Rabu, 12 November 2014

Jingga untuk Matahari #fanfiction-8

Ini kali ketiga dalam minggu ini Ari mendatangi saung tua favoritnya. Sejak pagi tadi, ia masih belum bergerak dari posisinya. Duduk diam memeluk lutut di ujung saung. Kepalanya yang tadi penuh dengan pemikiran-pemikiran rumit, sekarang dibiarkan kosong. Satu keputusan telah diambil. Ia tidak bisa meninggalkan Tari sekarang. Terlalu tiba-tiba. Ia akan menyusul Mama dan Ata ke Malang setelah ia lulus SMA. Tidak peduli apa yang akan terjadi nanti. Ia tidak ingin kehilangan Mama dan Ata untuk kedua kalinya. Jadi yang perlu ia lakukan sekarang hanyalah bertahan menghadapi Papa dan melepas kepergian Mama untuk sementara.
Masalah Tari, ia belum memutuskan bagaimana nantinya. Mungkin Tari bisa menerima alasan kenapa dia harus pergi. Mungkin hubungan mereka tetap bisa terjaga walau jarak membentang sepanjang pulau Jawa. Atau mungkin juga mereka harus mengakhiri hubungan ini. Terserah. Ia menyerahkan urusan ini kepada waktu. Pada intinya, tekad Ari untuk pergi dari Jakarta sudah bulat.

***

“Lo udah dapet telepon dari Kak Ari lagi?” tanya Tari begitu Oji dan Ridho datang ke kelasnya di jam istirahat pertama ini.
Oji dan Ridho saling berpandangan sejenak, kemudian sama-sama menggeleng. “Biarin dulu aja, Tar. Lo kayak nggak tau cowok aja. Ntar juga balik sendiri,” saran Ridho.
Oji mengangguk. “Iya, Tar. Makan dulu yuk? Laper nih.”
Kedua cowok itu menggiring Tari dan Fio ke kantin. Saat jam istirahat kedua dan bel pulang berbunyi pun Oji dan Ridho setia menempeli Tari dan Fio. Karena dari yang mereka dengar, masalah dengan Angga kali ini agak gawat. Jadi mereka tidak berani membuat kesalahan dalam urusan menjaga Tari.
Mobil Ridho yang berisi tiga penumpang lain selain si pemilik mobil bahkan belum sempat berhenti sepenuhnya di depan rumah Tari saat cewek itu membuka pintu penumpang dengan sikap tidak sabar dan meloncat turun. Ridho, Oji, dan Fio segera tahu penyebabnya. Ari. Cowok itu tengah berdiri di bawah teriknya matahari di depan pagar rumah Tari.
“Hei,” Ari menyambut ketidaksabaran Tari dengan senyum tipis.
“Elo...” Dengan geram, Tari mendorong dada Ari keras-keras. “Ke mana aja lo? Kenapa nggak ngasih gue kabar? Jahat! Gue khawatir, tau! Gue cemas setengah mati begitu gue denger elo kepergok Bokap saat ke rumah Tante Lidya! Kenapa elo nggak cerita? Kenapa malah ngilang gitu aja, hah?!” Dorongan itu berubah menjadi pukulan bertubi-tubi di dada Ari.
Ari menangkap kedua pergelangan tangan Tari, menahannya, dan menoleh ke arah Ridho yang baru saja turun dari mobil. Hanya dengan gerakan dagu, Ari menyuruhnya pergi. Ridho mengangguk.
“Biar mereka bicara. Gue anterin lo pulang, Fi,” kata Ridho begitu kembali duduk di belakang kemudi.
Ari baru mencurahkan perhatiannya kepada Tari saat mobil Ridho tak lagi terlihat. Cewek itu terengah-engah dengan wajah memerah, dan matanya berkaca-kaca.
“Maaf,” kata Ari pelan. “Bisa kita lanjutin pembicaraan ini di dalem?”
Tari berusaha mengatur nafasnya. “Oke. Tapi lo harus cerita semuanya.” Ia melepaskan diri dari cekalan Ari, lalu melangkah masuk. Kini keduanya duduk berhadapan di sofa ruang tamu.
“Jadi?” tuntut Tari setelah beberapa saat Ari tetap tidak membuka mulut.
Ari menghela napas. “Dari mana lo tau gue kepergok Bokap waktu ke rumahnya Tante Lidya?”
“Ata. Gue telepon Ata kemaren malem.”
“Dia cerita?” Ari agak terperanjat.
“Nggak. Cuma bilang kalo kalian ribut besar. Kenapa lo nggak hubungin gue langsung? Apa lo nggak tau gue sampe nggak bisa mikir apa-apa selain mikirin kemungkinan elo di mana, lagi ngapain, ato bahkan lagi diapain?” Tari bersiap meledak lagi.
Salah satu tangan Ari terulur, mengusap sebelah pipi Tari hati-hati, melunakkan kemarahan cewek itu. “Gue baik-baik aja, Tar. Jangan khawatir,” katanya, masih enggan untuk menyinggung masalah kemarin sore di hadapan Tari. “Lo sendiri gimana? Sori, gue nggak sempet nanyain keadaan lo tadi malem. HP gue mati dan gue ketiduran.”
Tari menangkup tangan Ari yang mengusap pipinya, menahannya di sana, meresapi kehangatan dari telapak tangan itu. Kecemasan yang menyesakkannya sejak tadi malam perlahan menguap. “Gue juga baik-baik aja. Ridho sama Oji jagain gue baik-baik hari ini,” sahut Tari lirih.
Keputusan itu mulai goyah. Menatap Tari yang terlihat kacau setelah ia tinggal tanpa kabar yang bahkan belum mencapai 24 jam membuat Ari harus berpikir ulang untuk meninggalkan gadis ini. Tanpa pikir panjang, ia meraih Tari ke dadanya dan memeluknya erat. “Mulai sekarang, gue yang akan selalu jagain elo tiap hari.”

