Kamis, 25 Desember 2014

Jingga untuk Matahari #fanfiction-11

Oji menggeliat malas di tempat tidur. Pukul tujuh masih tergolong pagi buta menurut kamus hidupnya di hari Minggu. Tapi ia terpaksa meninggalkan alam mimpi saat ponselnya menjerit.
“Hm... ya? Halo? Lo punya jam nggak sih di rumah? Masih malem nih,” gerutunya pelan saat mengangkat panggilan, dengan mata masih menutup rapat.
“Malem? Coba melek dulu, Mas!”
Kontan Oji membuka mata lebar. Ia kira telepon sepagi ini dari Ari ato Ridho, ternyata suara cewek!
“Sori, ini siapa ya?”
“Masa lo nggak kenal suara gue? Ih, keterlaluan lo, Ji,” sahut cewek itu dengan centil.
Memang kedengarannya suara cewek itu tidak asing. Kedua mata Oji tambah lebar begitu mengenali pemilik suara yang mengganggu Minggu paginya ini. “Ooh, elo! Heh, mau apa lo, Nenek Lampir? Bener-bener lo ya, kerjaannya ngumbar pelet mulu sampe nggak tau waktu!”
“Kok kejem banget sih ngomongnya?” protes cewek itu masih dengan nada centil.
“Buruan mau bilang apa?! Gue tutup nih kalo nggak penting!” Oji mulai jengkel.
Cewek di seberang ketawa. “Gue cuma mau bilang, tolong sekarang lo pergi ke pintu depan, dan ambil amplop di bawah pintu. Oke?”
Telepon ditutup begitu saja, bikin Oji menggerutu kiri kanan. Dasar tu cewek, nggak pernah punya kerjaan lain selain mengganggu ketenangan hidup orang. Dengan malas, Oji bangkit dari tempat tidur dan bersenam-senam kecil sebelum melangkahkan kaki ke pintu.
Amplop yang disebut-sebut cewek tadi berwarna cokelat dan tidak terlalu besar, terselip di celah bawah pintu. Dengan alis menyatu, Oji meraih dan membukanya. Apa yang ada di dalam amplop itu langsung membuat sisa kantuknya lenyap. Ia melesat ke kamar setelah sempat terpaku sesaat.
“Lo nggak berperikemanusiaan banget, Ji. Gue baru aja bisa tidur, tau,” omelan Ridho langsung menyambutnya begitu panggilannya diangkat, tapi Oji tidak peduli.
“Ini ada yang lebih gawat, Dho! Gawat! Lebih penting dari tidur lo!”
“Gawat apanya? Nggak usah heboh kayak lagi kebakaran jenggot gitu, lah.”
“Gue ke rumah lo abis ini!”
Ridho menguap, masih belum tertular penyakit heboh Oji. “Ya, ya. Ke sini aja. Telepon gue kalo udah sampe. Gue mau tidur dulu.”

***

“Dho, dho! Banguuun!!” Oji mengguncang tubuh Ridho, memaksa temannya yang sedang tidur sambil memeluk guling itu untuk bangun.
“Ng.... Ji, ngapain lo masuk-masuk kamar gue?” erang Ridho setengah sadar setengah tidak.
“Abisnya lo gue telepon nggak diangkat-angkat. Kata pembokat lo gue suruh ke kamar lo aja langsung. Ya udah... heh, banguun!! Buruan!”
Mau tak mau Ridho membuka mata dan duduk. Oji ikutan duduk di tempat tidur, di samping Ridho yang sedang mengucek mata. “Ada apa, sih? Awas aja kalo ternyata nggak penting. Gue cekek beneran lo!”
“Lo liat ini, deh!” Oji mengeluarkan isi dari amplop cokelat yang baru diterimanya tadi pagi.
Begitu isi dari amplop tadi berpindah ke tangan Ridho, reaksinya persis seperti reaksi Oji tadi. Terpaku.
“Gimana? Gawat, kan?” desak Oji. “Kita musti bilang apa ke Ari?”
Di tangan Ridho, ada dua lembar kertas. Yang satu sebuah foto, yang satunya lagi sepucuk surat singkat, bunyinya :

Tari selingkuh sama Angga! Gue liat sendiri mereka jalan bareng di mal kemaren!

Dan foto itu menjadi bukti dari isi surat tadi. Terlihat Angga dan Tari duduk berhadapan di sebuah foodcourt. Wajah keduanya begitu dekat, nyaris bersentuhan. Meski itu bukan foto close up, Oji dan Ridho bisa melihat wajah Tari agak tegang dan Angga memiringkan wajah sedikit, seolah cowok itu hendak mencium bibir Tari.
Ridho mengguncang-guncang bahu Oji tanpa mengalihkan tatapannya dari foto Tari dan Angga. “Ji, lo dapet ini dari siapa?!”
Oji garuk-garuk kepala sebentar. “Ng... itu... dari Vero.”

***

Keberadaan Tari masih belum diketahui! Ari nyaris frustasi. Karena kemarin Mama Tari bilang kalau Tari akan menginap selama dua malam, itu artinya besok dia harus berangkat sekolah sendiri. Entah untuk keberapa kalinya Ari mencoba menghubungi nomor Tari.
Maaf, nomor yang Anda tuju...
“Sialan!” Ari melempar ponsel dan tubuhnya ke tempat tidur. Nomor Tari masih tidak aktif. SMS untuk ketiga cewek itupun belum ada yang dibalas sejak tadi malam, benar-benar bikin gerah.
Lagu Kitaro – Caravansary yang menjadi ringtone-nya mendadak berkumandang. Ari buru-buru meraih ponselnya lagi, berharap itu telepon dari Tari. Tapi ternyata dari Oji. Ari mengangkat sebelah alisnya heran.
“Ya, Ji? Tumben jam segini lo udah bangun.”
Di seberang, Oji terdiam. Ia dan Ridho bertatapan sejenak. Oji menggeleng, lalu menyerahkan ponselnya ke Ridho. Ridho menggerutu tanpa suara, sementara Oji nyengir.
“Bisa lo dateng ke rumah gue?” kata Ridho kemudian.
“Elo, Dho? Kok kalian udah kumpul pagi-pagi gini?” tanya Ari tambah heran.
“Ada yang mau kami omongin sama elo. Sekarang. Gue tunggu.” Ridho menutup telepon sebelum Ari bertanya lebih lanjut.

***

Fio mengaktifkan kembali ponselnya pagi ini, dan wajahnya memucat seketika. Delapan panggilan tak terjawab, dan satu SMS horor dari Ari, yang begitu dibaca, matanya kontan berkunang-kunang dan napasnya sesak.
“Man! Man! Coba lo idupin HP lo! Buruan!” serunya panik.
Melihat kondisi Fio, Nyoman bergegas mengaktifkan ponselnya, mengira pasti ada sesuatu yang maha gawat. Wajah cewek itu jadi tak kalah pucat begitu membaca tulisan di layar ponsel.
“Gila! Mampus kita! Elo nih, Tar. Tanggung jawab, ih!” seru Nyoman lebih panik.
“Ada apaan, sih?” Tari mendekati kedua temannya yang mematung di lantai. Ia merebut ponsel Fio yang masih menampilkan SMS ancaman dari Ari. Perlahan, bibirnya meringis. Ngeri.
“Ups,” katanya pelan, merasa bersalah karena melemparkan kedua temannya ke kandang singa.
“Gimana nasib kita besok di sekolah? Pulang-pulang bisa jadi almarhum nih,” keluh Fio, yang dianggukin Nyoman dengan wajah nelangsa.
“Susun rencana!” putus Tari, meski ia sendiri tidak yakin rencana apapun akan berhasil menyelamatkan mereka dari Ari.

