Minggu, 26 Oktober 2014

Jingga untuk Matahari #fanfiction-7

Angga berdiri di tempatnya sampai Ari dan Tari tidak terlihat lagi, menatap kepergian keduanya tanpa suara.
“Ga...”
Satu jotosan keras melayang begitu Bram menepuk bahunya.
“Gue nggak nyuruh lo cium dia, bego!” bentaknya. “Dasar lo! Nyolong-nyolong kesempatan! Gue aja belom pernah nyium dia!”
“Sori, sori,” Bram mengangkat kedua tangan tanda menyerah. “Niatnya biar Ari tambah marah gitu.”
Angga mencekal kerah kemeja Bram. “Gue juga marah, tau!” desisnya tajam. “Inget. Satu kali ini aja, oke? Lain kali nggak ada ampun!”
Bram buru-buru mengangguk. Bukan karena takut oleh jotosan Angga yang mungkin akan bersarang lebih banyak di wajah atau tubuhnya. Dia lebih takut Gita yang notabene sepupu Angga semakin jauh di luar jangkauan kalau dirinya membuat sahabatnya ini marah.
Angga melepaskan cekalannya dan melangkah masuk lagi ke kantin. Matanya menangkap tas oranye di atas jaket hitamnya. Tas sekolah yang pasti sama sekali tidak ada di pikiran Tari setelah kejadian tadi. Angga meraih tas tadi serta jaketnya.
“Gue balik dulu,” pamitnya sambil lalu.
Sementara melangkahkan kaki ke tempat motornya terparkir, Angga memikirkan kemungkinan kemana Ari membawa Tari pergi. Tidak mungkin ke rumah gadis itu. Oleh karena Angga terlalu mengenal musuhnya, ia tahu tak akan ada orang yang bisa menebak seperti apa jalan pikiran Ari saat sedang marah atau kalut. Akhirnya ia membawa pulang tas sekolah milik Tari.
Lima menit berlalu semenjak Angga duduk di depan meja belajarnya dalam diam. Dentaman musik yang biasanya memekakkan telinga kini tak terdengar. Kamar itu ia biarkan sunyi. Tatapannya tidak lepas dari sesuatu di hadapannya. Tas oranye milik Tari. Mungkin saja gadis itu membencinya sekarang, setelah apa yang dia lakukan tadi. Mungkin Tari tidak ingin menemuinya lagi. Angga telah memikirkan segala konsekuensi itu, dan ketika semuanya merasuk lebih jauh ke dalam hatinya, ia menyesal.
Tapi bukan berarti akan ia lepaskan begitu saja gadis itu. Justru ia akan lebih menggencarkan usahanya jika memang untuk sekarang Tari memilih untuk menjauhinya. Entah sejak kapan kesadaran tentang hal ini datang. Dia menyayangi Tari. Sampai saat ini, Angga masih sering merutuki kebodohannya dulu saat dia memutuskan untuk mundur. Membiarkan Tari jatuh ke genggaman Ari.
Begitu tersadar dari lamunan, Angga mendapati semua isi tas Tari sudah berserakan di meja belajarnya. Seolah yang memiliki rasa penasaran bukanlah otaknya, melainkan kedua tangannya, yang kemudian bergerak mengambil sebuah buku dan memeriksanya. Buku tulis Kimia. Tercetak senyum tipis di bibir Angga saat melihat coretan-coretan berwarna-warni di buku itu. Tanda centang hijau, gabungan centang dan silang berwarna shocking pink, dan juga tanda silang merah dengan kata “SALAH” yang ukurannya nggak tanggung-tanggung. Coretan dari Ari yang bahkan dibiarkan oleh Tari tetap di sana. Satu bukti bahwa gadis itu memang menyayangi musuh bebuyutannya.
Tangan Angga tanpa sengaja menyentuh kamus Inggris-Indonesia milik Tari. Bibirnya tersenyum semakin lebar. Kamus yang menjadi saksi bisu awal perkenalannya dengan Tari. Angga membuka halaman pertama dan melihat tulisan Tari, X-9 yang mengenalkannya pada nama gadis itu. Tangannya membalik-balik halaman kamus tadi sekilas. Mendadak ia menyadari di bagian tengah kamus seperti ada yang mengganjal. Sesuatu yang terselip. Angga membuka halaman itu, dan kedua matanya melebar seketika. Satu kelopak bunga memang terselip di sana. Mawar merah. Bahkan semerbak harumnya masih tersisa, menguar ke udara di atasnya.
“Ini...” Kalau perkiraannya tidak salah, satu kelopak bunga ini berasal dari setangkai mawar merah yang ia berikan pagi tadi kepada si pemilik kamus. Kini kelopak itu sudah di genggamannya. Keyakinan atas perkiraan tadi kembali memunculkan senyum Angga.
“Ternyata lo masih punya rasa buat gue,” gumamnya lirih.

