Ini
kali ketiga dalam minggu ini Ari mendatangi saung tua favoritnya. Sejak pagi
tadi, ia masih belum bergerak dari posisinya. Duduk diam memeluk lutut di ujung
saung. Kepalanya yang tadi penuh dengan pemikiran-pemikiran rumit, sekarang
dibiarkan kosong. Satu keputusan telah diambil. Ia tidak bisa meninggalkan Tari
sekarang. Terlalu tiba-tiba. Ia akan menyusul Mama dan Ata ke Malang setelah ia
lulus SMA. Tidak peduli apa yang akan terjadi nanti. Ia tidak ingin kehilangan
Mama dan Ata untuk kedua kalinya. Jadi yang perlu ia lakukan sekarang hanyalah
bertahan menghadapi Papa dan melepas kepergian Mama untuk sementara.
Masalah
Tari, ia belum memutuskan bagaimana nantinya. Mungkin Tari bisa menerima alasan
kenapa dia harus pergi. Mungkin hubungan mereka tetap bisa terjaga walau jarak
membentang sepanjang pulau Jawa. Atau mungkin juga mereka harus mengakhiri
hubungan ini. Terserah. Ia menyerahkan urusan ini kepada waktu. Pada intinya,
tekad Ari untuk pergi dari Jakarta sudah bulat.
***
“Lo
udah dapet telepon dari Kak Ari lagi?” tanya Tari begitu Oji dan Ridho datang
ke kelasnya di jam istirahat pertama ini.
Oji
dan Ridho saling berpandangan sejenak, kemudian sama-sama menggeleng. “Biarin dulu
aja, Tar. Lo kayak nggak tau cowok aja. Ntar juga balik sendiri,” saran Ridho.
Oji
mengangguk. “Iya, Tar. Makan dulu yuk? Laper nih.”
Kedua
cowok itu menggiring Tari dan Fio ke kantin. Saat jam istirahat kedua dan bel
pulang berbunyi pun Oji dan Ridho setia menempeli Tari dan Fio. Karena dari
yang mereka dengar, masalah dengan Angga kali ini agak gawat. Jadi mereka tidak
berani membuat kesalahan dalam urusan menjaga Tari.
Mobil
Ridho yang berisi tiga penumpang lain selain si pemilik mobil bahkan belum
sempat berhenti sepenuhnya di depan rumah Tari saat cewek itu membuka pintu
penumpang dengan sikap tidak sabar dan meloncat turun. Ridho, Oji, dan Fio
segera tahu penyebabnya. Ari. Cowok itu tengah berdiri di bawah teriknya
matahari di depan pagar rumah Tari.
“Hei,”
Ari menyambut ketidaksabaran Tari dengan senyum tipis.
“Elo...”
Dengan geram, Tari mendorong dada Ari keras-keras. “Ke mana aja lo? Kenapa
nggak ngasih gue kabar? Jahat! Gue khawatir, tau! Gue cemas setengah mati
begitu gue denger elo kepergok Bokap saat ke rumah Tante Lidya! Kenapa elo
nggak cerita? Kenapa malah ngilang gitu aja, hah?!” Dorongan itu berubah
menjadi pukulan bertubi-tubi di dada Ari.
Ari
menangkap kedua pergelangan tangan Tari, menahannya, dan menoleh ke arah Ridho
yang baru saja turun dari mobil. Hanya dengan gerakan dagu, Ari menyuruhnya
pergi. Ridho mengangguk.
“Biar
mereka bicara. Gue anterin lo pulang, Fi,” kata Ridho begitu kembali duduk di
belakang kemudi.
Ari
baru mencurahkan perhatiannya kepada Tari saat mobil Ridho tak lagi terlihat.
Cewek itu terengah-engah dengan wajah memerah, dan matanya berkaca-kaca.
“Maaf,”
kata Ari pelan. “Bisa kita lanjutin pembicaraan ini di dalem?”
Tari
berusaha mengatur nafasnya. “Oke. Tapi lo harus cerita semuanya.” Ia melepaskan
diri dari cekalan Ari, lalu melangkah masuk. Kini keduanya duduk berhadapan di
sofa ruang tamu.
