Angga
berdiri di tempatnya sampai Ari dan Tari tidak terlihat lagi, menatap kepergian
keduanya tanpa suara.
“Ga...”
Satu
jotosan keras melayang begitu Bram menepuk bahunya.
“Gue
nggak nyuruh lo cium dia, bego!” bentaknya. “Dasar lo! Nyolong-nyolong
kesempatan! Gue aja belom pernah nyium dia!”
“Sori,
sori,” Bram mengangkat kedua tangan tanda menyerah. “Niatnya biar Ari tambah
marah gitu.”
Angga
mencekal kerah kemeja Bram. “Gue juga marah, tau!” desisnya tajam. “Inget. Satu
kali ini aja, oke? Lain kali nggak ada ampun!”
Bram
buru-buru mengangguk. Bukan karena takut oleh jotosan Angga yang mungkin akan
bersarang lebih banyak di wajah atau tubuhnya. Dia lebih takut Gita yang
notabene sepupu Angga semakin jauh di luar jangkauan kalau dirinya membuat
sahabatnya ini marah.
Angga
melepaskan cekalannya dan melangkah masuk lagi ke kantin. Matanya menangkap tas
oranye di atas jaket hitamnya. Tas sekolah yang pasti sama sekali tidak ada di
pikiran Tari setelah kejadian tadi. Angga meraih tas tadi serta jaketnya.
“Gue
balik dulu,” pamitnya sambil lalu.
Sementara
melangkahkan kaki ke tempat motornya terparkir, Angga memikirkan kemungkinan
kemana Ari membawa Tari pergi. Tidak mungkin ke rumah gadis itu. Oleh karena
Angga terlalu mengenal musuhnya, ia tahu tak akan ada orang yang bisa menebak
seperti apa jalan pikiran Ari saat sedang marah atau kalut. Akhirnya ia membawa
pulang tas sekolah milik Tari.
Lima
menit berlalu semenjak Angga duduk di depan meja belajarnya dalam diam.
Dentaman musik yang biasanya memekakkan telinga kini tak terdengar. Kamar itu
ia biarkan sunyi. Tatapannya tidak lepas dari sesuatu di hadapannya. Tas oranye
milik Tari. Mungkin saja gadis itu membencinya sekarang, setelah apa yang dia
lakukan tadi. Mungkin Tari tidak ingin menemuinya lagi. Angga telah memikirkan segala
konsekuensi itu, dan ketika semuanya merasuk lebih jauh ke dalam hatinya, ia
menyesal.
Tapi
bukan berarti akan ia lepaskan begitu saja gadis itu. Justru ia akan lebih
menggencarkan usahanya jika memang untuk sekarang Tari memilih untuk
menjauhinya. Entah sejak kapan kesadaran tentang hal ini datang. Dia menyayangi
Tari. Sampai saat ini, Angga masih sering merutuki kebodohannya dulu saat dia
memutuskan untuk mundur. Membiarkan Tari jatuh ke genggaman Ari.
Begitu
tersadar dari lamunan, Angga mendapati semua isi tas Tari sudah berserakan di
meja belajarnya. Seolah yang memiliki rasa penasaran bukanlah otaknya,
melainkan kedua tangannya, yang kemudian bergerak mengambil sebuah buku dan
memeriksanya. Buku tulis Kimia. Tercetak senyum tipis di bibir Angga saat
melihat coretan-coretan berwarna-warni di buku itu. Tanda centang hijau,
gabungan centang dan silang berwarna shocking
pink, dan juga tanda silang merah dengan kata “SALAH” yang ukurannya nggak
tanggung-tanggung. Coretan dari Ari yang bahkan dibiarkan oleh Tari tetap di
sana. Satu bukti bahwa gadis itu memang menyayangi musuh bebuyutannya.
Tangan
Angga tanpa sengaja menyentuh kamus Inggris-Indonesia milik Tari. Bibirnya
tersenyum semakin lebar. Kamus yang menjadi saksi bisu awal perkenalannya
dengan Tari. Angga membuka halaman pertama dan melihat tulisan Tari,
X-9 yang mengenalkannya pada nama gadis itu. Tangannya membalik-balik
halaman kamus tadi sekilas. Mendadak ia menyadari di bagian tengah kamus
seperti ada yang mengganjal. Sesuatu yang terselip. Angga membuka halaman itu,
dan kedua matanya melebar seketika. Satu kelopak bunga memang terselip di sana.
