Entah
ini yang keberapa kalinya Ata diajak Mama datang ke Jakarta untuk mencari Ari,
yang sampai sekarang belum tercium jejaknya sama sekali. Ia kembali bertemu
dengan Tante Lidya, sosok tetangga sebelah rumah mereka yang dulu menjadi Mama
keduanya. Siang ini Ata minta izin untuk melakukan pencarian saudara kembarnya
sendirian.
“Ata
akan baik-baik aja, Ma. Ata bisa jaga diri,” tegas Ata saat Mama melarangnya.
“Biar Ari cepet ketemu. Mama mau cepet-cepet liat Ari, kan?”
Akhirnya
Mama luluh dan mengizinkannya. Ata berjalan pelan menyusuri jalan perumahan
itu, menuju halte terdekat. Sebenarnya Ata tidak begitu berniat mencari Ari.
Dia hanya ingin keluar rumah untuk menghindar dari tangisan Mama. Jujur, Ata
tidak tega melihat Mamanya menangis sampai kelelahan. Akhirnya Ata menemukan
sebuah halte di pinggir jalan. Ia duduk di sana dalam diam.
“Kak
Ari?” teriak seorang gadis yang duduk di sebelahnya, membuat Ata terlonjak
kaget. Ia menoleh. Di sampingnya, duduk seorang gadis manis yang menatapnya
lekat. “Kak Ari kok udah di sini?”
“Eh?”
Gadis
ini mengenal Ari! Begitu pikiran pertama yang langsung terlintas di benak Ata.
Ia harus mendekati gadis ini untuk menuntunnya kepada Ari.
“Iyaaaa,
tadi kan Kak Ari masih di sekolah. Kita baru aja ketemu di sana.”
“Sekolah?”
tanya Ata bego.
“Ini
gue, Aira, Kak. Belom juga sejam kita ketemu. Belom lupa, kan? Hehe...” Gadis
itu tersenyum malu-malu.
“Eh,
iya. Aira. Belom lupa, kok. Tadi gue langsung keluar abis ketemu elo,” jawab
Ata. Akan ia perankan sosok Ari untuk gadis ini, demi menemukan saudara
kembarnya itu.
“Gimana?
Udah buka bingkisan dari gue?” tanya Aira bersemangat, membuat Ata bingung.
“Eh,
bingkisan dari elo.. udah, kok. Udah. Makasih ya. Gue suka banget.”
Aira
terbelalak tak percaya. Wajahnya berseri-seri. “Beneran? Udah lo abisin semua?”
“Udah,
sampe kenyang perut gue.” Ata menepuk-nepuk perutnya, berdoa agar tebakannya
tidak salah. Dari kata-kata Aira sih Ata menyimpulkan gadis itu baru saja
memberi Ari sejenis makanan.
Senyuman
Aira semakin lebar. “Besok kapan-kapan gue bikinin lagi kalo lo suka. Bilang
aja.”
Ata
menghembuskan napas lega. Ternyata tebakannya tidak salah.
“Kak,
lo tau nggak? Gue sebel sama Angga,” gerutu Aira mulai curhat.
Angga siapa?
“Kenapa?” tanya Ata, pura-pura perhatian.
“Masa
dia ngelarang gue deket-deket sama elo? Tadi aja gue dimarahin gara-gara ngasih
kue itu ke elo. Gue kan kesel jadinya. Itu sebabnya gue terdampar di sini.
Salah naik bus saking jengkelnya sama Angga, hehehe... Bego bener gue.” Gadis itu
memukul kepalanya sendiri.
Ata
tersenyum geli. Gadis ini lucu juga. “Emang kenapa dia ngelarang elo
deket-deket gue? Gue aja nggak keberatan.”
“Tau,
tuh! Katanya lo itu bukan cowok baik-baik. Tapi gue tau Kak Ari orang baik,
kok.” Aira tersenyum, terlalu senang mendengar cowok itu tidak keberatan
berteman dengannya.
“Gue
bukan cowok baik-baik?” Ata mengernyit.
“Iya,
soalnya Kak Ari telinganya... eh, kok telinga lo nggak ada tindikannya?” Aira
mengamati telinga kiri Ari.
