anak setelah
melempar helmnya begitu saja. Terlihat juga beberapa anak buahnya langsung
berlari menyusul.
Sejenak
Tari kebingungan. Ia hanya berdiri diam sementara anak-anak lain berlarian
melewatinya. Lapangan parkir terletak tidak begitu jauh dari gerbang utama.
Begitu jumlah anak di sekelilingnya berkurang, ia bisa melihat Oji di depan
gerbang sedang berteriak-teriak mengumpulkan pasukan. Suasana di jalanan luar
sudah riuh dengan teriakan dan lemparan batu. SMA Brawijaya menyerang. Pantas
saja Ari langsung berlari meninggalkannya tadi.
Seketika
Tari dilanda panik. Ia membalikkan badan hendak berlari ke kelas seperti yang
diperintahkan Ari, tetapi kakinya tidak bisa melangkah saat melihat siapa yang
tengah menghadangnya. The Scissors. Keenam cewek anggotanya berdiri tak jauh
darinya.
Tari
tidak bisa bergerak. Vero yang justru kemudian melangkah menghampirinya.
Tatapan penuh kebencian dari cewek pentolan sekolah itu membuat sekujur tubuh
Tari tegang dan berkeringat dingin. Untuk kali ini Tari benar-benar sendiri.
Ari sedang terlalu sibuk untuk datang membelanya. Inilah yang paling ditakutkan
Tari dari sekian banyak daftar resiko jadian dengan Ari. Disamperin Vero.
Beberapa
detik, Vero hanya berdiri tepat di depannya dalam diam. Tari sengaja
menundukkan kepala untuk menghindari tatapan setajam pedang itu. Anjrit! Mau apa sih ni orang? maki Tari
dalam hati.
“Puas
lo?” tiba-tiba Vero mendesis perlahan. “Udah puas lo gandeng Ari? Bangga?”
Nekat,
Tari mendongakkan kepala, menatap langsung ke mata Vero. Keputusan yang salah.
Tatapan Vero langsung melumatnya tanpa ampun, seolah ingin membunuhnya. Kalau
saja kakinya tidak terlalu kaku, Tari pasti langsung melarikan diri
sejauh-jauhnya.
“Lo
injek-injek muka gue di hadapan anak-anak satu sekolah. Lo tunjukkan kalo lo
lebih hebat dari gue. Trus sekarang lo ngerasa jadi ratu di sekolah ini
gara-gara lo pacaran sama Ari, gitu kan?” bentak Vero. Rasa iri dan benci yang
telah ditahannya sejak tahu Tari jadian dengan pangeran impiannya ingin segera
ia tumpahkan saat itu juga dalam bentuk ledak amarah. Bahkan sebenarnya dia
ingin sekali menyakiti cewek di depannya ini, entah menyakiti secara fisik ataupun
mental.
Mulutnya
sudah terbuka untuk kembali bicara, tapi tidak jadi ketika terdengar raungan
motor memasuki halaman sekolah dan melesat ke arah mereka. Vero spontan mundur
selangkah, terperangah. Motor tadi berhenti tepat di belakang Tari. Pengendara
motor yang memakai pakaian serba hitam dan helm berkaca gelap menarik tangan
Tari.
“Naik!
Buruan! Gue disuruh Ari nganterin lo pulang,” teriak si pengendara dari balik
helmnya. Mendengar nama Ari, tanpa ragu Tari meloncat naik ke boncengan motor
orang yang dikiranya suruhan Ari, merasa ini satu-satunya kesempatan untuk
lolos dari Vero. Ia melingkarkan lengan di antara perut dan dada cowok
misterius di depannya saat motor melaju kencang meninggalkan halaman sekolah,
melewati lajur yang berbeda dengan jalanan yang digunakan untuk tawuran.
“Lo
siapa?” tanya Tari. Sekarang rasa curiganya baru timbul setelah terbebas
sepenuhnya dari cengkeraman Vero. Tapi yang ditanya tidak menjawab. Tari
menjadi tegang. Ketakutan kini mulai merayapi pikirannya, menggantikan semua
rasa curiga dan tanda tanya yang tercipta.
“Turunin
gue! TURUNIN!!!” jerit Tari panik begitu menyadari pengendara motor ini tidak
membawanya pulang, melainkan ke kandang lawan. Ke SMA Brawijaya. Tari tahu
sekarang dirinya akan menjadi tawanan di sana. Memaksa SMA Airlangga mengaku
kalah dan membuat murka sang panglima perang, yang tak lain dan tak bukan
adalah pacarnya, Ari.
***
“Bos!
Tari diculik!” teriak Oji setelah berhasil mencapai tempat Ari di bawah
perlindungan teman-temannya.
“APA?!
Siapa yang bawa dia?!” Reaksi Ari seperti tersengat, sampai selusin anak
buahnya langsung berusaha memberinya perlindungan lebih karena Ari tiba-tiba
lengah dan cocok menjadi sasaran empuk.
“Gue
nggak tahu, tadi...”
Kalimat
Oji belum sampai selesai, tapi Ari langsung berlari pergi. Oji mendesah pelan.
“Ooi! Cover-in dia!” teriaknya sambil
menunjuk Ari yang melesat tanpa perlindungan. Beberapa anak langsung membuntuti.
