Oji
menggeliat malas di tempat tidur. Pukul tujuh masih tergolong pagi buta menurut
kamus hidupnya di hari Minggu. Tapi ia terpaksa meninggalkan alam mimpi saat
ponselnya menjerit.
“Hm...
ya? Halo? Lo punya jam nggak sih di rumah? Masih malem nih,” gerutunya pelan
saat mengangkat panggilan, dengan mata masih menutup rapat.
“Malem?
Coba melek dulu, Mas!”
Kontan
Oji membuka mata lebar. Ia kira telepon sepagi ini dari Ari ato Ridho, ternyata
suara cewek!
“Sori,
ini siapa ya?”
“Masa
lo nggak kenal suara gue? Ih, keterlaluan lo, Ji,” sahut cewek itu dengan centil.
Memang
kedengarannya suara cewek itu tidak asing. Kedua mata Oji tambah lebar begitu
mengenali pemilik suara yang mengganggu Minggu paginya ini. “Ooh, elo! Heh, mau
apa lo, Nenek Lampir? Bener-bener lo ya, kerjaannya ngumbar pelet mulu sampe
nggak tau waktu!”
“Kok
kejem banget sih ngomongnya?” protes cewek itu masih dengan nada centil.
“Buruan
mau bilang apa?! Gue tutup nih kalo nggak penting!” Oji mulai jengkel.
Cewek
di seberang ketawa. “Gue cuma mau bilang, tolong sekarang lo pergi ke pintu depan,
dan ambil amplop di bawah pintu. Oke?”
Telepon
ditutup begitu saja, bikin Oji menggerutu kiri kanan. Dasar tu cewek, nggak
pernah punya kerjaan lain selain mengganggu ketenangan hidup orang. Dengan
malas, Oji bangkit dari tempat tidur dan bersenam-senam kecil sebelum
melangkahkan kaki ke pintu.
Amplop
yang disebut-sebut cewek tadi berwarna cokelat dan tidak terlalu besar,
terselip di celah bawah pintu. Dengan alis menyatu, Oji meraih dan membukanya.
Apa yang ada di dalam amplop itu langsung membuat sisa kantuknya lenyap. Ia
melesat ke kamar setelah sempat terpaku sesaat.
“Lo
nggak berperikemanusiaan banget, Ji. Gue baru aja bisa tidur, tau,” omelan
Ridho langsung menyambutnya begitu panggilannya diangkat, tapi Oji tidak
peduli.
“Ini
ada yang lebih gawat, Dho! Gawat! Lebih penting dari tidur lo!”
“Gawat
apanya? Nggak usah heboh kayak lagi kebakaran jenggot gitu, lah.”
“Gue
ke rumah lo abis ini!”
Ridho
menguap, masih belum tertular penyakit heboh Oji. “Ya, ya. Ke sini aja. Telepon
gue kalo udah sampe. Gue mau tidur dulu.”
***
“Dho,
dho! Banguuun!!” Oji mengguncang tubuh Ridho, memaksa temannya yang sedang
tidur sambil memeluk guling itu untuk bangun.
“Ng....
Ji, ngapain lo masuk-masuk kamar gue?” erang Ridho setengah sadar setengah
tidak.
“Abisnya
lo gue telepon nggak diangkat-angkat. Kata pembokat lo gue suruh ke kamar lo
aja langsung. Ya udah... heh, banguun!! Buruan!”
Mau
tak mau Ridho membuka mata dan duduk. Oji ikutan duduk di tempat tidur, di
samping Ridho yang sedang mengucek mata. “Ada apa, sih? Awas aja kalo ternyata
nggak penting. Gue cekek beneran lo!”
“Lo
liat ini, deh!” Oji mengeluarkan isi dari amplop cokelat yang baru diterimanya
tadi pagi.
Begitu
isi dari amplop tadi berpindah ke tangan Ridho, reaksinya persis seperti reaksi
Oji tadi. Terpaku.
“Gimana?
Gawat, kan?” desak Oji. “Kita musti bilang apa ke Ari?”
Di
tangan Ridho, ada dua lembar kertas. Yang satu sebuah foto, yang satunya lagi
sepucuk surat singkat, bunyinya :
Tari selingkuh
sama Angga! Gue liat sendiri mereka jalan bareng di mal kemaren!
Dan
foto itu menjadi bukti dari isi surat tadi. Terlihat Angga dan Tari duduk
berhadapan di sebuah foodcourt. Wajah
keduanya begitu dekat, nyaris bersentuhan. Meski itu bukan foto close up, Oji dan Ridho bisa melihat
wajah Tari agak tegang dan Angga memiringkan wajah sedikit, seolah cowok itu
hendak mencium bibir Tari.
Ridho
mengguncang-guncang bahu Oji tanpa mengalihkan tatapannya dari foto Tari dan
Angga. “Ji, lo dapet ini dari siapa?!”
