Sabtu, 29 November 2014

Jingga untuk Matahari #fanfiction-10

Sabtu pagi, Tari membuka matanya yang berat. Tidak perlu cermin untuk memastikan matanya bengkak. Ia berguling-guling sebentar di tempat tidur, masih malas untuk beranjak.
“Tari, bangun! Nggak boleh males-malesan! Ayo sarapan,” teriak Mama dari luar kamarnya.
“Iya, Ma,” sahut Tari, kemudian mengeluh dalam hati. Mama pasti akan bertanya perihal matanya yang bengkak.
Mendadak ponsel di samping bantalnya berdering. Semoga bukan Ari, semoga bukan Ari, doanya dalam hati sambil meraih ponselnya. Dan itu memang bukan Ari. Tari mengerutkan kening membaca nama Ata yang tertera di layar ponsel.
“Ya, Kak Ata?” jawabnya pelan setelah sebelumnya sempat berdebat dengan diri sendiri.
“Bisa ketemuan hari ini?” sahut Ata langsung. Satu hal lagi yang menegaskan bahwa Ata sangat mirip dengan Ari, yaitu keduanya tidak suka basa-basi.
“Ketemuan?” ulang Tari agak kaget. “Mau apa?”
“Ada yang pingin gue bicarain sama elo.”
“Kenapa nggak bicara di telepon aja, Kak?”
“Ck, pokoknya ntar gue tunggu di Central Park, foodcourt. Jam dua siang, oke?”
Dan sambungan terputus begitu saja. Tari menatap layar ponsel dengan kening berkerut semakin dalam. Sebenarnya hari ini dia malas kemana-mana. Ajakan Fio untuk menonton drama Korea terbaru pun kemarin malam ia tolak. Ia ingin mengurung diri seharian ini. Namun Tari tidak punya cukup keberanian untuk menolak ajakan Ata. Jadi dengan ogah-ogahan ia berdiri dan melangkah ke kamar mandi, berusaha sebisa mungkin untuk tidak bertatap muka dengan Mama.