Tapi itu tidak lagi berguna karena sedetik kemudian terdengar
teriakan-teriakan, “Mundur! Mundur! Mundur!”
Anak-anak
SMA Brawijaya langsung memisahkan diri dari area pertempuran, masih sambil
sesekali melempar batu yang tersisa di tangan mereka. Dan Ari tahu penyebabnya
hanya satu hal. Tari. Cewek itu telah menjadi tawanan. Dengan geram dan pikiran
kacau, ia memacu kakinya lebih cepat ke sekolah. Oji berlari menyusul dan
berusaha menyamai langkahnya.
“Siapa
yang jaga gerbang tadi?” bentak Ari di antara napasnya yang tersengal, masih
murka setengah mati gara-gara ada anak Brawijaya yang berhasil masuk ke daerah
kekuasaannya tanpa ketahuan.
“Nggak
ada. Biasanya kan gerbang ditutup sama satpam. Kali ini nggak.”
“Goblok!”
maki Ari kepada dirinya sendiri, tidak menyangka dirinya bisa dibodohi
sedemikian rupa. Bagaimana bisa ia tidak menyadari sasaran utama Angga adalah
Tari? Cewek yang ia tinggal begitu saja tanpa perlindungan jelas akan terambil
dengan mudah. Yang membuatnya heran, kenapa Tari tidak langsung kembali ke
kelas seperti perintahnya tadi? Tiba di samping motornya, seseorang yang tidak
diharapkan ternyata sedang menunggu di sana. Seketika Ari mendapat jawaban atas
pertanyaannya tadi.
“Ari,”
panggil Vero. Ari menatapnya sengit. Pasti dia yang menahan Tari tetap di sini
tadi. Brengsek! Gara-gara tu cewek Tari jadi diculik! Ari semakin geram. Raut
wajah Vero terlihat panik, tapi Ari tahu itu hanya kedok. Berpura-pura khawatir
padahal dia sendiri yang mengumpankan Tari. Bah! Cewek kurang ajar!
“Inget,
urusan kita belom selesai!” bentak Ari kepada cewek itu, yang seketika memucat
mendengar gelegar murka darinya.
“Bos,
perlu bawa anak-anak nggak?” tanya Oji.
“Nggak!
Gue ke sana sendiri.” Karena akan lebih gawat urusannya kalau sekolah mereka
menyerang balik SMA Brawijaya. Nasib Tari lah yang dipertaruhkan. Tanpa
mengacuhkan lebih lama, Ari naik ke atas motor dan langsung pergi dari situ.
***
Motor
berhenti di lapangan parkir SMA Brawijaya. Tari segera meloncat turun, berniat
melarikan diri. Tapi tangannya langsung dicekal begitu kakinya menyentuh tanah.
“Lepasin!”
Cowok
yang mencekal tangannya mengangkat kaca helm. “Biar lo bisa lari? Nggak kalo
gitu.”
Tari
terperangah. “Angga?”
Angga
justru melempar senyum manis. Ditariknya tangan Tari mendekat dan ia
membungkukkan badan sedikit. “Jangan lari. Bakal sia-sia dan buang tenaga. Ngejar
elo kayaknya bukan hal yang sulit.”
Tari
langsung menyadari hal itu. Kecepatan berlarinya pasti tidak bisa diandalkan
kalau Angga mengejarnya. Setelah memastikan cewek itu tidak akan melarikan
diri, Angga melepaskan cekalannya. Tari tetap berdiri diam sementara cowok itu
melepas helm dan jaket hitamnya. Sesaat, Angga menatap Tari dengan kening
berkerut.
“Kayaknya
lo bakal abis di sini kalo nggak sembunyiin tuh badge sekolah lo. Nih, pake.”
Ia menyodorkan jaketnya kepada Tari, yang diterima cewek itu dengan ragu-ragu.
“Nggak pa-pa kegedean dikit. Daripada nggak selamet.”
Tari
menghela napas panjang. Dengan berat hati, ia memakai jaket hitam Angga dan
menarik retsletingnya hingga menutup penuh. Tiba-tiba terdengar suara mobil
memasuki gerbang sekolah. Tiga buah mobil meluncur dan berhenti di lapangan
parkir, di dekat Angga dan Tari. Angga menggandeng tangan Tari yang refleks
bersembunyi di balik punggungnya. Ia tahu gadis itu takut. Sendirian di kandang
lawan. Menjadi tawanan. Melihat teman-temannya kembali jelas makin membuat
gadis itu mengkeret ketakutan.
Bram
turun dari kursi sopir mobil pertama, disusul teman-temannya yang lain, yang
tertawa-tawa penuh kemenangan.
“Ide
lo hebat juga, Ga. Kita dapet permaisurinya, nih,” kata Bram sambil melirik
Tari, lalu meringis lebar.
Angga
tertawa. “Kita rayain di kantin. Suruh dua orang jaga di gerbang. Bentar lagi
Ari ke sini.”
Kengerian
mengiringi setiap langkah Tari yang diseret ke kantin. Ia menjadi satu-satunya
cewek dalam rombongan prajurit tawuran SMA Brawijaya ini. Kantin sudah hampir
kosong dari siswa-siswi. Mereka yang masih di sana buru-buru keluar begitu
rombongan Angga datang, hingga yang tersisa hanya para pedagang.