Oji
garuk-garuk kepala sebentar. “Ng... itu... dari Vero.”
***
Keberadaan
Tari masih belum diketahui! Ari nyaris frustasi. Karena kemarin Mama Tari
bilang kalau Tari akan menginap selama dua malam, itu artinya besok dia harus
berangkat sekolah sendiri. Entah untuk keberapa kalinya Ari mencoba menghubungi
nomor Tari.
“Maaf, nomor yang Anda tuju...”
“Sialan!”
Ari melempar ponsel dan tubuhnya ke tempat tidur. Nomor Tari masih tidak aktif.
SMS untuk ketiga cewek itupun belum ada yang dibalas sejak tadi malam,
benar-benar bikin gerah.
Lagu
Kitaro – Caravansary yang menjadi ringtone-nya mendadak berkumandang. Ari
buru-buru meraih ponselnya lagi, berharap itu telepon dari Tari. Tapi ternyata
dari Oji. Ari mengangkat sebelah alisnya heran.
“Ya,
Ji? Tumben jam segini lo udah bangun.”
Di
seberang, Oji terdiam. Ia dan Ridho bertatapan sejenak. Oji menggeleng, lalu
menyerahkan ponselnya ke Ridho. Ridho menggerutu tanpa suara, sementara Oji
nyengir.
“Bisa
lo dateng ke rumah gue?” kata Ridho kemudian.
“Elo,
Dho? Kok kalian udah kumpul pagi-pagi gini?” tanya Ari tambah heran.
“Ada
yang mau kami omongin sama elo. Sekarang. Gue tunggu.” Ridho menutup telepon
sebelum Ari bertanya lebih lanjut.
***
Fio
mengaktifkan kembali ponselnya pagi ini, dan wajahnya memucat seketika. Delapan
panggilan tak terjawab, dan satu SMS horor dari Ari, yang begitu dibaca,
matanya kontan berkunang-kunang dan napasnya sesak.
“Man!
Man! Coba lo idupin HP lo! Buruan!” serunya panik.
Melihat
kondisi Fio, Nyoman bergegas mengaktifkan ponselnya, mengira pasti ada sesuatu
yang maha gawat. Wajah cewek itu jadi tak kalah pucat begitu membaca tulisan di
layar ponsel.
“Gila!
Mampus kita! Elo nih, Tar. Tanggung jawab, ih!” seru Nyoman lebih panik.
“Ada
apaan, sih?” Tari mendekati kedua temannya yang mematung di lantai. Ia merebut
ponsel Fio yang masih menampilkan SMS ancaman dari Ari. Perlahan, bibirnya
meringis. Ngeri.
“Ups,”
katanya pelan, merasa bersalah karena melemparkan kedua temannya ke kandang
singa.
“Gimana
nasib kita besok di sekolah? Pulang-pulang bisa jadi almarhum nih,” keluh Fio,
yang dianggukin Nyoman dengan wajah nelangsa.
“Susun
rencana!” putus Tari, meski ia sendiri tidak yakin rencana apapun akan berhasil
menyelamatkan mereka dari Ari.
***
Oji
dan Ridho menunggu kedatangan Ari dengan gelisah. Ketika akhirnya mereka
mendengar suara motor berhenti di depan rumah, keduanya serentak berdiri dari
sofa dan bergegas menghampiri sahabat mereka yang baru saja melepas helm.
“Jadi?”
tanya Ari. Ia mengangkat alis tinggi-tinggi melihat Ridho dan Oji saling lirik
dengan ekspresi cemas.
“Lo
sama Tari kemaren?” Ridho bertanya balik.
Ari
mendengus. “Dia ngilang, tau nggak? Seharian kemaren gue nggak ketemu sama dia.
Siangnya waktu gue telepon, dia bilang lagi jalan di mal sama Fio. Trus
malemnya dia nggak di rumah, nginep di rumah temen kata Nyokapnya, tapi bukan
rumah Fio. Nomornya juga nggak aktif.” Ia menghembuskan napas keras-keras.
“Kenapa sih tu cewek?”
Ridho
dan Oji kembali saling tatap dengan mulut ternganga. Jadi bener Tari selingkuh?
Ini buktinya! Cewek itu seharian kemarin jalan di mal. Ngakunya sih sama Fio,
tapi yang duduk bersama dan nyaris mencium Tari itu kan bukan Fio! Dan malam
harinya cewek itu sengaja menghindar dari Ari. Bukan ke rumah Fio katanya.
Jangan-jangan Tari di rumah Angga semalem?! Entah bagaimana pikiran Oji dan
Ridho bisa sama-sama sampai di titik itu. Seolah saling memahami pikiran satu
sama lain, Oji dan Ridho meringis, kemudian menggeleng-geleng.
“Ngaco,
ah. Nggak mungkin dia senekat itu,” gumam Ridho. Oji mengiyakan.
“Bos,
lo yakin kemaren dia jalan sama Fio?” tanya Oji hati-hati.
