Nyawanya
masih berada di perbatasan alam mimpi dan alam nyata ketika ponsel di samping
bantalnya bergetar. Dengan mata setengah tertutup, Tari meraba-raba dan meraih
ponsel itu.
Ntar bw baju ganti
Hah?
Apaan, sih? Tari memejamkan mata sejenak, lalu membukanya kembali lebar-lebar,
berusaha memfokuskan pandangannya. Ternyata SMS dari Ari. Bawa baju ganti? Buat
apa? Ia menjatuhkan kepala lagi di bantal sambil mengetik balasan.
Bwt apa?
Bukan
jawaban atas pertanyaannya barusan yang ia dapatkan kemudian, tapi malah
perintah dari Ari yang selalu tak terbantahkan.
Siap2
Bntar lg gw brgkt
Tari
mengerang. Dengan malas, disibakkannya selimut dari kakinya yang melindunginya
dari hawa dingin semalaman. Masih pukul setengah lima pagi. Terhuyung-terhuyung
Tari berjalan ke kamar mandi.
“Dingiiiiiin!”
pekiknya begitu menyentuh air dari bak mandi yang terasa sedingin es. Selesai
mandi, dengan gigi bergemeletuk hebat, Tari berlari ke kamarnya. Tanpa peduli
dirinya hanya mengenakan mantel handuk, ia meringkuk di balik selimut yang
tebal, menutup tubuhnya rapat-rapat.
“Hiiih,
dingin banget. Mau apa sih Ari berangkat pagi-pagi gini?” omelnya. Selama
beberapa saat, dibiarkannya hangat selimut melingkupi tubuhnya. Rasanya nyaman.
Matanya jadi berat. Tari hampir saja jatuh tertidur lagi kalau ponselnya tidak
bergetar.
Otw
Mau
tak mau Tari bangkit dan secepat kilat berpakaian. Teringat oleh pesan Ari, ia
mengambil baju ganti dan memasukkannya ke dalam tas sekolah bersama dengan
buku-buku pelajaran yang telah ia siapkan semalam. Ari tiba beberapa menit
lebih cepat dari perkiraannya. Anehnya, cowok itu masih menggunakan mobil Alphard-nya
kemarin, bukan motor hitam besar seperti biasa.
“Masih
pagi banget,” protes Tari begitu menemui Ari di depan, tapi protesannya tidak
berlanjut. Lagi-lagi Tari menemukan keanehan. Wajah dan penampilan Ari tampak
kacau. Rambut agak acak-acakan, air muka keruh, dan seragam sekolah yang slebor
– keluar dari pinggang celana dan dua kancing teratasnya terbuka, penampilan
yang jarang ditunjukkan Ari di depan mamanya.
“Udah
siap?”
“Gue
belom sarapan.”
“Sarapan
dulu kalo gitu. Gue tunggu.”
“Belom
laper. Ntar bisa makan di sekolah.”
“Oke.
Ntar gue traktir. Mana nyokap lo?”
“Masih
sibuk di dapur. Udah gue pamitin. Langsung berangkat aja.” Tari juga tidak mau
mamanya terkejut melihat penampilan Ari pagi ini.
“Yuk.”
Ari meraih tangan Tari, menggandengnya ke mobil.
“Kenapa
kita harus berangkat pagi-pagi gini, sih? Kenapa lo bawa mobil? Dan kenapa juga
gue harus bawa baju ganti?”
Ari
membukakan pintu penumpang depan dan mendorong lembut tubuh Tari tanpa menjawab
pertanyaan-pertanyaan gadis itu. Segera setelah duduk di belakang kemudi, Ari
menghidupkan mesin. Sejuknya AC membuat mata Tari kembali berat. Ia
menyandarkan punggung dan kepala di sandaran jok. Kenyamanan membuat kantuk kembali
menyergap, semakin sulit ditolak.
“Kenapa?”
Ari menoleh sekilas.
“Ngantuk.
Capek,” jawab Tari lemas, masih berusaha keras untuk tidak menutup matanya.
“Tidur
aja kalo gitu.”
Tari
tertawa kecil. Dipukulnya pelan lengan Ari. “Bercanda. Nggak mungkin gue tidur
dengan elo di samping gue gini.”