***

Oji dan Ridho menunggu kedatangan Ari dengan gelisah. Ketika akhirnya mereka mendengar suara motor berhenti di depan rumah, keduanya serentak berdiri dari sofa dan bergegas menghampiri sahabat mereka yang baru saja melepas helm.
“Jadi?” tanya Ari. Ia mengangkat alis tinggi-tinggi melihat Ridho dan Oji saling lirik dengan ekspresi cemas.
“Lo sama Tari kemaren?” Ridho bertanya balik.
Ari mendengus. “Dia ngilang, tau nggak? Seharian kemaren gue nggak ketemu sama dia. Siangnya waktu gue telepon, dia bilang lagi jalan di mal sama Fio. Trus malemnya dia nggak di rumah, nginep di rumah temen kata Nyokapnya, tapi bukan rumah Fio. Nomornya juga nggak aktif.” Ia menghembuskan napas keras-keras. “Kenapa sih tu cewek?”
Ridho dan Oji kembali saling tatap dengan mulut ternganga. Jadi bener Tari selingkuh? Ini buktinya! Cewek itu seharian kemarin jalan di mal. Ngakunya sih sama Fio, tapi yang duduk bersama dan nyaris mencium Tari itu kan bukan Fio! Dan malam harinya cewek itu sengaja menghindar dari Ari. Bukan ke rumah Fio katanya. Jangan-jangan Tari di rumah Angga semalem?! Entah bagaimana pikiran Oji dan Ridho bisa sama-sama sampai di titik itu. Seolah saling memahami pikiran satu sama lain, Oji dan Ridho meringis, kemudian menggeleng-geleng.
“Ngaco, ah. Nggak mungkin dia senekat itu,” gumam Ridho. Oji mengiyakan.
“Bos, lo yakin kemaren dia jalan sama Fio?” tanya Oji hati-hati.
Ari menatap Oji heran. “Yakinlah. Emang kenapa?”
“Gimana kalo ternyata dia bohong?”
“Maksud lo?” Ari semakin bingung dengan pertanyaan Oji. “Kalian kenapa, sih?”
Ridho melangkah maju. Sebelah tangannya menepuk bahu Ari sementara tangan lain mengulurkan selembar foto. “Lebih baik lo cari Tari dan minta dia jelasin ini.”
Ari masih tidak mengerti dengan sikap dan kata-kata kedua sahabatnya sampai dia melihat foto yang diulurkan Ridho. Begitu jelas siapa yang menjadi objek di dalam foto itu meski ada puluhan manusia lain di sana. Tapi mata Ari mengaburkan manusia-manusia lain itu. Yang tertangkap oleh retinanya hanya dua orang yang tengah duduk berhadapan, dengan wajah begitu dekat seperti akan berciuman. Dan dua orang itu adalah Tari dan Angga.
“Stop, jangan nanya apa-apa,” sela Ridho begitu dilihatnya Ari membuka mulut untuk bertanya. “Kami cuma dapet foto itu tadi pagi, dan foto itu jelas diambil kemaren. Liat aja tanggalnya. Selebihnya, tentang apa yang sebenernya terjadi, lo nanya sendiri ke Tari. Ato Angga sekalian, mungkin.”
Selama beberapa saat, tidak ada yang bergerak maupun bersuara di antara mereka bertiga. Ridho dan Oji menunggu reaksi Ari, bersiap menerima ledak amarah teman mereka itu. Tapi ternyata Ari hanya melipat foto tadi menjadi dua, kemudian menyelipkannya asal-asalan ke saku celana. Bibirnya menyunggingkan senyum miring.
Thanks,” katanya singkat kepada kedua sahabatnya sebelum ia berlalu dari situ, meninggalkan Oji dan Ridho yang kembali bertatapan bingung.

***

Ari memacu motornya kencang, membelokannya tak tentu arah. Pikirannya kacau. Kalau saja kenyataan ini memang sekadar kesaksian dari Oji atau Ridho, lebih mudah untuk tidak memercayainya. Tapi ini semua tergambar jelas dalam sebuah foto! Ari yakin foto itu seratus persen bukan hasil editan. Dia mendengar sendiri kemarin siang saat menelepon Tari, suasana di sekeliling gadis itu sangat ramai oleh obrolan orang-orang dan musik yang keras, suasana khas foodcourt di mal. Dan tiba-tiba saja Tari tidak menanggapi perkataannya, kemudian malah menutup telepon dengan alasan mau menemani Fio memborong kaset drama Korea.
Sebenarnya segala macam bentuk kecurigaan telah bermunculan di benak Ari sejak terakhir kali ia menelepon Tari. Pelan-pelan, Ari bisa melihat benang-benang yang makin terjalin secara jelas, alasan-alasan yang melatarbelakangi keanehan sikap gadis itu. Tari selingkuh dengan Angga, entah kenapa, bagaimana, dan sejak kapan. Kemarin siang ia jalan dengan cowok itu di mal. Karena nyaris ketahuan, Tari tidak berani menemui Ari sehingga memutuskan untuk menginap di rumah teman. Jelas saja bukan rumah Fio, karena alamat pencarian kedua yang pasti didatangi Ari adalah rumah sahabatnya itu.
Ari menggeram. Berani banget tu cewek! desisnya dalam hati. Ketika ia menemukan cewek itu nanti, ia bersumpah akan membuat Tari menceritakan kenyataan yang sesungguhnya dengan cara apapun, meski itu berarti ia harus mengikat Tari dan menginterogasinya ala penjahat kelas kakap.
Sementara pikirannya melantur kemana-mana, Ari tidak sadar motornya kini berhenti di depan rumah Tari.
“Sialan, kenapa gue ke sini?” gerutunya. Ia sudah bersiap akan pergi lagi saat pintu depan terbuka.
“Ari?” panggil Mama Tari, agak kaget juga.
Ari menoleh, dan mau tak mau ia turun dari motor untuk menyapa Mama Tari. “Pagi, Tante.”
Mama Tari melangkah mendekat ke pagar. “Pagi. Mau nyariin Tari lagi? Tari belom pulang dari kemarin. Kan dia bilangnya mau nginep dua malem.”
“Ooh, gitu. Tapi... dia bener-bener nggak ngomong di mana dia nginep?”
Mama Tari menggeleng. “Nggak. Tapi yang jelas sih sama Fio. Soalnya semalem waktu Tante telepon, yang ngangkat Fio, katanya Tari lagi di kamar mandi. Kamu udah coba ke rumahnya Fio?”
“Udah, Tante. Tapi Tari nggak ada di sana,” jawab Ari, sambil diam-diam otaknya menyusun rencana untuk membalas keberanian Fio hingga cewek itu kapok dan tidak akan pernah lagi ikut melarikan diri bersama Tari.
“Yah, kalo gitu Tante bener-bener nggak tau dia di mana, maaf.” Mama Tari kembali menggeleng. “Oh iya, kebetulan kamu ke sini. Ini, Tante nitip ini buat Mama kamu.”
Ari menerima tas kertas berukuran medium yang disodorkan Mama Tari. “Apa ini?” tanyanya penasaran sambil melongok isi tas tadi. Ada beberapa toples plastik bening yang tersusun rapi di dalamnya. Sepertinya berisi kue-kue kering.
“Oh, itu oleh-oleh kecil buat Mama kamu sama Ata. Katanya mereka mau pulang hari ini? Maaf, Tante cuma bisa bawain itu.”
Tas kertas itu nyaris terjatuh dari tangan Ari. Ia mendongak menatap Mama Tari dengan mulut ternganga. “Mereka mau pulang hari ini? Pulang? Maksud Tante... ke Malang?”
Mama Tari mengangguk. Keningnya berkerut heran. “Kamu belum tau?”
Ari terpaku sesaat sebelum akhirnya menggeleng pelan. Mama Tari menatapnya prihatin. “Ya udah, kamu ke rumah Tante Lidya aja dulu. Ini masih pagi. Mereka pasti belum berangkat.”
Ari tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia melangkah ke motornya, lalu tanpa pamit, ia memacu motornya melewati gang kecil menuju rumah Tante Lidya.