Ari
menatap Oji heran. “Yakinlah. Emang kenapa?”
“Gimana
kalo ternyata dia bohong?”
“Maksud
lo?” Ari semakin bingung dengan pertanyaan Oji. “Kalian kenapa, sih?”
Ridho
melangkah maju. Sebelah tangannya menepuk bahu Ari sementara tangan lain mengulurkan
selembar foto. “Lebih baik lo cari Tari dan minta dia jelasin ini.”
Ari
masih tidak mengerti dengan sikap dan kata-kata kedua sahabatnya sampai dia
melihat foto yang diulurkan Ridho. Begitu jelas siapa yang menjadi objek di
dalam foto itu meski ada puluhan manusia lain di sana. Tapi mata Ari
mengaburkan manusia-manusia lain itu. Yang tertangkap oleh retinanya hanya dua
orang yang tengah duduk berhadapan, dengan wajah begitu dekat seperti akan
berciuman. Dan dua orang itu adalah Tari dan Angga.
“Stop,
jangan nanya apa-apa,” sela Ridho begitu dilihatnya Ari membuka mulut untuk
bertanya. “Kami cuma dapet foto itu tadi pagi, dan foto itu jelas diambil
kemaren. Liat aja tanggalnya. Selebihnya, tentang apa yang sebenernya terjadi,
lo nanya sendiri ke Tari. Ato Angga sekalian, mungkin.”
Selama
beberapa saat, tidak ada yang bergerak maupun bersuara di antara mereka
bertiga. Ridho dan Oji menunggu reaksi Ari, bersiap menerima ledak amarah teman
mereka itu. Tapi ternyata Ari hanya melipat foto tadi menjadi dua, kemudian
menyelipkannya asal-asalan ke saku celana. Bibirnya menyunggingkan senyum
miring.
“Thanks,” katanya singkat kepada kedua
sahabatnya sebelum ia berlalu dari situ, meninggalkan Oji dan Ridho yang
kembali bertatapan bingung.
***
Ari
memacu motornya kencang, membelokannya tak tentu arah. Pikirannya kacau. Kalau
saja kenyataan ini memang sekadar kesaksian dari Oji atau Ridho, lebih mudah
untuk tidak memercayainya. Tapi ini semua tergambar jelas dalam sebuah foto!
Ari yakin foto itu seratus persen bukan hasil editan. Dia mendengar sendiri
kemarin siang saat menelepon Tari, suasana di sekeliling gadis itu sangat ramai
oleh obrolan orang-orang dan musik yang keras, suasana khas foodcourt di mal. Dan tiba-tiba saja
Tari tidak menanggapi perkataannya, kemudian malah menutup telepon dengan
alasan mau menemani Fio memborong kaset drama Korea.
Sebenarnya
segala macam bentuk kecurigaan telah bermunculan di benak Ari sejak terakhir
kali ia menelepon Tari. Pelan-pelan, Ari bisa melihat benang-benang yang makin
terjalin secara jelas, alasan-alasan yang melatarbelakangi keanehan sikap gadis
itu. Tari selingkuh dengan Angga, entah kenapa, bagaimana, dan sejak kapan.
Kemarin siang ia jalan dengan cowok itu di mal. Karena nyaris ketahuan, Tari
tidak berani menemui Ari sehingga memutuskan untuk menginap di rumah teman.
Jelas saja bukan rumah Fio, karena alamat pencarian kedua yang pasti didatangi
Ari adalah rumah sahabatnya itu.
Ari
menggeram. Berani banget tu cewek!
desisnya dalam hati. Ketika ia menemukan cewek itu nanti, ia bersumpah akan
membuat Tari menceritakan kenyataan yang sesungguhnya dengan cara apapun, meski
itu berarti ia harus mengikat Tari dan menginterogasinya ala penjahat kelas
kakap.
Sementara
pikirannya melantur kemana-mana, Ari tidak sadar motornya kini berhenti di
depan rumah Tari.
“Sialan,
kenapa gue ke sini?” gerutunya. Ia sudah bersiap akan pergi lagi saat pintu
depan terbuka.
“Ari?”
panggil Mama Tari, agak kaget juga.
Ari
menoleh, dan mau tak mau ia turun dari motor untuk menyapa Mama Tari. “Pagi,
Tante.”
Mama
Tari melangkah mendekat ke pagar. “Pagi. Mau nyariin Tari lagi? Tari belom
pulang dari kemarin. Kan dia bilangnya mau nginep dua malem.”
“Ooh,
gitu. Tapi... dia bener-bener nggak ngomong di mana dia nginep?”
Mama
Tari menggeleng. “Nggak. Tapi yang jelas sih sama Fio. Soalnya semalem waktu
Tante telepon, yang ngangkat Fio, katanya Tari lagi di kamar mandi. Kamu udah
coba ke rumahnya Fio?”