***

“Gue titip Tari ya, Fi,” kata Ari kepada Fio. Mereka sudah berada di rumah Fio sekarang. Tari sedang mandi, jadi Ari dan Fio duduk di ruang tamu untuk berbicara.
“Iya. Tenang aja, Kak.”
“Jangan tanyain apa-apa dulu soal kejadian tadi, apalagi soal Angga. Lain kali gue ceritain ke elo.”
Perkataan Ari malah semakin membuat Fio penasaran. Dia sudah mendengar Tari diculik kawanan Brawijaya tadi, saat Fio berlari ke tempat parkir untuk mencari Tari, tidak lama setelah Ari pergi. Oji yang memberitahunya. Sebenarnya Fio masih ingin bertanya-tanya, tapi batal begitu menyadari Vero dan gengnya juga ada di sana.
“Dia lagi trauma parah,” lanjut Ari lagi, sambil tangannya meremas rambutnya sendiri. Cowok itu mengerang frustasi. “Kalo bisa, sebenernya gue mau nemenin dia malem ini. Tapi gue nggak bisa,” desahnya. “Langsung telepon gue kalo ada apa-apa, Fi. Gue balik dulu.”
Fio mengantar Ari sampai depan rumah. Tiba di kamar, Tari sudah selesai mandi. Sahabatnya itu duduk diam di kasur hanya dengan handuk kimononya. Rambut panjangnya basah terurai, dan matanya menatap kosong ke depan. Fio menarik napas panjang.
“Pake baju gue dulu ya, Tar. Abis ini gue ke rumah lo ambilin baju sama seragam buat besok.”
Tari mengangguk tak acuh. Fio berjalan ke lemari dan mengambilkan pakaian untuk Tari. Untung ukuran badan mereka sebelas-dua belas.
“Nih, lo pake dulu biar nggak dingin. Gue bikinin susu, deh.”
Tari sekuat tenaga mengusir bayangan Angga dari benaknya. Ia memejamkan mata sejenak dan menggeleng-geleng. Tapi dalam kegelapan, sosok Angga kian terlihat jelas di depan mata. Tari menggigit lidah untuk mencegah jeritan keluar dari mulutnya. Cepat-cepat dia bangkit dan memakai baju Fio, kemudian mengeringkan rambut.
“Kayaknya gue bakal gila beneran,” desahnya pelan.