***

Tante Lidya yang sedang menyiram bunga di halaman depan rumahnya seketika menghentikan kegiatannya saat melihat motor Ari berhenti di depan pagar rumahnya dan si pengendara langsung berlari menerjang ke arahnya.
“Mana Mama sama Ata?” tanya Ari tanpa basa-basi.
“Eh, ng.. itu, Mama sama Ata...” Tante Lidya mendadak gugup. Memang bukan kewajibannya untuk memberitahu Ari soal kepulangan Mama dan saudara kembarnya ke Malang, sehingga ia tidak tahu harus berkata apa tentang masalah ini ke Ari saat tiba-tiba ditodong pertanyaan seperti itu.
“Tante! Jangan bilang mereka...” Ari tercekat, tidak sanggup meneruskan kalimatnya.
Tante Lidya menghela napas berat. “Maaf, Ri. Mereka udah berangkat ke bandara satu jam yang lalu.” Ia menepuk pelan bahu Ari.
Tubuh Ari meluruh jatuh, seolah tepukan pelan Tante Lidya menggoyahkan seluruh tulang dan sendinya. Cowok itu terduduk di atas rumput, masih membutuhkan waktu untuk mencerna semua ini. Tante Lidya ikut berlutut di sebelahnya. Kini tangannya meremas bahu Ari dan mengusap-usapnya.
“I.. ini, ada kue... buat Mama... buat Ata.” Tangan Ari yang bergetar mengulurkan tas kertas pemberian Mama Tari. Namun sedetik kemudian, tas itu jatuh dari tangannya sebelum Tante Lidya sempat menerimanya. Toples di dalamnya berserakan, beberapa ada yang terbuka dan menumpahkan isinya.
Akhirnya Tante Lidya merengkuh tubuh Ari. Cowok yang sudah dianggap anaknya sendiri itu kini terguncang di pelukannya seperti anak kecil. “Ssst, kamu nggak perlu sedih. Mama, Ata, dan Tante Lidya emang sengaja nggak mau ngasih tau kamu, karena Mama nggak mau satupun dari kalian ngucapin selamat tinggal. Tapi mereka janji akan kembali ke Jakarta lagi kapan-kapan.”
Tante Lidya memahami betapa Ari kehilangan sosok ibu. Wanita itu juga tahu Ari begitu kesepian dalam hidupnya tanpa ada saudara kembarnya. Selama beberapa saat, ia membiarkan Ari menangis. Diusapnya dengan lembut kepala cowok itu. “Kamu selalu boleh kembali ke sini, Ri. Kamu bahkan boleh tinggal di sini kalo mau. Kamu boleh nganggep Tante Lidya sebagai mama kedua kamu, kayak waktu dulu kita masih tetanggaan. Jadi kamu nggak perlu ngerasa kesepian. Lagian kamu sekarang udah bisa telepon-teleponan lagi kan sama Mama dan Ata. Kalian nggak bener-bener pisah kok.”
Perlahan, Ari berhasil menenangkan diri. Seiring dengan otaknya yang kembali bisa berpikir jernih, ia menyusun rencana dadakan yang akan dilaksanakan sekarang juga!

***

Hari Senin! Tari, Fio, dan Nyoman benar-benar ready to war. Meski persiapan mereka belum benar-benar matang, ketiga cewek itu yakin rencana yang telah mereka susun paling tidak bisa menghindarkan mereka dari Ari. Hanya keajaiban dari Tuhan Yang Maha Esa-lah yang bisa menyelamatkan mereka hari ini.
Sesuai kesepakatan, ketiganya akan berangkat sekolah sangat pagi, karena hari ini ada upacara bendera dan mereka tidak ingin mengambil resiko terlambat kalau berangkat pas udah mepet bel. Sambil menunggu bel masuk di gudang persembunyian, mereka akan sarapan dengan bekal yang sudah disiapkan Mama Nyoman. Sudah pasti dengan berangkat sangat pagi mereka belum sempat sarapan di rumah.
Lalu ketika bel masuk berbunyi, mereka akan keluar dan berbaur dengan arus siswa-siswi yang berjalan ke lapangan upacara. Tari terpaksa menyimpan semua pernak-pernik oranyenya kalau tidak ingin membuat mereka ketahuan dalam hitungan detik. Mereka akan mengenakan topi sekolah untuk menutupi wajah mereka. Dan di lapangan, mereka terpaksa bergabung dengan barisan kelas X-1 yang posisinya paling jauh dari barisan kelas mereka, karena bisa saja Ari mengadakan inspeksi di barisan kelas X-9 dan sekitarnya. Kemudian begitu upacara selesai, mereka akan langsung ngibrit ke gudang lagi.
Segalanya berjalan lancar sesuai harapan dan nyaris berhasil. Nyaris! Ketiganya telah bersembunyi di gudang hampir satu jam lamanya, tiba di lapangan dengan sehat walafiat tanpa berpapasan dengan Ari, dan melaksanakan upacara bendera dengan khidmat. Sampai ketika mereka kembali ke gudang persembunyian, dua sosok yang tak diharapkan ternyata telah menunggu mereka di sana.
Ridho dan Oji duduk di tempat mereka meninggalkan tas tadi. Tari, Fio, dan Nyoman hampir saja balik badan untuk melarikan diri, tapi batal begitu menyadari Ari tidak hadir bersama dua sahabatnya.
“Tar,” panggil Oji.
“Kalo kalian disuruh Ari ke sini, lebih baik kalian pergi sekarang. Karena gue lagi nggak mau berurusan sama dia ato lo berdua,” kata Tari sedingin mungkin.
“Kami nggak disuruh Ari,” tukas Oji. Sekarang cowok itu bangkit dari lantai dan mendekati Tari yang masih berdiri di ambang pintu gudang. Fio dan Nyoman diam-diam melangkah mundur. “Ari bahkan nggak masuk hari ini.”
Kening Tari berkerut. “Kenapa?”
“Dia ngilang, nggak ada kabar sejak kemaren,” sahut Ridho yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Oji. Tepatnya sejak dia liat foto lo sama Angga, tambah cowok itu dalam hati.
“Kami ke sini mau nanya sesuatu sama elo,” kata Oji lagi.