Ata
buru-buru menutupi telinganya, walau dia sendiri kaget. Ari bertindik? Surprise! Seburuk itukah saudara
kembarnya kini? Pantas saja Angga yang tadi disebut-sebut Aira menyangka Ari
bukan cowok baik-baik. “Iya, gue copot tadi antingnya,” sahutnya cepat. Oke,
sekarang cukup basa-basinya. “Eh, Ra. Anterin yuk?”
“Kemana?”
“Ke
sekolah gue.”
Aira
mengerutkan kening. “Ngapain ke sana lagi?”
“Ng...
ada barang gue yang ketinggalan. Makanya gue ke sini, mau balik lagi.”
“Ya
udah, yuuuuuk.”
Ata
membiarkan Aira memimpin jalan, karena ia benar-benar tak tahu arah yang
dituju. Hingga tibalah ia di sini, di depan sekolah Ari.
“Lo
tunggu sini aja ya? Cari tempat yang teduh. Gue nggak bakalan lama.”
Aira
mengangguk. Ata berjalan memasuki gerbang SMP itu dengan harap-harap cemas.
Beberapa orang yang berpapasan menyapanya sebagai Ari, menguatkan fakta bahwa
saudara kembarnya memang bersekolah di sini. Ata menyusuri penjuru SMP itu
dengan cepat, melongok ke kelas-kelas yang pintunya masih terbuka. Ia nyaris
frustasi karena tidak bisa berteriak-teriak memanggil nama Ari. Terpaksa cowok
itu tetap menelusuri setiap bagian sekolah.
Ari
tidak ada di mana pun. Kemungkinan besar cowok itu sudah pulang dari tadi. Ata
melangkah keluar dengan lesu. Ia tidak mempunyai petunjuk lain selain sekolah
ini. Tidak mungkin dia bertanya-tanya tentang Ari kepada Aira. Cewek itu akan
menganggapnya gila.
Aira
menyambutnya di gerbang. “Gimana? Udah?”
Ata
langsung memasang tampang cerah. “Udah, kok. Makasih ya. Lo langsung pulang,
kan?”
“Nggak.
Gue mau jalan-jalan. Males pulang. Palingan Angga udah nungguin di rumah. Bete
gue sama dia.”
“Ya
udah, kalo gitu gue temenin, deh.”
“Serius?”
Aira menatap Ata tak percaya.
Ata
mengangguk. “Lo kan udah ngasih gue kue dan nganterin ke sini. Jadi sebagai
ucapan terima kasih, gue temenin jalan-jalan.”
Aira
jelas tak menyia-nyiakan kesempatan itu.
***
Tiga
hari ini tingkah Aira semakin aneh. Ketika ditanya, Aira bilang dia sedang
bahagia karena bisa dekat dengan Ari. Angga pun tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Ia hanya pasrah. Akan ia biarkan gadis itu bahagia, bagaimana pun caranya. Beberapa
kali Angga memang sempat melihat Ari mengantar Aira pulang. Tapi yang Angga
tidak tahu, orang itu bukan Ari. Melainkan Ata.
Ata
dan Aira berhubungan akrab selama tiga hari ini. Ata sampai lupa tentang
pencariannya kepada Ari. Malah dia terkesan tak peduli. Selama di Jakarta, dia
banyak menghabiskan waktu bersama Aira, dengan dalih mencari Ari saat Mama
bertanya kemana dia akan pergi.
Besok
adalah hari kepulangannya ke Malang. Jadi Ata mengajak Aira bermain ke pantai
sampai sore. Ketika Aira mengamati kepiting yang berjalan di dekat kakinya,
dengan iseng Ata mengambil topi pantai gadis itu dari belakang.
“Hei!”
Aira menoleh ke Ata untuk merebut lagi topinya, dan...
Cup!
Ata
menggunakan kesempatan itu untuk mencium pipi Aira. Gerakan Aira terhenti
dengan tangan terangkat di udara. Dalam sekejab, pipinya bersemu merah. “Kak
Ari!”
“Sori,
gue nggak tahan, Ra,” kata Ata nyengir, lalu memakaikan lagi topi Aira ke
kepala gadis itu.
***
Tindakan
Ata di pantai sore ini memberi suatu penegasan untuk Aira. Cowok itu tertarik
padanya! Yes!