***

Di foodcourt sebuah mal, Ata menatap cewek yang duduk di depannya, yang dari tadi mengamatinya sambil tersenyum manis.
“Gimana? Sukses bantuin si Angga?” tanya Ata sambil menghirup cappucino-nya.
“Agak ngerepotin sih. Tapi yaaah, lumayan lah. Gue jadi ada kegiatan daripada cuma ongkang-ongkang kaki. Dan gue udah nggak sabar liat Ari sama Tari bubaran. Enek tau nggak ngeliat mereka jalan berdua!”
Ata tersenyum tipis. Matanya mengamati cewek yang tengah cemberut itu. Bisa ia lihat betapa cewek ini memuja saudara kembarnya. Mungkin alasan itu juga yang membuat cewek ini selalu tersenyum saat bicara padanya. Berpura-pura bahwa yang duduk di depannya adalah Ari yang asli, bukan seseorang yang kebetulan berwajah serupa dengan cowok itu.
Seperti yang telah dilakukannya jutaan kali, Ata meminta maaf dalam hati. Kepada cewek yang ia jadikan pion dalam permainannya. Yang secara sukarela membantu mewujudkan rencananya dengan janji palsu bahwa dia bisa merebut kembali sang pangeran pujaan hati. Tapi tetap, maaf itu tak akan terucap dari bibir Ata. Yang ia pedulikan hanyalah rencananya bisa berjalan sesuai harapan, kemudian ia akan membiarkan pion-pion tadi berjatuhan.
Senyum tipis di bibir Ata berubah menjadi senyum dingin. “Tolong bilang ke Angga, kita nggak punya banyak waktu. Oke?”