“Udah,
Tante. Tapi Tari nggak ada di sana,” jawab Ari, sambil diam-diam otaknya
menyusun rencana untuk membalas keberanian Fio hingga cewek itu kapok dan tidak
akan pernah lagi ikut melarikan diri bersama Tari.
“Yah,
kalo gitu Tante bener-bener nggak tau dia di mana, maaf.” Mama Tari kembali
menggeleng. “Oh iya, kebetulan kamu ke sini. Ini, Tante nitip ini buat Mama
kamu.”
Ari
menerima tas kertas berukuran medium yang disodorkan Mama Tari. “Apa ini?”
tanyanya penasaran sambil melongok isi tas tadi. Ada beberapa toples plastik
bening yang tersusun rapi di dalamnya. Sepertinya berisi kue-kue kering.
“Oh,
itu oleh-oleh kecil buat Mama kamu sama Ata. Katanya mereka mau pulang hari ini?
Maaf, Tante cuma bisa bawain itu.”
Tas
kertas itu nyaris terjatuh dari tangan Ari. Ia mendongak menatap Mama Tari
dengan mulut ternganga. “Mereka mau pulang hari ini? Pulang? Maksud Tante... ke
Malang?”
Mama
Tari mengangguk. Keningnya berkerut heran. “Kamu belum tau?”
Ari
terpaku sesaat sebelum akhirnya menggeleng pelan. Mama Tari menatapnya
prihatin. “Ya udah, kamu ke rumah Tante Lidya aja dulu. Ini masih pagi. Mereka
pasti belum berangkat.”
Ari
tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia melangkah ke motornya, lalu tanpa pamit, ia
memacu motornya melewati gang kecil menuju rumah Tante Lidya.
***
Tante
Lidya yang sedang menyiram bunga di halaman depan rumahnya seketika
menghentikan kegiatannya saat melihat motor Ari berhenti di depan pagar
rumahnya dan si pengendara langsung berlari menerjang ke arahnya.
“Mana
Mama sama Ata?” tanya Ari tanpa basa-basi.
“Eh,
ng.. itu, Mama sama Ata...” Tante Lidya mendadak gugup. Memang bukan
kewajibannya untuk memberitahu Ari soal kepulangan Mama dan saudara kembarnya
ke Malang, sehingga ia tidak tahu harus berkata apa tentang masalah ini ke Ari
saat tiba-tiba ditodong pertanyaan seperti itu.
“Tante!
Jangan bilang mereka...” Ari tercekat, tidak sanggup meneruskan kalimatnya.
Tante
Lidya menghela napas berat. “Maaf, Ri. Mereka udah berangkat ke bandara satu
jam yang lalu.” Ia menepuk pelan bahu Ari.
Tubuh
Ari meluruh jatuh, seolah tepukan pelan Tante Lidya menggoyahkan seluruh tulang
dan sendinya. Cowok itu terduduk di atas rumput, masih membutuhkan waktu untuk
mencerna semua ini. Tante Lidya ikut berlutut di sebelahnya. Kini tangannya
meremas bahu Ari dan mengusap-usapnya.
“I..
ini, ada kue... buat Mama... buat Ata.” Tangan Ari yang bergetar mengulurkan
tas kertas pemberian Mama Tari. Namun sedetik kemudian, tas itu jatuh dari tangannya
sebelum Tante Lidya sempat menerimanya. Toples di dalamnya berserakan, beberapa
ada yang terbuka dan menumpahkan isinya.
Akhirnya
Tante Lidya merengkuh tubuh Ari. Cowok yang sudah dianggap anaknya sendiri itu
kini terguncang di pelukannya seperti anak kecil. “Ssst, kamu nggak perlu
sedih. Mama, Ata, dan Tante Lidya emang sengaja nggak mau ngasih tau kamu,
karena Mama nggak mau satupun dari kalian ngucapin selamat tinggal. Tapi mereka
janji akan kembali ke Jakarta lagi kapan-kapan.”
Tante
Lidya memahami betapa Ari kehilangan sosok ibu. Wanita itu juga tahu Ari begitu
kesepian dalam hidupnya tanpa ada saudara kembarnya. Selama beberapa saat, ia
membiarkan Ari menangis. Diusapnya dengan lembut kepala cowok itu. “Kamu selalu
boleh kembali ke sini, Ri. Kamu bahkan boleh tinggal di sini kalo mau. Kamu
boleh nganggep Tante Lidya sebagai mama kedua kamu, kayak waktu dulu kita masih
tetanggaan. Jadi kamu nggak perlu ngerasa kesepian. Lagian kamu sekarang udah
bisa telepon-teleponan lagi kan sama Mama dan Ata. Kalian nggak bener-bener
pisah kok.”
Perlahan,
Ari berhasil menenangkan diri. Seiring dengan otaknya yang kembali bisa
berpikir jernih, ia menyusun rencana dadakan yang akan dilaksanakan sekarang
juga!