***

Motor Ari berhenti di depan rumah Tante Lidya. Entah berapa lama yang dilewatkannya hanya dengan duduk diam di atas motor. Rumah itu sepi. Tapi Ari yakin, Mama, Ata, dan Tante Lidya ada di dalam sana. Ingin sekali dia turun dan masuk ke rumah itu seperti yang sering dilakukannya akhir-akhir ini sejak Mama datang ke Jakarta.
Setelah beberapa saat berperang dengan dirinya sendiri, akhirnya ia mengambil keputusan. Baru saja kedua kakinya melangkah ke pintu pagar dan tangannya terulur untuk membuka, sebuah taksi mendadak berhenti tidak jauh darinya.
“ARI!!” teriakan itu membuat tubuh Ari membeku. Tubuhnya berputar cepat ke sumber suara. Dalam detik yang mengurungnya dalam ketersimaan, sebuah tamparan keras tiba-tiba saja mendarat di pipinya.
“BERANINYA KAMU KE RUMAH INI LAGI!!” bentak Papa dengan suara menggelegar. “Udah berani kamu melawan Papa?!”
Mulut Ari sudah terbuka untuk membalas, tapi suara pintu terbuka dari rumah di samping mereka seketika membungkamnya. Keduanya menoleh. Mama berdiri mematung di ambang pintu. Ata menyusulnya tak lama kemudian, dan sama-sama terpaku.
Ari baru bisa tersadar ketika Papa melangkah geram memasuki pagar. Dia dan Ata terlambat untuk mencegah tamparan Papa mendarat di pipi Mama. Ari terkesiap sesaat, kemudian dengan kalap ia berlari menghampiri Papanya dan mendorongnya keras agar menjauh dari Mama, sementara Ata langsung memeluk Mama erat-erat.
“Papa apa-apaan sih?!” bentak Ari murka, tidak terima Papa memperlakukan Mama sedemikian kasar di muka umum.
“Papa mau ngomong sama dia. Minggir kamu!” tukas Papa dingin, balas mendorong tubuh Ari yang menjadi penghalang antara dirinya dan mantan istrinya itu. Ata, yang masih memeluk Mama, juga ikut membentak Papanya, “Papa mendingan pergi! Jangan ganggu Mama!”
Papa tidak mempedulikan semua bentakan dari anak-anaknya. Matanya menatap lurus kepada mantan istrinya yang menangis di pelukan Ata. “Widia,” panggilnya berat. “Ini peringatan terakhir! Ata milikmu, dan Ari milikku. Semua sudah sah dan jelas secara hukum sejak bertahun-tahun yang lalu. Kalau sampai sekali lagi Ari berani menemuimu, aku tak akan segan-segan membawa dia pergi lebih jauh.”
“Apa salahnya sih, Pa?!” teriak Ari frustasi. “Dia Mama aku! Nggak ada orang sekejam Papa yang tega melarang anaknya ketemu ibunya sendiri!”
“Diem kamu! Papa nggak suka kamu deket-deket sama wanita ini lagi!” bentak Papa.
Wanita ini? Setelah lebih dari delapan tahun kebersamaan mereka dulu, setelah semua cerita cinta yang sempat mereka rajut bersama, sekarang Papa bahkan tidak sudi menyebut Mama dengan panggilan “Mama-mu”, atau paling tidak nama mamanya. Apa yang membuat Papa begitu membenci Mama? Mendadak Papa menarik tangannya. “Pulang!”
Ari merasa hidupnya hancur seluruhnya. Remuk redam. Hingga tak ada kuasa untuk melawan perintah papanya. Bukan berarti ia mau menerima. Tapi cowok itu sudah terlalu lelah untuk menolak. Tidak ada lagi yang tersisa dari dirinya. Dalam satu hari ini, semuanya terkuras habis. Tidak ada cukup emosi untuk menyeretnya lebih jauh ke dalam masalah di hadapannya. Ari ingin berhenti, ingin mengakhiri semua ini. Mengunci otak serta mematikan hati, agar tak ada lagi perkara rumit yang masuk ke sana dan mengganggunya.
“Mas,” panggil Mama tepat saat Ari dan Papanya mencapai pintu pagar. Keduanya kontan berhenti. Ari menoleh ke arah Mama, sementara Papanya bergeming. Mama melepaskan diri dari pelukan Ata, kemudian maju satu langkah. “Terima kasih,” katanya serak. “Makasih udah ngerawat Ari dengan baik. Sampai dia udah segede ini. Tolong, ijinin aku meluk dia sekali ini, sebelum aku sama Ata balik ke Malang.”
Ari dan Ata membelalak. Kedua kembar itu bertatapan kaget. Mama dan Ata mau pulang ke Malang secepat ini?
“Ri...”
“Nggak! Kita pulang!” Papa kembali menyeret tangan Ari, meninggalkan Mama yang kembali menangis dan Ata yang dengan sigap kembali memeluknya. Papa mengambil kunci motor Ari.
“Naik!” bentaknya.
Tubuh Ari bergerak seperti robot, naik ke boncengan Papa tanpa bisa membantah. Untuk terakhir kalinya, ia dan Ata bertatapan.