***

“Tari bilang dia belom maafin elo,” sambut Gita begitu Angga menemuinya di kamar.
Kedua alis Angga terangkat. Ia diam sejenak. “Bilang apalagi dia?”
“Jangan sampe gue ikut campur masalah dia sama Kak Ari lagi.”
Angga mengangguk-angguk. “Mulai sekarang, kalo Ari berani nyentuh elo dikit aja, bilang ke gue.” Cowok itu membanting tubuhnya ke tempat tidur Gita.
Gita menatap Angga dengan kesal, kemudian bangkit dari posisinya yang dari tadi duduk menghadap meja belajar, melangkah mendekati Angga dan duduk di sebelah sepupunya itu. “Bisa nggak sih lo kasih tau gue ada masalah apa sebenernya? Kenapa gue selalu terlibat tapi nggak tau apa-apa?”
“Udahlah. Lo nggak usah khawatirin apa-apa lagi. Gue jamin sekarang lo aman di Airlangga,” sahut Angga.
Gita menghela napas. Untuk sesaat, keduanya terdiam.
“Gue sayang sama Tari.”
“Apa?” Kepala Gita menoleh cepat ke arah sepupunya. “Lo bilang apa tadi?”
Angga menolak menatap Gita. Ia memilih menatap langit-langit kamar ketika pengakuan itu terucap untuk kedua kalinya. “Gue sayang sama Tari.”
Gita terperangah. “Gila lo! Masih aja belom cukup nyari masalah sama Kak Ari! Lo mau perang dunia ketiga pecah di Indonesia gara-gara elo sama Kak Ari rebutan Tari? Kira-kira dong, Gaaa.”
Ujung-ujung bibir Angga terangkat sedikit. “Itu urusan kami. Tapi gue yakin sebentar lagi Tari jadi milik gue. Tinggal menunggu kesalahan langkah dikit aja dari Ari, dan cewek itu bakal lepas dari genggamannya.”
Gita tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sakit kepalanya yang baru sembuh kemarin mendadak kumat mendengar kata-kata Angga.