***

Jam setengah dua, Tari telah tiba di mal yang tadi disebutkan Ata. Ia langsung naik ke foodcourt, meski ia tahu masih ada waktu setengah jam dari waktu yang ditentukan. Tari memesan minuman, namun tidak menyentuhnya sama sekali. Ia hanya bergerak-gerak gelisah di kursinya, mulai menyesal karena berangkat terlalu awal.
Ketika ponselnya menjeritkan ringtone, Tari berharap itu dari Ata yang akan memberinya kabar. Namun perkiraannya meleset. Sekarang justru panggilan dari Ari. Tari menggigit bibir, bingung.
“Ya, Kak?” Akhirnya ia angkat panggilan itu, berusaha tidak terdengar takut.
“Lo lagi di mana?”
“Ng... gue lagi jalan di mal sama Fio,” dusta Tari, karena tidak mungkin ia membohongi Ari tentang keberadaannya saat ini. Ari pasti bisa mendengar suasana sekitar yang begitu ramai. Dan lebih tidak mungkin ia jujur mengatakan kalau dia sedang menunggu Ata. “Kenapa?”
“Nggak pa-pa. Nanya aja. Gue...”
Tari tidak mendengar kelanjutan kalimat Ari karena seseorang tiba-tiba duduk di kursi di hadapannya. Matanya membelalak dan tubuhnya membeku. Angga, seseorang yang baru saja duduk di hadapannya, balas menatap Tari lurus-lurus dengan salah satu alis terangkat.
“Tar?” tanya Ari heran karena Tari tidak menanggapi perkataannya.
“Ehm, Kak... sori, gue tutup dulu. Ini... ee... lagi ada diskon kaset-kaset drama Korea. Gue mau bantuin Fio borongin kaset dulu. Ntar telepon lagi ya. Daah.” Tari langsung memutus panggilan, takut Angga keburu bersuara dan Ari akan mendengarnya.
“Halo, Tar,” sapa Angga dengan senyum begitu Tari memasukkan ponsel ke tas. “Kenapa teleponnya ditutup? Gue ganggu ya?”
“Ngapain lo di sini?” balas Tari tanpa menjawab pertanyaan Angga.
Senyuman Angga berubah menjadi senyum geli. “Ini tempat umum, Tar. Siapa aja berhak ke sini. Lagian tempat duduk ini kosong. Daritadi gue nyari tempat kosong susah banget. Dan kebetulan gue liat elo duduk sendiri. Jadi... yah, begitulah.”
“Gue lagi nunggu temen,” ketus Tari, mengisyaratkan kalau bangku yang diduduki Angga sudah ada yang punya. Gadis itu enggan mencari tempat duduk lain, karena – benar kata Angga tadi – foodcourt ini ramai dan penuh. Mendapat tempat duduk kosong memang anugerah tersendiri. Jadi kalau salah satu dari mereka harus mencari tempat duduk lain, silahkan saja tu cowok yang hengkang. Lagian Tari merasa dia yang duduk di sana duluan.
“Temen lo? Siapa? Fio imajiner?” sahut Angga lagi, masih geli. “Sejak kapan lo suka bohongin Ari?”
“Bukan urusan elo,” desis Tari dengan gigi gemeretak. Suaranya mulai menyimpan kemarahan.
“Oke. Kalo gitu gue numpang duduk di sini sampe temen lo dateng. Nggak pa-pa, kan?”