“Duilee, serius amat, Kak. Jarang-jarang gue liat Kak Oji serius gini,” celetuk Fio, yang bisa menghela napas lega setelah mengetahui Ari tidak masuk sekolah.
Sepasang mata Oji menyambarnya. “Dho, apa gue belom bilang kalo kita diberi mandat sama Ari buat ngurusin ni cewek dua?” tanyanya sambil tersenyum menggoda ke arah Fio.
Ridho pura-pura berpikir. “Kayaknya belom, Ji.” Matanya kini ikut menatap Fio dan Nyoman yang wajahnya langsung pada tegang. Kedua cewek itu sepertinya harus say goodbye lagi sama kelegaan yang baru saja mereka rasakan. “Sesuai pesan yang kami terima pagi ini dari Ari, dia mau kita ngasih pelajaran ke dua cewek yang bernama Fio dan Nyoman, yang dari kemaren bantuin Tari ngumpet dari Ari.”
“Ka... kami nggak bantuin, Kak,” kata Nyoman terbata.
“Nah, kan! Ujung-ujungnya emang lo berdua disuruh Ari ke sini!” Tari menatap dua cowok di depannya dengan sebal. “Jangan libatin Fio sama Nyoman! Mereka nggak salah.”
“Oh, nggak bisa,” sahut Oji santai. “Mau mereka salah apa nggak, sekarang gue sama Ridho udah punya kuasa penuh buat ngasih pelajaran ke mereka.”
“Dan sekali lagi gue tegasin kata-kata Oji, kami nggak disuruh Ari nyamperin kalian bertiga ke sini. Ari cuma ngasih hak istimewa itu ke kami pagi ini, lalu setelah itu dia ngilang lagi.”
“Jadi, untuk hukuman pertama kalian...” Oji mendadak merengsek maju ke arah Fio dan Nyoman, setelah menyingkirkan Tari dari hadapannya.
“Ampun, Kak! Ampun! Nggak lagi deh kami bantuin Tari,” Nyoman memeluk Fio ketakutan, menjadikan tubuh temannya itu sebagai tameng. Fio malah melirik Nyoman dengan heran. “Apaan sih lo? Cuma Kak Oji gini. Mana berani dia nyakitin cewek.” Tatapannya pindah ke Oji. Dipelototinya cowok itu. “Apa lo, Kak? Mau ngajak berantem? Ayo di lapangan! Jangan dikira gue takut!”
Tak disangka, Oji malah nyengir. Semua sifat seriusnya menghilang. “Ciee, ternyata temen lo ini tangguh juga kayak elo ya, Tar? Baru tau. Gile, mungkin kalian ini para supergirl penentang kakak kelas. Ngeri juga gue.” Cowok itu mendecakkan lidah. “Tapi omongan lo bener, Fi. Gue paling pantang nyakitin cewek. Karena gue cowok berhati mulia, jadi bersyukurlah kalian Ari ngasih tugas ini ke gue, bukan dia sendiri yang turun tangan langsung.”
Memang sebenarnya Fio dan Nyoman bersyukur dalam hati atas kebenaran kata-kata Oji. Untung Oji dan Ridho yang jadi eksekutor. Coba kalo Ari! Cowok itu bakal jadi eksekutor dalam arti sesungguhnya, yang memastikan Fio dan Nyoman disiksa sampai tewas!
“Ya udah, jadi hukuman pertama buat kalian berdua adalah...” Oji sengaja menggantung kalimatnya sejenak. “Bayarin kami makan hari ini. Mulai dari sarapan, makan siang, dan makan malam.”
“Apa??” Fio dan Nyoman melotot kaget.
“Oooh, jadi nggak mau, nih? Perberat aja hukumannya, Ji!” kata Ridho memanas-manasi.
“Gimana? Hm?” Oji mengangkat alis. Geli juga dia melihat Fio dan Nyoman yang saling sikut sambil membisikkan pertanyaan, “Bawa uang berapa lo?”
“Hukuman macam apa itu!” Mendadak Tari meneriakkan komentar atas ketidakadilan yang menimpa kedua temannya. “Kalo itu mah namanya pemerasan! Dasar cowok-cowok nggak tau malu! Masa minta dibayarin cewek? Adik kelas, lagi!” Cewek itu mencak-mencak tidak terima.
Oji membalikkan badan menatap Tari dengan tersinggung. “Eh, suka-suka kami, dong, mau ngasih hukuman apa. Lo mending keep silent deh daripada gue telepon Ari dan minta hak juga buat ngehukum elo.”
“Berani lo?” tantang Tari sambil mencondongkan tubuh ke Oji.
“Berani! Kenapa gue mesti takut?!”
“Emang dasar lo cowok jadi-jadian! Udah minta dibayarin cewek, tukang ngadu, pula!”
“Eh, makin kurang ajar lo, ya! Gue telepon Ari beneran, nih!”
“Silahkan aja!”
“Eeeh, malah pada berantem. Udah, Ji. Lo sekarang ke kantin aja pesen sarapan buat kita sambil ngawasin ni cewek dua biar nggak buron. Biar gue yang selesaiin urusan sama Tari.”
Tari dan Oji masih adu pelototan. Sampai kemudian Oji mengalah. “Oke, oke. Ayo, kalian ikut gue ke kantin.” Cowok itu mendorong bahu Fio dan Nyoman.
“Sekarang, Kak?” tanya Nyoman.
“Ya sekarang! Masa taun depan? Kalo taun depan gue udah lulus, kali. Mana ada kesempatan dijajanin sama kalian lagi.”
“Tapi pelajaran udah mau mulai, Kak. Nanti kami telat masuk. Gimana kalo jam istirahat pertama aja?” Nyoman mulai memelas.
“Nggak! Gue sama Ridho tuh lapernya sekarang. Nggak bisa ditunda lagi. Kami nggak bakal bisa belajar dengan perut keroncongan. Kalo nggak konsen belajar, ntar kami nggak bisa lulus. Itu artinya, kalian masih harus ketemu lagi sama kami tahun depan. Dan hukuman kalian kami perpanjang. Mau?”
“Hiiih,” Fio mendelik gemas. “Bawel amat sih jadi cowok. Iya, iyaa, nggak usah dorong-dorong! Gue sama Nyoman bisa jalan sendiri!” Fio mengenyahkan tangan Oji dari bahunya, kemudian menoleh ke Tari. “Gue ke kantin dulu ya, Tar.”
Mau tak mau Tari mengangguk, membiarkan Fio dan Nyoman digiring pergi. Sesaat, Tari masih menatap ketiga orang yang semakin menjauh itu.