***

Begitu tiba di sekolah keesokan harinya, Ari teringat masih ada urusan yang belum terselesaikan dengan seseorang. Seseorang yang ikut memegang andil dalam kasus penculikan Tari oleh Brawijaya, yang mengharuskan ia menerima semua hinaan dan berujung pada perjanjian busuk ciptaan Angga. Sekarang orang itu harus menerima akibatnya!
Setelah mengantar Tari hingga depan pintu kelas, Ari melesat ke gedung kelas 12. Tidak butuh waktu lama untuk menemukan mangsanya.
Vero sedang duduk mengobrol bersama teman gengnya. Tiba-tiba saja tubuhnya disentakkan ke belakang dengan tarikan keras, dan detik itu juga ia berhadapan dengan seseorang yang selalu mengisi mimpi-mimpi terliarnya. Tanpa sadar cewek itu menahan napas. Meski Ari yang berdiri di depannya kini menatapnya dengan sorot tajam mengancam, sentuhan tangan Ari yang mencengkeram bahunya tetap memunculkan hasrat tersendiri baginya.
“Urusan kita belom selesai, inget?” desis Ari tajam.
Tanpa takut, Vero membalas tatapan Ari. “Kalian pergi dulu. Gue ada urusan di sini,” perintahnya pada anggota gengnya yang lain.
Anggota The Scissors tidak pergi, mereka hanya menjauh sedikit, menciptakan jarak dengan dua orang yang tengah bertikai itu. Begitu pula dengan beberapa anak kelas 12 lain yang ikut penasaran, yang bela-belain berhenti dan melupakan niat mereka mengerjakan PR di kelas hanya untuk menonton kedua pentolan sekolah mereka berseteru.
“Lo emang kudu dihajar ya. Kayaknya kata-kata aja sekarang nggak cukup bikin elo diem,” kata Ari tajam.
“Hajar aja. Gue terima,” sambut Vero dengan senyum. “Tapi elo nggak bakal berani, kan? Apalagi di depan orang banyak gini. Elo cuma bisa ngancem.”
“Lupa pembicaraan terakhir kita?” geram Ari, kehabisan kesabaran.
“Tentang tato, lawan tanding gue, dan segala macem itu? Jelas gue nggak lupa, lah. Tapi yang gue tahu, Ari sayang, itu juga anceman kosong dari elo.”
Vero tidak bisa menahan diri lagi untuk bicara kepada bibir yang selalu menggodanya tiap bergerak. Entah apa konsekuensi yang akan diterimanya setelah ini, makhluk di hadapannya terlalu keren untuk tidak ia hadiahi ciuman. Jadi ia melawan cengkeraman Ari yang sedang lengah, maju selangkah, mengalungkan lengan ke leher Ari, dan mencium cowok itu, tepat di bibir!
Ketersimaan Ari hanya bertahan sedetik, dan seketika digantikan oleh kemarahan yang langsung menyentuh titik puncaknya. Sekali lagi prinsip dan pantangan yang ia berlakukan dilanggar oleh Vero. Dan kali ini cukup parah. Di depan begitu banyak mata teman-teman seangkatan! Semua orang sempat terperangah dalam keheningan, kemudian sorak sorai pecah. Berbagai macam teriakan terlontar dari mulut-mulut usil di sekeliling mereka.
“Mesum! Mesum!”
“Lanjutin di toilet aja sono!”
“Dasar elo, Ri! Masih nggak puas sama Tari?”
“Tari buat gue aja, deh!”
Ari ingin menghajar satu per satu mulut yang berceletuk tadi, tapi prioritas utama sasarannya adalah Vero. Dengan kasar, ia melepas lengan Vero dari tubuhnya, mendorong cewek itu hingga jatuh tersungkur.
Vero mendongak menatap Ari yang tengah melangkah mendekatinya dengan sorot mata dan bahasa tubuh seperti malaikat maut yang siap mencabut nyawa saat ini juga. Mampus! Mampus! Mampus! jeritnya dalam hati.
Ari yang telah mempersetankan gender, meraih kerah kemeja Vero, menariknya berdiri. “Elo emang jenis orang yang nggak pantes dikasih ampun. Ternyata salah selama ini gue nahan sabar buat elo. Pantangan gue buat nggak nyakitin cewek udah nggak berlaku sekarang,” desis Ari, kali ini benar-benar buta oleh kemarahan.
Sebelah tangan Ari terangkat, siap mendaratkan pukulan ke wajah Vero. Sampai seseorang menahan tangannya. Seseorang lagi sekuat tenaga melepaskan cengkeraman Ari di kemeja Vero, mendorong cewek yang wajahnya pucat pasi itu menjauh.
“Pergi,” desis Ridho pada Vero. Cewek itu langsung mengambil langkah seribu bersama gengnya.
Ari berontak dan berteriak kalap kepada dua temannya yang telah membiarkan mangsanya kabur. “Brengsek lo berdua! Tu cewek mau gue kirim ke neraka! Lepasin!”
Ridho dengan cekatan mengunci kedua tangan Ari. Susah payah bersama Oji, ia menyeret temannya yang mengamuk untuk keluar dari kerumunan penonton. Tidak ke toilet. Tidak ke kelas mereka. Ridho dan Oji membawa Ari ke kelas Tari.