***

Tiba di rumah, Ari melesat masuk ke kamarnya dan menutup pintu dengan bantingan. Tubuhnya langsung ambruk ke tempat tidur, serasa tak bisa digerakkan lagi. Ia hanya bisa memejamkan mata. Dalam kegelapan yang kini menyelimuti pandangannya, dua wajah muncul bersamaan di hadapannya. Dua wajah dari sosok orang yang menyandang nama yang serupa, yang sama-sama disayanginya sepenuh hati. Matahari Jingga dan Jingga Matahari.
Kini Ari dihadapkan dua jalan yang berbeda, yang membuatnya harus meninggalkan salah satu matahari yang disayanginya. Ia harus memilih. Antara Ata dan Tari. Satu jalan bersama Ata serta mamanya, ataukah jalan yang lain bersama Tari. Keinginan untuk pergi bersama Mama dan Ata, ikut ke Malang, mendadak terlintas dalam benaknya saat perjalanan pulang tadi.
Bayangan berkumpul bersama Mama, Ata, Mbah Uti, Mbah Kakung, Pakde, Bude, dan seluruh keluarga serta sepupu-sepupunya berhasil menghangatkan hatinya. Kebersamaan, kebahagiaan. Dua hal yang tidak pernah Ari dapatkan sejak ia tinggal berdua saja dengan Papa. Ari sama sekali tidak keberatan meninggalkan kemewahan hidupnya di Jakarta ini. Tapi ia sangat keberatan untuk meninggalkan Tari.
Gadis itu kini telah menjadi bagian dari hidupnya. Tidak mungkin dia tinggalkan begitu saja. Kalau dia ikut Mama ke Malang, kemungkinan dia akan bertemu lagi dengan Tari sangat kecil, sangat jarang. Perjalanan Jakarta-Malang bukanlah perjalanan murah kalau mengingat kondisi ekonomi Mama. Dan lebih tidak mungkin ia mengajak Tari ke Malang.
Dan lagi-lagi jalan yang bercabang tadi menyiksanya. Sanggupkah Ari membiarkan salah satu matahari tenggelam? Menghilang dari hidupnya? Seperti bertahun-tahun yang lalu, ketika kedua orang tuanya memisahkannya dengan Ata, ia hancur. Dan kini kehancuran yang sama mulai membayang.
“Apa sih yang tersisa dari lo?” dengus Ari pahit. “Sombong banget elo, Ri. Sok takut sama yang namanya ancur. Kayak idup lo belom ancur aja, masih pantes dipertahanin. Haha,” Cowok itu tertawa kecut. Sedetik, ia kembali terdiam, berusaha keras mengosongkan pikiran dan membunuh kesadarannya.

***

Pukul delapan malam, Tari mencoba menghubungi Ari, tapi semua panggilannya tidak diangkat, juga semua pesan singkatnya tidak ada yang dibalas.
“Ari kenapa, sih?” desahnya sambil tengkurap di tempat tidur Fio.
Fio menutup buku Fisikanya, dan ikut merebahkan diri di samping Tari. “Kenapa?”
“Masa panggilan gue nggak ada yang dijawab? Malah harusnya kan dia yang lebih dulu nelepon gue dari tadi. Nanya kabar kek, apa kek. Masa dia nggak khawatir sama gue?”
“Udah tidur, kali,” jawab Fio asal.
Tari tertawa mendengus. “Ngaco lo. Ini baru jam berapa? Ari itu bukan tipe cowok yang akrab sama kata tidur. Dia kalo malem kerjaannya melek kayak kelelawar. Tidurnya kudu lebih dari tengah malem.”
“Bisa aja dia kecapekan. Lo sendiri nggak capek?”
Tari menggeleng lesu. “Gue justru khawatir sama Ari. Takut dia ada masalah lagi sama bokapnya.” Perasaan Tari memang kurang enak sejak tadi. Ia mempunyai firasat buruk tentang cowoknya yang entah sedang apa itu. Apalagi tidak ada kabar sejak terakhir kali Ari meninggalkannya di rumah Fio.
“Makanya lo tidur aja, biar besok cepet ketemu di sekolah.”
Benar. Tari hanya bisa menunggu sampai besok pagi. Akhirnya ia menarik selimut Fio, dan merangkupkannya ke tubuh hingga menutupi setengah kepalanya yang berdenyut sakit. Ia kembali teringat tas sekolahnya tertinggal di SMA Brawijaya. Kemungkinan besar pentolan mereka yang membawanya sekarang. Itu artinya, Angga akan datang menemuinya tidak lama lagi.