Tari tidak menjawab. Ia membuang muka, enggan bertatapan dengan Angga lebih lama. Keduanya tidak bersuara. Kak Ata ke mana siiih? keluh Tari dalam hati, bolak-balik memeriksa jam tangannya. Memang belum pukul dua. Jadi wajar kalau Ata belum tiba.
“Jadi,” kata Angga tiba-tiba. Ia memajukan kursinya mendekati Tari. “Foto itu nggak ngaruh ya?”
“Gue bilang, bukan urusan elo,” desis Tari lagi.
“Ck, ck, ck,” Angga berdecak. Ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi sambil melipat tangan di depan dada. “Segitu cintanya ya elo sama dia?”
Tak ada sahutan dari bibir Tari. Gadis itu pun masih membuang muka. Namun Angga tak sekalipun melepaskan pandangannya dari Tari. “Tar,” panggilnya, memulai aksinya untuk mengipas bara. “Jujur deh sama gue. Lo pasti pernah meluk Ari, kan? Dan lo juga pasti pernah dicium kan sama dia? Atau mungkin malah elo yang nyium dia?”
Kali ini Tari menoleh. Sepasang matanya mulai memancarkan letupan. Bahkan cewek itu mencondongkan tubuhnya mendekati Angga. “Sori, ya. Gue nggak semurah itu sampe cium-cium cowok sembarangan!”
Mengambil kesempatan itu, Angga ikut mencondongkan tubuhnya ke arah Tari, hingga wajah mereka sekarang hanya berjarak beberapa senti. Hebatnya, Tari tidak menarik mundur kepalanya. Gadis itu sedang emosi sampai-sampai rasa takutnya pada Angga menghilang.
“Gue nggak bilang lo cewek murahan, Tar,” kata Angga lembut. “Jadi, taruhlah jawaban pertanyaan gue tadi “iya”. Pasti lo emang pernah, paling nggak satu kali, berpelukan sama Ari. Nah,” Angga sengaja menggantung kalimatnya sebentar. Semakin ia dekatkan wajahnya. Ditatapnya kedua mata Tari dengan intens. “Pernah lo bayangin nggak, kalau tangan Ari, yang selalu meluk elo itu, juga dipake buat pelukan sama cewek lain? Lo bayangin nggak, kalau bibir Ari itu juga pernah buat ciuman sama cewek lain?”
Reaksi Tari persis seperti yang ia harapkan. Gadis itu terperangah mendengar kenyataan palsu yang baru saja ia bisikkan. Angga yakin bara yang tadi dikipasnya sekarang telah menyala menjadi api. “Gue cowok, Tar,” katanya lagi, “Gue tau gimana tingkah laku kaum kami. Ari nggak akan beda sama cowok-cowok kebanyakan. Nggak mungkin ada cowok yang tahan kalo deket-deket sama cewek, termasuk Ari. Apalagi dia selalu dikelilingi cewek-cewek cantik. Iya, nggak? Silahkan lo sangkal, tapi foto itu udah jadi bukti. Dan juga, gue udah kenal Ari sejak kami SMP, jadi gue tau betul gimana aslinya dia.”
Tari tak mampu berkata-kata. Ia menatap Angga dengan tatapan kosong. Angga kemudian mengusap kepalanya lembut. “Tolong, percaya sama gue, oke? Gue cuma nggak mau lo nyesel nanti,” katanya sebelum pergi.