***
Hari
Senin! Tari, Fio, dan Nyoman benar-benar ready
to war. Meski persiapan mereka belum benar-benar matang, ketiga cewek itu
yakin rencana yang telah mereka susun paling tidak bisa menghindarkan mereka
dari Ari. Hanya keajaiban dari Tuhan Yang Maha Esa-lah yang bisa menyelamatkan mereka hari ini.
Sesuai
kesepakatan, ketiganya akan berangkat sekolah sangat pagi, karena hari ini ada
upacara bendera dan mereka tidak ingin mengambil resiko terlambat kalau
berangkat pas udah mepet bel. Sambil menunggu bel masuk di gudang persembunyian,
mereka akan sarapan dengan bekal yang sudah disiapkan Mama Nyoman. Sudah pasti dengan
berangkat sangat pagi mereka belum sempat sarapan di rumah.
Lalu
ketika bel masuk berbunyi, mereka akan keluar dan berbaur dengan arus
siswa-siswi yang berjalan ke lapangan upacara. Tari terpaksa menyimpan semua
pernak-pernik oranyenya kalau tidak ingin membuat mereka ketahuan dalam
hitungan detik. Mereka akan mengenakan topi sekolah untuk menutupi wajah
mereka. Dan di lapangan, mereka terpaksa bergabung dengan barisan kelas X-1
yang posisinya paling jauh dari barisan kelas mereka, karena bisa saja Ari mengadakan
inspeksi di barisan kelas X-9 dan sekitarnya. Kemudian begitu upacara selesai,
mereka akan langsung ngibrit ke gudang lagi.
Segalanya
berjalan lancar sesuai harapan dan nyaris berhasil. Nyaris! Ketiganya telah
bersembunyi di gudang hampir satu jam lamanya, tiba di lapangan dengan sehat
walafiat tanpa berpapasan dengan Ari, dan melaksanakan upacara bendera dengan
khidmat. Sampai ketika mereka kembali ke gudang persembunyian, dua sosok yang
tak diharapkan ternyata telah menunggu mereka di sana.
Ridho
dan Oji duduk di tempat mereka meninggalkan tas tadi. Tari, Fio, dan Nyoman
hampir saja balik badan untuk melarikan diri, tapi batal begitu menyadari Ari
tidak hadir bersama dua sahabatnya.
“Tar,”
panggil Oji.
“Kalo
kalian disuruh Ari ke sini, lebih baik kalian pergi sekarang. Karena gue lagi
nggak mau berurusan sama dia ato lo berdua,” kata Tari sedingin mungkin.
“Kami
nggak disuruh Ari,” tukas Oji. Sekarang cowok itu bangkit dari lantai dan
mendekati Tari yang masih berdiri di ambang pintu gudang. Fio dan Nyoman
diam-diam melangkah mundur. “Ari bahkan nggak masuk hari ini.”
Kening
Tari berkerut. “Kenapa?”
“Dia
ngilang, nggak ada kabar sejak kemaren,” sahut Ridho yang tiba-tiba sudah
berdiri di belakang Oji. Tepatnya sejak
dia liat foto lo sama Angga, tambah cowok itu dalam hati.
“Kami
ke sini mau nanya sesuatu sama elo,” kata Oji lagi.
“Duilee,
serius amat, Kak. Jarang-jarang gue liat Kak Oji serius gini,” celetuk Fio,
yang bisa menghela napas lega setelah mengetahui Ari tidak masuk sekolah.
Sepasang
mata Oji menyambarnya. “Dho, apa gue belom bilang kalo kita diberi mandat sama
Ari buat ngurusin ni cewek dua?” tanyanya sambil tersenyum menggoda ke arah
Fio.
Ridho
pura-pura berpikir. “Kayaknya belom, Ji.” Matanya kini ikut menatap Fio dan
Nyoman yang wajahnya langsung pada tegang. Kedua cewek itu sepertinya harus say goodbye lagi sama kelegaan yang baru
saja mereka rasakan. “Sesuai pesan yang kami terima pagi ini dari Ari, dia mau
kita ngasih pelajaran ke dua cewek yang bernama Fio dan Nyoman, yang dari kemaren
bantuin Tari ngumpet dari Ari.”
“Ka...
kami nggak bantuin, Kak,” kata Nyoman terbata.
“Nah,
kan! Ujung-ujungnya emang lo berdua disuruh Ari ke sini!” Tari menatap dua
cowok di depannya dengan sebal. “Jangan libatin Fio sama Nyoman! Mereka nggak salah.”
“Oh,
nggak bisa,” sahut Oji santai. “Mau mereka salah apa nggak, sekarang gue sama
Ridho udah punya kuasa penuh buat ngasih pelajaran ke mereka.”
“Dan
sekali lagi gue tegasin kata-kata Oji, kami nggak disuruh Ari nyamperin kalian
bertiga ke sini. Ari cuma ngasih hak istimewa itu ke kami pagi ini, lalu
setelah itu dia ngilang lagi.”