***

Tari berhasil melewati malam tanpa menjerit histeris seperti yang ditakutkan Fio dan Ari, juga dirinya sendiri. Tidurnya tidak bermimpi. Semuanya gelap. Tapi entah kenapa pada tengah malam matanya mendadak terbuka lebar dan dia bangun terduduk.
“Fi,” panggilnya pada Fio yang tidur memunggunginya. Fio tidak menyahut, masih terlalu asyik dengan mimpinya sendiri. Tari mendesah. Ia tahu ini kejam dan kurang manusiawi, tapi diguncangnya bahu Fio, memaksa temannya itu untuk bangun.
“Fiooooo....”
“Mm, apaan sih, Tar?” erang Fio malas, tidak membuka mata atau membalikkan badan untuk menatap Tari.
“Jangan molor sendirian, dong. Temenin gue. Gue nggak bisa tidur.”
Kembali tidak ada sahutan. Fio rupanya kembali terseret ke alam mimpi. Lagi-lagi Tari mendesah, menyerah. Ia hempaskan tubuh kembali ke bantal-bantal sambil meraih ponsel untuk memeriksa, kalau-kalau Ari membalas salah satu SMS-nya. Tidak ada. Layar ponselnya kosong, hanya memberitahunya kalau saat ini sudah pukul 1 dini hari.
“Seriusan, gue cemas sama elo,” desisnya pelan kepada ponsel di genggamannya. Aneh memang. Yang harus dicemaskan adalah keadaan dirinya sendiri, tapi kenapa ia malah terus-terusan mengkhawatirkan keadaan Ari?
Entah untuk keberapa kalinya Tari kembali mencoba menghubungi nomor Ari. Tetap tak ada jawaban. Mendadak ia teringat sesuatu. Cepat-cepat ia membuka kotak masuk di fitur pesan dan mencari nomor Ata. Masih ada! Tanpa peduli sekarang masih terlalu malam untuk menelepon, Tari menghubungi nomor itu. Sambil berharap-harap cemas, ia mendengarkan nada sambung.
“Ya, Tar?” Akhirnya!
“Ng... belom tidur, Kak?”
“Nggak bisa tidur. Kenapa?”
“Sori kalo ganggu. Gue mau nanya tentang Kak Ari. Apa dia ke situ tadi?”
Ata terdiam. Cukup lama ia tidak menyahut. Tari menggigit bibir gelisah. Apa memang benar ada masalah? “Kak...”
“Ya. Tadi dia ke sini,” jawab Ata sebelum Tari sempat bertanya lagi. “Bokap juga ke sini. Dia mergokin Ari dateng nemuin gue sama Nyokap.”
Tari terkesiap. Ternyata memang ada urusan gawat! “Trus? Ada masalah?”
“Jelaslah,” tukas Ata. “Kami ribut besar. Tapi lebih baik lo tanya Ari langsung soal masalah tadi. Gue takut salah bicara.”
“Itu dia masalahnyaaaa...” desah Tari putus asa. “Kak Ari nggak jawab telepon gue dari tadi. Gue takut dia kenapa-napa. Apa dia nggak nelepon Kak Ata?”
“Nggak. Nggak ada kabar dari dia sejak dia diseret pulang sama Bokap,” jawab Ata, membuat Tari ingin menangis saking cemasnya. “Besok kan kalian ketemu di sekolah, jadi lebih baik lo tidur sekarang.”
“Hmm, gue nggak punya pilihan lain. Moga-moga besok Kak Ari nggak madol. Ya udah, Kak Ata. Makasih. Sori udah ganggu malem-malem gini.”
Akhirnya Tari menyerah. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan di malam buta seperti ini. Setelah memutuskan sambungan dengan Ata, sebisa mungkin ia memejamkan mata sambil berdoa setengah mati agar jarum jam bergerak lebih cepat dan matahari segera terbit.

***

“Halo?” jawab Oji saat melangkah keluar gerbang rumahnya.
“Jagain Tari hari ini. Jangan sampe Angga dateng nemuin dia. Pulangnya anterin dia sampe rumah. Sama Ridho kalo perlu. Oh iya, jemput dia pagi ini di rumah Fio. Ngerti?” Sederet perintah dari Ari turun saat itu juga.
Oji langsung paham. “Siap, Bos! Lo sendiri mau ke mana?”
“Gue ada urusan hari ini,” jawab Ari, kemudian sambungan langsung terputus.
Oji menatap layar ponselnya dengan kening berkerut, lalu bergegas mencari taksi untuk menuju ke rumah Fio.