***

Beberapa menit setelah Angga pergi, Tari menelungkupkan tubuh ke meja dengan kedua lengan sebagai bantalan. Pusing. Setiap kata yang keluar dari mulut Angga berhasil mempengaruhinya. Bukannya ia tidak percaya pada Ari, tapi... foto itu... kata-kata Angga tentang kaum cowok tadi... Apa ada notasi lain untuk menyebutkan kata “tidak percaya”?
Memang Tari tidak tahu bagaimana rasanya jadi cowok. Apalagi jadi Ari yang notabene idola cewek satu sekolah. Ia tidak tahu bagaimana kehidupan Ari di balik gedung kelas 12 sana, terlebih di luar sekolah. Ia percaya saja dengan rumor bahwa Ari tidak pernah pacaran, tidak pernah tertarik dengan cewek-cewek yang selalu mengelilinginya, dan bla, bla, bla. Tapi semua itu hanya rumor! Dan yang namanya rumor alias gosip belum tentu benar. Ajaibnya, rumor itulah yang menjadi tonggak utama kepercayaannya kepada Ari selama ini.
Tari kaget sendiri mendapati kenyataan tadi, tidak menyangka dirinya bisa sebodoh itu.
“Tar?”
Tari spontan mengangkat wajah dan menegakkan tubuh mendengar suara berat yang memanggilnya. Seseorang yang berwajah begitu serupa dengan pacarnya kini telah duduk di tempat Angga duduk tadi. Tari hampir saja kena serangan jantung kalau tidak segera menyadari bahwa cowok di depannya ini adalah Ata, bukan Ari.
“Kenapa?” tanya Ata. “Lo sakit? Kok wajahnya pucet gitu?”
“Cuma pusing dikit.” Tari menggeleng-geleng cepat. “Jadi, apa yang mau Kak Ata bicarain?”
Ata menatapnya lama, tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Tari lama kelamaan jengah juga ditatap seperti itu.
“Kok Kak Ata baru aja dateng? Sekarang udah jam dua lebih,” protes Tari karena Ata sepertinya tidak berniat menjawab pertanyaannya.
Perlahan, kedua mata Ata menyipit, membuat Tari diam-diam bergidik. “Lo tau? Gue udah sampe sini dari tadi.”
Tari terkejut mendengar kata-kata Ata. Sejak tadi? Tadi kapan? Apa Ata...
“Ya, gue liat elo sama Angga,” kata Ata menjawab pertanyaan batin Tari. Ia memajukan kursinya. Matanya makin menyipit tajam. “Apa ini? Lo selingkuh sama Angga?”
“Selingkuuuh???” Tari memekik dengan kedua mata membulat. “Jangan nuduh keterlaluan gitu, Kak!”
Ata mengangkat bahu. “Gue nggak tau gimana benernya. Tapi kalo emang terbukti elo selingkuh sama Angga ato siapapun, liat aja. Lo nggak akan cuma berurusan sama Ari. Tapi juga sama gue.”
Kata-kata Ata begitu tajam dan mengancam, membuat Tari ingin menangis ketakutan, juga jengkel. Kak Ata ngomong apa sih?! Selingkuh sama Angga?? Kayak nggak ada cowok lain aja yang lebih enak buat diajak selingkuh!
Ata menatap Tari sebentar. “Kayaknya lo suntuk di sini. Jalan, yuk?”
“Kemana?”
“Kemana aja. Ayo!” Tanpa menunggu persetujuan, Ata menarik tangan Tari.