“Jadi,
untuk hukuman pertama kalian...” Oji mendadak merengsek maju ke arah Fio dan
Nyoman, setelah menyingkirkan Tari dari hadapannya.
“Ampun,
Kak! Ampun! Nggak lagi deh kami bantuin Tari,” Nyoman memeluk Fio ketakutan, menjadikan tubuh temannya itu sebagai tameng.
Fio malah melirik Nyoman dengan heran. “Apaan sih lo? Cuma Kak Oji gini.
Mana berani dia nyakitin cewek.” Tatapannya pindah ke Oji. Dipelototinya cowok
itu. “Apa lo, Kak? Mau ngajak berantem? Ayo di lapangan! Jangan dikira gue
takut!”
Tak
disangka, Oji malah nyengir. Semua sifat seriusnya menghilang. “Ciee, ternyata
temen lo ini tangguh juga kayak elo ya, Tar? Baru tau. Gile, mungkin kalian ini
para supergirl penentang kakak kelas.
Ngeri juga gue.” Cowok itu mendecakkan lidah. “Tapi omongan lo bener, Fi. Gue
paling pantang nyakitin cewek. Karena gue cowok berhati mulia, jadi bersyukurlah
kalian Ari ngasih tugas ini ke gue, bukan dia sendiri yang turun tangan
langsung.”
Memang
sebenarnya Fio dan Nyoman bersyukur dalam hati atas kebenaran kata-kata Oji.
Untung Oji dan Ridho yang jadi eksekutor. Coba kalo Ari! Cowok itu bakal jadi eksekutor dalam arti sesungguhnya, yang
memastikan Fio dan Nyoman disiksa sampai tewas!
“Ya
udah, jadi hukuman pertama buat kalian berdua adalah...” Oji sengaja
menggantung kalimatnya sejenak. “Bayarin kami makan hari ini. Mulai dari
sarapan, makan siang, dan makan malam.”
“Apa??”
Fio dan Nyoman melotot kaget.
“Oooh,
jadi nggak mau, nih? Perberat aja hukumannya, Ji!” kata Ridho memanas-manasi.
“Gimana?
Hm?” Oji mengangkat alis. Geli juga dia melihat Fio dan Nyoman yang saling
sikut sambil membisikkan pertanyaan, “Bawa uang berapa lo?”
“Hukuman
macam apa itu!” Mendadak Tari meneriakkan komentar atas ketidakadilan yang
menimpa kedua temannya. “Kalo itu mah namanya pemerasan! Dasar cowok-cowok
nggak tau malu! Masa minta dibayarin cewek? Adik kelas, lagi!” Cewek itu
mencak-mencak tidak terima.
Oji
membalikkan badan menatap Tari dengan tersinggung. “Eh, suka-suka kami, dong,
mau ngasih hukuman apa. Lo mending keep
silent deh daripada gue telepon Ari dan minta hak juga buat ngehukum elo.”
“Berani
lo?” tantang Tari sambil mencondongkan tubuh ke Oji.
“Berani!
Kenapa gue mesti takut?!”
“Emang
dasar lo cowok jadi-jadian! Udah minta dibayarin cewek, tukang ngadu, pula!”
“Eh,
makin kurang ajar lo, ya! Gue telepon Ari beneran, nih!”
“Silahkan
aja!”
“Eeeh,
malah pada berantem. Udah, Ji. Lo sekarang ke kantin aja pesen sarapan buat
kita sambil ngawasin ni cewek dua biar nggak buron. Biar gue yang selesaiin
urusan sama Tari.”
Tari
dan Oji masih adu pelototan. Sampai kemudian Oji mengalah. “Oke, oke. Ayo,
kalian ikut gue ke kantin.” Cowok itu mendorong bahu Fio dan Nyoman.
“Sekarang,
Kak?” tanya Nyoman.
“Ya
sekarang! Masa taun depan? Kalo taun depan gue udah lulus, kali. Mana ada
kesempatan dijajanin sama kalian lagi.”
“Tapi
pelajaran udah mau mulai, Kak. Nanti kami telat masuk. Gimana kalo jam
istirahat pertama aja?” Nyoman mulai memelas.
“Nggak!
Gue sama Ridho tuh lapernya sekarang. Nggak bisa ditunda lagi. Kami nggak bakal
bisa belajar dengan perut keroncongan. Kalo nggak konsen belajar, ntar kami
nggak bisa lulus. Itu artinya, kalian masih harus ketemu lagi sama kami tahun
depan. Dan hukuman kalian kami perpanjang. Mau?”
“Hiiih,”
Fio mendelik gemas. “Bawel amat sih jadi cowok. Iya, iyaa, nggak usah
dorong-dorong! Gue sama Nyoman bisa jalan sendiri!” Fio mengenyahkan tangan Oji
dari bahunya, kemudian menoleh ke Tari. “Gue ke kantin dulu ya, Tar.”