Aira
jingkrak-jingkrak sendiri di tempat tidur. “Rira! Tau nggak?! Masa Kak Ari tadi
nyi... eh, sstt, pelan-pelan aja ya? Sini, Aira bisikin.” Gadis itu berhenti
meloncat-loncat, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga boneka kucingnya. “Tadi
Kak Ari nyium pipi Aira!” desis cewek itu seperti akan meledak, lalu kembali
meloncat-loncat di tempat tidur.
“Ampuuun
deh Aira! Lagi ngapain kamuuu?” Mama yang masuk ke kamar kontan melotot melihat
tingkah anak gadisnya.
“Aira
lagi seneng pokoknya. Mama nggak boleh protes!”
“Ya
tapi kasur kamu...”
“Nanti
Aira beresin,” potong Aira cepat.
Mama
menggelengkan kepala. “Tadi Angga nyariin kamu, lho. Kamu kemana aja, sih? Mama
kira tadi main sama Angga.”
Aira
berhenti meloncat-loncat. Gadis itu lalu duduk manis di tengah tempat tidurnya
yang berantakan. “Tadi Aira main sama temen. Masa main sama Angga mulu?”
“Yaaa,
kan biasanya kayak gitu.” Mama mendekati anak semata wayangnya itu. “Angga
kayaknya lagi ada masalah. Mama tanyain nggak mau jawab. Coba kamu nanya ke dia
ada masalah apa. Mungkin kamu bisa bantu.”
Aira
menghela napas. “Iya, deh. Nanti Aira SMS Angga.”
***
Tapi
nyatanya Aira tak peduli. Ia terlanjur kesal dengan Angga atas kejadian tempo
hari. Siang ini, Aira berniat menemui Ari di sekolahnya. Dia ingin mengajaknya
jalan, kemudian memaksa cowok itu mengakui perasaannya, meminta suatu penegasan
nyata. Karena tidak mungkin cowok itu mencuri ciuman di pipinya tanpa maksud
apa-apa, kan?
“Nah,
itu dia,” gumamnya senang melihat Ari di kejauhan. Cowok itu berjalan sendirian.
Begitu tiba di gerbang, Aira mencegat langkah Ari.
“Halo,
Kak!”
Ari
kontan menghentikan langkah kaget ketika seorang gadis melompat di hadapannya.
“Eh, hai?” balasnya ragu. Samar-samar, ia masih mengenali wajah Aira.
Aira
nyengir. “Punya waktu? Jalan yuk?”
“Jalan?”
Kening Ari berkerut rapat. Baru kali ini Ari menemui seorang gadis asing yang
berani mengajaknya jalan! “Sori, tapi.. jalan kemana?”
“Jalan-jalan
pokoknya! Ayoo!” Aira meraih tangan Ari, yang dengan refleks ditepis cowok itu.
Aira
menatap Ari dengan bingung. Kayaknya cowok itu kemarin-kemarin tidak pernah
menolak gandengannya. Tapi kenapa sekarang ia malah terlihat marah?
“Jangan
sentuh gue seenaknya!” geram cowok itu.
“Eh?”
Aira semakin bingung. “Elo kenapa, sih?”
“Gue
kenapa? Harusnya gue yang nanya, elo itu kenapa? Sori, gue bahkan lupa sama
nama elo.”
“Lupa
nama gue?!” teriak Aira. “Gimana mungkin! Tapi kemarin kita kan jalan-jalan
bareng. Bahkan lo cium pipi gue, inget?”
“Cium
pipi?” Ari terperangah. Ini cewek udah gila apa gimana, sih? “Jangan ngaco lo!
Gue nggak pernah jalan sama cewek manapun apalagi cium-cium pipinya,” kata Ari
dingin. Cowok itu tersinggung juga dituduh sembarangan.
“Tapi,
Kak...”
“Jangan
ganggu gue lagi. Dasar cewek nggak tau malu,” sahut Ari, lalu pergi begitu
saja.
***
Aira
membeku di tempat. Tak percaya atas sikap Ari kepadanya. Sosok ini dingin,
bukan lagi cowok yang dikenalnya selama beberapa hari terakhir. Sosok ini
asing, bukan lagi cowok yang mencium pipinya kemarin sore. Dan sosok asing itu kini
menolaknya, bahkan mengatainya cewek tak tau malu!
Hancur
adalah kata yang terlalu ringan untuk menggambarkan perasaannya. Hati Aira
menyerpih, melebur bersama udara. Ari adalah cinta pertamanya. Kepada cowok itu
ia menaruh harapan besar. Namun kini harapan itu sirna seketika, terhembus oleh
angin bersama serpihan hatinya.