Mawar merah. Bahkan semerbak harumnya masih tersisa, menguar ke udara di atasnya.
“Ini...”
Kalau perkiraannya tidak salah, satu kelopak bunga ini berasal dari setangkai
mawar merah yang ia berikan pagi tadi kepada si pemilik kamus. Kini kelopak itu
sudah di genggamannya. Keyakinan atas perkiraan tadi kembali memunculkan senyum
Angga.
“Ternyata
lo masih punya rasa buat gue,” gumamnya lirih.
***
“Gue
titip Tari ya, Fi,” kata Ari kepada Fio. Mereka sudah berada di rumah Fio
sekarang. Tari sedang mandi, jadi Ari dan Fio duduk di ruang tamu untuk
berbicara.
“Iya.
Tenang aja, Kak.”
“Jangan
tanyain apa-apa dulu soal kejadian tadi, apalagi soal Angga. Lain kali gue
ceritain ke elo.”
Perkataan
Ari malah semakin membuat Fio penasaran. Dia sudah mendengar Tari diculik
kawanan Brawijaya tadi, saat Fio berlari ke tempat parkir untuk mencari Tari,
tidak lama setelah Ari pergi. Oji yang memberitahunya. Sebenarnya Fio masih
ingin bertanya-tanya, tapi batal begitu menyadari Vero dan gengnya juga ada di
sana.
“Dia
lagi trauma parah,” lanjut Ari lagi, sambil tangannya meremas rambutnya
sendiri. Cowok itu mengerang frustasi. “Kalo bisa, sebenernya gue mau nemenin
dia malem ini. Tapi gue nggak bisa,” desahnya. “Langsung telepon gue kalo ada
apa-apa, Fi. Gue balik dulu.”
Fio
mengantar Ari sampai depan rumah. Tiba di kamar, Tari sudah selesai mandi.
Sahabatnya itu duduk diam di kasur hanya dengan handuk kimononya. Rambut
panjangnya basah terurai, dan matanya menatap kosong ke depan. Fio menarik
napas panjang.
“Pake
baju gue dulu ya, Tar. Abis ini gue ke rumah lo ambilin baju sama seragam buat
besok.”
Tari
mengangguk tak acuh. Fio berjalan ke lemari dan mengambilkan pakaian untuk
Tari. Untung ukuran badan mereka sebelas-dua belas.
“Nih,
lo pake dulu biar nggak dingin. Gue bikinin susu, deh.”
Tari
sekuat tenaga mengusir bayangan Angga dari benaknya. Ia memejamkan mata sejenak
dan menggeleng-geleng. Tapi dalam kegelapan, sosok Angga kian terlihat jelas di
depan mata. Tari menggigit lidah untuk mencegah jeritan keluar dari mulutnya.
Cepat-cepat dia bangkit dan memakai baju Fio, kemudian mengeringkan rambut.
“Kayaknya
gue bakal gila beneran,” desahnya pelan.
***
Motor
Ari berhenti di depan rumah Tante Lidya. Entah berapa lama yang dilewatkannya
hanya dengan duduk diam di atas motor. Rumah itu sepi. Tapi Ari yakin, Mama,
Ata, dan Tante Lidya ada di dalam sana. Ingin sekali dia turun dan masuk ke
rumah itu seperti yang sering dilakukannya akhir-akhir ini sejak Mama datang ke
Jakarta.
Setelah
beberapa saat berperang dengan dirinya sendiri, akhirnya ia mengambil
keputusan. Baru saja kedua kakinya melangkah ke pintu pagar dan tangannya
terulur untuk membuka, sebuah taksi mendadak berhenti tidak jauh darinya.
“ARI!!”
teriakan itu membuat tubuh Ari membeku. Tubuhnya berputar cepat ke sumber
suara. Dalam detik yang mengurungnya dalam ketersimaan, sebuah tamparan keras
tiba-tiba saja mendarat di pipinya.
“BERANINYA
KAMU KE RUMAH INI LAGI!!” bentak Papa dengan suara menggelegar. “Udah berani
kamu melawan Papa?!”
Mulut
Ari sudah terbuka untuk membalas, tapi suara pintu terbuka dari rumah di
samping mereka seketika membungkamnya. Keduanya menoleh. Mama berdiri mematung
di ambang pintu. Ata menyusulnya tak lama kemudian, dan sama-sama terpaku.