Ari
mencondongkan tubuhnya ke arah Tari. “Lo nggak percaya sama gue?”
Tari
balas mendekatkan wajahnya. “Nggak sama sekali.”
“Lo
harus percaya!”
“Kenapa
gue harus percaya?”
Ari
juga semakin mendekatkan wajahnya hingga ujung hidung mereka nyaris bersentuhan.
“Percaya sama gue, oke?” desisnya.
Tari
memutar bola mata kesal, kemudian menjauhkan wajahnya, kembali bersandar pada
jok sambil mengerjap-ngerjapkan mata, berharap dengan begitu ia bisa
mengenyahkan rasa kantuk. “Nggak jadi ngantuk deh gue.”
Ari
menatapnya sebentar. “Jalan yuk?”
“Kemana?”
“Kemana
aja.”
“Ngaco
lo. Kita kan harus sekolah.”
Ari
mengangkat bahu tak peduli. “Bukan suatu keharusan, kok. Bolos sehari juga
nggak bakal ngaruh apa-apa.”
Tari
ternganga. Diajak bolos seharian? Gila apa? Bisa-bisa dia dihukum seumur hidup.
Seakan bisa membaca pikiran gadis itu, Ari menggerakkan mobil tepat sebelum
Tari membuka pintu di sampingnya.
“Ari!”
teriak Tari emosi, sampai lupa memanggil cowok itu dengan embel-embel “Kak”.
“Berhenti! Gue mau turun! Lo kalo mau bolos, bolos aja sendiri. Jangan
ngajak-ajak gue!”
Ari
menggeram. Ketenangan cowok itu runtuh. Hawa kemarahan yang melingkupi aura
tubuhnya bahkan bisa Tari rasakan dengan jelas meski tempat duduk mereka tidak
terlalu dekat. Matanya memicing menatap jalanan dan rahangnya mengeras.
Bukannya berhenti seperti perintah Tari, ia malah menambah kecepatan mobil.
“Ari...”
“Bokap
tadi pulang.”
Kalimat
singkat itu cukup ampuh untuk membungkam protes Tari. Seketika ia mendapat
jawaban atas keanehan Ari pagi ini. Ayah Ari pulang. Dan pasti sesuatu telah
terjadi. Tari yakin kondisi hati Ari sedang buruk pagi ini, jadi mau tak mau ia
harus mengikuti cowok itu kalau pingin pulang dengan selamat.
“Trus?”
tanya Tari hati-hati. Untuk sesaat, karena tak ada jawaban, Tari mengeluarkan
ponsel dan segera menelepon Fio.
“Ya,
Tar?”
Tari
menarik napas panjang sebelum menjawab, “Gue nggak masuk hari ini. Tolong
ijinin dulu. Ntar suratnya nyusul.”
Di
seberang, kening Fio berkerut heran. “Nggak masuk kenapa?”
“Jangan
bawel, deh. Pokoknya ijinin dulu, oke?”
Fio
menghela napas. Apapun itu, ia tahu pasti ada hubungannya dengan Ari. Bisa jadi
Tari malah sudah bersama Ari pagi-pagi begini. Dan dugaannya memang tidak
meleset. “Iya, deh. Enaknya bilang lo sakit apa?”
“Apa
kek, terserah. Flu, demam, yang penting jangan diare aja.”
“Oke.
Ati-ati ya, Tar.”
“Iya,
iya. Thanks, Fi.” Tari menoleh ke Ari
setelah menutup telepon. “Udah. Gue udah bebas. Jadi, kita mau kemana?”
Ari
menghentikan mobil di salah satu ruas jalan yang sepi, kemudian melepas kancing
kemejanya satu persatu. “Ganti baju dulu,” perintahnya. “Bolos sekolah pake
seragam bisa gawat urusannya.”
“Ganti
baju di mana?” Tari celingukan ke luar jendela mobil, mencari tempat tertutup
yang kira-kira bisa digunakannya. Tidak ada. Sekeliling mereka hanya ada taman
terbuka dan pepohonan.
“Di
sini,” jawab Ari yang telah mengganti kemejanya dengan kaus serta merangkapnya
dengan jaket putih.
Tari
menoleh tersentak. “Di sini? Di deket lo? Eh, gila. Jangan harap gue mau.”