“Jadi?”
tuntut Tari setelah beberapa saat Ari tetap tidak membuka mulut.
Ari
menghela napas. “Dari mana lo tau gue kepergok Bokap waktu ke rumahnya Tante
Lidya?”
“Ata.
Gue telepon Ata kemaren malem.”
“Dia
cerita?” Ari agak terperanjat.
“Nggak.
Cuma bilang kalo kalian ribut besar. Kenapa lo nggak hubungin gue langsung? Apa
lo nggak tau gue sampe nggak bisa mikir apa-apa selain mikirin kemungkinan elo
di mana, lagi ngapain, ato bahkan lagi diapain?” Tari bersiap meledak lagi.
Salah
satu tangan Ari terulur, mengusap sebelah pipi Tari hati-hati, melunakkan
kemarahan cewek itu. “Gue baik-baik aja, Tar. Jangan khawatir,” katanya, masih
enggan untuk menyinggung masalah kemarin sore di hadapan Tari. “Lo sendiri
gimana? Sori, gue nggak sempet nanyain keadaan lo tadi malem. HP gue mati dan
gue ketiduran.”
Tari
menangkup tangan Ari yang mengusap pipinya, menahannya di sana, meresapi
kehangatan dari telapak tangan itu. Kecemasan yang menyesakkannya sejak tadi
malam perlahan menguap. “Gue juga baik-baik aja. Ridho sama Oji jagain gue
baik-baik hari ini,” sahut Tari lirih.
Keputusan
itu mulai goyah. Menatap Tari yang terlihat kacau setelah ia tinggal tanpa
kabar yang bahkan belum mencapai 24 jam membuat Ari harus berpikir ulang untuk
meninggalkan gadis ini. Tanpa pikir panjang, ia meraih Tari ke dadanya dan
memeluknya erat. “Mulai sekarang, gue yang akan selalu jagain elo tiap hari.”
***
Di
foodcourt sebuah mal, Ata menatap
cewek yang duduk di depannya, yang dari tadi mengamatinya sambil tersenyum
manis.
“Gimana?
Sukses bantuin si Angga?” tanya Ata sambil menghirup cappucino-nya.
“Agak
ngerepotin sih. Tapi yaaah, lumayan lah. Gue jadi ada kegiatan daripada cuma ongkang-ongkang
kaki. Dan gue udah nggak sabar liat Ari sama Tari bubaran. Enek tau nggak
ngeliat mereka jalan berdua!”
Ata
tersenyum tipis. Matanya mengamati cewek yang tengah cemberut itu. Bisa ia
lihat betapa cewek ini memuja saudara kembarnya. Mungkin alasan itu juga yang
membuat cewek ini selalu tersenyum saat bicara padanya. Berpura-pura bahwa yang
duduk di depannya adalah Ari yang asli, bukan seseorang yang kebetulan berwajah
serupa dengan cowok itu.
Seperti
yang telah dilakukannya jutaan kali, Ata meminta maaf dalam hati. Kepada cewek
yang ia jadikan pion dalam permainannya. Yang secara sukarela membantu mewujudkan
rencananya dengan janji palsu bahwa dia bisa merebut kembali sang pangeran
pujaan hati. Tapi tetap, maaf itu tak akan terucap dari bibir Ata. Yang ia pedulikan
hanyalah rencananya bisa berjalan sesuai harapan, kemudian ia akan membiarkan
pion-pion tadi berjatuhan.
Senyum
tipis di bibir Ata berubah menjadi senyum dingin. “Tolong bilang ke Angga, kita
nggak punya banyak waktu. Oke?”
***
“Tari
bilang dia belom maafin elo,” sambut Gita begitu Angga menemuinya di kamar.
Kedua
alis Angga terangkat. Ia diam sejenak. “Bilang apalagi dia?”
“Jangan
sampe gue ikut campur masalah dia sama Kak Ari lagi.”
Angga
mengangguk-angguk. “Mulai sekarang, kalo Ari berani nyentuh elo dikit aja,
bilang ke gue.” Cowok itu membanting tubuhnya ke tempat tidur Gita.