Ari
baru bisa tersadar ketika Papa melangkah geram memasuki pagar. Dia dan Ata
terlambat untuk mencegah tamparan Papa mendarat di pipi Mama. Ari terkesiap
sesaat, kemudian dengan kalap ia berlari menghampiri Papanya dan mendorongnya keras
agar menjauh dari Mama, sementara Ata langsung memeluk Mama erat-erat.
“Papa
apa-apaan sih?!” bentak Ari murka, tidak terima Papa memperlakukan Mama
sedemikian kasar di muka umum.
“Papa
mau ngomong sama dia. Minggir kamu!” tukas Papa dingin, balas mendorong tubuh
Ari yang menjadi penghalang antara dirinya dan mantan istrinya itu. Ata, yang
masih memeluk Mama, juga ikut membentak Papanya, “Papa mendingan pergi! Jangan
ganggu Mama!”
Papa
tidak mempedulikan semua bentakan dari anak-anaknya. Matanya menatap lurus
kepada mantan istrinya yang menangis di pelukan Ata. “Widia,” panggilnya berat.
“Ini peringatan terakhir! Ata milikmu, dan Ari milikku. Semua sudah sah dan
jelas secara hukum sejak bertahun-tahun yang lalu. Kalau sampai sekali lagi Ari
berani menemuimu, aku tak akan segan-segan membawa dia pergi lebih jauh.”
“Apa
salahnya sih, Pa?!” teriak Ari frustasi. “Dia Mama aku! Nggak ada orang sekejam
Papa yang tega melarang anaknya ketemu ibunya sendiri!”
“Diem
kamu! Papa nggak suka kamu deket-deket sama wanita ini lagi!” bentak Papa.
Wanita
ini? Setelah lebih dari delapan tahun kebersamaan mereka dulu, setelah semua
cerita cinta yang sempat mereka rajut bersama, sekarang Papa bahkan tidak sudi
menyebut Mama dengan panggilan “Mama-mu”, atau paling tidak nama mamanya. Apa
yang membuat Papa begitu membenci Mama? Mendadak Papa menarik tangannya.
“Pulang!”
Ari
merasa hidupnya hancur seluruhnya. Remuk redam. Hingga tak ada kuasa untuk
melawan perintah papanya. Bukan berarti ia mau menerima. Tapi cowok itu sudah
terlalu lelah untuk menolak. Tidak ada lagi yang tersisa dari dirinya. Dalam
satu hari ini, semuanya terkuras habis. Tidak ada cukup emosi untuk menyeretnya
lebih jauh ke dalam masalah di hadapannya. Ari ingin berhenti, ingin mengakhiri
semua ini. Mengunci otak serta mematikan hati, agar tak ada lagi perkara rumit
yang masuk ke sana dan mengganggunya.
“Mas,”
panggil Mama tepat saat Ari dan Papanya mencapai pintu pagar. Keduanya kontan
berhenti. Ari menoleh ke arah Mama, sementara Papanya bergeming. Mama
melepaskan diri dari pelukan Ata, kemudian maju satu langkah. “Terima kasih,”
katanya serak. “Makasih udah ngerawat Ari dengan baik. Sampai dia udah segede
ini. Tolong, ijinin aku meluk dia sekali ini, sebelum aku sama Ata balik ke
Malang.”
Ari
dan Ata membelalak. Kedua kembar itu bertatapan kaget. Mama dan Ata mau pulang
ke Malang secepat ini?
“Ri...”
“Nggak!
Kita pulang!” Papa kembali menyeret tangan Ari, meninggalkan Mama yang kembali
menangis dan Ata yang dengan sigap kembali memeluknya. Papa mengambil kunci
motor Ari.
“Naik!”
bentaknya.
Tubuh
Ari bergerak seperti robot, naik ke boncengan Papa tanpa bisa membantah. Untuk
terakhir kalinya, ia dan Ata bertatapan.
***
Tiba
di rumah, Ari melesat masuk ke kamarnya dan menutup pintu dengan bantingan.
Tubuhnya langsung ambruk ke tempat tidur, serasa tak bisa digerakkan lagi. Ia
hanya bisa memejamkan mata. Dalam kegelapan yang kini menyelimuti pandangannya,
dua wajah muncul bersamaan di hadapannya. Dua wajah dari sosok orang yang
menyandang nama yang serupa, yang sama-sama disayanginya sepenuh hati. Matahari
Jingga dan Jingga Matahari.