***

“Masa gue berangkat sekolah nggak bawa tas? Lucu deh. Mau belajar apa mau bantuin tukang kebun nyapu halaman?” keluh Tari kepada Fio yang juga menatapnya bingung.
“Gue pinjemin tas gue yang lain deh, sama buku tulis sisa yang belom gue pake. Bawa itu dulu,” putus Fio akhirnya. Ini masalah asli dadakan banget, soalnya Tari baru bilang pagi ini kalau tasnya tertinggal di SMA Brawijaya.
Mau tak mau Tari setuju. “Untungnya hari ini nggak ada PR,” katanya, pasrah.
Selesai sarapan, keduanya berjalan keluar rumah, dan kaget mendapati Oji sudah berdiri menunggu di samping taksi. Oji menyambut kekagetan keduanya dengan senyum.
“Silahkan naik, tuan-tuan putri,” katanya dengan gaya penuh hormat membukakan pintu belakang taksi.
Tari berjalan tergesa menghampirinya. “Kok lo ada di sini? Kak Ari mana?” tanyanya, berharap Oji tau apa yang terjadi dengan Ari.
Namun sayang, Oji menggeleng, membuat tubuh Tari lunglai seketika. “Gue cuma dapet perintah buat jagain lo baik-baik hari ini. Buruan naik.”
Fio mendorong pelan tubuh lemas Tari masuk ke taksi. Ia sendiri duduk di sebelahnya, sementara Oji di depan. Selama perjalanan, tidak ada yang bicara. Hanya Tari yang mengeluh berkali-kali karena percobaannya menghubungi nomor Ari belum juga membuahkan hasil.
“Udahlah, Tar. Kali aja Kak Ari emang lagi ada urusan penting. Kalo udah selesai pasti dia langsung telepon balik elo,” kata Fio akhirnya, tidak tega juga melihat raut putus asa Tari yang hampir menangis.
“Iya, Tar. Paling dia ngilang satu dua hari buat nenangin diri,” timpal Oji.
“Dia lagi ada masalah,” sahut Tari serak. “Kemaren pas dia dateng ke rumah Tante Lidya ternyata bokapnya mergokin dia. Mereka ribut besar.”
Fio dan Oji terdiam kaget. “Ng... trus?” tanya Fio, mewakili rasa penasaran Oji.
Tari menggeleng lesu. “Gue nggak tahu setelah itu gimana.”
“Kok lo tau?” kali ini Oji yang bertanya.
“Semalem gue nelepon Kak Ata. Tapi dia nggak mau ngasih tau detail kejadiannya. Gue disuruh nanya ke Kak Ari langsung. Gimana mau nanya coba kalo yang bersangkutan aja diem dan lenyap kayak ditelan bumi?”
Fio dan Oji kembali terdiam. Untuk selanjutnya hingga taksi berhenti di depan gerbang sekolah, ketiganya membisu.

***

Oji mengawal ketat kedua cewek itu sampai di pintu kelas mereka, meski mustahil juga Angga tiba-tiba nongol di dalem sekolah ini.
“Ntar istirahat gue ke sini. Trus pulangnya juga kalian tunggu sini aja. Gue sama Ridho bakal jemput secepatnya. Kami anterin sampe rumah.”
Fio mengangguk. “Oke. Thanks, Kak,” katanya sebelum membuntuti Tari masuk ke kelas. Tapi langkahnya terhenti begitu mendapati Tari juga tengah berdiri diam di depan kelas. Matanya mengikuti arah pandang Tari, dan langsung menemukan alasan temannya itu terpaku di sini.
Di meja guru, tas oranye milik Tari sudah bertengger manis. Butuh beberapa detik sampai Tari tersadar dan buru-buru mendekati tasnya. Tanpa berpikir dua kali, ia menumpahkan isinya ke meja guru, memeriksanya. Semuanya masih lengkap. Sampai ia menemukan sehelai kertas yang terselip di antara buku-buku paket. Tidak ketinggalan setangkai mawar merah juga meramaikan isi tasnya.