“Pindah
ke jok belakang. Kaca jendela mobil ini gelap, nggak akan keliatan orang-orang
dari luar. Ganti di sana.”
“Lo
juga harus keluar kalo gitu.”
“Gue
nggak akan ngintip.”
“Nggak
percaya!” tukas Tari. “Ada spion gitu. Lo ngelirik dikit aja pasti keliatan,
kan?”
Ari
berdecak tidak sabar. Dengan terpaksa, ia keluar dari mobil. Tari langsung
meloncat ke jok belakang. Jarinya yang sudah menyentuh kancing teratas mendadak
berhenti bergerak. Gadis itu kembali ragu. Akhirnya ia membuka kaca jendela
untuk memperingatkan Ari sekali lagi. “Nggak boleh ngintip. Hadap sana! Jangan
berani-berani nengok ke sini biar kaca jendela ini lo bilang gelap. Awas aja
kalo berani ngintip!”
Baru
setelah Ari berdiri membelakanginya, bahkan menempelkan punggungnya di jendela
dekatnya berganti baju, Tari melepas seragamnya dan dengan cepat berganti
pakaian, masih sambil menoleh-noleh cemas, memastikan tidak ada orang yang menontonnya,
terutama cowok yang sekarang tengah berdiri di samping mobil. Ia bersembunyi di
balik sandaran punggung jok sopir, melesak sebisanya ketika melepas kemeja. Berganti
pakaian di dalam mobil benar-benar mempertaruhkan harga diri. Untungnya hari
masih terlalu pagi sehingga jalanan ini belum ramai orang.
Tari
mengetuk jendela tempat Ari menyandarkan punggung. Ia kembali meloncat ke jok
depan, sengaja meninggalkan ranselnya di jok belakang, dan sudah duduk manis
ketika Ari masuk ke mobil.
“Mau
cerita, apa yang terjadi setelah bokap lo pulang?”
“Kita
cari tempat yang pas dulu buat cerita.”
“Oke.
Mau jalan kemana, nih?” tanya Tari lagi.
Ari
menoleh ke arahnya dengan wajah curiga. “Kayaknya lo semangat banget gue ajak
bolos.”
“Eh,
jangan salah,” sergah Tari. “Gini-gini demi elo juga. Kalo situasinya nggak
sedarurat sekarang, mana mau gue bolos sekolah.”
Ari
memilih untuk tidak berkomentar. Salah-salah Tari malah marah dan tidak jadi
menemaninya. Ia memutar balik mobil, kembali ke jalan raya yang mulai padat.
“Ke
luar kota?” Tari masih berusaha meminta kepastian.
Ari
mengangguk. “Terlalu beresiko ketemu orang yang kita kenal kalo kita cuma main
di deket-deket sini.”
“Ke
mana?”
“Bandung?
Bogor? Terserah. Lo maunya ke mana?”
“Lo
yang ngajak, jadi gue nurut.”
“Nginep
yuk di Puncak?”
“Apa?!”
jerit Tari. “Sintiiing! Nggak! Gue nggak mau!”
Ari
tertawa kecil. Senang rasanya bisa menggoda ceweknya yang satu ini. Bisa
sejenak melepas penat di kepala begitu melihat Tari yang melotot kaget atau
berteriak marah.
“Kenapa
ketawa? Nggak lucu, tau!” ketus Tari.
“Siapa
bilang gue lagi bercanda? Gue akan bawa lo ke Puncak. Kita sewa vila buat
berdua.”
Tanpa
ragu, Tari membuka kunci pintu mobil, berniat meloncat turun tanpa peduli mobil
tengah berada di jalan raya dan sedang melaju. Tepat sebelum tangannya
mengayunkan daun pintu agar terbuka, Ari meraih pinggangnya untuk menahannya.
“Bahaya,” desis cowok itu. Agak kaget juga melihat tindakan nekat Tari.
“Biarin!”
teriak Tari. “Lebih baik gue mati di tengah jalan kelindes truk daripada
diculik lo dan dibawa ke Puncak.”
“Eh,
ati-ati kalo ngomong. Tutup pintunya!” desis Ari lagi, memecah konsentrasi
antara tetap menyetir dan memegangi Tari, karena untuk saat ini tidak mungkin
baginya menepikan mobil yang berada di tengah-tengah jalan yang ramai.