Kini
Ari dihadapkan dua jalan yang berbeda, yang membuatnya harus meninggalkan salah
satu matahari yang disayanginya. Ia harus memilih. Antara Ata dan Tari. Satu
jalan bersama Ata serta mamanya, ataukah jalan yang lain bersama Tari.
Keinginan untuk pergi bersama Mama dan Ata, ikut ke Malang, mendadak terlintas
dalam benaknya saat perjalanan pulang tadi.
Bayangan
berkumpul bersama Mama, Ata, Mbah Uti, Mbah Kakung, Pakde, Bude, dan seluruh
keluarga serta sepupu-sepupunya berhasil menghangatkan hatinya. Kebersamaan,
kebahagiaan. Dua hal yang tidak pernah Ari dapatkan sejak ia tinggal berdua
saja dengan Papa. Ari sama sekali tidak keberatan meninggalkan kemewahan
hidupnya di Jakarta ini. Tapi ia sangat keberatan untuk meninggalkan Tari.
Gadis
itu kini telah menjadi bagian dari hidupnya. Tidak mungkin dia tinggalkan begitu
saja. Kalau dia ikut Mama ke Malang, kemungkinan dia akan bertemu lagi dengan
Tari sangat kecil, sangat jarang. Perjalanan Jakarta-Malang bukanlah perjalanan
murah kalau mengingat kondisi ekonomi Mama. Dan lebih tidak mungkin ia mengajak
Tari ke Malang.
Dan
lagi-lagi jalan yang bercabang tadi menyiksanya. Sanggupkah Ari membiarkan
salah satu matahari tenggelam? Menghilang dari hidupnya? Seperti bertahun-tahun
yang lalu, ketika kedua orang tuanya memisahkannya dengan Ata, ia hancur. Dan
kini kehancuran yang sama mulai membayang.
“Apa
sih yang tersisa dari lo?” dengus Ari pahit. “Sombong banget elo, Ri. Sok takut
sama yang namanya ancur. Kayak idup lo belom ancur aja, masih pantes
dipertahanin. Haha,” Cowok itu tertawa kecut. Sedetik, ia kembali terdiam,
berusaha keras mengosongkan pikiran dan membunuh kesadarannya.
***
Pukul
delapan malam, Tari mencoba menghubungi Ari, tapi semua panggilannya tidak
diangkat, juga semua pesan singkatnya tidak ada yang dibalas.
“Ari
kenapa, sih?” desahnya sambil tengkurap di tempat tidur Fio.
Fio
menutup buku Fisikanya, dan ikut merebahkan diri di samping Tari. “Kenapa?”
“Masa
panggilan gue nggak ada yang dijawab? Malah harusnya kan dia yang lebih dulu
nelepon gue dari tadi. Nanya kabar kek, apa kek. Masa dia nggak khawatir sama
gue?”
“Udah
tidur, kali,” jawab Fio asal.
Tari
tertawa mendengus. “Ngaco lo. Ini baru jam berapa? Ari itu bukan tipe cowok
yang akrab sama kata tidur. Dia kalo malem kerjaannya melek kayak kelelawar.
Tidurnya kudu lebih dari tengah malem.”
“Bisa
aja dia kecapekan. Lo sendiri nggak capek?”
Tari
menggeleng lesu. “Gue justru khawatir sama Ari. Takut dia ada masalah lagi sama
bokapnya.” Perasaan Tari memang kurang enak sejak tadi. Ia mempunyai firasat
buruk tentang cowoknya yang entah sedang apa itu. Apalagi tidak ada kabar sejak
terakhir kali Ari meninggalkannya di rumah Fio.
“Makanya
lo tidur aja, biar besok cepet ketemu di sekolah.”
Benar.
Tari hanya bisa menunggu sampai besok pagi. Akhirnya ia menarik selimut Fio,
dan merangkupkannya ke tubuh hingga menutupi setengah kepalanya yang berdenyut
sakit. Ia kembali teringat tas sekolahnya tertinggal di SMA Brawijaya.
Kemungkinan besar pentolan mereka yang membawanya sekarang. Itu artinya, Angga
akan datang menemuinya tidak lama lagi.