Di
kantin itu, Tari duduk diapit Angga dan Bram. Karena sudah tidak ada anak lain
selain mereka, Angga meminta Tari melepas jaketnya. Di sekelilingnya, para cowok
tidak berhenti menggoda. Tari tak bisa berkutik. Wajahnya merah padam menahan
malu. Bibirnya kaku terlalu banyak memamerkan senyum terpaksa. Dalam hati ia
berdoa setengah mati agar bisa segera terbebas dari keadaan ini.
“Jangan
diganggu terus, ah,” tegur Angga kepada teman-temannya, menyadari cewek di
sebelahnya sangat tidak nyaman dengan ulah mereka. Tiba-tiba tangannya
merangkul bahu Tari. “Kasian dia. Lo juga, jangan deket-deket duduknya, Bram.”
“Lah
lo sendiri nempel gitu,” protes Bram, tapi beringsut menjauh juga.
Angga
tertawa. “Tari nggak takut sama gue. Ya nggak, Tar?”
Tari
terbebas dari keharusan menjawab ketika ponsel Angga berbunyi. Kening cowok itu
bekerut sebentar ketika membaca nama yang tertera di layar. Ia mengisyaratkan
teman-temannya agar diam, kemudian berbisik kepada Tari sebelum menempelkan
ponsel ke telinga, “Kayaknya cowok lo udah dateng.”
Tubuh
Tari menegang mendengarnya. Ari datang. Apa yang akan terjadi setelah ini?
“Ya?”
sahut Angga.
“Orang
yang lo tunggu dateng,” jawab Andra yang bertugas berjaga di gerbang.
Belum
sempat Angga menjawab, tiba-tiba ponsel Andra berpindah tangan. Terdengar suara
Ari yang mendesis marah di ujung sana, “Keluar lo, bangsat!”
Angga
tertegun sesaat mendengar suara Ari, tapi kemudian ia memperdengarkan tawanya
dengan nada penuh cemooh. “Heh, lo bisa apa? Cewek lo ada di pelukan gue sekarang.
Masuk aja kalo berani. Gue di kantin.”
“Setan
lo!” bentak Ari dengan amarah meledak. Sambungan terputus saat itu juga.
Lagi-lagi
Angga tertawa. Dimasukkannya ponsel ke saku celana, kemudian dia berdiri.
“Bram, gue titip Tari sebentar.”
“Siap!
Dia aman sama gue.” Bram menyeringai lebar, diikuti beberapa teman.
Angga
tersenyum geli, namun dia melontarkan peringatan dengan sorot mata
bersungguh-sungguh. “Jagain dia baik-baik. Jangan digodain keterlaluan apalagi
dicolek-colek, ngerti?”
“Kita
nggak sejahanam itu, kok,” tukas Bram dengan gaya meyakinkan.
“Gue
pegang omongan lo. Tar, gue keluar dulu.”
“Jangan
lama-lama,” bisik Tari cemas. Wajahnya memucat begitu Angga keluar dari kantin.
Mampus! Mampus! Mampus! jeritnya
berulang kali dalam hati. Angga yang menjadi satu-satunya alasan dia merasa
aman sekarang tidak ada lagi di sini.
“Keadaan
berbalik sekarang,” kata Bram, menggeser duduknya lebih dekat ke Tari. Cowok
itu masih menyeringai lebar, membuat Tari tambah ketakutan. “Biasanya Gita yang
jadi tawanan Ari. Sekarang giliran lo jadi tawanan gue. Biar cowok lo tau
gimana rasanya cewek yang dia suka ada di tangan lawan.”
Oooh,
jadi si Bram suka sama Gita? Baru tahu. Tanpa sadar Tari mengangguk-angguk.
“Tapi
tenang aja. Gue bukan orang jahat, Tar,” kata Bram lagi.
“Boong,
tuh. Lo musti ati-ati sama dia. Omongannya kagak bisa dipercaya,” tukas Tomi.
“Eh,
diem lo, dasar Voldemort.”
Tomi
hidungnya emang pesek banget sampai-sampai dijuluki Voldemort, musuh
bebuyutannya Harry Potter yang nggak punya batang hidung. Cowok itu langsung
cemberut dan membalas perkataan Bram, tapi Tari tidak terlalu memperhatikan
keributan di sekelilingnya. Dia menoleh-noleh cemas ke pintu kantin, ingin tahu
apa yang terjadi di luar sana, dan berharap semoga tidak ada hal buruk yang terjadi.
Tapi ia sadar keinginannya mustahil kalau mengingat Ari dan Angga adalah jenis
orang yang lebih baik tidak dipertemukan satu sama lain.
***
Angga
melangkah keluar kantin dengan agak cemas karena meninggalkan Tari sendirian
bersama teman-temannya, yang kadang ulahnya pada geblek-geblek. Bisa dibilang
ia telah menempatkan Tari dalam bahaya besar. Tapi ada Bram di sana, yang
membuatnya berani mengambil resiko tadi. Dari sekian banyak teman dan anak
buahnya, hanya sohibnya itu yang paling ia percaya. Jadi Angga yakin kalau dia
berkata “jaga”, maka Bram akan “menjaga” dengan sungguh-sungguh. Kini yang
harus menjadi pikiran utama adalah rivalnya.