Akan
lebih baik kalau Ari langsung menolaknya saat awal-awal mereka bertemu. Nyatanya,
cowok itu membawanya terbang hingga ke awang-awang, dan begitu berada tinggi di
langit, ia lepaskan pegangannya. Ia biarkan Aira terjatuh. Terempas mengenaskan
di bumi! Dan sepertinya itu saja belum cukup. Ari yang masih terbang bebas di
atas kemudian menginjak-injaknya tanpa ampun, menjadikannya seonggok sampah.
“Aira?”
Aira
segera membalikkan badan. Ia tidak ingin bertemu dengan Angga sekarang. Ia
tidak ingin menunjukkan air matanya. Ia tidak ingin menunjukkan kekalahannya.
Aira berlari cepat meninggalkan sekolah.
“Aira!
Tunggu!” Angga segera mengejar.
“Jangan
ikutin gue!” bentak Aira dengan tangis tertahan.
Angga
tetap mengikutinya dalam diam. Ia tanpa sengaja mendengar percakapan antara Ari
dan Aira tadi. Ia geram setengah mati melihat perlakuan Ari pada Aira. Selama
ini dia telah melancarkan berbagai macam cara untuk merebut perhatian Aira, namun
Ari dengan mudah mendapatkan hati gadis itu tanpa usaha. Dan ketika dia sudah
menyerah dan rela melepaskan Aira untuk Ari, cowok itu malah membuang gadis
kesayangannya begitu saja, menyia-nyiakan cinta tulus gadis itu. Dasar bajingan keparat! Liat aja lo!
desis Angga dalam hati, bersumpah akan membalas dendam ke Ari yang telah
melukai Aira.
Entah
kemana cewek di depannya ini akan berlari. Hingga tiba di perempatan, cewek itu
berhenti dan membalikkan badan. Aira kembali membentak begitu melihat Angga
masih mengikutinya. “Gue bilang, jangan ikutin gue!”
Angga
tertegun. Wajah cewek itu penuh air mata. Ada sorot terluka amat sangat dari
kedua mata itu. Sorot yang membuat Angga ingin menyakiti dirinya sendiri. Belum
pernah Angga melihat Aira sekacau ini. Dan ini semua gara-gara Ari! “Aira,
plis, sini, ngomong sama gue.”
“Nggak!
Gue benci sama lo! Gue benci sama Ari! Gue benci kalian semua!”
“Aira,
gue tau lo masih marah sama gue...”
Aira
tak mengindahkan Angga yang belum selesai bicara. Cewek itu membalikkan badan
lagi. Pandangan yang buram oleh air mata membuatnya tidak sadar kemana dia
melangkah.
“Aira!
Stop!” teriak Angga. Ada kengerian yang tersirat jelas dalam teriakan itu.
CIIIIITTT....
BRAK!!!
Aira
baru tiga langkah menapak di zebra cross,
ketika tiba-tiba tubuhnya terhantam keras oleh benda besi raksasa, bersamaan
dengan decitan rem yang memekakkan telinga. Decitan rem itu sia-sia, karena tak
bisa menghentikan sang maut menghampiri Aira.
Angga
tak bisa berkutik saat melihat tubuh itu rebah. Beku. Bisu. Kelu. Kaku. Ia
lumpuh di tempat. Suasana di sekelilingnya, jeritan-jeritan, klakson-klakson
kendaraan, berbagai macam pekikan, segalanya terasa kabur.
Remuknya
tulang Aira seperti meremukkan dirinya. Darah yang mengalir dari tubuh gadis
itu menjebol bendungan air matanya. Angga jatuh terduduk di trotoar yang panas.
Tak terisak, namun air matanya mengalir deras. Tak tahu apa yang harus ia
lakukan selain menangis. Ia tak sanggup menghampiri Aira yang terbaring diam
bersimbah darah di aspal, hanya beberapa meter darinya. Sungguh, ia tak
sanggup.
Tuhan, tolong katakan
ini tidak nyata...
***
Doa
itu kembali bergema berulang kali dalam kepalanya saat dokter mengatakan nyawa
Aira tak terselamatkan.