***

“Tar?” panggil Ridho, membuat Tari menoleh. “Duduk dulu. Ada beberapa pertanyaan yang harus lo jawab.”
Tari mengeluh dalam hati. Kalo sama Oji, dia masih berani melawan. Tapi kalo sama Ridho, entah kenapa Tari merasa lebih baik menuruti perintah cowok itu. Tari bukannya takut, namun ada sesuatu dalam ucapan dan tindakan Ridho yang bikin dia segan. Mungkin itu yang membuat Ridho memutuskan lebih baik dirinya yang berurusan dengan Tari, daripada masalah ini nggak kelar kalo Oji yang menangani. Bisa-bisa Oji dan Tari ribut tidak habis-habis.
Tari duduk bersila di lantai di dekat tasnya. Ridho menutup pintu gudang, lalu duduk di depannya. “Oke, langsung aja. Tapi janji sama gue, lo bakal jawab pertanyaan gue dengan jujur. Dan kalo emang lo ngelarang, gue nggak akan cerita ke Ari.” Ridho baru meneruskan perkataanya setelah gadis di depannya ini mengangguk ragu. “Lo kemaren Sabtu ke mana?”
“Ng... gue nginep di rumah Nyoman, Kak.”
“Bukan malem harinya. Tapi siangnya, Tar. Lo ke mal, kan?”
Ridho berhasil menangkap sinar kekagetan yang kemudian berubah menjadi kepanikan di mata Tari. “Kok Kak Ridho tau?”
“Sama siapa?” tanya Ridho lagi tanpa menjawab pertanyaan Tari. “Jangan bilang sama Fio! Karena gue tau pasti bukan dia yang nemenin lo ke mal.”
Tari tergeragap. Mampus! Kok Kak Ridho tau, sih?? Musti jawab apa coba!?
“Tar,” kata Ridho lagi karena Tari terdiam. “Lo ke mal sama Angga?”
“Apa?” Tari menyipitkan mata. “Nggak! Gue nggak ke sana sama Angga.”
“Jangan bohong, Tar!”
“Beneran, Kak! Sumpah samber geledek!” Tari mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V. Ridho akan membantah lagi, tapi Tari sudah lebih dulu menjelaskan, “Gue emang nggak sengaja ketemu sama Angga di mal. Dia yang nyamperin gue duluan pas di foodcourt. Suer deh, kami nggak jalan bareng.”
Giliran Ridho yang menyipitkan mata dengan kening berkerut. Sepertinya Tari tidak berbohong. Tapi dia masih membutuhkan kepastian. “Tar, jujur aja. Kalo lo emang selingkuh sama Angga, gue nggak bakal bilang-bilang ke Ari...”
“Selingkuh sama Angga??” Tari menjerit. Ini kedua kalinya ia dituduh selingkuh sama Angga. Lama-lama bisa darah tinggi, nih! “Plis, deh! Kenapa sih semuanya nyangka gue selingkuh!? Sama Angga, lagi! Gue bahkan benci sama cowok itu, Kak.”
“Oke, oke.” Ridho mengangkat kedua tangannya, menenangkan. “Gue cuma mau negasin aja, Tar. Lo nggak selingkuh, kan?”
“Nggak! Lo boleh masukin gue ke rumah sakit jiwa kalo sampe gue selingkuh sama si Angga!”
Ridho mengangguk-angguk. Tari tidak selingkuh. Sekarang ia meyakini itu. Tapi kalo memang benar mereka berdua hanya kebetulan bertemu di mal, kenapa Angga dan Tari saling mendekatkan wajah seperti itu di dalam foto? “Ng... Tar,” Ridho menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, merasa kurang enak dengan pertanyaan yang akan dia ajukan. “Waktu kalian duduk berdua di foodcourt... apa Angga... sempet cium elo?”
“CIUUM??” Kembali Tari menjerit, kali ini lebih histeris. Sampai Ridho harus menempelkan telunjuknya ke bibir Tari. “Ssst, nggak usah kenceng-kenceng, kali. Ntar kalo ada guru yang lewat bisa ketauan.”
Tari menyingkirkan telunjuk Ridho dari bibirnya. “Apa maksud lo dengan pertanyaan itu?” tanya gadis itu tajam.
Ridho menghela napas, kemudian mau tak mau ia menceritakan perihal foto yang didapatnya kemarin. Tari mendengarkan dengan ekspresi tidak percaya. “Itu nggak bener, Kak! Fitnah! Ih, lo dapet fotonya dari mana, sih?”
“Dari Vero,” jawab Ridho. “Dia yang ngeliat lo jalan di mal sama Angga kemaren Sabtu.”
“Kak Vero?” Sepasang mata Tari membulat. “Ah, kenapa lo percaya aja sih sama berita dari dia? Jelas-jelas dia itu cemburu sama gue, Kak.” Mendadak Tari teringat juga foto Ari yang tengah berciuman dengan Vero. “Kak, sekarang gue boleh nanya? Tentang Ari.”
“Nanya apa?”
“Ng... itu...” Tari bingung bagaimana cara menyampaikan pertanyaannya. Gadis itu menggigit bibir gelisah. Karena tidak bisa menemukan kata-kata yang pas, akhirnya ia mengeluarkan foto pemberian Angga beberapa hari lalu. “Lo bisa jelasin foto ini?” tanyanya sambil menyodorkan selembar foto ke Ridho.
“Foto ap...” Ridho membelalak sesaat begitu menerima foto tadi dari tangan Tari. Otaknya dengan cepat memutar kembali peristiwa beberapa hari yang lalu. “Lo jangan salah paham dulu, Tar,” tukasnya. “Ini nggak kayak yang lo pikirin. Lo inget waktu Ari mukulin gue sama Oji abis-abisan kemaren?”
Tari mengangguk perlahan, masih belum mengerti apa hubungannya.
“Nah, waktu itu Ari lagi ngelabrak Vero. Eh si cewek muka badak itu malah nekat cium Ari. Jadi sebelom dia abis jadi bubur di tangan Ari, gue sama Oji lepasin dia.”
Tari mencerna hati-hati setiap perkataan Ridho. Dan akhirnya cewek itu bisa menghubungkan kejadian yang sebenarnya. Tanpa sadar Tari menghela napas lega sambil menepuk-nepuk dada, saking beban yang menghimpit dadanya mendadak terangkat.
“Oke kalo gitu.” Ridho mengangguk-angguk pasti. “Clear, lo emang nggak selingkuh. Dan gue yakinkan juga, Ari nggak selingkuh. Pegang kata-kata gue. Tapi pertanyaan gue tadi belom lo jawab.”
“Pertanyaan yang mana?”
“Lo ke mal sama siapa?”
Pertanyaan itu membuat tubuh Tari menegang lagi. Jujur, nggak, jujur, nggak...
“Jujur aja sama gue,” kata Ridho, seolah menjawab kebimbangan di hati Tari. “Kan udah gue bilang, gue nggak bakal ember ke Ari.”
“Gue ke mal sama Kak Ata, Kak,” jawab Tari lirih, tapi Ridho berhasil menangkap suaranya.
“Sama Ata? Ngapain?” seru Ridho heran. “Jangan-jangan lo sebenernya malah selingkuh sama Ata?!”
Tari mendengus dan bibirnya cemberut. “Stop bahas tentang selingkuh. Gue enggak selingkuh, oke? Waktu itu Kak Ata cuma mau pamit.”
“Pamit kemana?”
“Pamit pulang, lah. Masa pamit naik haji.”
Ridho menatapnya tak mengerti, membuat Tari gemas. “Pulang, Kak. Pulaaang! Pulang ke Malang.”
Begitu Tari menyebutkan nama kota itu, reaksi Ridho seperti baru saja ditampar. Ia tersentak kaget. “Tar!”
“Apaan sih, Kak?” Tari jadi ikutan panik melihat cowok di depannya mendadak memanggil namanya sambil mengguncang bahunya dengan heboh.
“Akhirnya kita tau kemana Ari menghilang!”
“Emangnya kemana?” Kening Tari berkerut.
“Ck,” Ridho mendecak tidak sabar, tapi ia sengaja memutarkan jawabannya. “Kalo nyokap sama saudara kembar lo yang baru aja lo temuin setelah pisah 9 tahun mendadak ilang lagi, lo bakal nyariin nggak?”
“Ya, iyalah. Gue cariin pokoknya sampe ketemu dan nggak akan gue biarin pergi lagi begitu aja.”
“Nah!” Ridho menjentikkan jari. “Kalo misal lo udah tau kemana mereka pergi, apa yang bakal lo lakuin?”
“Ya jelas, tinggal susul aja mereka.”
“Pinter! Sekarang lo ngerti, kan?” Ridho tersenyum puas.

Tari membeku. Ia telah mengucapkan jawaban atas pertanyaannya sendiri tadi. Kemana Ari pergi? Tentu saja menyusul Mama dan Ata ke Malang!





Bersambung...

Sabtu, 29 November 2014

Jingga untuk Matahari #fanfiction-10

Sabtu pagi, Tari membuka matanya yang berat. Tidak perlu cermin untuk memastikan matanya bengkak. Ia berguling-guling sebentar di tempat tidur, masih malas untuk beranjak.
“Tari, bangun! Nggak boleh males-malesan! Ayo sarapan,” teriak Mama dari luar kamarnya.
“Iya, Ma,” sahut Tari, kemudian mengeluh dalam hati. Mama pasti akan bertanya perihal matanya yang bengkak.
Mendadak ponsel di samping bantalnya berdering. Semoga bukan Ari, semoga bukan Ari, doanya dalam hati sambil meraih ponselnya. Dan itu memang bukan Ari. Tari mengerutkan kening membaca nama Ata yang tertera di layar ponsel.
“Ya, Kak Ata?” jawabnya pelan setelah sebelumnya sempat berdebat dengan diri sendiri.
“Bisa ketemuan hari ini?” sahut Ata langsung. Satu hal lagi yang menegaskan bahwa Ata sangat mirip dengan Ari, yaitu keduanya tidak suka basa-basi.
“Ketemuan?” ulang Tari agak kaget. “Mau apa?”
“Ada yang pingin gue bicarain sama elo.”
“Kenapa nggak bicara di telepon aja, Kak?”
“Ck, pokoknya ntar gue tunggu di Central Park, foodcourt. Jam dua siang, oke?”
Dan sambungan terputus begitu saja. Tari menatap layar ponsel dengan kening berkerut semakin dalam. Sebenarnya hari ini dia malas kemana-mana. Ajakan Fio untuk menonton drama Korea terbaru pun kemarin malam ia tolak. Ia ingin mengurung diri seharian ini. Namun Tari tidak punya cukup keberanian untuk menolak ajakan Ata. Jadi dengan ogah-ogahan ia berdiri dan melangkah ke kamar mandi, berusaha sebisa mungkin untuk tidak bertatap muka dengan Mama.