“Nggak!
Gue mau loncat! Lepasin!”
Ari
menahan pinggang Tari makin kuat, menariknya mendekat. “Bercanda doang, Tar.
Tutup pintunya! Sekarang!”
Barulah
Tari menurut begitu nada suara Ari yang panik naik satu oktaf. Ia menoleh ke
belakang, memastikan tak ada kendaraan di dekat pintunya, kemudian membukanya
sedikit, dan mengayunkannya hingga menutup.
“Lo
tuh ya... Tau bahaya nggak, sih?!” bentak Ari.
Tari
melipat kedua tangan di depan dada. Bibirnya cemberut. “Kok gue jadi dimarahin?
Justru gue mau loncat itu biar gue selamet, tau.”
“Bercanda
doang, Tar,” ulang Ari, sedikit berhasil mengendalikan emosinya. “Nggak mungkin
gue kurang ajarnya keterlaluan gitu.”
“Siapa
bilang nggak mungkin?” tukas Tari, masih jengkel setengah mati.
“Lo
makin lama makin berani ngelawan gue ya.” Ari mengucapkannya bukan dengan nada
mengancam, tapi malah terdengar geli.
“Sejak
kapan gue takut sama lo?” balas Tari menggerutu, dalam hati bertanya-tanya
bagaimana suasana hati Ari bisa berubah-ubah begitu cepat. Awal-awal tampak
kacau dan mengerikan, kemudian bercanda dan tertawa, marah lagi, lalu sekarang
geli lagi. Aneh. Tapi kemudian Tari menyimpulkan kalau Ari sekarang ini memang
sedang dalam puncak kekacauannya, terlihat dari emosi yang labil seperti tadi.
“Mau
sarapan dulu?” tawar Ari. Sekarang sudah benar-benar bisa menenangkan diri.
“Belom
gitu laper. Ntar di tempat tujuan aja sarapannya. Oh ya. Sekarang bener-bener
harus lo jawab. Kita mau kemana? Jangan bercanda yang aneh-aneh lagi! Gue
loncat beneran nih kalo lo ngomong macem-macem!”
Ari
mengerutkan kening sejenak. “Ke tempat favorit gue?”
“Kemaren
sore baru aja ke sana. Tapi nggak pa-pa, sih. Gue juga suka tempatnya.”
“Kalo
gitu kita harus bawa bekal.” Ari membelokkan mobil ke sebuah kafe yang buka 24
jam sehari. “Tunggu di sini,” katanya sebelum turun. Beberapa saat setelah Ari
masuk ke dalam kafe, Tari mengeluarkan ponselnya untuk kembali menelepon Fio.
“Udah
berangkat sekolah?” tanya Tari langsung.
“Lagi
otw, nih. Ada apa?”
“Gue
diajak Ari madol hari ini.”
“Udah
gue duga,” sahut Fio, sama sekali tidak kaget. “Kenapa lo mau?”
“Yah,
mau nggak mau, sih. Soalnya pagi ini lagi ada masalah. Bokap Ari pulang dan
sekarang dia lagi kacau. Nggak mungkin kan gue biarin dia ngamuk di sekolah,
trus bikin onar lagi?”
“Jadi,
sekarang ceritanya lo lagi ngorbanin diri sendiri buat nyelametin seantero
sekolah, gitu?”
Tari
meringis, agak ngeri juga mendengar kata-kata ngorbanin diri sendiri. “Bisa dibilang begitu. Tapi gue ngikut juga
biar gue selamet sampe rumah. Lo tau sendiri lah gimana Ari kalo gue berani
nolak dia. Apalagi mood dia lagi
kacau gini.”
“Kesian
amat sih hidup lo.” Fio berdecak. “Oh, atau jangan-jangan lo juga seneng ya
diajak bolos?” tuduhnya curiga, yang ternyata tidak salah.
“Lo
tau aja,” sahut Tari ketawa. “Hari ini nggak ada ulangan, kan? Mumpung rada
bebas, nih. Bolos sekali-dua kali kayaknya bukan masalah.”