Tuhan, tolong katakan
ini tidak nyata, tidak nyata, tidak nyata... Ini bukan Aira. Aira sekarang
masih di rumah, menungguku pulang, lalu sore nanti kami jalan-jalan berdua
seperti biasa.
Ketika Angga melangkah
memasuki ruang rawat Aira. Ketika Angga menatap wajah pucat gadis itu. Doa itu
terus ia lantunkan.
Tuhan! Dengarkan aku!
Tolong! Tolong katakan ini tidak nyata! Ini bukan Aira-ku.. ini bukan
gadisku... rintih Angga dalam hati.
Tapi
sosok kaku di depannya ini memang Aira. Gadis yang biasanya penuh energi dan
selalu ceria itu, sekarang tertidur diam dalam pelukan sang maut. Angga bisa
menyentuh kulitnya yang dingin. Jadi ini memang nyata. Tak ada penyangkalan
lagi. Sekujur tubuh Angga bergetar.
Tuhan, kembalikan gadis
kecilku ini. Aku mencintainya...
***
Luka
itu terlalu dalam. Waktu pun tak akan bisa menyembuhkannya. Perlahan, jiwa di
dalamnya rusak oleh kemarahan. Nurani dalam hatinya tertutup oleh dendam yang
semakin membusuk.
Hingga
detik terakhir pemakaman Aira, Ari tidak datang, atau sekadar menyampaikan bela
sungkawanya. Ari sama sekali tak peduli. Hidupnya tetap berjalan seperti biasa.
Sementara di sini, ada beberapa kehidupan yang telah berhasil dihancurkannya. Itu
sebabnya Angga tak bisa menatap Ari dengan cara yang sama lagi. Selalu ada
dendam yang memancar di sana. Ada bom yang siap meledak kapanpun juga. Ada
taring yang siap menghabisi Ari seketika.
Tapi
Angga sengaja menahan itu semua. Karena kalau sekarang Aira masih hidup, ia tahu
gadis berhati lembut itu tak ingin Angga melukai siapa saja. Sampai kiamat pun,
bahkan ketika alam sudah memisahkan mereka seperti ini, Angga tidak pernah
ingin melukai perasaan Aira. Jadi ia tunggu kesadaran Ari untuk meminta maaf.
Namun
hingga kini, kata maaf itu tak pernah terucap dari bibir Ari. Membuat Angga
sengaja menulikan telinga agar tidak lagi mendengar hati kecilnya yang membujuk
untuk tetap menjaga perasaan Aira. Menurutnya, Ari sudah keterlaluan. Cowok itu
pantas diberi pelajaran!
Demi
Tuhan, Angga tidak tahu harus menghukum Ari dengan cara apa. Nyawa dibayar
dengan nyawa? Gagasan itu sungguh menggoda, tapi ia belum ingin masuk penjara.
Sementara cara lain selain membunuh dianggapnya tidak memuaskan. Selama
berperang dengan diri sendiri itulah, dendam dalam hatinya kian meradang, sementara
lukanya kian bernanah, tanpa Angga tahu bagaimana cara memulihkannya.
Hanya
ada satu orang yang mengerti kisah lengkap di balik kematian Aira. Karena
kepadanyalah Angga bercerita dengan segala sedu sedan dan air mata. Orang itu
pun ikut menangis bersamanya, seolah merasakan luka yang dirasakan Angga. Orang
itu juga yang setia menopangnya hingga Angga bisa berdiri tegak lagi sekarang.
Oleh sebab itu Angga merasa nyaman bersamanya. Dia adalah Anggita, sepupu
terdekatnya.
***
Saat
Ata kembali lagi ke Jakarta berbulan-bulan kemudian, ia kembali kehilangan
petunjuk tentang Ari. Saudaranya itu telah lulus dari SMP, dan Ata tidak tahu
kemana Ari melanjutkan sekolah.
Kemudian
ia teringat Aira. Sosok gadis yang telah menuntunnya kepada Ari. Bagaimana
kira-kira keadaan cewek itu sekarang? Ata berjanji saat ia bertemu lagi dengan
Aira nanti, akan ia ceritakan siapa dirinya sebenarnya.
“Ma,
Ata keluar dulu,” pamit Ata.
Dengan
ingatannya yang masih tersisa, Ata menuju ke rumah Aira. Beberapa meter dari
rumah yang dituju, ia melihat kedua orang tua Aira baru keluar sambil membawa
buket bunga berisi rangkaian mawar putih.