Mau
tak mau Tari mengangguk, membiarkan Fio dan Nyoman digiring pergi. Sesaat, Tari
masih menatap ketiga orang yang semakin menjauh itu.
***
“Tar?”
panggil Ridho, membuat Tari menoleh. “Duduk dulu. Ada beberapa pertanyaan yang
harus lo jawab.”
Tari
mengeluh dalam hati. Kalo sama Oji, dia masih berani melawan. Tapi kalo sama
Ridho, entah kenapa Tari merasa lebih baik menuruti perintah cowok itu. Tari
bukannya takut, namun ada sesuatu dalam ucapan dan tindakan Ridho yang bikin
dia segan. Mungkin itu yang membuat Ridho memutuskan lebih baik dirinya yang berurusan
dengan Tari, daripada masalah ini nggak kelar kalo Oji yang menangani.
Bisa-bisa Oji dan Tari ribut tidak habis-habis.
Tari
duduk bersila di lantai di dekat tasnya. Ridho menutup pintu gudang, lalu duduk
di depannya. “Oke, langsung aja. Tapi janji sama gue, lo bakal jawab pertanyaan
gue dengan jujur. Dan kalo emang lo ngelarang, gue nggak akan cerita ke Ari.”
Ridho baru meneruskan perkataanya setelah gadis di depannya ini mengangguk
ragu. “Lo kemaren Sabtu ke mana?”
“Ng...
gue nginep di rumah Nyoman, Kak.”
“Bukan
malem harinya. Tapi siangnya, Tar. Lo ke mal, kan?”
Ridho
berhasil menangkap sinar kekagetan yang kemudian berubah menjadi kepanikan di
mata Tari. “Kok Kak Ridho tau?”
“Sama
siapa?” tanya Ridho lagi tanpa menjawab pertanyaan Tari. “Jangan bilang sama
Fio! Karena gue tau pasti bukan dia yang nemenin lo ke mal.”
Tari
tergeragap. Mampus! Kok Kak Ridho tau,
sih?? Musti jawab apa coba!?
“Tar,”
kata Ridho lagi karena Tari terdiam. “Lo ke mal sama Angga?”
“Apa?”
Tari menyipitkan mata. “Nggak! Gue nggak ke sana sama Angga.”
“Jangan
bohong, Tar!”
“Beneran,
Kak! Sumpah samber geledek!” Tari mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya
membentuk huruf V. Ridho akan membantah lagi, tapi Tari sudah lebih dulu
menjelaskan, “Gue emang nggak sengaja ketemu sama Angga di mal. Dia yang
nyamperin gue duluan pas di foodcourt.
Suer deh, kami nggak jalan bareng.”
Giliran
Ridho yang menyipitkan mata dengan kening berkerut. Sepertinya Tari tidak
berbohong. Tapi dia masih membutuhkan kepastian. “Tar, jujur aja. Kalo lo emang
selingkuh sama Angga, gue nggak bakal bilang-bilang ke Ari...”
“Selingkuh
sama Angga??” Tari menjerit. Ini kedua kalinya ia dituduh selingkuh sama Angga.
Lama-lama bisa darah tinggi, nih! “Plis, deh! Kenapa sih semuanya nyangka gue
selingkuh!? Sama Angga, lagi! Gue bahkan benci sama cowok itu, Kak.”
“Oke,
oke.” Ridho mengangkat kedua tangannya, menenangkan. “Gue cuma mau negasin aja,
Tar. Lo nggak selingkuh, kan?”
“Nggak!
Lo boleh masukin gue ke rumah sakit jiwa kalo sampe gue selingkuh sama si Angga!”
Ridho
mengangguk-angguk. Tari tidak selingkuh. Sekarang ia meyakini itu. Tapi kalo
memang benar mereka berdua hanya kebetulan bertemu di mal, kenapa Angga dan
Tari saling mendekatkan wajah seperti itu di dalam foto? “Ng... Tar,” Ridho
menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, merasa kurang enak dengan
pertanyaan yang akan dia ajukan. “Waktu kalian duduk berdua di foodcourt... apa Angga... sempet cium
elo?”
“CIUUM??”
Kembali Tari menjerit, kali ini lebih histeris. Sampai Ridho harus menempelkan telunjuknya
ke bibir Tari. “Ssst, nggak usah kenceng-kenceng, kali. Ntar kalo ada guru yang
lewat bisa ketauan.”
Tari
menyingkirkan telunjuk Ridho dari bibirnya. “Apa maksud lo dengan pertanyaan
itu?” tanya gadis itu tajam.
Ridho
menghela napas, kemudian mau tak mau ia menceritakan perihal foto yang
didapatnya kemarin. Tari mendengarkan dengan ekspresi tidak percaya. “Itu nggak
bener, Kak! Fitnah! Ih, lo dapet fotonya dari mana, sih?”
“Dari
Vero,” jawab Ridho. “Dia yang ngeliat lo jalan di mal sama Angga kemaren
Sabtu.”