***

Jam setengah dua, Tari telah tiba di mal yang tadi disebutkan Ata. Ia langsung naik ke foodcourt, meski ia tahu masih ada waktu setengah jam dari waktu yang ditentukan. Tari memesan minuman, namun tidak menyentuhnya sama sekali. Ia hanya bergerak-gerak gelisah di kursinya, mulai menyesal karena berangkat terlalu awal.
Ketika ponselnya menjeritkan ringtone, Tari berharap itu dari Ata yang akan memberinya kabar. Namun perkiraannya meleset. Sekarang justru panggilan dari Ari. Tari menggigit bibir, bingung.
“Ya, Kak?” Akhirnya ia angkat panggilan itu, berusaha tidak terdengar takut.
“Lo lagi di mana?”
“Ng... gue lagi jalan di mal sama Fio,” dusta Tari, karena tidak mungkin ia membohongi Ari tentang keberadaannya saat ini. Ari pasti bisa mendengar suasana sekitar yang begitu ramai. Dan lebih tidak mungkin ia jujur mengatakan kalau dia sedang menunggu Ata. “Kenapa?”
“Nggak pa-pa. Nanya aja. Gue...”
Tari tidak mendengar kelanjutan kalimat Ari karena seseorang tiba-tiba duduk di kursi di hadapannya. Matanya membelalak dan tubuhnya membeku. Angga, seseorang yang baru saja duduk di hadapannya, balas menatap Tari lurus-lurus dengan salah satu alis terangkat.
“Tar?” tanya Ari heran karena Tari tidak menanggapi perkataannya.
“Ehm, Kak... sori, gue tutup dulu. Ini... ee... lagi ada diskon kaset-kaset drama Korea. Gue mau bantuin Fio borongin kaset dulu. Ntar telepon lagi ya. Daah.” Tari langsung memutus panggilan, takut Angga keburu bersuara dan Ari akan mendengarnya.
“Halo, Tar,” sapa Angga dengan senyum begitu Tari memasukkan ponsel ke tas. “Kenapa teleponnya ditutup? Gue ganggu ya?”
“Ngapain lo di sini?” balas Tari tanpa menjawab pertanyaan Angga.
Senyuman Angga berubah menjadi senyum geli. “Ini tempat umum, Tar. Siapa aja berhak ke sini. Lagian tempat duduk ini kosong. Daritadi gue nyari tempat kosong susah banget. Dan kebetulan gue liat elo duduk sendiri. Jadi... yah, begitulah.”
“Gue lagi nunggu temen,” ketus Tari, mengisyaratkan kalau bangku yang diduduki Angga sudah ada yang punya. Gadis itu enggan mencari tempat duduk lain, karena – benar kata Angga tadi – foodcourt ini ramai dan penuh. Mendapat tempat duduk kosong memang anugerah tersendiri. Jadi kalau salah satu dari mereka harus mencari tempat duduk lain, silahkan saja tu cowok yang hengkang. Lagian Tari merasa dia yang duduk di sana duluan.
“Temen lo? Siapa? Fio imajiner?” sahut Angga lagi, masih geli. “Sejak kapan lo suka bohongin Ari?”
“Bukan urusan elo,” desis Tari dengan gigi gemeretak. Suaranya mulai menyimpan kemarahan.
“Oke. Kalo gitu gue numpang duduk di sini sampe temen lo dateng. Nggak pa-pa, kan?”
Tari tidak menjawab. Ia membuang muka, enggan bertatapan dengan Angga lebih lama. Keduanya tidak bersuara. Kak Ata ke mana siiih? keluh Tari dalam hati, bolak-balik memeriksa jam tangannya. Memang belum pukul dua. Jadi wajar kalau Ata belum tiba.
“Jadi,” kata Angga tiba-tiba. Ia memajukan kursinya mendekati Tari. “Foto itu nggak ngaruh ya?”
“Gue bilang, bukan urusan elo,” desis Tari lagi.
“Ck, ck, ck,” Angga berdecak. Ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi sambil melipat tangan di depan dada. “Segitu cintanya ya elo sama dia?”
Tak ada sahutan dari bibir Tari. Gadis itu pun masih membuang muka. Namun Angga tak sekalipun melepaskan pandangannya dari Tari. “Tar,” panggilnya, memulai aksinya untuk mengipas bara. “Jujur deh sama gue. Lo pasti pernah meluk Ari, kan? Dan lo juga pasti pernah dicium kan sama dia? Atau mungkin malah elo yang nyium dia?”
Kali ini Tari menoleh. Sepasang matanya mulai memancarkan letupan. Bahkan cewek itu mencondongkan tubuhnya mendekati Angga. “Sori, ya. Gue nggak semurah itu sampe cium-cium cowok sembarangan!”
Mengambil kesempatan itu, Angga ikut mencondongkan tubuhnya ke arah Tari, hingga wajah mereka sekarang hanya berjarak beberapa senti. Hebatnya, Tari tidak menarik mundur kepalanya. Gadis itu sedang emosi sampai-sampai rasa takutnya pada Angga menghilang.
“Gue nggak bilang lo cewek murahan, Tar,” kata Angga lembut. “Jadi, taruhlah jawaban pertanyaan gue tadi “iya”. Pasti lo emang pernah, paling nggak satu kali, berpelukan sama Ari. Nah,” Angga sengaja menggantung kalimatnya sebentar. Semakin ia dekatkan wajahnya. Ditatapnya kedua mata Tari dengan intens. “Pernah lo bayangin nggak, kalau tangan Ari, yang selalu meluk elo itu, juga dipake buat pelukan sama cewek lain? Lo bayangin nggak, kalau bibir Ari itu juga pernah buat ciuman sama cewek lain?”
Reaksi Tari persis seperti yang ia harapkan. Gadis itu terperangah mendengar kenyataan palsu yang baru saja ia bisikkan. Angga yakin bara yang tadi dikipasnya sekarang telah menyala menjadi api. “Gue cowok, Tar,” katanya lagi, “Gue tau gimana tingkah laku kaum kami. Ari nggak akan beda sama cowok-cowok kebanyakan. Nggak mungkin ada cowok yang tahan kalo deket-deket sama cewek, termasuk Ari. Apalagi dia selalu dikelilingi cewek-cewek cantik. Iya, nggak? Silahkan lo sangkal, tapi foto itu udah jadi bukti. Dan juga, gue udah kenal Ari sejak kami SMP, jadi gue tau betul gimana aslinya dia.”
Tari tak mampu berkata-kata. Ia menatap Angga dengan tatapan kosong. Angga kemudian mengusap kepalanya lembut. “Tolong, percaya sama gue, oke? Gue cuma nggak mau lo nyesel nanti,” katanya sebelum pergi.