***

Cuaca sudah tidak sepanas tadi siang saat Ata dan Tari berjalan bersisian di sebuah taman kota. Matahari pukul tiga sore tidak lagi bersinar terik dan mulai condong ke barat, sehingga yang tersisa hanya kehangatannya di antara semilir angin.
Taman kota itu berbentuk nyaris persegi. Di setiap sudut ada pohon beringin raksasa yang menaungi sepasang ayunan di bawahnya. Ata mengambil tempat di salah satu ayunan, dan Tari mengikuti jejaknya. Selama beberapa menit, keduanya hanya terdiam sambil beberapa kali menendangkan kaki ke tanah agar dapat berayun.
Ata menghela napas perlahan. “Gue emang bukan Ari, Tar. Tapi gue tau gimana kondisi hati dia. Udah terlalu banyak luka di sana. Tolong, jagain hati Ari. Jangan lukain dia lebih dalem lagi. Dia udah cukup menderita. Jadi, jangan selingkuh, oke?”
Diam-diam Tari menggerutu dalam hati. Siapa juga yang selingkuh?! Jelas ia tahu Ari sangat menderita. Tapi apa Ata tidak tahu kalau hati Tari sendiri juga menderita? Bahwa ia juga kesakitan? Bahwa ia juga terluka? Justru Ari yang tertuduh mau selingkuh!
“Gue sama Nyokap bakal balik ke Malang besok.”
Kalimat Ata membungkam gerutuan Tari. Cewek itu menatap Ata kaget. “Besok? Maksudnya besok Minggu?”
Ata tersenyum kecut. “Iyalah.” Cowok itu menghela napas lagi. Kali ini lebih berat. “Kayaknya percuma gue sama Nyokap tetep tinggal di Jakarta.”
“Apa itu gara-gara... kejadian kemaren sama papanya Kak Ata?” tanya Tari hati-hati.
“Ari cerita ya ke elo?”
Tari baru akan menjawab, namun Ata menyela. Nadanya terdengar getir. “Enak banget ya. Ari selalu punya tempat pelarian buat rasa sakitnya. Dia bisa numpahin semua keluh kesahnya ke elo kapanpun dia butuh. Gue rasa gue juga nggak bakal sesakit ini kalo gue punya cewek kayak elo.”
“Tapi, Kak Ata kan punya Mama...”
“Itu beda, Tar,” tukas Ata. “Gue nggak bisa membagi setiap beban gue ke Nyokap, karena gue tau Nyokap sendiri udah punya beban yang lebih berat, dan gue nggak mau nambah-nambahin lagi. Justru gue yang harus selalu jadi penerima semua keluh kesah Nyokap. Gue yang harus selalu jadi tempat sandaran tiap kali Nyokap capek sama semua bebannya. Tapi gue nggak tau kemana gue sendiri harus bersandar kalo gue capek.”
Ata menundukkan kepala, berusaha meredam emosi. Tari menatapnya bingung, baru menyadari kebenaran kata-kata Ata. Itu artinya presepsinya tentang Ata selama ini salah. Ia kira Ata hidup lebih bahagia bersama ibunya, karena ia mempunyai sosok penuh kasih yang selalu menyayanginya. Berbeda dengan nasib Ari yang harus hidup bersama ayahnya. Namun ternyata kehidupan Ata jauh lebih berat.
Tari ikut menatap tanah di bawahnya, masih sambil berayun pelan.
“Tar?”
“Hm?” Tari menoleh, namun Ata tidak balas menatapnya.
“Boleh gue minta sesuatu?”
“Minta apa, Kak?” tanya Tari penasaran.
“Gue pingin ngerasain, sekali aja, sesuatu yang selama ini Ari dapetin.”
Tari menatap Ata dengan tak mengerti. Ata sendiri tersenyum tipis, masih tidak menoleh ke arahnya. “Lo tau selama ini Ari udah dapetin segalanya, lebih dari gue. Pendidikan, harta, masa remaja... Dan gue cuma minta satu hal, Tar. Untuk kali ini aja.” Ata menarik napas panjang, mendramatisir keadaan. “Mau nggak... lo peluk gue?”
Tari terkesiap mendengar permintaan Ata. Gadis itu terpaku di tempat. Ayunan yang dinaikinya pun ikut bergeming.
Ata tersenyum kecil. “Gue tau lo pasti nggak mau, karena kesetiaan lo ke Ari. Oke, gue ngerti. Gue nggak maksa, kok. Gue cuma... yah, gue lagi butuh sandaran aja. Kalo lo emang nggak mau, nggak pa-pa.”
Tiba-tiba Tari berdiri, dan dalam sedetik ia sudah berpindah ke depan Ata. Ata otomatis menghentikan ayunannya. Tanpa pikir panjang, Tari meraih kepala cowok itu dan menyandarkannya di dadanya.
“Untuk sekali ini aja, Kak,” kata Tari pelan sembari berpikir. Tadi Ata memintanya untuk tidak berselingkuh. Apakah dengan memeluk cowok itu bukan indikasi dari selingkuh?
Sementara Ata yang semula kaget dengan tindakan drastis Tari, kini kembali menemukan kata-katanya. Bahkan ia balas memeluk pinggang Tari erat. “Iya, Tar. Untuk sekali ini aja.” Perlahan, bibirnya mencetak senyum kemenangan.