Gita
menatap Angga dengan kesal, kemudian bangkit dari posisinya yang dari tadi
duduk menghadap meja belajar, melangkah mendekati Angga dan duduk di sebelah
sepupunya itu. “Bisa nggak sih lo kasih tau gue ada masalah apa sebenernya?
Kenapa gue selalu terlibat tapi nggak tau apa-apa?”
“Udahlah.
Lo nggak usah khawatirin apa-apa lagi. Gue jamin sekarang lo aman di
Airlangga,” sahut Angga.
Gita
menghela napas. Untuk sesaat, keduanya terdiam.
“Gue
sayang sama Tari.”
“Apa?”
Kepala Gita menoleh cepat ke arah sepupunya. “Lo bilang apa tadi?”
Angga
menolak menatap Gita. Ia memilih menatap langit-langit kamar ketika pengakuan
itu terucap untuk kedua kalinya. “Gue sayang sama Tari.”
Gita
terperangah. “Gila lo! Masih aja belom cukup nyari masalah sama Kak Ari! Lo mau
perang dunia ketiga pecah di Indonesia gara-gara elo sama Kak Ari rebutan Tari?
Kira-kira dong, Gaaa.”
Ujung-ujung
bibir Angga terangkat sedikit. “Itu urusan kami. Tapi gue yakin sebentar lagi
Tari jadi milik gue. Tinggal menunggu kesalahan langkah dikit aja dari Ari, dan
cewek itu bakal lepas dari genggamannya.”
Gita
tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sakit kepalanya yang baru sembuh kemarin mendadak
kumat mendengar kata-kata Angga.
***
Begitu
tiba di sekolah keesokan harinya, Ari teringat masih ada urusan yang belum
terselesaikan dengan seseorang. Seseorang yang ikut memegang andil dalam kasus
penculikan Tari oleh Brawijaya, yang mengharuskan ia menerima semua hinaan dan
berujung pada perjanjian busuk ciptaan Angga. Sekarang orang itu harus menerima
akibatnya!
Setelah
mengantar Tari hingga depan pintu kelas, Ari melesat ke gedung kelas 12. Tidak
butuh waktu lama untuk menemukan mangsanya.
Vero
sedang duduk mengobrol bersama teman gengnya. Tiba-tiba saja tubuhnya disentakkan
ke belakang dengan tarikan keras, dan detik itu juga ia berhadapan dengan
seseorang yang selalu mengisi mimpi-mimpi terliarnya. Tanpa sadar cewek itu
menahan napas. Meski Ari yang berdiri di depannya kini menatapnya dengan sorot
tajam mengancam, sentuhan tangan Ari yang mencengkeram bahunya tetap
memunculkan hasrat tersendiri baginya.
“Urusan
kita belom selesai, inget?” desis Ari tajam.
Tanpa
takut, Vero membalas tatapan Ari. “Kalian pergi dulu. Gue ada urusan di sini,”
perintahnya pada anggota gengnya yang lain.
Anggota
The Scissors tidak pergi, mereka hanya menjauh sedikit, menciptakan jarak
dengan dua orang yang tengah bertikai itu. Begitu pula dengan beberapa anak
kelas 12 lain yang ikut penasaran, yang bela-belain berhenti dan melupakan niat
mereka mengerjakan PR di kelas hanya untuk menonton kedua pentolan sekolah
mereka berseteru.
“Lo
emang kudu dihajar ya. Kayaknya kata-kata aja sekarang nggak cukup bikin elo
diem,” kata Ari tajam.
“Hajar
aja. Gue terima,” sambut Vero dengan senyum. “Tapi elo nggak bakal berani, kan?
Apalagi di depan orang banyak gini. Elo cuma bisa ngancem.”
“Lupa
pembicaraan terakhir kita?” geram Ari, kehabisan kesabaran.
“Tentang
tato, lawan tanding gue, dan segala macem itu? Jelas gue nggak lupa, lah. Tapi
yang gue tahu, Ari sayang, itu juga anceman kosong dari elo.”