***

Beberapa menit setelah Angga pergi, Tari menelungkupkan tubuh ke meja dengan kedua lengan sebagai bantalan. Pusing. Setiap kata yang keluar dari mulut Angga berhasil mempengaruhinya. Bukannya ia tidak percaya pada Ari, tapi... foto itu... kata-kata Angga tentang kaum cowok tadi... Apa ada notasi lain untuk menyebutkan kata “tidak percaya”?
Memang Tari tidak tahu bagaimana rasanya jadi cowok. Apalagi jadi Ari yang notabene idola cewek satu sekolah. Ia tidak tahu bagaimana kehidupan Ari di balik gedung kelas 12 sana, terlebih di luar sekolah. Ia percaya saja dengan rumor bahwa Ari tidak pernah pacaran, tidak pernah tertarik dengan cewek-cewek yang selalu mengelilinginya, dan bla, bla, bla. Tapi semua itu hanya rumor! Dan yang namanya rumor alias gosip belum tentu benar. Ajaibnya, rumor itulah yang menjadi tonggak utama kepercayaannya kepada Ari selama ini.
Tari kaget sendiri mendapati kenyataan tadi, tidak menyangka dirinya bisa sebodoh itu.
“Tar?”
Tari spontan mengangkat wajah dan menegakkan tubuh mendengar suara berat yang memanggilnya. Seseorang yang berwajah begitu serupa dengan pacarnya kini telah duduk di tempat Angga duduk tadi. Tari hampir saja kena serangan jantung kalau tidak segera menyadari bahwa cowok di depannya ini adalah Ata, bukan Ari.
“Kenapa?” tanya Ata. “Lo sakit? Kok wajahnya pucet gitu?”
“Cuma pusing dikit.” Tari menggeleng-geleng cepat. “Jadi, apa yang mau Kak Ata bicarain?”
Ata menatapnya lama, tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Tari lama kelamaan jengah juga ditatap seperti itu.
“Kok Kak Ata baru aja dateng? Sekarang udah jam dua lebih,” protes Tari karena Ata sepertinya tidak berniat menjawab pertanyaannya.
Perlahan, kedua mata Ata menyipit, membuat Tari diam-diam bergidik. “Lo tau? Gue udah sampe sini dari tadi.”
Tari terkejut mendengar kata-kata Ata. Sejak tadi? Tadi kapan? Apa Ata...
“Ya, gue liat elo sama Angga,” kata Ata menjawab pertanyaan batin Tari. Ia memajukan kursinya. Matanya makin menyipit tajam. “Apa ini? Lo selingkuh sama Angga?”
“Selingkuuuh???” Tari memekik dengan kedua mata membulat. “Jangan nuduh keterlaluan gitu, Kak!”
Ata mengangkat bahu. “Gue nggak tau gimana benernya. Tapi kalo emang terbukti elo selingkuh sama Angga ato siapapun, liat aja. Lo nggak akan cuma berurusan sama Ari. Tapi juga sama gue.”
Kata-kata Ata begitu tajam dan mengancam, membuat Tari ingin menangis ketakutan, juga jengkel. Kak Ata ngomong apa sih?! Selingkuh sama Angga?? Kayak nggak ada cowok lain aja yang lebih enak buat diajak selingkuh!
Ata menatap Tari sebentar. “Kayaknya lo suntuk di sini. Jalan, yuk?”
“Kemana?”
“Kemana aja. Ayo!” Tanpa menunggu persetujuan, Ata menarik tangan Tari.

***

Cuaca sudah tidak sepanas tadi siang saat Ata dan Tari berjalan bersisian di sebuah taman kota. Matahari pukul tiga sore tidak lagi bersinar terik dan mulai condong ke barat, sehingga yang tersisa hanya kehangatannya di antara semilir angin.
Taman kota itu berbentuk nyaris persegi. Di setiap sudut ada pohon beringin raksasa yang menaungi sepasang ayunan di bawahnya. Ata mengambil tempat di salah satu ayunan, dan Tari mengikuti jejaknya. Selama beberapa menit, keduanya hanya terdiam sambil beberapa kali menendangkan kaki ke tanah agar dapat berayun.
Ata menghela napas perlahan. “Gue emang bukan Ari, Tar. Tapi gue tau gimana kondisi hati dia. Udah terlalu banyak luka di sana. Tolong, jagain hati Ari. Jangan lukain dia lebih dalem lagi. Dia udah cukup menderita. Jadi, jangan selingkuh, oke?”
Diam-diam Tari menggerutu dalam hati. Siapa juga yang selingkuh?! Jelas ia tahu Ari sangat menderita. Tapi apa Ata tidak tahu kalau hati Tari sendiri juga menderita? Bahwa ia juga kesakitan? Bahwa ia juga terluka? Justru Ari yang tertuduh mau selingkuh!
“Gue sama Nyokap bakal balik ke Malang besok.”
Kalimat Ata membungkam gerutuan Tari. Cewek itu menatap Ata kaget. “Besok? Maksudnya besok Minggu?”
Ata tersenyum kecut. “Iyalah.” Cowok itu menghela napas lagi. Kali ini lebih berat. “Kayaknya percuma gue sama Nyokap tetep tinggal di Jakarta.”
“Apa itu gara-gara... kejadian kemaren sama papanya Kak Ata?” tanya Tari hati-hati.
“Ari cerita ya ke elo?”
Tari baru akan menjawab, namun Ata menyela. Nadanya terdengar getir. “Enak banget ya. Ari selalu punya tempat pelarian buat rasa sakitnya. Dia bisa numpahin semua keluh kesahnya ke elo kapanpun dia butuh. Gue rasa gue juga nggak bakal sesakit ini kalo gue punya cewek kayak elo.”
“Tapi, Kak Ata kan punya Mama...”
“Itu beda, Tar,” tukas Ata. “Gue nggak bisa membagi setiap beban gue ke Nyokap, karena gue tau Nyokap sendiri udah punya beban yang lebih berat, dan gue nggak mau nambah-nambahin lagi. Justru gue yang harus selalu jadi penerima semua keluh kesah Nyokap. Gue yang harus selalu jadi tempat sandaran tiap kali Nyokap capek sama semua bebannya. Tapi gue nggak tau kemana gue sendiri harus bersandar kalo gue capek.”
Ata menundukkan kepala, berusaha meredam emosi. Tari menatapnya bingung, baru menyadari kebenaran kata-kata Ata. Itu artinya presepsinya tentang Ata selama ini salah. Ia kira Ata hidup lebih bahagia bersama ibunya, karena ia mempunyai sosok penuh kasih yang selalu menyayanginya. Berbeda dengan nasib Ari yang harus hidup bersama ayahnya. Namun ternyata kehidupan Ata jauh lebih berat.
Tari ikut menatap tanah di bawahnya, masih sambil berayun pelan.
“Tar?”
“Hm?” Tari menoleh, namun Ata tidak balas menatapnya.
“Boleh gue minta sesuatu?”
“Minta apa, Kak?” tanya Tari penasaran.
“Gue pingin ngerasain, sekali aja, sesuatu yang selama ini Ari dapetin.”
Tari menatap Ata dengan tak mengerti. Ata sendiri tersenyum tipis, masih tidak menoleh ke arahnya. “Lo tau selama ini Ari udah dapetin segalanya, lebih dari gue. Pendidikan, harta, masa remaja... Dan gue cuma minta satu hal, Tar. Untuk kali ini aja.” Ata menarik napas panjang, mendramatisir keadaan. “Mau nggak... lo peluk gue?”
Tari terkesiap mendengar permintaan Ata. Gadis itu terpaku di tempat. Ayunan yang dinaikinya pun ikut bergeming.
Ata tersenyum kecil. “Gue tau lo pasti nggak mau, karena kesetiaan lo ke Ari. Oke, gue ngerti. Gue nggak maksa, kok. Gue cuma... yah, gue lagi butuh sandaran aja. Kalo lo emang nggak mau, nggak pa-pa.”
Tiba-tiba Tari berdiri, dan dalam sedetik ia sudah berpindah ke depan Ata. Ata otomatis menghentikan ayunannya. Tanpa pikir panjang, Tari meraih kepala cowok itu dan menyandarkannya di dadanya.
“Untuk sekali ini aja, Kak,” kata Tari pelan sembari berpikir. Tadi Ata memintanya untuk tidak berselingkuh. Apakah dengan memeluk cowok itu bukan indikasi dari selingkuh?
Sementara Ata yang semula kaget dengan tindakan drastis Tari, kini kembali menemukan kata-katanya. Bahkan ia balas memeluk pinggang Tari erat. “Iya, Tar. Untuk sekali ini aja.” Perlahan, bibirnya mencetak senyum kemenangan.

***

“Menurut lo, yang mana yang lebih bagus?” tanya Ata kepada cewek di depannya.
Cewek itu mengamati dua lembar foto yang baru saja ia cetak. Mendadak, bibirnya meringis lebar. “Fotonya sih kita kasih liat yang sama Angga aja. Dan kalo yang adegan sama elo,” Ia mengeluarkan smartphone dari tasnya, membuka fitur galeri, dan menunjukkan sebuah video kepada Ata.
Ata menonton video yang berdurasi satu menit itu, lalu berdecak puas. “Hebat,” komentarnya. “Simpen dulu video itu. Gue bakal bikin rencana tambahan besok di Malang.”
Binar di kedua mata cewek tadi meredup. Ia menatap Ata dengan kecewa. “Apa lo bener mau balik ke Malang secepat ini?”
“Bener, lah. Lagian gue udah hampir sebulan tinggal di Jakarta.”
“Trus gimana dengan rencana kita?”
“Tenang aja. Udah gue atur. Jadi biar gue udah nggak di Jakarta, lo sama Angga tetep terusin perintah gue. Sisanya serahin ke Ari sama Tari. Mereka bakal ikutin skenario gue.”