“Pa,
ayo cepet, Pa! Aira pasti seneng dibawain mawar putih,” kata Mama Aira sambil mencium
buket bunga itu. “Dia paling suka sama mawar putih. Inget nggak? Dulu dia
pernah nangis sambil marah-marah gara-gara tanaman mawar di kebun Mama pangkas.”
Wanita itu tersenyum, namun yang ditangkap Ata bukan sebuah senyuman, melainkan
duka yang begitu dalam di sana. Ditambah setetes air mata yang kemudian jatuh.
Pria di sebelahnya merangkul wanita itu erat.
Ata
sungguh tidak mengerti apa yang terjadi. Ia memutuskan untuk mengikuti dua
orang tua Aira diam-diam. Dan cowok itu kaget setengah mati saat kedua orang
yang diikutinya berhenti di sebuah pemakaman umum. Ia hanya mengamati dari jauh
saat beberapa lama Mama dan Papa Aira berhenti di sebuah makam, meletakkan
buket bunga tadi di sana, berjongkok, lalu memanjatkan doa.
Ketika
dua orang itu pergi, Ata melangkah terseok ke makam yang baru saja mereka
tinggalkan.
Airana Tunggadewi
Nama
di batu nisan itu menghujam dada Ata, menekannya, dan menghantamnya
bertubi-tubi hingga cowok itu sesak napas. Aira meninggal tepat di tanggal Ata
terakhir kali berada di Jakarta. Berarti satu hari setelah mereka bermain ke
pantai bersama. Kenapa?
Ata
terduduk di tanah. Tubuhnya lemas. Ia membutuhkan jawaban. Tapi tak tahu kepada
siapa dia harus bertanya. Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya. Ata
menoleh. Di belakangnya, berdiri seorang gadis berkaca mata.
“Mm,
permisi, Kakak temennya Aira?”
Ata
mengangguk kaku. Gadis itu balas mengangguk. “Nama saya Febri. Saya temen
sekelas Aira.” Febri kemudian meletakkan sebuket bunga lain di atas makam Aira,
lalu memanjatkan doa sambil memejamkan mata.
“Semoga
kamu tenang di alam sana, Aira. Kamu tau? Aku selalu kangen kamu. Temen-temen
yang lain juga,” ucap Febri lirih. Tangannya mengusap nisan Aira dengan lembut.
“Ng,
Febri?”
Febri
menoleh ke arah Ata. “Ya, Kak?”
“Sebenernya
gue temen jauh Aira. Gue baru tau belakangan ini kalo... Aira meninggal. Apa
penyebabnya?”
“Kecelakaan,
Kak,” jawab Febri. Tatapannya tertuju pada makam Aira. “Saya juga kurang tau
kronologinya gimana. Terakhir kali saya ngobrol sama Aira, dia curhat ke saya,
katanya lagi deket sama... ng, siapa sih namanya? Ah, iya. Kak Ari. Dia naksir
Kak Ari. Saya juga nggak tau siapa itu Kak Ari. Yang jelas Aira seneeeng
banget. Trus, tiba-tiba...” Penjelasan Febri terhenti. Ia menarik napas panjang
beberapa kali. “Tiba-tiba, saya dapet kabar kalo siang itu Aira ketabrak mobil,
dan...” Gadis itu menggigit bibir. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Kenapa dia bisa kecelakaan? Emangnya dia
kemana siang itu?” tuntut Ata.
“Ng...
ini sebenernya cuma gosip, sih. Saya nggak tau bener apa nggak. Katanya siang
itu Aira patah hati. Ditolak cowok. Jadi dia lari ke jalan sambil nangis, sampe
nggak liat kalo ada mobil.” Febri berhenti sejenak, membiarkan Ata mencerna
ucapannya, kemudian melanjutkan, “Karena saya yang selalu jadi tempat curhat
dia, saya nyimpulin dia ditolak Kak Ari. Saya jadi penasaran, deh. Terakhir
Aira bilangnya Kak Ari sempet cium pipi dia gitu di pantai. Kenapa cowok itu
lalu nolak Aira? Brengsek banget.”
Ata
membeku. Bukan. Bukan Ari yang brengsek. Saudara kembarnya tidak salah menolak
Aira, karena memang bukan Ari yang dekat dengan cewek itu. Bukan Ari yang
mencium pipi cewek itu. Bukan Ari yang mengumbar harapan palsu. Tapi dia!
