Kamis, 09 Oktober 2014

Jingga untuk Matahari #fanfiction-3

Tari baru saja selesai mengenakan bandana oranye kesayangannya ketika ia mendengar deru mesin mobil berhenti di depan rumah. Tari segera mengecek kembali penampilannya.
“Udah siap?” Mama membuka pintu kamar Tari.
“Udah. Yuk, Ma, keluar.” Gadis itu menyambar ponselnya di tempat tidur.
Di luar, Ari telah menunggu bersama mamanya, Ata, dan Tante Lidya. Tari merasa malu ketika semua orang menoleh ke arahnya, namun juga ada semacam perasaan aneh membuncah dalam hatinya saat Ari tersenyum kepadanya. Rasa bahagia, kah?
“Sore, Tante,” sapa Ari ramah kepada mama Tari.
Sementara Mama, Mama Ari, Tante Lidya, dan Ata saling mengobrol untuk pertama kalinya, Tari beringsut mendekati Ari.
“Mau kemana, sih? Kayaknya penting banget sampe ngajak-ngajak Nyokap segala,” bisik Tari, tidak bisa menahan penasarannya.
“Mau acara lamaran,” sahut Ari kalem.
Tari melotot kaget. “Serius, nih!” desisnya sambil mencubit pinggang Ari yang langsung ketawa.
“Bercanda. Gue mau ajak kalian main ke tempat favorit gue.”
“Kemana?”
“Bawel. Tinggal ikut aja.”
Tatapan Tari berhenti kepada Ata yang ternyata juga tengah menatapnya. Tari buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain karena tatapan Ata terasa menusuk. Tatapan yang tak terbaca, tapi jelas menyiratkan sebuah makna.
“Yuk, masuk.” Ari menggandeng tangan Tari dan membukakan pintu mobil. “Lo duduk di belakang ya sama Ata. Biar nyokap lo sama Tante Lidya di tengah.”
Tari terkesiap. “Gue sama Ata?”
“Iya. Kenapa? Nggak mau?” tanya Ari heran. “Gue harus nyetir dan Nyokap suka mabuk, jadi harus duduk di depan juga. Sori.”
“Ehm, bukan masalah itu, tapi... eh, nggak pa-pa, kok. Gue nggak keberatan.” Tari menggeleng pelan, kemudian masuk dan duduk di jok belakang. Tak lama Ata menyusul, duduk di sebelahnya. Tari memejamkan mata sejenak sambil menghirup napas dalam-dalam. Lewat sudut mata, ia bisa melihat Ata tengah memperhatikannya. Sepanjang perjalanan, semua orang di dalam mobil mengobrol seru, kecuali Tari yang masih kesulitan meredam gelisah.
Ah, Mama, nih! Cepet banget akrab sama keluarga Ari, gerutu Tari dalam hati, bete sendiri memperhatikan Mama yang sejak tadi asyik berbincang dengan mama Ari dan Tante Lidya, sesekali Ari dan Ata ikut menimpali juga. Tertawa. Bertukar cerita. Gue gimana niiiih!! jeritnya frustasi.
Jok super nyaman pun tak berhasil membuat Tari duduk diam. Berkali-kali ia menggeser posisinya, kadang bangkit dari sandaran jok, dan kadang menghempaskan punggungnya lagi dengan keras. Tiba-tiba ponsel dalam saku celana jins-nya bergetar, menandakan pesan masuk.  Tari merasa sedikit lega karena akhirnya ada kegiatan yang bisa dilakukannya sebelum dia mati bosan dan gelisah. Semoga saja bukan SMS dari operator.

Lo knp?