Tiba
di gerbang depan, ia melihat Ari sedang berlutut di depan Andra dengan
bertelanjang dada, mengakui kekalahan atas nama sekolahnya. Kemeja seragamnya
sudah tergeletak di tanah dan terinjak-injak tak lagi berbentuk. Rahang kirinya
agak membiru, menandakan bahwa dia baru saja terkena pukulan. Mungkin Andra menghadiahinya
jotosan untuk merebut kembali ponsel dari tangan Ari tadi.
Angga
tersenyum geli dan mendecakkan lidah. Ari yang mengetahui kedatangannya refleks
bangkit berdiri dan langsung menghampirinya, mencekal kerah kemejanya dengan
marah.
“Lepasin
dia!” geram Ari penuh ancaman.
Andra
dan Rizki, dua orang yang sejak tadi bertugas berjaga di gerbang, segera
bergerak untuk menarik Ari menjauh, tapi Angga mengangkat tangan kanannya,
menahan.
“Kalian
berdua masuk aja,” perintahnya, yang segera dituruti Andra dan Rizki tanpa
banyak bertanya. Karena mereka tahu dua orang di hadapan mereka ini adalah
musuh bebuyutan sejak lama. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kegiatan saling
serang antara SMA Brawijaya dan SMA Airlangga bukan sekadar unjuk kebolehan
biasa. Ada dendam terselubung di dalamnya. Ada masalah pribadi antar para
pentolan sekolah mereka yang tak bisa terselesaikan di balik semua penyerangan
itu.
Angga
baru mencurahkan perhatiannya kepada Ari setelah kedua anak buahnya tak
terlihat. “Jangan macem-macem,” katanya memperingatkan. Tangannya melepas cekalan
Ari dengan kasar. “Sekarang lo ada di wilayah gue. Cewek lo ada di tangan gue.”
“Cuma
banci yang ngomong gitu! Lepasin Tari, ato...”
“Lo
pikir lo bukan banci? Siapa yang selalu bawa-bawa Gita buat ngancem orang lain?”
bentak Angga sengit, lalu mendengus keras. “Hh, lo tau ini. Keliatannya sekarang
kita seimbang.”
“Lo
mau gue ngelepasin Gita?” desis Ari.
“Ikut
gue,” sahut Angga tanpa menjawab pertanyaan Ari. Cowok itu membalikkan badan
begitu saja, melangkah masuk ke dalam sekolahnya. Ari berjalan mengikuti.
Keduanya menarik perhatian semua mata yang masih ada di halaman sekolah.
Diiringi beberapa tatap penasaran itu, akhirnya keduanya tiba di kantin,
berhenti di ambang pintunya.
Sepasang
mata Ari membelalak lebar melihat Tari yang sedang duduk dikelilingi begitu
banyak cowok. Sedetik, tatapan mereka bertemu. Tari ikut terbelalak. Melihat
gelagat tubuh Tari, Ari segera memberi isyarat dengan gelengan kecil dan cepat,
meminta Tari untuk tidak bergerak.
Tari
terpaku di tempat. Belum pernah dalam hidupnya ia merasakan dorongan kuat untuk
lari ke pelukan Ari. Namun untuk saat ini, menurutnya, rengkuhan lengan cowok
itu adalah tempat teraman di dunia. Setelah mendapat satu gelengan kecil sekali
lagi, Tari berhasil menahan kakinya untuk tidak berdiri apalagi berlari. Gadis
itu sadar dia hanya akan membahayakan dirinya dan Ari kalau sampai dia
melarikan diri sekarang. Terlalu banyak anak buah Angga di sini, di sekeliling
mereka.
Bram
melihat keberadaan Ari dan Angga di ambang pintu kantin. Kontan dia bersiul keras
untuk menarik perhatian, terutama perhatian Ari. Begitu cowok itu menatap ke
arahnya, Bram bangkit dan berdiri di belakang Tari, kemudian kedua lengannya
mendadak memeluk tubuh Tari. Ketika Tari memberontak, diciumnya pipi gadis itu.
Kekagetan
Ari saat melihat Bram memeluk Tari seketika meledak menjadi amarah nyata.
Kakinya sudah akan melangkah memasuki kantin, tapi tangan Angga mendorongnya
menjauh dan sebuah tinju keras mendarat di rahang kirinya. Tari yang sedang
berusaha melepaskan diri jelas tersentak melihat kejadian itu. Namun semakin
keras usahanya melepas pelukan Bram, semakin ketat pula kedua lengan itu
menahannya.
“Diem!”
desis Bram di samping telinga Tari. “Kalo lo nggak mau gue tambah nekat,”
tambahnya.
Tak
ada yang bisa dilakukan Tari selain bersikap kooperatif. Sementara itu,
kemarahan Ari sudah berada di puncaknya. Cowok itu sampai mempersetankan di
mana dia berada sekarang. Di kandang musuh kek, bodo amat. Dengan gerakan kilat
dan tak terduga, dibalasnya pukulan Angga hingga tinju kanannya berhasil
mendaratkan bogem mentah telak di hidung cowok itu, yang langsung mengucurkan
darah setelah sebelumnya terdengar bunyi krak
cukup keras.