Vero
tidak bisa menahan diri lagi untuk bicara kepada bibir yang selalu menggodanya
tiap bergerak. Entah apa konsekuensi yang akan diterimanya setelah ini, makhluk
di hadapannya terlalu keren untuk tidak ia hadiahi ciuman. Jadi ia melawan
cengkeraman Ari yang sedang lengah, maju selangkah, mengalungkan lengan ke
leher Ari, dan mencium cowok itu, tepat di bibir!
Ketersimaan
Ari hanya bertahan sedetik, dan seketika digantikan oleh kemarahan yang
langsung menyentuh titik puncaknya. Sekali lagi prinsip dan pantangan yang ia
berlakukan dilanggar oleh Vero. Dan kali ini cukup parah. Di depan begitu
banyak mata teman-teman seangkatan! Semua orang sempat terperangah dalam
keheningan, kemudian sorak sorai pecah. Berbagai macam teriakan terlontar dari
mulut-mulut usil di sekeliling mereka.
“Mesum!
Mesum!”
“Lanjutin
di toilet aja sono!”
“Dasar
elo, Ri! Masih nggak puas sama Tari?”
“Tari
buat gue aja, deh!”
Ari
ingin menghajar satu per satu mulut yang berceletuk tadi, tapi prioritas utama
sasarannya adalah Vero. Dengan kasar, ia melepas lengan Vero dari tubuhnya,
mendorong cewek itu hingga jatuh tersungkur.
Vero
mendongak menatap Ari yang tengah melangkah mendekatinya dengan sorot mata dan
bahasa tubuh seperti malaikat maut yang siap mencabut nyawa saat ini juga. Mampus! Mampus! Mampus! jeritnya dalam
hati.
Ari
yang telah mempersetankan gender, meraih kerah kemeja Vero, menariknya berdiri.
“Elo emang jenis orang yang nggak pantes dikasih ampun. Ternyata salah selama
ini gue nahan sabar buat elo. Pantangan gue buat nggak nyakitin cewek udah
nggak berlaku sekarang,” desis Ari, kali ini benar-benar buta oleh kemarahan.
Sebelah
tangan Ari terangkat, siap mendaratkan pukulan ke wajah Vero. Sampai seseorang
menahan tangannya. Seseorang lagi sekuat tenaga melepaskan cengkeraman Ari di
kemeja Vero, mendorong cewek yang wajahnya pucat pasi itu menjauh.
“Pergi,”
desis Ridho pada Vero. Cewek itu langsung mengambil langkah seribu bersama
gengnya.
Ari
berontak dan berteriak kalap kepada dua temannya yang telah membiarkan mangsanya
kabur. “Brengsek lo berdua! Tu cewek mau gue kirim ke neraka! Lepasin!”
Ridho
dengan cekatan mengunci kedua tangan Ari. Susah payah bersama Oji, ia menyeret
temannya yang mengamuk untuk keluar dari kerumunan penonton. Tidak ke toilet.
Tidak ke kelas mereka. Ridho dan Oji membawa Ari ke kelas Tari.
***
“Tar!
Tari! Kak Ari...!” Nyoman berlari tergopoh-gopoh menghampiri Tari sambil
berteriak.
“Ada
apa? Kak Ari kenapa?” Tari yang tadinya sedang mengobrol dengan Fio kontan
berdiri panik.
“Lo
liat sendiri di luar!”
Tari
segera berlari keluar kelas, diikuti teman sekelasnya. Ia terperangah begitu
melihat Ari yang tengah menghajar kedua sahabatnya sendiri dengan membabi buta,
tidak jauh dari kelas mereka.
“Kak!
Kak Ari!” Tari tidak bodoh dengan mencoba-coba menahan tangan Ari yang tengah
terangkat di udara, ataupun menempatkan dirinya di antara Ari dan kedua
sahabatnya yang sedang ketiban peran menjadi samsak dadakan. Begitu-begitu dia
tidak ingin ikutan bonyok. Jadi dia hanya berteriak di dekat cowok itu. “Kak
Ari! Berhenti!”
“Biarin,
Tar!” sahut Ridho yang masih sibuk berkelit dari serangan Ari, tapi wajahnya
juga telah babak belur.
“Iya,
biarin dulu. Elo minggir gih sana daripada kena tonjok kayak kita,” sambung Oji
yang sudut bibirnya mulai berdarah.