“Dasar!”
seru Fio. Antara geli dan kaget. “Lo sama Kak Ari ternyata nggak ada bedanya. Seotak
sehati. Se-nama pula. Udah gih sono, pacaran aja terus. Kawin sekalian. Nggak
usah repot-repot sekolah.”
“Kok
kejem gitu sih ngomongnya? Eh, tapi tadi Ari juga sempet bilang sih kalo
sekolah itu bukan suatu keharusan. Bolos sehari nggak akan ngaruh apa-apa. Gue
pikir-pikir, ternyata ada benernya juga. Iya nggak? Oh, Fi, udahan dulu ya. Ari
udah mau ke sini. Ntar gue kabarin lagi. Jangan lupa juga ijinin gue. Makasih.
Daah.”
“Kalian
mau...” pertanyaan Fio terpotong karena Tari langsung menutup telepon tanpa
memberinya kesempatan menjawab. Fio memelototi layar ponselnya. “Tariiiii,
Tari. Kak Ari kayaknya sekarang berpengaruh besar ya dalam hidup lo. Ck, ck,
ck. Moga-moga aja lo nggak ikutan bandel. Paling nggak jangan separah dia deh,
Tar. Gue nggak mau sohib gue jadi tukang bolos. Repot ntar,” omelnya pelan.
***
Begitu
duduk di belakang kemudi, Ari menyerahkan bungkusan berisi dua kotak hamburger dan dua gelas soda ke pangkuan
Tari. “Telepon siapa?” tanyanya.
“Fio.”
“Oh,”
jawab Ari singkat, tidak berminat untuk bertanya lebih lanjut.
Perjalanan
selanjutnya mereka tempuh tanpa banyak bicara. Semakin dekat ke tempat tujuan,
Tari mendengar Ari berulang kali menghela napas. Ketika menoleh, dilihatnya
wajah Ari agak pucat.
“Lo
baik-baik aja?”
Ari
mengangguk, namun kemudian menggeleng-geleng. “Gue... nggak tau.”
Tari
tertegun. Kondisi hati yang berantakan biasanya menuntun Ari kepada kemarahan,
bahkan tak jarang juga amukan. Tindakan-tindakan keras untuk bisa melegakannya.
Bukan teriakan frustasi yang dipendam sendiri dalam hati hingga
menenggelamkannya pada keterdiaman seperti ini.
“Jangan
coba-coba ngerokok.” Tari memperingatkan.
Ari
mengangguk. “Gue nggak bawa rokok.” Bukannya karena dia menuruti aturan Tari
untuk berhenti merokok seperti yang telah diberlakukan semenjak mereka pacaran,
tapi untuk pagi ini dia memang lupa membelinya. Selama Tari tak ada di
sampingnya, kerap kali Ari melanggar pantangannya. Meski ia tetap berusaha
untuk meminimalisasi kebiasaan buruk itu.
“Bagus.”
Tari mengangguk-angguk lega.
Mobil
berhenti di tempat parkir dengan posisi sembarangan, melintang dari garis
batas. Tempat parkir ini masih kosong, jadi tak ada orang yang peduli, terutama
Ari. Tanpa mengajak apalagi membukakan pintu untuk Tari seperti biasa, cowok
itu kali ini langsung bergegas menghampiri saung tua favoritnya, seolah kekuatannya
sudah nyaris mencapai skala nol dan bisa dipastikan dia akan terjatuh kalau
tidak segera diisi ulang.
Tari
menggeleng-geleng pelan saat turun dari mobil. “Nggak dikunci segala. Nggak
takut ilang, apa?”
Dengan
langkah perlahan, Tari berjalan ke tempat Ari duduk sekarang. Ia meletakkan
kantong plastiknya di meja sebelum melepas sepatu dan duduk di samping Ari.
Dibiarkannya cowok itu tenggelam dalam pikirannya sendiri selama beberapa saat.
Akan ditunggunya sampai mulut itu terbuka dengan sendirinya untuk menumpahkan
apa yang tengah memporak-porandakan hati dan pikirannya.
“Jam
empat pagi tadi Bokap pulang.” Setelah menit-menit berlalu dalam keheningan, akhirnya
terdengar suara Ari yang serak. Ia menghirup napas dalam-dalam, berusaha
menyusun kata-kata. “Dia mabuk berat. Teriak-teriak.”