Dialah
yang akrab dengan Aira selama beberapa hari. Dialah yang mengajak Aira bermain
ke sana kemari. Dialah yang memberi Aira ciuman di pipi. Tanpa pernah
memikirkan perasaan Aira yang jelas-jelas jatuh cinta kepada Ari. Lalu dia
pergi begitu saja, meninggalkan Aira sebagai tanggung jawab Ari.
Jadi
dialah si brengsek itu! Dia, Ata,
adalah penyebab kematian Aira!
Bersambung...
***
So, gimana, nih? Ada yg mau komentar? Ada yang kurang sreg gitu sama 2 part khususon flashback ini? Nggak ngerasa kalo ceritanya fail banget kan? Aul kurang mantep aja, hehe
Akhirnyaaaaa terungkap juga kenapa Angga dendam sama Ari (versi Aul lho yaaaa, kalo versinya Mama Esti Kinasih mungkin beda lagi)
Untuk next part-nya, kayaknya bakalan lama. Banget. Tauk ah, gelap. Ide di otak lagi terkuras abis, blas belom ada bayangan buat lanjutannya, harap maklum yaaa... Aul juga harus mulai persiapan buat try out ke-3, dan langsung lanjut Ujian Nasional... Doakaaan, doakaaaan, doakaaan *sungkem satu-satu*
Makasiiiih buat yg udah baca dan mendoakan, huehehehe ^-^
Biar nggak kenal, Aul sayang kaliaaan, muaaah muaaah muaaaaaaah :*
Huuaahhh Alhamdulillah banget bisa baca 2 post tanpa harus nunggu berbulan" kaya kemaren... tp kalo harus nunggu lagi kek'a ga Alhamdulillah lagi deh di ganti jadi Astaghfirullohaladzim Sabar" (Sambil ngelus dada)... semoga mimin eh salah Mba Auull cpet dapet ide yah biar ga penasaran lagi dan Good luck aja buat Ujian'a... :)
BalasHapusHuuaahhh Alhamdulillah banget bisa baca 2 post tanpa harus nunggu berbulan" kaya kemaren... tp kalo harus nunggu lagi kek'a ga Alhamdulillah lagi deh di ganti jadi Astaghfirullohaladzim Sabar" (Sambil ngelus dada)... semoga mimin eh salah Mba Auull cpet dapet ide yah biar ga penasaran lagi dan Good luck aja buat Ujian'a... :)
BalasHapusMakasih yaa udah sabar nungguin :D
HapusAmiiin amiiiin, ide datanglah, ide datanglah, dewa inspirasi datanglaaaah, aul butuh banget nih, demi mereka yg udah baca dan setia menunggu lanjutannya
Makasih doanyaa ^^
Pingin cepet2 selesai ujian
Hahah sama" Mba.. baca dari Novel JDS mpe yg smp udah pd kuliah blom terbit" juga tuh buku.. Mpe abang jualan buku aja mpe hafal aq mw nanya apa kalo kesana..hahah..
BalasHapusMba Esti lg sibuk apa yah mpe kita" di suruh nunggu bener" bertaon".. :(
nggak tau, kalo saja kita punya kesempatan untuk nanya langsung ke mbak estii, betapa bahagianya...
Hapuskenapa komentar kamu yang setelah ini dihapus? udah aku baca kok, dan maaf kalo baru bisa bales sekarang, minggu kemaren masih try out, dan ga bisa bales lewat HP
makasih atas pemberitahuan kamu di komen yg udah kamu hapus itu :)
waktu itu aku langsung buka fb dan ngerti kok maksud kamu, meski aku sempet bingung juga waktu baca pemberitahuan kamu di sini, haha
kita bisa lanjut ngobrol di fb kalo mau :)
Hahah maaf Mba Cos Komentar aq gaje bgt sih mkanya aq hapus.. :D
HapusOk mba Fb Qu Yani Kejora Cari aja di Grup :).. Oia Salam kenal yah.. Kalo bisa Lanjutin donk Cerita'a penasaran nih :(
duh, besok senin udah UN nih, blm bisa mikirin kelanjutannya
Hapusabis UN yaa :)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusOk deh tp kalo bisa jangan 1 minggu 1 part Kelamaan (eh kok maksa :D)
BalasHapusHahah :p