***

“Kok lo tiba-tiba mau nginep sini, Tar?” Nyoman menatap Tari heran. Ia kaget saat tadi jam tujuh malam mendapati Tari berdiri di depan rumahnya, membawa ransel besar, dan berkata kalau dia mau menginap sampai besok Senin.
Tari merebahkan diri di tempat tidur Nyoman. “Lagi pingin aja, Man. Lo keberatan?”
“Bukannya keberatan sih,” Nyoman ikut mengempaskan pantat di sebelah Tari. “Tapi kan biasanya lo nginep di rumah Fio. Lo lagi marahan sama dia?”
“Nggak, lah,” jawab Tari langsung. “Cuma, tempat itu terlalu gampang ditebak,” gumamnya.
“Apa? Lo bilang apa?”
“Nggak pa-pa, hehe.” Tari menimpuk wajah Nyoman dengan bantal. “Man, jalan-jalan yuk? Malem Minggu gini masa lo kencan ama bantal?”
“Ayok! Jalan-jalan ke mana? Traktir ya?”
“Huuu, maunya.” Sekali lagi Tari menimpuk Nyoman sambil ketawa, kali ini dengan guling. “Bentar, gue telepon Fio dulu. Ajak dia sekalian.”
“Kalo gitu gue siap-siap deh. Lo keluar dulu sana, gue mau ganti baju.”
Tari melangkah keluar kamar Nyoman sambil menempelkan ponsel ke telinga. “Hei, Fi?” sapanya begitu Fio mengangkat telepon.
“Kenapa, Tar? Jangan bilang lo mau nangis lagi!” kata Fio tajam. Soalnya dia lagi males dengerin Tari nangis. Bikin dia merasa bersalah karena tidak bisa menghibur sahabatnya itu.
Tari meringis, meski tahu Fio tak akan bisa melihatnya. “Nggak, kok. Gue malem ini nginep di rumah Nyoman, dan kita mau jalan abis ini. Ikutan yuk?”
“Waah, kok nggak ngajak-ngajak dari tadi, sih? Kebetulan gue bosen banget di rumah. Oke, gue ke situ abis ini, tungguin ya.”
“Sip siiip...”

***

Akhirnya Fio bergabung untuk menginap di rumah Nyoman. Tari sengaja mematikan ponselnya malam ini. Ia memang sedang berusaha menghindar dari Ari. Paling tidak untuk malam ini dan sehari besok.
“Tar, Kak Ari nelepon gue, nih,” lapor Fio.
“Biarin aja, Fi! Jangan diangkat!”
Fio terpaksa menuruti, meski ia ngeri juga membayangkan konsekuensinya. Tak lama, giliran Nyoman yang ketiban getahnya. “Tar, sekarang Kak Ari nelepon gue,” lapornya.
“Dibilangin biarin aja. Nggak usah diangkat. Pokoknya kalo dia telepon ato SMS jangan ditanggepin, oke?”
Nyoman dan Fio bertatapan. Sebenernya Ari sama Tari sedang ada masalah apa, sih? Fio sudah bisa menebak, pasti ada hubungannya dengan foto yang kemarin Tari ceritakan. Tapi ia belum paham apa maksud Tari dengan menghindar seperti ini.
“Matiin aja deh tu HP lo berdua. Berisik, tau nggak.”
Mau tidak mau Fio dan Nyoman menurut.
Sementara di tempat lain, Ari masih berdiri di depan rumah Fio. Ia mengumpat pelan begitu panggilannya untuk Fio dan Nyoman tidak ada yang diangkat, padahal ia hanya memiliki kontak dua cewek itu, orang-orang yang bisa menghubungkannya dengan Tari.
Tadi ia sudah menelepon Tari berkali-kali. Berkali-kali juga gadis itu me-reject panggilannya. Langsung saja Ari tancap gas ke rumah Tari. Namun gadis itu sudah kabur, sementara sang Mama juga tidak mengetahui kemana Tari pergi karena anaknya tadi hanya pamit mau menginap di rumah teman selama dua malam. Tidak disebutkan siapa teman yang dimaksud Tari.
“Paling ke rumah Fio,” begitu kata Mama Tari.
Sasaran kedua Ari jelas rumah Fio. Tetapi baik Tari maupun si pemilik rumah tidak ada di sana, menginap di rumah teman juga katanya. Teman siapa, sih?!
Kembali Ari mengumpat. Darahnya mulai mendidih karena tingkah laku Tari malam ini. Otaknya mulai menangkap sinyal adanya sesuatu yang tidak beres. Kenapa cewek itu seperti sengaja menghindarinya?
Akhirnya Ari mengirim SMS ke nomor Tari.

Knp kabur2 dr gw?

Sementara SMS untuk Fio dan Nyoman lebih mengerikan lagi isinya.

Gw tau lo lg sma Tari! Awas ya lo brni rejct pgln gw! Liat aja ntr di sklh!

Begitu ancamnya! Gawat nggak tuh? Ari yakin salah satu dari cewek-cewek tadi memang sedang bersama Tari. Atau mungkin malah dua-duanya. Dan Ari yakin Fio atau Nyoman akan keder begitu membaca SMS darinya. Bener-bener tu SMS bisa bawa nightmare bagi siapa saja yang menerimanya, atau yang lebih parah, bisa bikin mati berdiri!
Tapi malang, Ari tidak tahu ponsel milik ketiga cewek tadi sedang dalam keadaan tewas, sementara pemiliknya sekarang lagi ngobrol riuh di kamar Nyoman sambil cekikik-cekikik seusai jajan bakso bareng. Aman, karena rumah Nyoman tidak akan terdeteksi oleh Ari.

***

Ata menyeret kopernya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menjinjing satu lagi tas pakaian besar. Keduanya baru saja turun dari taksi. Mama berjalan di sampingnya dalam diam.
“Ta?” panggil Mama sebelum keduanya memasuki lobi bandara.
Ata menoleh. “Kenapa, Ma?”
Mamanya terlihat gelisah. Tanpa ditanya pun Ata tahu apa yang tengah menggelayuti pikiran Mama. Ia meletakkan tas dan melepas kopernya, lalu memeluk Mama. “Tenang aja, Ma. Kita bisa balik ke Jakarta lagi kapan-kapan,” ucapnya lembut.
Mama menyandarkan kepalanya ke dada Ata, dada yang telah menyertainya selama bertahun-tahun dan menerima semua air matanya. “Tapi... Ari...”
“Ssst, nggak perlu khawatir tentang Ari. Dia anak yang kuat.”
“Tapi... apa nggak sebaiknya kita pamit ke dia?”
Ata menggeleng pelan. “Gimana kalo Ari melarang kita pulang? Atau gimana kalo Ari malah ingin ikut kita ke Malang?”
Mama terdiam. Kata-kata Ata memang benar. Hal-hal yang tadi disebutkan Ata adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi kalau mereka mengabari Ari tentang kepulangan mereka ke Malang hari ini. Dan segalanya akan bertambah runyam. Tidak ada satupun dari mereka yang ingin mengucapkan salam perpisahan. Atau bisa jadi malah Mama yang tidak ingin pulang ke Malang begitu melihat Ari. Jadi lebih baik memang seperti ini. Mereka pulang diam-diam.
“Kita kabarin Ari begitu kita tiba di Malang,” kata Ata lagi.
Mama mendongak, menatap wajah Ata, dan mengangguk pelan. Ata menunduk saat Mama meraih belakang kepalanya, membiarkan wanita yang sangat dicintainya itu mencium keningnya lembut.




           Bersambung...