“Sialan!”
geram Angga dengan hidung terbekap. Lewat sudut mata, ia bisa melihat
teman-temannya bangkit dari bangku untuk membantunya, tapi lagi-lagi dia
mengangkat tangan, meminta teman-temannya tetap diam di tempat. Melihat itu
sebagai kesempatan, Ari berlari masuk ke kantin. Tepat sebelum ia mencapai
tempat Bram yang masih memeluk Tari, Angga meraih bahunya dan memberinya
pukulan lagi. Kali ini telak di ulu hati. Begitu kerasnya hingga Ari terdorong
mundur menabrak tepi salah satu meja.
“Gue
ngundang lo ke sini bukan mau ngajakin lo berantem!” bentak Angga. “Gue mau
bikin perjanjian sama lo. Bram, bawa Tari ke sini.”
Dengan
satu sentakan, Bram menarik Tari hingga berdiri dan menyeretnya ke tempat
Angga.
“Lepasin
tangan lo dari dia, brengsek!” bentak Ari.
“Kenapa?
Ceweknya aja diem gini,” tantang Bram sambil menyeringai mengejek.
“Lo...”
Ari bergerak maju, tapi Angga menghadangnya dan kembali mendorong tubuhnya
mundur.
“Kalo
lo berani bergerak, gue akan suruh Bram bawa Tari pergi dari sini. Dan nggak
akan ada ampun buat lo!” Ancaman itu berhasil membuat Ari tak berkutik. Angga
kemudian melipat tangan di depan dada. Sepasang matanya menatap Ari
lurus-lurus. “Lo tau? Itulah rasanya tiap kali gue ngeliat Gita. Pingin
ngelindungi, tapi nggak bisa, nggak berdaya. Skakmat!” ucapnya tajam dan perlahan.
“Setiap kali gue mau bertindak, selalu aja dibayangin lo yang bakal nyakitin
Gita. Gue tahu Gita ada di wilayah lo, jadi lo bisa seenaknya manfaatin dia.
Jadi sekarang gue mau kita bikin perjanjian.”
Ari
balas menatap Angga. Keduanya saling tatap dengan sorot menantang. Kemudian Angga
berbicara lagi dengan volume kecil, namun tetap bisa didengar di seantero
kantin karena suasana yang mendadak sunyi.
“Kalo
sampai lo libatin Gita ke dalam masalah lagi, Tari jadi milik gue.”
Ari
dan Tari kompak ternganga mendengar isi perjanjian yang Angga ucapkan. Selama beberapa
detik tak ada yang bersuara di antara mereka. Sepasang mata Ari yang tadinya
membelalak perlahan menyipit tajam. “Kenapa gue harus setuju sama perjanjian
busuk lo itu?”
“Karena
kalo nggak lo setujui sekarang juga, jangan harap Tari bakal selamet hari ini.”
Angga bergerak mundur perlahan, mendekati Tari dan Bram tanpa melepas
tatapannya dari Ari. Kemudian dagunya bergerak sedikit ke arah Ari, memberi
petunjuk untuk teman-temannya.
“Pegangi
dia.”
Dua
orang yang bertubuh paling besar melesat maju dan memegangi Ari, yang langsung
berontak hebat. Sementara Bram mencekal kedua lengan Tari makin erat,
menguncinya. Ia hadapkan tubuh gadis itu ke arah Angga.
“Angga!
Mau ngapain lo?!” jerit Tari dengan suara bergetar ketakutan.
Angga
membungkukkan badan sedikit untuk menatap Tari tepat ke mata. Tangannya terulur
maju, mengusap kedua pipi Tari. “Tar, gue minta maaf,” katanya pelan. Penuh
sesal, namun menyimpan makna tersendiri di baliknya. “Sekarang kehormatan lo
ada di tangan Ari.”
“Apa
maksud lo?” tanya Tari tercekat.
Angga
menoleh ke arah Ari dengan senyum tipis. “Ucapin janji lo, ato lo bakal liat
seragam Tari robek.”
APA?!
Ari dan Tari kembali terkesiap, tapi teman-teman Angga malah meringis lebar,
beberapa di antaranya bahkan berani bersiul. Seketika Ari bergerak kalap.
Tubuhnya memberontak liar. Namun tenaganya tidak cukup kuat untuk melawan dua
orang yang tengah memeganginya sekarang. “LEPASIN DIA! LEPASIN!” teriaknya
dengan suara menggelegar, seolah dengan begitu tekad Angga akan goyah. “Lepasin
dia! Gue bunuh lo kalo sampe lo nyentuh dia! LEPASIN!!”
Angga
tertawa mendengus. “Mau bunuh gue? Coba aja kalo bisa.” Perhatiannya kembali
kepada Tari. Tangannya yang tadinya menangkup kedua pipi Tari kini bergerak
turun sampai menyentuh kerah kemeja gadis itu. Jelas saja Tari ketakutan
setengah mati. Satu sentakan saja dari tangan Angga sudah cukup untuk membuka
seluruh kancing kemejanya bersamaan. Tak ia sangka Angga tega melakukan hal
seperti ini kepadanya. Air matanya meleleh turun, menimbulkan isakan yang tak
bisa ia tahan lebih lama. Tenggorokannya terlalu sakit untuk bicara atau memohon.