Tari
tercengang, tapi tetap berusaha menyimak meski setiap kata yang keluar dari
mulut Ari semakin membuatnya kaget.
“Gue
kaget dan langsung bangun, karena ini pertama kalinya gue liat Bokap mabuk. Pas
mau gue bantu, dia mukul gue. Dan lo tau apa yang bikin gue lebih kaget?”
Tari
menggeleng cepat, mengisyaratkan Ari untuk meneruskan ceritanya. Selama
beberapa detik, tidak ada suara yang keluar dari mulut Ari. Cowok itu menatap
lurus ke depan tanpa ada fokus pandangan.
“Dia
bilang... dia liat kita kemarin, pas kita makan malem bareng sepulangnya dari
tempat ini. Dia liat Nyokap. Ata. Tante Lidya.” Ari hampir kehilangan suaranya
saat kembali meneruskan, “Itu yang bikin dia pergi ke bar semaleman. Nggak
langsung pulang.”
Ari
menelan ludah susah payah. Tercekat. Tangan kiri Tari terulur hati-hati,
menyentuh pelan bahu Ari, menenangkan. Tapi Ari menariknya ke genggaman.
Diremasnya tangan Tari, seolah meminta kekuatan dan kehangatan untuk tangannya
yang dingin membeku.
“Bokap
ngumpat-ngumpat gue. Dia bilang gue anak durhaka lah, apalah, macem-macem. Gue
nggak peduli. Yang jelas gue sayang sama Nyokap.” Ari mengatupkan rahang keras-keras.
Bisa Tari rasakan genggaman untuk tangannya semakin erat. “Bokap macem apa sih
dia! Brengsek!” teriak Ari. Seluruh kemarahan, kesedihan, dan kekecewaannya
meledak seketika.
“Sst..
Kak...”
“Lo
nggak tau, Tar!” Kini Ari menghadapkan tubuhnya ke arah Tari, meletakkan tangan
kiri Tari di dadanya, menekannya. “Lo nggak tahu gimana rasanya dilarang ketemu
sama Nyokap dan saudara kembar lo sendiri! Lo nggak tahu gimana rasanya punya
Bokap gila kayak Bokap gue!”
Tari
memilih untuk mengunci mulut. Ia biarkan Ari meluapkan emosinya. Sampai cowok
itu lega. Tari akan diam.
“Gimana
bisa gue nggak ketemu sama Nyokap dan Ata lagi selama mereka masih di Jakarta?
Tapi Bokap ngancem gue. Dia bilang, kalo sampe gue ketemu sama mereka lagi, dia
akan langsung pindahin gue. Kemana aja. Bahkan kalo perlu keluar Jawa. Dia
bilang itu hak dia. Dan gue ngerasa nggak berdaya, Tar! Gue bisa apa?!”
Ini
ketiga kalinya seumur hidup Tari, ia melihat Ari menangis. Kerapuhan yang
selama ini disembunyikan di balik benteng semu terkuak sudah. Ari menanggalkan
semua topeng dan jubah yang ia kenakan selama ini. Untuk kedua kalinya, setelah
kejadian di UKS beberapa waktu yang lalu, Ari membiarkan dirinya terbuka
sepenuhnya di hadapan Tari. Ia tunjukkan luka-luka dan air mata tanpa
memikirkan lagi reputasinya. Ia pertontonkan bagaimana api amarah melalap habis
setiap jengkal tubuhnya, hingga yang tersisa tinggallah kepedihan. Ketidakberdayaannya
menolak ancaman ayahnya membuat Ari murka kepada dirinya sendiri. Murka. Namun
tak berdaya.
Otak
Tari tak bisa memikirkan kata-kata yang tepat untuk menghibur Ari. Sosok Ari di
depannya sekarang bukanlah Ari yang ia kenal, yang selalu berdiri tegak
menantang tak takut apapun. Saat ini Ari sedang bertransformasi menjadi sosok
anak kecil yang sedih dan kebingungan. Sosok anak kecil yang rapuh, yang sedang
tenggelam dalam puing-puing benteng pertahanannya sendiri, mencari bantuan,
meminta gandengan.
Tari
mengulurkan tangan kanannya, menyentuh pipi Ari. Mengusap air mata yang
mengalir di sana. Berusaha mengurangi sakit yang tengah didera cowok itu.