“Tapi,
Kak... kalian...”
“Kami
nggak pa-pa,” kata Oji lagi, dan satu pukulan telak menghantamnya di hidung,
membuat cowok itu terjengkang seketika. Ridho menarik tubuh Ari menjauhi Oji.
Tari
bingung setengah mati, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Hingga akhirnya
dia hanya berdiri diam menonton Ridho dan Oji sibuk menghindari Ari tanpa
berusaha membalas serangan-serangan itu. Hasilnya, Oji dan Ridho terkapar di
tanah, sementara Ari jatuh terduduk tidak jauh dari mereka. Sadar mereka tengah
menjadi tontonan adik kelas, susah payah Ridho bangkit berdiri sambil menarik
Oji bersamanya. Ketika melewati Ari, ia menepuk bahu temannya sekilas.
“Udah
lega?” Tanpa menunggu jawaban dari Ari, ia melanjutkan langkah mendekati Tari.
“Gue serahin dia ke elo. Kami mau ke UKS dulu.” Setelah itu ia berlalu bersama
Oji yang nyaris pingsan di bahunya.
Tari
melangkah mendekati Ari. Dengan sedikit paksaan, ia menarik tubuh Ari hingga
berdiri dan menggandengnya menjauhi kerumunan, masuk ke gudang persembunyian.
Masih tersisa sepuluh menit lagi sebelum bel masuk berbunyi.
Tubuh
Ari kembali meluruh dengan bersandar pada tembok. Ia menutupi wajahnya dengan
kedua tangan. Sementara Tari mengambil tempat duduk di sebelahnya. Mereka hanya
berdiam diri melewati menit demi menit.
“Gue
nggak suka lo kasar gitu, Kak.” Akhirnya Tari angkat bicara. “Apalagi sama
sahabat-sahabat lo sendiri. Apa sih yang lo pikirin sampe mukulin mereka kayak
gitu? Mereka salah apa?” Kekecewaan Tari meluap. Cewek itu sudah tidak tahan
menonton sisi brutal Ari yang kembali dipamerkan. Tanpa sadar, air matanya
jatuh. “Apa lo nggak tau gimana takutnya gue saat liat lo marah apalagi ngamuk?
Apa lo nggak tau sebesar apa harapan gue biar lo kembali ke sosok Kak Ari yang
dulu nyamar jadi Kak Ata? Apa sesusah itu, Kak, jadi orang baik kayak dulu?”
Kepala
Ari serasa dihantam, begitu juga dadanya. Ia tidak tahu kalau Tari begitu
kecewa. Dan Tari juga tidak tahu kalau sebenarnya dulu ia bukan sedang menyamar
menjadi Ata, tetapi menjadi dirinya sendiri. Memerankan sifatnya yang asli.
Ari
mengangkat wajah. Tangannya bergerak cepat menghapus air mata dari kedua pipi
Tari. “Maaf,” katanya lirih.
“Minta
maaf sama Kak Oji sama Kak Ridho. Mereka yang elo pukulin dari tadi.”
Ari
mengangguk. “Gue akan meminta maaf ke mereka setelah ini.” Ia berdiri, lalu
mengulurkan tangan untuk membantu Tari berdiri. Keduanya tidak tahu. Seiring tetesan
air mata Tari dan kejatuhan Ari, rencana Ata tengah berjalan sesuai harapan.
***
Ari
melangkah memasuki UKS. Di dalamnya, dua orang adik kelas penjaga UKS sedang
membersihkan luka di wajah Ridho dan Oji. Oji bahkan tidak sanggup duduk. Ia
hanya berbaring diam sementara adik kelas tadi dengan hati-hati membersihkan
darah di ujung bibirnya.
“Tolong
keluar,” perintah Ari pelan. Kedua adik kelas dan kedua sahabatnya menoleh.
“Gue mau ngomong sama mereka.”
Tanpa
diperintah dua kali, kedua adik kelas tadi membereskan peralatan mereka dan
bergegas keluar. Ari menutup pintu UKS. Lalu ia melangkah mendekati kedua
sahabatnya, menempatkan diri di sebelah Ridho yang duduk di tempat tidur yang
berseberangan dengan Oji.