***

“Menurut lo, yang mana yang lebih bagus?” tanya Ata kepada cewek di depannya.
Cewek itu mengamati dua lembar foto yang baru saja ia cetak. Mendadak, bibirnya meringis lebar. “Fotonya sih kita kasih liat yang sama Angga aja. Dan kalo yang adegan sama elo,” Ia mengeluarkan smartphone dari tasnya, membuka fitur galeri, dan menunjukkan sebuah video kepada Ata.
Ata menonton video yang berdurasi satu menit itu, lalu berdecak puas. “Hebat,” komentarnya. “Simpen dulu video itu. Gue bakal bikin rencana tambahan besok di Malang.”
Binar di kedua mata cewek tadi meredup. Ia menatap Ata dengan kecewa. “Apa lo bener mau balik ke Malang secepat ini?”
“Bener, lah. Lagian gue udah hampir sebulan tinggal di Jakarta.”
“Trus gimana dengan rencana kita?”
“Tenang aja. Udah gue atur. Jadi biar gue udah nggak di Jakarta, lo sama Angga tetep terusin perintah gue. Sisanya serahin ke Ari sama Tari. Mereka bakal ikutin skenario gue.”

***

“Kok lo tiba-tiba mau nginep sini, Tar?” Nyoman menatap Tari heran. Ia kaget saat tadi jam tujuh malam mendapati Tari berdiri di depan rumahnya, membawa ransel besar, dan berkata kalau dia mau menginap sampai besok Senin.
Tari merebahkan diri di tempat tidur Nyoman. “Lagi pingin aja, Man. Lo keberatan?”
“Bukannya keberatan sih,” Nyoman ikut mengempaskan pantat di sebelah Tari. “Tapi kan biasanya lo nginep di rumah Fio. Lo lagi marahan sama dia?”
“Nggak, lah,” jawab Tari langsung. “Cuma, tempat itu terlalu gampang ditebak,” gumamnya.
“Apa? Lo bilang apa?”
“Nggak pa-pa, hehe.” Tari menimpuk wajah Nyoman dengan bantal. “Man, jalan-jalan yuk? Malem Minggu gini masa lo kencan ama bantal?”
“Ayok! Jalan-jalan ke mana? Traktir ya?”
“Huuu, maunya.” Sekali lagi Tari menimpuk Nyoman sambil ketawa, kali ini dengan guling. “Bentar, gue telepon Fio dulu. Ajak dia sekalian.”
“Kalo gitu gue siap-siap deh. Lo keluar dulu sana, gue mau ganti baju.”
Tari melangkah keluar kamar Nyoman sambil menempelkan ponsel ke telinga. “Hei, Fi?” sapanya begitu Fio mengangkat telepon.
“Kenapa, Tar? Jangan bilang lo mau nangis lagi!” kata Fio tajam. Soalnya dia lagi males dengerin Tari nangis. Bikin dia merasa bersalah karena tidak bisa menghibur sahabatnya itu.
Tari meringis, meski tahu Fio tak akan bisa melihatnya. “Nggak, kok. Gue malem ini nginep di rumah Nyoman, dan kita mau jalan abis ini. Ikutan yuk?”
“Waah, kok nggak ngajak-ngajak dari tadi, sih? Kebetulan gue bosen banget di rumah. Oke, gue ke situ abis ini, tungguin ya.”
“Sip siiip...”

***

Akhirnya Fio bergabung untuk menginap di rumah Nyoman. Tari sengaja mematikan ponselnya malam ini. Ia memang sedang berusaha menghindar dari Ari. Paling tidak untuk malam ini dan sehari besok.
“Tar, Kak Ari nelepon gue, nih,” lapor Fio.
“Biarin aja, Fi! Jangan diangkat!”
Fio terpaksa menuruti, meski ia ngeri juga membayangkan konsekuensinya. Tak lama, giliran Nyoman yang ketiban getahnya. “Tar, sekarang Kak Ari nelepon gue,” lapornya.
“Dibilangin biarin aja. Nggak usah diangkat. Pokoknya kalo dia telepon ato SMS jangan ditanggepin, oke?”
Nyoman dan Fio bertatapan. Sebenernya Ari sama Tari sedang ada masalah apa, sih? Fio sudah bisa menebak, pasti ada hubungannya dengan foto yang kemarin Tari ceritakan. Tapi ia belum paham apa maksud Tari dengan menghindar seperti ini.
“Matiin aja deh tu HP lo berdua. Berisik, tau nggak.”
Mau tidak mau Fio dan Nyoman menurut.
Sementara di tempat lain, Ari masih berdiri di depan rumah Fio. Ia mengumpat pelan begitu panggilannya untuk Fio dan Nyoman tidak ada yang diangkat, padahal ia hanya memiliki kontak dua cewek itu, orang-orang yang bisa menghubungkannya dengan Tari.
Tadi ia sudah menelepon Tari berkali-kali. Berkali-kali juga gadis itu me-reject panggilannya. Langsung saja Ari tancap gas ke rumah Tari. Namun gadis itu sudah kabur, sementara sang Mama juga tidak mengetahui kemana Tari pergi karena anaknya tadi hanya pamit mau menginap di rumah teman selama dua malam. Tidak disebutkan siapa teman yang dimaksud Tari.
“Paling ke rumah Fio,” begitu kata Mama Tari.
Sasaran kedua Ari jelas rumah Fio. Tetapi baik Tari maupun si pemilik rumah tidak ada di sana, menginap di rumah teman juga katanya. Teman siapa, sih?!
Kembali Ari mengumpat. Darahnya mulai mendidih karena tingkah laku Tari malam ini. Otaknya mulai menangkap sinyal adanya sesuatu yang tidak beres. Kenapa cewek itu seperti sengaja menghindarinya?
Akhirnya Ari mengirim SMS ke nomor Tari.

Knp kabur2 dr gw?