***

“Tar! Tari! Kak Ari...!” Nyoman berlari tergopoh-gopoh menghampiri Tari sambil berteriak.
“Ada apa? Kak Ari kenapa?” Tari yang tadinya sedang mengobrol dengan Fio kontan berdiri panik.
“Lo liat sendiri di luar!”
Tari segera berlari keluar kelas, diikuti teman sekelasnya. Ia terperangah begitu melihat Ari yang tengah menghajar kedua sahabatnya sendiri dengan membabi buta, tidak jauh dari kelas mereka.
“Kak! Kak Ari!” Tari tidak bodoh dengan mencoba-coba menahan tangan Ari yang tengah terangkat di udara, ataupun menempatkan dirinya di antara Ari dan kedua sahabatnya yang sedang ketiban peran menjadi samsak dadakan. Begitu-begitu dia tidak ingin ikutan bonyok. Jadi dia hanya berteriak di dekat cowok itu. “Kak Ari! Berhenti!”
“Biarin, Tar!” sahut Ridho yang masih sibuk berkelit dari serangan Ari, tapi wajahnya juga telah babak belur.
“Iya, biarin dulu. Elo minggir gih sana daripada kena tonjok kayak kita,” sambung Oji yang sudut bibirnya mulai berdarah.
“Tapi, Kak... kalian...”
“Kami nggak pa-pa,” kata Oji lagi, dan satu pukulan telak menghantamnya di hidung, membuat cowok itu terjengkang seketika. Ridho menarik tubuh Ari menjauhi Oji.
Tari bingung setengah mati, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Hingga akhirnya dia hanya berdiri diam menonton Ridho dan Oji sibuk menghindari Ari tanpa berusaha membalas serangan-serangan itu. Hasilnya, Oji dan Ridho terkapar di tanah, sementara Ari jatuh terduduk tidak jauh dari mereka. Sadar mereka tengah menjadi tontonan adik kelas, susah payah Ridho bangkit berdiri sambil menarik Oji bersamanya. Ketika melewati Ari, ia menepuk bahu temannya sekilas.
“Udah lega?” Tanpa menunggu jawaban dari Ari, ia melanjutkan langkah mendekati Tari. “Gue serahin dia ke elo. Kami mau ke UKS dulu.” Setelah itu ia berlalu bersama Oji yang nyaris pingsan di bahunya.
Tari melangkah mendekati Ari. Dengan sedikit paksaan, ia menarik tubuh Ari hingga berdiri dan menggandengnya menjauhi kerumunan, masuk ke gudang persembunyian. Masih tersisa sepuluh menit lagi sebelum bel masuk berbunyi.
Tubuh Ari kembali meluruh dengan bersandar pada tembok. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Sementara Tari mengambil tempat duduk di sebelahnya. Mereka hanya berdiam diri melewati menit demi menit.
“Gue nggak suka lo kasar gitu, Kak.” Akhirnya Tari angkat bicara. “Apalagi sama sahabat-sahabat lo sendiri. Apa sih yang lo pikirin sampe mukulin mereka kayak gitu? Mereka salah apa?” Kekecewaan Tari meluap. Cewek itu sudah tidak tahan menonton sisi brutal Ari yang kembali dipamerkan. Tanpa sadar, air matanya jatuh. “Apa lo nggak tau gimana takutnya gue saat liat lo marah apalagi ngamuk? Apa lo nggak tau sebesar apa harapan gue biar lo kembali ke sosok Kak Ari yang dulu nyamar jadi Kak Ata? Apa sesusah itu, Kak, jadi orang baik kayak dulu?”
Kepala Ari serasa dihantam, begitu juga dadanya. Ia tidak tahu kalau Tari begitu kecewa. Dan Tari juga tidak tahu kalau sebenarnya dulu ia bukan sedang menyamar menjadi Ata, tetapi menjadi dirinya sendiri. Memerankan sifatnya yang asli.
Ari mengangkat wajah. Tangannya bergerak cepat menghapus air mata dari kedua pipi Tari. “Maaf,” katanya lirih.
“Minta maaf sama Kak Oji sama Kak Ridho. Mereka yang elo pukulin dari tadi.”
Ari mengangguk. “Gue akan meminta maaf ke mereka setelah ini.” Ia berdiri, lalu mengulurkan tangan untuk membantu Tari berdiri. Keduanya tidak tahu. Seiring tetesan air mata Tari dan kejatuhan Ari, rencana Ata tengah berjalan sesuai harapan.