“Gue
nggak tau musti ngomong apa,” kata Ari pelan. Ia menunduk menatap sepatunya.
“Maaf, terima kasih, gue rasa itu nggak ada gunanya. Yang perlu kalian tau, gue
bener-bener nyesel.”
“Nggak
pa-pa. Kami emang sengaja jadiin diri kami samsak daripada lo nyakitin si Vero,
yang urusannya bakal berbuntut-buntut ntar kalo sama dia.” Ridho merangkul bahu
Ari di sebelahnya. “Lo bisa mulai cerita apa yang sebenernya terjadi. Inget,
Ri. Lo punya telinga gue dan telinga Oji yang siap dengerin semua masalah lo
kapanpun. Lo nggak perlu menutup diri di depan kami.”
Ari
menghembuskan napas berat. Menyinggung kembali masalah Angga adalah hal yang
menyentuh titik sensitifnya. “Oke, gue akan cerita semuanya. Tapi sebelom itu
gue anter kalian ke rumah sakit.”
“Ngapain
ke rumah sakit? Tulang kami nggak ada yang patah, Bos. Serius, deh,” bantah Oji
yang memang membenci rumah sakit.
“Iya,
tapi bibir lo sobek gitu. Butuh dijahit.” Ari berdiri mendekati Oji. Sorot
penyesalan terpancar jelas dari matanya begitu melihat wajah bonyok sahabat
setianya. “Gue minta maaf. Lo boleh mukul gue sebanyak yang elo mau nanti.”
“Oh,
kalo itu sih nggak perlu, Bos,” sahut Oji, kemudian meringis menahan nyeri.
“Gue cuma butuh asupan gizi aja. Laper nih, belom sempet sarapan.”
Ari
tersenyum tipis. “Gue traktir kalian sepuasnya kapanpun dan apapun yang kalian
mau. Bilang aja.”
Oji
dan Ridho langsung tersenyum cerah.
Bersambung...
wiiihhh keren ceritanya kakk
BalasHapusdi tunggu lanjutannya , jangan lama-lama kak
nda sabar nih pingin baca lanjutannya .... :D
(y)
Makasiih ^^
BalasHapusUntuk lanjutannya mungkin masih agak lama yaa, soalnya skrg baru musim tugas, ulangan, trus minggu depan udah tes semesteran
sama kak, saya juga gitu
BalasHapustapi please lahh kak, luangkan waktu untuk mengupload lanjutannya demi kita penggemar fanfic kakak.. gimana aq mau konsen belajar kalo mikirin bayangan lanjutannya teruss :(
Kak Aulia, temen-temen aku sekelas banyak yang suka juga sama novel JDS & JDE trus juga sama-sama lagi nungguin JUM.. Mereka smua aq suruh baca fanfic buatan kakak ini bwt ngobatin kangen sama Ari&Tari, dan mereka semua suka banget sama fanfic buatan kakak ini.. Mereka bilang KEREN,, tulisannya mirip sama gaya tulisan kak Esti,, beneran deh (y)
BalasHapusDisini aq mewakili mereka semua, MENUNTUT LANJUTANNYA SECEPATNYA!!! buruan Kak Aulia, kita nggk konsen belajar nih :(
Kak, ini email aq zuhriamazizah@yahoo.co.id
BalasHapusKapan-kapan ngobrol yuk :)
halo Zuhria, aku seneng banget sama apresiasi kamu dan temen2 kamu, makasih yaa :)
BalasHapusaku juga maunya hadap laptop berjam-jam sambil mikirin kelanjutan ceritanya, trus upload
tapi sayangnya waktu aku sekarang nggak sebebas dulu2
udah hampir ujian juga, mikir masuk PT mana, dll
sibuk bgt deh pokoknya
tapi gini deh.. aku bakal sebisa mungkin luangin waktu buat nerusin cerita ini, soalnya aku sendiri juga penasaran sama ending yang bakal muncul di kepala aku nantinya, hihi...
Once again, thank you so much for you and your friends
sampein salamku buat mereka ;)