***
Tari
berhasil melewati malam tanpa menjerit histeris seperti yang ditakutkan Fio dan
Ari, juga dirinya sendiri. Tidurnya tidak bermimpi. Semuanya gelap. Tapi entah
kenapa pada tengah malam matanya mendadak terbuka lebar dan dia bangun
terduduk.
“Fi,”
panggilnya pada Fio yang tidur memunggunginya. Fio tidak menyahut, masih
terlalu asyik dengan mimpinya sendiri. Tari mendesah. Ia tahu ini kejam dan
kurang manusiawi, tapi diguncangnya bahu Fio, memaksa temannya itu untuk
bangun.
“Fiooooo....”
“Mm,
apaan sih, Tar?” erang Fio malas, tidak membuka mata atau membalikkan badan
untuk menatap Tari.
“Jangan
molor sendirian, dong. Temenin gue. Gue nggak bisa tidur.”
Kembali
tidak ada sahutan. Fio rupanya kembali terseret ke alam mimpi. Lagi-lagi Tari
mendesah, menyerah. Ia hempaskan tubuh kembali ke bantal-bantal sambil meraih
ponsel untuk memeriksa, kalau-kalau Ari membalas salah satu SMS-nya. Tidak ada.
Layar ponselnya kosong, hanya memberitahunya kalau saat ini sudah pukul 1 dini
hari.
“Seriusan,
gue cemas sama elo,” desisnya pelan kepada ponsel di genggamannya. Aneh memang.
Yang harus dicemaskan adalah keadaan dirinya sendiri, tapi kenapa ia malah
terus-terusan mengkhawatirkan keadaan Ari?
Entah
untuk keberapa kalinya Tari kembali mencoba menghubungi nomor Ari. Tetap tak
ada jawaban. Mendadak ia teringat sesuatu. Cepat-cepat ia membuka kotak masuk
di fitur pesan dan mencari nomor Ata. Masih ada! Tanpa peduli sekarang masih
terlalu malam untuk menelepon, Tari menghubungi nomor itu. Sambil
berharap-harap cemas, ia mendengarkan nada sambung.
“Ya,
Tar?” Akhirnya!
“Ng...
belom tidur, Kak?”
“Nggak
bisa tidur. Kenapa?”
“Sori
kalo ganggu. Gue mau nanya tentang Kak Ari. Apa dia ke situ tadi?”
Ata
terdiam. Cukup lama ia tidak menyahut. Tari menggigit bibir gelisah. Apa memang
benar ada masalah? “Kak...”
“Ya.
Tadi dia ke sini,” jawab Ata sebelum Tari sempat bertanya lagi. “Bokap juga ke
sini. Dia mergokin Ari dateng nemuin gue sama Nyokap.”
Tari
terkesiap. Ternyata memang ada urusan gawat! “Trus? Ada masalah?”
“Jelaslah,”
tukas Ata. “Kami ribut besar. Tapi lebih baik lo tanya Ari langsung soal
masalah tadi. Gue takut salah bicara.”
“Itu
dia masalahnyaaaa...” desah Tari putus asa. “Kak Ari nggak jawab telepon gue
dari tadi. Gue takut dia kenapa-napa. Apa dia nggak nelepon Kak Ata?”
“Nggak.
Nggak ada kabar dari dia sejak dia diseret pulang sama Bokap,” jawab Ata,
membuat Tari ingin menangis saking cemasnya. “Besok kan kalian ketemu di
sekolah, jadi lebih baik lo tidur sekarang.”
“Hmm,
gue nggak punya pilihan lain. Moga-moga besok Kak Ari nggak madol. Ya udah, Kak
Ata. Makasih. Sori udah ganggu malem-malem gini.”
Akhirnya
Tari menyerah. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan di malam buta seperti ini. Setelah
memutuskan sambungan dengan Ata, sebisa mungkin ia memejamkan mata sambil
berdoa setengah mati agar jarum jam bergerak lebih cepat dan matahari segera
terbit.
***
“Halo?”
jawab Oji saat melangkah keluar gerbang rumahnya.
“Jagain
Tari hari ini. Jangan sampe Angga dateng nemuin dia. Pulangnya anterin dia
sampe rumah. Sama Ridho kalo perlu. Oh iya, jemput dia pagi ini di rumah Fio.
Ngerti?” Sederet perintah dari Ari turun saat itu juga.