***

Ari melangkah memasuki UKS. Di dalamnya, dua orang adik kelas penjaga UKS sedang membersihkan luka di wajah Ridho dan Oji. Oji bahkan tidak sanggup duduk. Ia hanya berbaring diam sementara adik kelas tadi dengan hati-hati membersihkan darah di ujung bibirnya.
“Tolong keluar,” perintah Ari pelan. Kedua adik kelas dan kedua sahabatnya menoleh. “Gue mau ngomong sama mereka.”
Tanpa diperintah dua kali, kedua adik kelas tadi membereskan peralatan mereka dan bergegas keluar. Ari menutup pintu UKS. Lalu ia melangkah mendekati kedua sahabatnya, menempatkan diri di sebelah Ridho yang duduk di tempat tidur yang berseberangan dengan Oji.
“Gue nggak tau musti ngomong apa,” kata Ari pelan. Ia menunduk menatap sepatunya. “Maaf, terima kasih, gue rasa itu nggak ada gunanya. Yang perlu kalian tau, gue bener-bener nyesel.”
“Nggak pa-pa. Kami emang sengaja jadiin diri kami samsak daripada lo nyakitin si Vero, yang urusannya bakal berbuntut-buntut ntar kalo sama dia.” Ridho merangkul bahu Ari di sebelahnya. “Lo bisa mulai cerita apa yang sebenernya terjadi. Inget, Ri. Lo punya telinga gue dan telinga Oji yang siap dengerin semua masalah lo kapanpun. Lo nggak perlu menutup diri di depan kami.”
Ari menghembuskan napas berat. Menyinggung kembali masalah Angga adalah hal yang menyentuh titik sensitifnya. “Oke, gue akan cerita semuanya. Tapi sebelom itu gue anter kalian ke rumah sakit.”
“Ngapain ke rumah sakit? Tulang kami nggak ada yang patah, Bos. Serius, deh,” bantah Oji yang memang membenci rumah sakit.
“Iya, tapi bibir lo sobek gitu. Butuh dijahit.” Ari berdiri mendekati Oji. Sorot penyesalan terpancar jelas dari matanya begitu melihat wajah bonyok sahabat setianya. “Gue minta maaf. Lo boleh mukul gue sebanyak yang elo mau nanti.”
“Oh, kalo itu sih nggak perlu, Bos,” sahut Oji, kemudian meringis menahan nyeri. “Gue cuma butuh asupan gizi aja. Laper nih, belom sempet sarapan.”
Ari tersenyum tipis. “Gue traktir kalian sepuasnya kapanpun dan apapun yang kalian mau. Bilang aja.”

Oji dan Ridho langsung tersenyum cerah.





Bersambung...

6 komentar:

  1. wiiihhh keren ceritanya kakk
    di tunggu lanjutannya , jangan lama-lama kak
    nda sabar nih pingin baca lanjutannya .... :D
    (y)

    BalasHapus
  2. Makasiih ^^
    Untuk lanjutannya mungkin masih agak lama yaa, soalnya skrg baru musim tugas, ulangan, trus minggu depan udah tes semesteran

    BalasHapus
  3. sama kak, saya juga gitu
    tapi please lahh kak, luangkan waktu untuk mengupload lanjutannya demi kita penggemar fanfic kakak.. gimana aq mau konsen belajar kalo mikirin bayangan lanjutannya teruss :(

    BalasHapus
  4. Kak Aulia, temen-temen aku sekelas banyak yang suka juga sama novel JDS & JDE trus juga sama-sama lagi nungguin JUM.. Mereka smua aq suruh baca fanfic buatan kakak ini bwt ngobatin kangen sama Ari&Tari, dan mereka semua suka banget sama fanfic buatan kakak ini.. Mereka bilang KEREN,, tulisannya mirip sama gaya tulisan kak Esti,, beneran deh (y)

    Disini aq mewakili mereka semua, MENUNTUT LANJUTANNYA SECEPATNYA!!! buruan Kak Aulia, kita nggk konsen belajar nih :(

    BalasHapus
  5. Kak, ini email aq zuhriamazizah@yahoo.co.id

    Kapan-kapan ngobrol yuk :)

    BalasHapus
  6. halo Zuhria, aku seneng banget sama apresiasi kamu dan temen2 kamu, makasih yaa :)
    aku juga maunya hadap laptop berjam-jam sambil mikirin kelanjutan ceritanya, trus upload
    tapi sayangnya waktu aku sekarang nggak sebebas dulu2
    udah hampir ujian juga, mikir masuk PT mana, dll
    sibuk bgt deh pokoknya
    tapi gini deh.. aku bakal sebisa mungkin luangin waktu buat nerusin cerita ini, soalnya aku sendiri juga penasaran sama ending yang bakal muncul di kepala aku nantinya, hihi...
    Once again, thank you so much for you and your friends
    sampein salamku buat mereka ;)

    BalasHapus