Tar, gue minta maaf. Sori banget atas kejadian kemaren. Tapi asal lo tau, gue sama sekali nggak berniat untuk bener-bener ngerobek kemeja elo. Sekali lagi, sori. Gue terpaksa ngelakuin ini demi Gita.

Angga

“Siapa yang nganterin tas gue ke sini?” tanya Tari ke teman-teman sekelasnya. Namun mereka semua kompak menggeleng.
“Gue yang dateng paling pagi. Dan tas itu udah ada di situ sejak gue tiba,” jawab Jimmy.
Mendadak, Tari balik badan. Sambil tangannya meremas-remas surat dari Angga, ia berjalan cepat keluar kelas, langsung menuju ke kelas Gita. Surat dan mawar dari Angga sudah meluncur ke tong sampah di depan kelas. Untung cewek yang dicarinya sudah berangkat.
“Bisa gue ngomong sebentar sama elo?” katanya memotong obrolan Gita dengan teman sebangkunya.
Gita mendongak agak kaget, tapi ia mengangguk. Begitu tiba di luar kelas, Tari langsung mencengkeram kedua bahu Gita dan menatap cewek itu lurus-lurus. “Git, tolong jangan ikut campur masalah gue dan Kak Ari lagi. Urusannya bisa tambah gawat kalo sampe lo terlibat.”
Kening Gita berkerut bingung. “Ikut campur gimana maksudnya? Gue nggak pernah...”
“Lo kan yang naro tas gue di meja guru?” potong Tari cepat. “Lo disuruh Angga, kan?”
“Tas apa?” Gita tambah bingung. “Gue nggak nerima perintah apa-apa dari Angga sejak kemaren. Sumpah, Tar. Tadi malem emang dia sempet jenguk gue. Tapi kami cuma ngobrol biasa. Sama sekali nggak nyinggung masalah elo ato Kak Ari.”
Giliran kening Tari yang berkerut bingung. Sepertinya Gita tidak bohong. Kembali pertanyaan yang belum terjawab sejak kemarin melintas di benaknya. Siapa yang membantu Angga kalo bukan Gita? Cekalannya di bahu cewek itu terlepas.
“Ada masalah apa sih, Tar? Katanya kemaren pas gue nggak masuk Kak Ari juga nyariin gue di kelas?”
Tari menggeleng. “Rumit banget, Git. Dia nyariin elo juga buat ngasih peringatan agar lo nggak ikut campur masalah kami.”
Tari menatap sepasang mata Gita yang menyorot cemas. Ia menghela napas. Kenapaa juga ini cewek harus sekolah di sini? keluhnya dalam hati, tidak tahu harus menyalahkan siapa.
“Yang penting mulai saat ini elo jauh-jauh gih. Sori, bukannya gue ada maksud jelek. Tapi ini demi keselamatan elo juga. Dan gue juga janji mulai saat ini Kak Ari nggak akan gangguin lo lagi.”

Setelah bicara seperti itu dan mendapat anggukan dari Gita, Tari berjalan meninggalkannya. Tapi belum sampai tiga langkah, cewek itu membalikkan badan lagi. “Dan tolong lo bilangin ke Angga, gue belom maafin dia.”




Bersambung...

Hyaah, kok udah sampe part 7 aja siih? Cepet banget...
Untuk lanjutannya mungkin agak lama, soalnya udah mulai sibuk lagi
Thanks banget udah baca dan thanks juga atas dukungan kalian ^^
Sori kalo aku sering bikin kalian nunggu, hehe #pede
Peluk dan cium hangat buat kaliaan :*

2 komentar:

  1. Kereeennnn... jangan lama-lama dong kalo posting lanjutannya :-(
    dua kali seminggu kek gitu biar seneng aku-nya :-)

    BalasHapus
  2. Haha, maaf, mungkin belom bisa kalo dua kali seminggu
    Nulis tentang Ari yang punya sejuta fans itu nggak gampang
    Kalo sampe nggak sesuai ato melenceng terlalu jauh dari keinginan pembaca kan repot jadinya, pada diprotes sana-sini
    Jadi aku nulisnya juga harus cermat hati-hati, hehe

    BalasHapus