Berusaha menyusup ke dalam hati Ari untuk bisa ikut merasakan setiap luka di
dalamnya.
“Sst,
jangan nangis,” bisiknya. Lembut. Penuh perhatian. Ditambah seulas senyum
menenangkan. Ari tiba-tiba meletakkan kepalanya di pangkuan Tari. Tidur
terlentang, masih sambil menggenggam tangan kirinya.
“Gue
capek, Tar,” keluh Ari. Air mata kembali menggenang di pelupuk matanya.
Tari
menatapnya nelangsa. Betapa mengerikan hidup yang harus dijalani Ari.
Dipisahkan dari ibu dan saudara yang disayanginya, dan diharuskan tinggal
bersama seorang ayah yang buta kasih sayang. Tidak mengherankan Ari selalu haus
perhatian, dan tidak mengherankan pula Ari selalu kelelahan dengan semua liku
kehidupan yang harus dilewatinya. Diusapnya kepala Ari perlahan. “Sstt, jangan
nangis. Jangan nangis. Ada gue di sini. Gue akan jagain lo. Tidur aja kalo
capek. Lo pasti masih ngantuk bangun pagi-pagi tadi.”
Kata-kata
dan sentuhan halus Tari berhasil menumbuhkan sedikit ketenangan untuk hati Ari.
Kesediaan Tari memangku kepalanya juga berhasil menghapus lapisan kabut yang
bergelayut di sana. Ia menarik napas panjang dan memejamkan mata. Sengaja dibiarkannya
air mata kembali mengalir dari sudut mata. Tak berusaha ia hapus. Sebelum
kegelapan menyeretnya keluar dari ambang kesadaran, Ari berbisik pelan,
“Makasih.”
***
Hari
sudah siang ketika Ari membuka matanya kembali. Sinar matahari yang menyengat
langsung ke mata membuatnya mengerjap beberapa kali. Sambil mengumpulkan
sisa-sisa nyawanya yang masih tertinggal di alam mimpi, otaknya berputar cepat
mengingat di mana dirinya terakhir kali berada. Kemudian ia menyadari kepalanya
masih berada di pangkuan Tari.
“Udah
bangun?” Wajah Tari mendadak muncul di atas wajahnya. Nyengir.
Ari
buru-buru bangkit. “Berapa lama gue tidur?”
Tari
memeriksa jam di pergelangan tangannya dengan kening berkerut, mengingat-ingat.
“Kira-kira... dua jam. Ato mungkin tiga jam.”
“Tiga
jam?” Ari terbelalak, ikut memeriksa jam tangan Tari. Pukul sebelas siang.
Benar. Dia tidur kurang lebih tiga jam. Pantas saja perutnya keroncongan. Matanya
lalu tertumbuk pada kantong hamburger
yang dibelinya pagi tadi.
“Lo
pasti kelaperan dari tadi. Yuk, makan.” Ari bangkit berdiri, mengulurkan tangan
untuk membantu Tari berdiri.
Tari
meringis, tidak langsung menyambut uluran tangan Ari. “Lo ke sana aja dulu, gue
nyusul bentar lagi.” Ia meluruskan kakinya perlahan-lahan, dan mengernyit
kesakitan. Seketika Ari tahu masalahnya.
“Sakit?”
tanyanya cemas sambil kembali berlutut di samping kaki Tari.
“Kesemutan
parah,” sahut Tari yang telah berhasil meluruskan kaki kanannya, tinggal kaki
kiri.
“Sori.
Gara-gara gue, nih. Harusnya elo bangunin aja gue tadi.”
“Nggak
pa-pa. Lo tidurnya udah enak banget. Nggak mungkin gue berani ganggu.” Tari
memaksakan senyum, kemudian bernapas lega ketika kedua kakinya sudah lurus
kembali. Kesemutannya akibat terlalu lama duduk bersila dan berusaha untuk
tidak bergerak belum hilang.
“Mau
gue gendong?” tawar Ari.
“Eh?
Nggak usah! Nggak usah, makasih. Mending kita makan di sini aja. Lebih enakan
di sini. Ntar selesai makan kesemutannya pasti ilang, kok.”