Oji
langsung paham. “Siap, Bos! Lo sendiri mau ke mana?”
“Gue
ada urusan hari ini,” jawab Ari, kemudian sambungan langsung terputus.
Oji
menatap layar ponselnya dengan kening berkerut, lalu bergegas mencari taksi untuk
menuju ke rumah Fio.
***
“Masa
gue berangkat sekolah nggak bawa tas? Lucu deh. Mau belajar apa mau bantuin
tukang kebun nyapu halaman?” keluh Tari kepada Fio yang juga menatapnya
bingung.
“Gue
pinjemin tas gue yang lain deh, sama buku tulis sisa yang belom gue pake. Bawa
itu dulu,” putus Fio akhirnya. Ini masalah asli dadakan banget, soalnya Tari
baru bilang pagi ini kalau tasnya tertinggal di SMA Brawijaya.
Mau
tak mau Tari setuju. “Untungnya hari ini nggak ada PR,” katanya, pasrah.
Selesai
sarapan, keduanya berjalan keluar rumah, dan kaget mendapati Oji sudah berdiri
menunggu di samping taksi. Oji menyambut kekagetan keduanya dengan senyum.
“Silahkan
naik, tuan-tuan putri,” katanya dengan gaya penuh hormat membukakan pintu
belakang taksi.
Tari
berjalan tergesa menghampirinya. “Kok lo ada di sini? Kak Ari mana?” tanyanya,
berharap Oji tau apa yang terjadi dengan Ari.
Namun
sayang, Oji menggeleng, membuat tubuh Tari lunglai seketika. “Gue cuma dapet
perintah buat jagain lo baik-baik hari ini. Buruan naik.”
Fio
mendorong pelan tubuh lemas Tari masuk ke taksi. Ia sendiri duduk di
sebelahnya, sementara Oji di depan. Selama perjalanan, tidak ada yang bicara.
Hanya Tari yang mengeluh berkali-kali karena percobaannya menghubungi nomor Ari
belum juga membuahkan hasil.
“Udahlah,
Tar. Kali aja Kak Ari emang lagi ada urusan penting. Kalo udah selesai pasti
dia langsung telepon balik elo,” kata Fio akhirnya, tidak tega juga melihat
raut putus asa Tari yang hampir menangis.
“Iya,
Tar. Paling dia ngilang satu dua hari buat nenangin diri,” timpal Oji.
“Dia
lagi ada masalah,” sahut Tari serak. “Kemaren pas dia dateng ke rumah Tante
Lidya ternyata bokapnya mergokin dia. Mereka ribut besar.”
Fio
dan Oji terdiam kaget. “Ng... trus?” tanya Fio, mewakili rasa penasaran Oji.
Tari
menggeleng lesu. “Gue nggak tahu setelah itu gimana.”
“Kok
lo tau?” kali ini Oji yang bertanya.
“Semalem
gue nelepon Kak Ata. Tapi dia nggak mau ngasih tau detail kejadiannya. Gue
disuruh nanya ke Kak Ari langsung. Gimana mau nanya coba kalo yang bersangkutan
aja diem dan lenyap kayak ditelan bumi?”
Fio
dan Oji kembali terdiam. Untuk selanjutnya hingga taksi berhenti di depan
gerbang sekolah, ketiganya membisu.
***
Oji
mengawal ketat kedua cewek itu sampai di pintu kelas mereka, meski mustahil
juga Angga tiba-tiba nongol di dalem sekolah ini.
“Ntar
istirahat gue ke sini. Trus pulangnya juga kalian tunggu sini aja. Gue sama
Ridho bakal jemput secepatnya. Kami anterin sampe rumah.”
Fio
mengangguk. “Oke. Thanks, Kak,”
katanya sebelum membuntuti Tari masuk ke kelas. Tapi langkahnya terhenti begitu
mendapati Tari juga tengah berdiri diam di depan kelas. Matanya mengikuti arah
pandang Tari, dan langsung menemukan alasan temannya itu terpaku di sini.
Di
meja guru, tas oranye milik Tari sudah bertengger manis. Butuh beberapa detik
sampai Tari tersadar dan buru-buru mendekati tasnya. Tanpa berpikir dua kali,
ia menumpahkan isinya ke meja guru, memeriksanya. Semuanya masih lengkap.