“Ini
bakal jadi jawaban, Tar,” kata Angga, tetap dengan nada lunak dan lembut. “Kita
akan segera tau apa Ari bener-bener sayang sama elo ato nggak.”
“Oke!
Gue terima!” teriak Ari tiba-tiba. “Gue terima perjanjian ini! Lepasin dia
sekarang juga!”
Angga
tersenyum menang. Segera ia tarik tangannya dari kerah kemeja Tari, yang sejak
awal memang tak ada niat sama sekali untuk benar-benar merobek kemeja gadis itu
seperti ancamannya tadi. Sudah ia duga Ari tak akan bisa bertahan lebih lama. Angga
menegakkan badan, kemudian berjalan mendekati Ari yang sekarang dalam posisi
berlutut berkat paksaan dari dua temannya.
“Ucapin
yang jelas isi perjanjian kita. Gue mau bikin bukti.”
Ari
menundukkan kepala sejenak, berusaha setengah mati meredam emosi. Napasnya makin
memburu meski ia telah mencoba mengaturnya. Belum pernah dia merasa begitu
terhina seperti ini. Bahkan momen saat pertama kali Bram memaksanya berlutut
terasa tak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan apa yang didapatnya hari
ini.
“Heh!
Lo budek?! Bilang sekarang!” bentak Angga tidak sabar.
Ari
menarik napas panjang-panjang. Rahangnya terkatup kuat hingga giginya
bergemeletuk. Ketika kemudian dia berbicara, suara yang keluar tidak lebih dari
sebentuk desisan geram, “Kalo sampai gue libatin Gita ke dalam masalah lagi,
Tari jadi milik elo.”
Terucap
sudah janji yang terabadikan oleh salah satu teman Angga, yang sejak tadi
bertugas merekam semua adegan ini. Bram melepaskan cekalannya dari tangan Tari,
dan segera ditangkap oleh Angga tubuh gadis itu.
“Pastikan
dia pegang janjinya,” bisiknya pada Tari yang masih belum berhasil meredakan
tangis. “Atau lo bakal jadi milik gue.” Sesaat, Angga mempererat pelukannya
sebelum akhirnya ia lepaskan. Kedua teman Angga yang memegangi Ari menyeret
cowok itu keluar dari kantin, kemudian mendorongnya hingga Ari jatuh
tersungkur. Tari buru-buru menghampiri dan berlutut di sebelah Ari yang tengah
berusaha mengumpulkan sisa harga dirinya yang hancur diinjak-injak oleh Angga.
Kedua
matahari itu kemudian berdiri bersama. Ari menatap Tari dengan penuh luka.
Jemarinya bergerak cepat menghapus air mata di pipi gadis itu, lalu tatapannya
beralih kepada Angga. Tidak ada kata yang terucap, tapi ancaman yang mematikan
jelas tertangkap dari sorot mata Ari. Angga tak menanggapinya sama sekali, hanya
balas menatapnya dengan datar, karena ia tahu, angin kemenangan sekarang tengah
berembus ke arahnya.
Ari
meraih tangan Tari untuk menyeretnya pergi dari situ, berlari ke tempat
motornya terparkir. Cowok itu melarikan motor gila-gilaan tanpa peduli dirinya
bertelanjang dada. Tari memeluk pinggangnya erat dari belakang. Pikiran
keduanya sama-sama kosong. Dalam waktu beberapa menit, Ari tak bisa memutuskan
kemana dia akan memacu motornya. Sampai satu kata itu tiba-tiba terlintas di
benaknya. Rumah.
***
Kemegahan
rumah Ari kali ini tak mampu menarik perhatian Tari. Ketika motor yang
ditumpanginya berhenti di depan gerbang yang tinggi menjulang, ia tetap
bergeming. Tak ingin ia lepaskan pelukan lengannya dari tubuh Ari. Kulit cowok
itu terasa dingin. Dirasakannya tangan Ari menyentuh kedua lengannya yang
berpaut di antara dada dan perut cowok itu. Tari menempelkan sebelah pipi ke
punggung Ari yang juga terasa dingin.
Untuk
sesaat, keduanya melekat. Tidak bersuara. Tidak bergerak. Tidak peduli keadaan
di sekeliling mereka. Ruang dan waktu kehilangan arti. Masih terlalu banyak
emosi di dalam hati yang bercampur baur. Seperti tali yang saling menjalin, dan
ketika keduanya menemukan ujungnya, yang ada hanyalah rasa sakit.
Ari
menghela napas berat. “Tar,” panggilnya pelan. “Yuk, turun.” Dengan lembut,
diuraikannya lengan Tari dari tubuhnya.
Tari
ikut menghela napas sejenak sebelum turun dari motor. Kakinya yang goyah ia
paksakan bergerak saat Ari menggandengnya masuk. Keduanya melangkah cepat
menyeberangi halaman rumah. Ari menutup pintu begitu mereka masuk ke dalam
rumah. Ditariknya Tari ke pelukan. Tarikan tadi membuat gadis itu menubruk
tubuhnya hingga Ari terdorong mundur, bersandar pada pintu. Tak ia pedulikan
sakit pada punggung telanjangnya yang tergurat ukiran kayu di pintu ketika
keduanya meluruh jatuh hingga terduduk bersama di lantai yang dingin. Menerima
kekalahan yang secara realita bukan milik SMA Airlangga, tapi mutlak kekalahan
mereka berdua.