Tari mengerutkan kening. Dari nomor tak dikenal. Siapa? Tubuh Tari mendadak menegang dan kerutan di keningnya menghilang seketika. Siapa yang dari tadi memperhatikan gerak-geriknya selain Ata? Tidak mungkin Ari, karena dilihatnya dan didengarnya cowok itu sedang berbicara kepada mamanya. Tidak mungkin juga dia mengetik SMS di tengah-tengah tugasnya menyetir. Dan, lagi-lagi, lewat sudut mata, Tari melihat tangan kanan Ata menggenggam ponsel.
Pasti cowok itu meminta nomor ponselnya dari Ari, dan entah apa yang ada di pikiran Ari hingga memberikannya tanpa kecurigaan. Yang bikin Tari makin heran, kenapa Ata malah bertanya? Apa dia tidak sadar Tari jadi seperti ini gara-gara kedatangan dan kata-katanya beberapa hari yang lalu? Apa dia lupa? Apa dia sedang bercanda? Kenapa dia malah bersikap seperti ini?
Sambil menggigiti bibir cemas, Tari mengetik balasan, berusaha keras untuk tidak melirik apalagi menoleh ke arah seseorang yang duduk di sebelahnya.

Gpp
Ngapain lo nyimpen no gw?

Betul, memang itu tadi SMS dari Ata. Buktinya, cowok itu langsung membuka ponselnya yang berkedip beberapa kali untuk membaca pesan masuk, tepat setelah SMS dari Tari terkirim. Tari membuang muka ke jendela, menunggu ponsel di tangannya bergetar lagi. Tapi hingga satu menit penuh terlewat, ponselnya tetap diam. Tak ada balasan masuk. Tari juga tak merasakan tatapan itu lagi. Tatapan yang berasal dari sepasang mata Ata yang sejak berangkat tadi sudah mengganggunya. Suasana di dalam mobil juga mendadak hening. Pelan-pelan gadis itu menoleh, penasaran. Ternyata Ata memang tidak sedang memandangnya. Matanya sekarang tengah sibuk menatap keluar jendela. Badannya tegak dan tegang.
“Ri,” panggil Ata dengan suara tercekat, memecah keheningan yang tercipta terlalu tiba-tiba. “Jangan bilang kita mau ke...”
“Ya,” potong Ari dari depan. Tangannya mencengkeram setir kuat-kuat, hingga buku-buku jarinya memutih. Ketegangan yang sama juga dirasakannya. “Kita ke sana.”
Ari menoleh sekilas pada Mama yang diam membeku. Melihat ekspresi di wajah mamanya, Ari memutuskan untuk tidak berkata apa-apa. Ia yakin Mama dan Ata sangat mengenali jalan ini. Diinjaknya pedal gas semakin dalam, mempercepat mereka sampai ke tujuan. Obrolan menyenangkan sepanjang perjalanan membuat semua orang, kecuali Ari, tidak sadar bahwa mobil telah memasuki daerah luar kota. Jalannya pun telah berubah, dari yang awalnya jalan raya yang lebar dan ramai, jalan yang kini mereka lalui sempit dan cenderung naik. Meski bodi mobil tergolong cukup besar, Ari begitu terlatih untuk tetap menjalankannya dengan mulus di jalanan sempit ini.
Menit-menit berlalu dalam keheningan yang tidak wajar. Tari dan mamanya yang tidak mengerti apa yang terjadi, juga ikutan diam. Tari kini terang-terangan menatap Ata, berusaha mendapatkan jawaban, namun cowok itu masih sibuk menatap ke luar sana. Sama sekali tak peduli lagi padanya. Akhirnya keterdiaman mereka pecah ketika Ari menghentikan mobil di sebuah tempat parkir.
Ari keluar dan segera membukakan pintu untuk mamanya. “Ma?” panggil Ari sembari mengguncang pelan tubuh sang Mama yang sudah turun dari mobil dengan kondisi seperti mayat hidup. Pucat. Kaku. Dingin. “Mama baik-baik aja?”
“Tempat ini,” bisik Mama yang seolah kehilangan kesadaran dan akal sehatnya.