Sampai ia menemukan sehelai kertas yang terselip di antara buku-buku paket.
Tidak ketinggalan setangkai mawar merah juga meramaikan isi tasnya.
Tar, gue minta
maaf. Sori banget atas kejadian kemaren. Tapi asal lo tau, gue sama sekali
nggak berniat untuk bener-bener ngerobek kemeja elo. Sekali lagi, sori. Gue
terpaksa ngelakuin ini demi Gita.
Angga
“Siapa
yang nganterin tas gue ke sini?” tanya Tari ke teman-teman sekelasnya. Namun
mereka semua kompak menggeleng.
“Gue
yang dateng paling pagi. Dan tas itu udah ada di situ sejak gue tiba,” jawab
Jimmy.
Mendadak,
Tari balik badan. Sambil tangannya meremas-remas surat dari Angga, ia berjalan
cepat keluar kelas, langsung menuju ke kelas Gita. Surat dan mawar dari Angga
sudah meluncur ke tong sampah di depan kelas. Untung cewek yang dicarinya sudah
berangkat.
“Bisa
gue ngomong sebentar sama elo?” katanya memotong obrolan Gita dengan teman
sebangkunya.
Gita
mendongak agak kaget, tapi ia mengangguk. Begitu tiba di luar kelas, Tari
langsung mencengkeram kedua bahu Gita dan menatap cewek itu lurus-lurus. “Git,
tolong jangan ikut campur masalah gue dan Kak Ari lagi. Urusannya bisa tambah
gawat kalo sampe lo terlibat.”
Kening
Gita berkerut bingung. “Ikut campur gimana maksudnya? Gue nggak pernah...”
“Lo
kan yang naro tas gue di meja guru?” potong Tari cepat. “Lo disuruh Angga,
kan?”
“Tas
apa?” Gita tambah bingung. “Gue nggak nerima perintah apa-apa dari Angga sejak
kemaren. Sumpah, Tar. Tadi malem emang dia sempet jenguk gue. Tapi kami cuma
ngobrol biasa. Sama sekali nggak nyinggung masalah elo ato Kak Ari.”
Giliran
kening Tari yang berkerut bingung. Sepertinya Gita tidak bohong. Kembali
pertanyaan yang belum terjawab sejak kemarin melintas di benaknya. Siapa yang
membantu Angga kalo bukan Gita? Cekalannya di bahu cewek itu terlepas.
“Ada
masalah apa sih, Tar? Katanya kemaren pas gue nggak masuk Kak Ari juga nyariin
gue di kelas?”
Tari
menggeleng. “Rumit banget, Git. Dia nyariin elo juga buat ngasih peringatan
agar lo nggak ikut campur masalah kami.”
Tari
menatap sepasang mata Gita yang menyorot cemas. Ia menghela napas. Kenapaa juga ini cewek harus sekolah di
sini? keluhnya dalam hati, tidak tahu harus menyalahkan siapa.
“Yang
penting mulai saat ini elo jauh-jauh gih. Sori, bukannya gue ada maksud jelek.
Tapi ini demi keselamatan elo juga. Dan gue juga janji mulai saat ini Kak Ari
nggak akan gangguin lo lagi.”
Setelah
bicara seperti itu dan mendapat anggukan dari Gita, Tari berjalan
meninggalkannya. Tapi belum sampai tiga langkah, cewek itu membalikkan badan
lagi. “Dan tolong lo bilangin ke Angga, gue belom maafin dia.”
Bersambung...
Hyaah, kok udah sampe part 7 aja siih? Cepet banget...
Untuk lanjutannya mungkin agak lama, soalnya udah mulai sibuk lagi
Thanks banget udah baca dan thanks juga atas dukungan kalian ^^
Sori kalo aku sering bikin kalian nunggu, hehe #pede
Peluk dan cium hangat buat kaliaan :*
Kereeennnn... jangan lama-lama dong kalo posting lanjutannya :-(
BalasHapusdua kali seminggu kek gitu biar seneng aku-nya :-)
Haha, maaf, mungkin belom bisa kalo dua kali seminggu
BalasHapusNulis tentang Ari yang punya sejuta fans itu nggak gampang
Kalo sampe nggak sesuai ato melenceng terlalu jauh dari keinginan pembaca kan repot jadinya, pada diprotes sana-sini
Jadi aku nulisnya juga harus cermat hati-hati, hehe