Sementara SMS untuk Fio dan Nyoman lebih mengerikan lagi isinya.

Gw tau lo lg sma Tari! Awas ya lo brni rejct pgln gw! Liat aja ntr di sklh!

Begitu ancamnya! Gawat nggak tuh? Ari yakin salah satu dari cewek-cewek tadi memang sedang bersama Tari. Atau mungkin malah dua-duanya. Dan Ari yakin Fio atau Nyoman akan keder begitu membaca SMS darinya. Bener-bener tu SMS bisa bawa nightmare bagi siapa saja yang menerimanya, atau yang lebih parah, bisa bikin mati berdiri!
Tapi malang, Ari tidak tahu ponsel milik ketiga cewek tadi sedang dalam keadaan tewas, sementara pemiliknya sekarang lagi ngobrol riuh di kamar Nyoman sambil cekikik-cekikik seusai jajan bakso bareng. Aman, karena rumah Nyoman tidak akan terdeteksi oleh Ari.

***

Ata menyeret kopernya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menjinjing satu lagi tas pakaian besar. Keduanya baru saja turun dari taksi. Mama berjalan di sampingnya dalam diam.
“Ta?” panggil Mama sebelum keduanya memasuki lobi bandara.
Ata menoleh. “Kenapa, Ma?”
Mamanya terlihat gelisah. Tanpa ditanya pun Ata tahu apa yang tengah menggelayuti pikiran Mama. Ia meletakkan tas dan melepas kopernya, lalu memeluk Mama. “Tenang aja, Ma. Kita bisa balik ke Jakarta lagi kapan-kapan,” ucapnya lembut.
Mama menyandarkan kepalanya ke dada Ata, dada yang telah menyertainya selama bertahun-tahun dan menerima semua air matanya. “Tapi... Ari...”
“Ssst, nggak perlu khawatir tentang Ari. Dia anak yang kuat.”
“Tapi... apa nggak sebaiknya kita pamit ke dia?”
Ata menggeleng pelan. “Gimana kalo Ari melarang kita pulang? Atau gimana kalo Ari malah ingin ikut kita ke Malang?”
Mama terdiam. Kata-kata Ata memang benar. Hal-hal yang tadi disebutkan Ata adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi kalau mereka mengabari Ari tentang kepulangan mereka ke Malang hari ini. Dan segalanya akan bertambah runyam. Tidak ada satupun dari mereka yang ingin mengucapkan salam perpisahan. Atau bisa jadi malah Mama yang tidak ingin pulang ke Malang begitu melihat Ari. Jadi lebih baik memang seperti ini. Mereka pulang diam-diam.
“Kita kabarin Ari begitu kita tiba di Malang,” kata Ata lagi.
Mama mendongak, menatap wajah Ata, dan mengangguk pelan. Ata menunduk saat Mama meraih belakang kepalanya, membiarkan wanita yang sangat dicintainya itu mencium keningnya lembut.




           Bersambung...

5 komentar:

  1. Balasan
    1. Maaf, belom sempet bikin lanjutannya, mungkin minggu-minggu ke depan yaa :)

      Hapus
  2. Nyeseeekkk baca ini. Tapi bagus banget.
    Lanjut ya. Selalu dinanti. Fanfiksi ini 'sesuatu' dah.
    Tapi mohon jgn lama2 bikin ari-tari nyesek, reader gak kuaaatt #lambaikantangankekamera

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih atas penantiannya, wkwk
      Beneran nih? "Sesuatu" seperti apa maksud kamu? :p
      Liat aja deh ya ntar kelanjutannya gimana, bisa jadi malah tambah nyesek, hoho *author ketawa jahat*

      Hapus
  3. wiiihhhh keren abiss fanfict'nya kak .. penasaran ama lanjutannya sumpahh ... :D
    ditunggu lanjutannya kak , jangan lama-lama y kak ... hehe *maksa dkit :p

    BalasHapus