Ari tahu mamanya tak akan sanggup menahan tangis. Ia sudah bisa memperkirakan hal itu sejak berjam-jam yang lalu. Dipeluknya tubuh sang Mama, yang langsung menumpahkan tangis di sana.
“Tempat ini, Ri...”
Ari menghela napas, mengusir sesak yang makin lama makin menghimpit seiring dengan air mata Mama yang jatuh di dadanya. Cowok itu malah kehilangan ketenangannya sendiri yang seharusnya ia bagi kepada Mama. Jadi bukan kata-kata menenangkan yang bisa ia beri sekarang, hanya pelukan erat dan kecupan di dahi untuk mamanya.
Ya. Tempat ini. Ari sering mengunjungi tempat ini kala ia terpuruk. Ketika ia kehilangan kekuatannya. Ketika kesepian kembali mendera. Ketika kekosongan berhasil menguasai hatinya. Ketika kesakitan sukses meruntuhkan benteng pertahanannya. Kepada tempat ini ia mengadu seluruh luka. Kepada sang matahari senja ia tunjukkan tetesan air mata. Tanpa segala topeng yang selama ini telah ia kenakan.
Tak ada rahasia antara dirinya dan tempat ini. Tempat ini mengetahui keseluruhan alur hidupnya. Menjadi saksi bisu atas segala cerita tentang keluarganya. Masa-masa bahagia yang kemudian digantikan dengan masa-masa kelam, yang membuat Ari terluka di setiap detiknya. Tempat inilah yang selalu menjadi tempat pelarian. Menjadi tempatnya berpegangan. Dengan melihat setiap detail, hingga kemudian Ari percaya bahwa kenangan bahagia antara dirinya, Mama, Papa, dan Ata bukan sekadar mimpi belaka. Semuanya memang pernah ada. Semuanya realita.
Kesadaran itu membantunya mendapatkan kekuatan kembali. Menutup seluruh luka untuk sementara. Membangun kembali benteng dalam dirinya, yang semakin lama kekokohannya semakin dipertanyakan. Serta memperbaiki setiap topeng dan jubah untuk dikenakannya lagi di dunia luar, tempat di mana ia tak bisa menjadi dirinya sendiri.
Mama terluka karena lebih dari sembilan tahun lamanya tempat ini tak pernah ia injak kembali. Di antara sekian banyak kenangan dalam kepalanya, tempat ini yang selalu dirindukannya. Bukan rumah lamanya. Bukan rumah Lidya. Tapi tempat ini. Tempat yang seketika mengingatkannya pada seribu satu cerita di masa lalu. Juga mengingatkannya bahwa dulu keluarga mereka pernah tertawa bersama. Di sini. Di tempat ini. Merajut cinta. Berbagi canda. Hingga semuanya kini tak lagi ada. Semua kisah indah itu. Apalagi yang disebut keluarga. Juga kue-kue perbekalan yang dulu selalu menemani mereka. Semuanya menghilang begitu saja.
Ata menatap Mama dan adik kembarnya yang sedang berpelukan dengan perasaan campur aduk. Ia sendiri sebenarnya tak kalah kalutnya dengan Mama setelah mengetahui Ari membawa mereka ke tempat ini. Tubuhnya sempat terhuyung sesaat begitu turun dari mobil, yang untungnya dengan sigap dipegangi oleh Tante Lidya hingga ia tidak sampai tersungkur ke tanah. Tante Lidya menuntunnya pelan-pelan ke Mama dan Ari. Begitu tiba di dekat mereka, Mama melepaskan Ari dan ganti memeluknya. Keduanya terguncang. Tenggelam dalam lautan memori yang membanjiri kepala mereka.
Ari perlahan menyeka setitik air mata yang nyaris meluncur turun dari sudut mata menggunakan ujung lengan kaus, kemudian ia menghampiri Tari dan mamanya yang hanya berdiri diam menyaksikan.
“Maaf, Tante. Kami terlalu emosional di tempat ini. Karena...”