“Kak
Vero?” Sepasang mata Tari membulat. “Ah, kenapa lo percaya aja sih sama berita
dari dia? Jelas-jelas dia itu cemburu sama gue, Kak.” Mendadak Tari teringat
juga foto Ari yang tengah berciuman dengan Vero. “Kak, sekarang gue boleh
nanya? Tentang Ari.”
“Nanya
apa?”
“Ng...
itu...” Tari bingung bagaimana cara menyampaikan pertanyaannya. Gadis itu
menggigit bibir gelisah. Karena tidak bisa menemukan kata-kata yang pas,
akhirnya ia mengeluarkan foto pemberian Angga beberapa hari lalu. “Lo bisa jelasin
foto ini?” tanyanya sambil menyodorkan selembar foto ke Ridho.
“Foto
ap...” Ridho membelalak sesaat begitu menerima foto tadi dari tangan Tari.
Otaknya dengan cepat memutar kembali peristiwa beberapa hari yang lalu. “Lo
jangan salah paham dulu, Tar,” tukasnya. “Ini nggak kayak yang lo pikirin. Lo
inget waktu Ari mukulin gue sama Oji abis-abisan kemaren?”
Tari
mengangguk perlahan, masih belum mengerti apa hubungannya.
“Nah,
waktu itu Ari lagi ngelabrak Vero. Eh si cewek muka badak itu malah nekat cium
Ari. Jadi sebelom dia abis jadi bubur di tangan Ari, gue sama Oji lepasin dia.”
Tari
mencerna hati-hati setiap perkataan Ridho. Dan akhirnya cewek itu bisa
menghubungkan kejadian yang sebenarnya. Tanpa sadar Tari menghela napas lega
sambil menepuk-nepuk dada, saking beban yang menghimpit dadanya mendadak
terangkat.
“Oke
kalo gitu.” Ridho mengangguk-angguk pasti. “Clear,
lo emang nggak selingkuh. Dan gue yakinkan juga, Ari nggak selingkuh. Pegang
kata-kata gue. Tapi pertanyaan gue tadi belom lo jawab.”
“Pertanyaan
yang mana?”
“Lo
ke mal sama siapa?”
Pertanyaan
itu membuat tubuh Tari menegang lagi. Jujur, nggak, jujur, nggak...
“Jujur
aja sama gue,” kata Ridho, seolah menjawab kebimbangan di hati Tari. “Kan udah
gue bilang, gue nggak bakal ember ke Ari.”
“Gue
ke mal sama Kak Ata, Kak,” jawab Tari lirih, tapi Ridho berhasil menangkap
suaranya.
“Sama
Ata? Ngapain?” seru Ridho heran. “Jangan-jangan lo sebenernya malah selingkuh
sama Ata?!”
Tari
mendengus dan bibirnya cemberut. “Stop bahas tentang selingkuh. Gue enggak
selingkuh, oke? Waktu itu Kak Ata cuma mau pamit.”
“Pamit
kemana?”
“Pamit
pulang, lah. Masa pamit naik haji.”
Ridho
menatapnya tak mengerti, membuat Tari gemas. “Pulang, Kak. Pulaaang! Pulang ke
Malang.”
Begitu
Tari menyebutkan nama kota itu, reaksi Ridho seperti baru saja ditampar. Ia
tersentak kaget. “Tar!”
“Apaan
sih, Kak?” Tari jadi ikutan panik melihat cowok di depannya mendadak memanggil
namanya sambil mengguncang bahunya dengan heboh.
“Akhirnya
kita tau kemana Ari menghilang!”
“Emangnya
kemana?” Kening Tari berkerut.
“Ck,”
Ridho mendecak tidak sabar, tapi ia sengaja memutarkan jawabannya. “Kalo nyokap
sama saudara kembar lo yang baru aja lo temuin setelah pisah 9 tahun mendadak
ilang lagi, lo bakal nyariin nggak?”
“Ya,
iyalah. Gue cariin pokoknya sampe ketemu dan nggak akan gue biarin pergi lagi
begitu aja.”
“Nah!”
Ridho menjentikkan jari. “Kalo misal lo udah tau kemana mereka pergi, apa yang
bakal lo lakuin?”
“Ya
jelas, tinggal susul aja mereka.”
“Pinter!
Sekarang lo ngerti, kan?” Ridho tersenyum puas.
Tari
membeku. Ia telah mengucapkan jawaban atas pertanyaannya sendiri tadi. Kemana
Ari pergi? Tentu saja menyusul Mama dan Ata ke Malang!
Bersambung...
Kerennn...... cepet2 post lanjutannya yaaa :)
BalasHapuslanjutannya udah ada, selamat membacaaa ^^
Hapusdi tunggu sangat lanjutannya kak ... D
BalasHapusmakasih udah nungguin, hehe ^^
Hapuslanjutannya udah aku post