Ari
memeluk tubuh Tari erat, seolah takut matahari itu akan hilang dalam sekejab
kalau ia tidak menahannya kuat-kuat. Perasaannya kian berkecamuk. Keberadaan
Tari dalam pelukannya kini tengah terancam. Kesalahan langkah, sedikit saja,
akan membuat gadis ini jatuh ke tangan Angga. Gita yang selama ini menjadi senjata
utamanya untuk menghalau Angga mendekati Tari sekarang berbalik menjadi senjata
Angga untuk menyerangnya. Gita seratus persen aman. Ari tak bisa menyentuhnya
selama rekaman perjanjian yang diucapkannya dalam keadaan terdesak masih ada di
tangan Angga.
Tari
meringkuk diam di dalam rengkuhan lengan Ari, tenggelam dalam dada yang tak
berbaju dan alunan detak jantung cowok itu. Tempat yang dari tadi menurutnya
adalah tempat paling aman di dunia ternyata tidak mampu mengusir ketakutannya. Tari
yakin pelukan ini mampu melindunginya dari apapun yang ada di dunia luar, tapi
tidak untuk apa yang ada di dalam dirinya sendiri. Gelisah, takut, trauma.
Hal-hal yang justru lebih menyiksa daripada serangan fisik. Sekuat apapun Ari
memeluknya, sedalam apapun Ari melakukannya dengan hati, sebanyak apapun gelombang
ketenangan yang berusaha Ari alirkan lewatnya, pelukan ini tidak dapat
membantu. Hanya sepasang tangan yang mendekap tanpa Tari dapatkan
kehangatannya.
Tari
perlahan menyentuh kerah kemeja seragam sekolahnya, tempat yang sama yang
disentuh Angga tadi. Tubuhnya mendadak gemetar. Ia menggigil hebat.
Terperangkap dalam bayang mengerikan tentang Angga yang berdiri di depannya,
mengucapkan kata sesal tapi dengan bibir terkembang licik, dan tangan cowok itu
yang memegang ujung kerah, nyaris menyentuh kancing teratas kemejanya. Juga
siulan dan tawa menggoda dari teman-teman Angga di sekelilingnya. Tanpa sadar
kedua tangan Tari menggenggam erat, meremas kerah tadi.
Ari
menyadari tubuh yang ia peluk mulai gemetaran. Guncangan pelan di bahu Tari
menandakan gadis itu kembali menangis. Isakan pelan keluar dari mulut Tari,
memecah nada hening yang melingkupi bagian dalam rumah itu, juga menggores luka
baru di hati Ari yang sudah terlalu sering tersakiti.
“Maaf,”
bisik Ari serak, nyaris tak terdengar di sela isakan Tari.
Bisikan
itu terasa tidak nyata bagi Tari. Bersumber tepat dari samping kepalanya, tapi
terdengar seolah jarak membentang bermeter-meter jauhnya di antara mereka.
Lagipula, untuk apa cowok itu meminta maaf? Sebenarnya semua ini salah siapa? Siapa
yang seharusnya meminta maaf? Siapa yang bodoh? Siapa yang jahat? Siapa yang
terlalu naif? Tidak ada. Dalam kasus ini, pertanyaan seperti itu tidak akan
mendapat jawaban yang tepat.
Tari
menggeleng-geleng. Ia ingin bicara, tapi dadanya sesak. Tenggorokannya serasa
penuh dan perih. Ari juga tidak bersuara lagi. Entah berapa lama waktu yang
dilewatkan keduanya dalam posisi seperti itu. Terdiam hingga emosi dalam dada mereka
terkuras habis. Ketika kesadaran dan akal sehat mulai merasuki pikirannya,
barulah Ari bertanya-tanya dalam hati di mana ayahnya berada. Rumah ini jelas dalam
keadaan kosong saat mereka datang. Ia akan sangat bersyukur kalau ayahnya sudah
pergi lagi, entah untuk urusan pekerjaan atau yang lain. Ari menyandarkan
kepala sejenak ke daun pintu di belakangnya dan memejamkan mata.
“Tar,”
panggilnya kepada gadis yang dari tadi diam dengan kepala tersandar di dadanya.
Tubuhnya sudah tidak gemetar lagi. Tidak ada sahutan. Ari menunduk dan
menelengkan kepala sedikit untuk bisa melihat wajah Tari. Benar saja. Tari
tertidur. Senyum kecil muncul di bibir Ari. Beberapa waktu yang lalu,
dirinyalah yang tertidur di pangkuan Tari. Sekarang giliran cewek itu yang tertidur
di pelukannya. Ari bergerak sedikit untuk memperbaiki posisinya dan posisi
Tari, namun tak ia sangka tiba-tiba Tari menjerit keras. Melengking dan sarat
akan ketakutan, mengoyak atmosfer sunyi rumah ini dan membuat merinding
siapapun yang mendengarnya. Gadis itu masih memejamkan mata, tapi kakinya menendang-nendang
dan tangannya berontak berusaha melepaskan pelukan Ari.
“Tar!
Tari!” Ari dengan panik mendekap tubuh Tari, berusaha menghentikan gerakan liar
gadis itu. “Tari! Lo kenapa?”