Masih
dengan dipenuhi rasa bersalah, Ari mengambil kantong plastik di meja, berharap
semoga isinya masih bagus. Dikeluarkannya satu kotak hamburger untuk Tari yang tengah memijit-mijit kakinya begitu ia
kembali duduk di dekat gadis itu.
“Kalo
masih laper, abis ini kita cari restoran.”
“Perut
gue bukan gentong, tau. Palingan juga elo yang sebentar lagi kelaperan. Huaah,
burgernya aja segede ini!” Tari menangkup hamburger
yang hampir tidak muat di tangannya itu sembari berdecak. Ia percaya Ari
memesan yang ukuran jumbo. “Gimana makannya? Bisa-bisa mulut gue sobek.”
Ari
membuka mulut lebar-lebar dan menggigit hamburger
di tangannya. “Nggak, kok. Coba, deh. Enak,” katanya sambil mengunyah.
Tari
mengikuti tindakan Ari. Dan memang ia berhasil menggigitnya, namun saus di
bagian belakang roti meleleh, jatuh ke bawah, mengenai celananya. Bukannya
panik, ia malah tertawa. “Bakalan bau daging goreng nih gue.”
Ari
ikut tertawa. Dan tawanya makin menjadi begitu keduanya selesai melahap hamburger masing-masing. Wajah Tari
belepotan saus dan mayonaise.
“Heh,
wajah lo juga, tau,” cibir Tari, tahu penyebab dirinya ditertawakan. Diam-diam
ia merasa lega melihat Ari tertawa. Ari memang sudah terlatih menyembunyikan
perasaan, namun Tari tahu cowok itu tak akan bisa berlama-lama menyembunyikan
perasaan di hadapannya. Tari lebih suka Ari yang terbuka. Tertawa ketika
benar-benar senang, dan ia sama sekali tak keberatan melihat Ari menangis
ketika benar-benar sedih. Seperti tadi misalnya. “Sukanya ngetawain orang.
Sendirinya juga nggak kalah jeleknya, tuh.”
“Yuk,
cuci tangan sama cuci muka. Kaki lo udah bisa gerak, kan?”
“Udah.”
Tari berdiri, walau belum begitu mantap. Ari mengemas sisa-sisa makanan mereka,
membuangnya ke tong sampah, kemudian membantu Tari berjalan dan memakai
sepatunya.
Seharian
ini, keduanya berjalan-jalan. Bermain kemana saja. Tari mengabari mamanya kalau
dirinya akan pulang telat, bersama Ari, agar mamanya tidak terlalu khawatir.
Hari itu mereka tutup dengan duduk di pantai, menyaksikan matahari terbenam,
satu-satunya momen yang tak boleh terlewatkan.
Ari
memperhatikan gadis di sebelahnya yang sedang serius memunguti kerang-kerang
kecil dari segenggam pasir di tangannya. “Tar?” panggilnya pelan.
Tari
menoleh. “Ya?”
Pada
kesempatan itu, Ari meraih belakang kepala Tari, kemudian mencondongkan badan,
mencium keningnya. Karena tak ada perlawanan sama sekali, tangan yang lain
merengkuh keberadaan gadis itu. Bibirnya berpindah, mengecup ujung hidung Tari.
Sekilas, namun sarat akan kelembutan dan kasih sayang. Tari mendongak,
menatapnya kaget.
“Kenapa?
Mau marah?” Tentu saja Ari mengira Tari akan marah, karena tindakannya barusan
sukses menarik perhatian orang-orang di sekeliling mereka. Tapi ia sudah tidak
bisa menahan diri barusan. Yang tak disangkanya, Tari justru menggeleng pelan.
Agak salah tingkah.
“Buat
apa gue marah?”
Ari
tersenyum. “Makasih,” katanya tulus. “Makasih udah mau nemenin gue hari ini.”
Tari
hanya mengangguk-angguk. Dia mempertanyakan kembali kata-kata Fio tadi pagi.
Ngorbanin diri sendiri? Sepertinya memang benar. Tapi itu dilakukannya dengan
sukarela. Dan apakah aneh kalau dia bilang dia bahagia bisa menemani Ari?
Bersambung...
lagiii.. lagii, hehe
BalasHapuslanjutannya udah aku post :)
Hapus