Tari
membuka mata dan menyadari dirinya tengah dipeluk seseorang. Ia semakin kalap.
Digigitnya salah satu lengan yang mendekap tubuhnya. Pelukan itu terlepas
seketika dan Tari buru-buru menggeser badannya menjauh, mendorong tubuhnya
menggunakan kaki yang masih bersepatu, dan berhenti beberapa meter dari sosok
yang tadi memeluknya. Matanya buram oleh air mata. Di luar kesadaran, sebuah
teriakan tiba-tiba keluar dari mulutnya, “Jangan sentuh gue! Angga! Lo jahat!”
Tatap
nyalang yang menyorot ketakutan itu tertuju padanya, tapi Ari mendengar nama
Angga yang keluar dari mulut Tari. Cowok itu tertegun. Traumatis ini begitu
nyata dan berlebihan. Tari bahkan sampai menyangka dirinya adalah Angga.
“Sialan,”
geram Ari pelan, mengutuk bajingan bernama Angga yang telah membuat Tari jadi
seperti ini. Ia bangkit berdiri. Perlahan, seolah takut Tari akan histeris
lagi, kakinya melangkah mendekat. Begitu berdiri di hadapan cewek itu, tatapan
mereka bertemu. Lagi-lagi luka. Perih kembali berdenyut menggerogoti bukan
hanya hati, tapi hingga sekujur tubuh mereka. Dalam satu hari ini, Angga
benar-benar berhasil menghabisi Ari. Harga diri, hati, emosi. Bukan luka fisik
yang diinginkan Angga, yang Ari yakini lebih bisa ia atasi. Ini lebih kepada
siksa batin yang tidak dapat Ari toleransi.
“Ini
gue,” kata Ari perlahan. Matanya menatap nanar kepada Tari yang perlahan mulai
mengenali dirinya.
Tari
mendongak untuk balas menatap cowok yang melangkah mendekatinya. Setelah
memastikan cowok itu adalah Ari, ia memeluk lutut dan menangis kencang. “Gue
kenapa?” isaknya, bingung dengan dirinya sendiri.
Tar...
rintih Ari dalam hati, tidak sanggup melihat Tari seperti itu. Ia jatuh
berlutut. Tangannya sudah terulur, tapi segera ditahannya. Ia tidak ingin Tari
menolak sentuhannya. Walau mungkin penolakan itu murni karena refleks dan inisiatif
Tari untuk melindungi diri, tetap saja akan terasa menyakitkan.
Gelegak
lahar kemarahan kini mulai terasa setelah beberapa saat tertutup oleh rasa
sedih dan kekalutan. Hanya dalam hitungan detik, amarah itu berhasil melesak
keluar dan meledak. Ari kembali bangkit dan melangkah cepat ke meja di ruang
tamu itu. Disambarnya vas bunga antik berlukis matahari dan terbuat dari
keramik yang harganya menyentuh jutaan, dan dilemparnya dengan kekuatan penuh
ke arah dinding.
PRANG!!!
Vas
tadi hancur berkeping-keping. Rangkaian bunga jatuh berhamburan dan berbaur
dengan pecahan keramik di lantai. Tari menoleh kaget. Tangisnya berhenti seketika.
“Kak...”
panggilnya tercekat.
Ari
berbalik menghadapnya. Bahunya naik turun dengan cepat, terengah-engah. Luapan
amarah yang tidak berhasil dibendungnya belum terpuaskan hanya dengan melempar
vas bunga. Matanya bergerak liar mencari sasaran baru. Tangannya mengepal kuat
hingga bergetar dan menonjolkan urat-uratnya.
“Kak,”
panggil Tari lagi. Susah payah gadis itu berdiri. “Jangan ngamuk.”
“Gue
kesel, Tar!” teriak Ari.
“Tapi
gue takut, Kak!” Tari balas berteriak.
Ari
kembali tertegun. Baru ia sadari tindakannya mungkin membuat gadis yang sedang
trauma ini tambah ketakutan.
“Gue
mau pulang,” kata Tari lirih.
“Kondisi
lo lagi kayak gitu. Nggak mungkin lo pulang. Bisa-bisa nyokap lo khawatir.”
Tari
terdiam sesaat. “Trus gue harus gimana?”
“Nginep
di rumah Fio. Gue anter. Ato kalo mau, lo bisa nginep di sini.”
“Rumah
Fio!” putus Tari segera.
Ari
melangkah mendekatinya, kemudian berbisik pelan, “Gue nggak akan biarin lo jadi
milik Angga. Lo cuma milik gue, ngerti?”
Dari dulu Tari mengerti itu. Sejak Ari mengetahui nama lengkapnya, cowok itu langsung menganggap sah Tari sebagai milik pribadinya. Kedua lengan Ari memeluknya lagi sebelum cowok itu menggandengnya keluar rumah.
Dari dulu Tari mengerti itu. Sejak Ari mengetahui nama lengkapnya, cowok itu langsung menganggap sah Tari sebagai milik pribadinya. Kedua lengan Ari memeluknya lagi sebelum cowok itu menggandengnya keluar rumah.
Bersambung...
aaaaa....keren.........lanjutannya jngn lama" dong.....
BalasHapus