“Tante tahu,” sela mama Tari sambil tersenyum. Disentuhnya bahu kanan Ari dan diusapnya lembut. “Tante mengerti. Tempat ini pasti punya kenangan tersendiri buat kalian.”
Ari mengangguk-angguk, membenarkan perkataan mama Tari. “Kalo gitu, ayo masuk.”
Sementara mama Tari berjalan mendekati mamanya yang masih menangis, tatapan Ari beralih pada gadis di depannya. “Yuk, Tar.”
Keduanya melangkah beriringan. Ari tidak membuka mulut sampai mereka tiba di salah satu saung yang menghadap ke barat. Saung tua favoritnya. Sudah hampir pukul 5 sore. Senja mulai turun di cakrawala. Menyambut kedatangan dua matahari senja lain yang sekarang duduk bersama di ujung saung.
“Indah banget ya,” desah Tari tanpa melepas tatapannya dari langit berwarna lembayung jingga yang menyuguhkan pesona alam matahari terbenam.
“Ya. Itu salah satu alasan gue suka berada di sini,” sahut Ari, juga tanpa mengalihkan perhatiannya dari langit barat. “Ini tempat favorit gue.”
“Boleh gue ikut duduk?” Sebuah suara berat menyela di belakang mereka. Ata. Sosok matahari yang lain. Ari menoleh ke belakang, dan bisa ia lihat, Mama, mama Tari, dan Tante Lidya duduk di meja yang ada di bekalang sana. Mama sudah terlihat lebih tenang, bahkan melempar senyum padanya. Ketiga wanita itu kemudian mengeluarkan dan menata perbekalan.
“Boleh,” jawab Ari, kemudian bergeser ke kiri. Tari juga ikut bergeser. Tak ayal, posisi duduk Tari kini diapit oleh dua matahari. Sementara dirinya sendiri juga matahari. Seperti ada jalinan dalam posisi duduk ini yang berhubungan dengan semua peristiwa yang terjadi di antara mereka.
Ari, yang awalnya selalu duduk sendiri, hingga kemudian Tari datang dalam hidupnya, mendampingi dan mengantarkannya pada Ata. Ari menganggap makna tersirat dari posisi duduk mereka seperti itu. Tari adalah jembatan pengubung antara dirinya dan Ata, hingga ia merasa mempunyai tanggung jawab untuk menjaga jembatan tadi. Sayang, dia tak tahu apa yang ada di pikiran saudara kembarnya tentang posisi duduk ini.
Ata diam-diam melirik Tari yang duduk tepat di sebelahnya. Kata maaf berulang kali terucap dalam hatinya. Ditujukan kepada saudara kembarnya, juga kepada seseorang yang menyandang nama serupa dengannya. Permohonan maaf yang sengaja ia ucapkan lebih awal, namun tanpa suara. Membiarkannya bergema dalam tempurung kepala. Karena Ata tahu, percuma kata maaf itu ia utarakan. Akan sia-sia saja.

***

Tari merentangkan tangan untuk meregangkan otot. Sudah pukul sebelas malam lewat. Mungkin meminum secangkir susu cokelat panas ide yang baik untuk menyegarkan pikiran setelah beberapa saat yang lalu ia paksakan untuk menyelesaikan PR Kimia. Tugas yang cukup berat untuk otaknya yang seharian ini sudah bekerja keras menghadapi berbagai masalah. Beberapa menit kemudian, ponselnya menjerit-jerit minta diangkat. Tari tergopoh-gopoh melesat dari dapur ke kamar sambil menjaga agar susu cokelat panas di tangannya tidak tumpah dari cangkir.
“Halo?”
“Udah tidur?” sapa suara dari seberang. Ari.
“Belom. Baru aja ngerjain tugas Kimia.”
“Sampe jam segini?”
“Susah, tau,” gerutu Tari. “Gue bukan elo yang otaknya encer kalo disuruh ngerjain Kimia.”
“Kenapa tadi nggak minta tolong gue? Gue bisa bantu elo besok pagi.”
“Udah selesai, kok. Lagian kalo dibantuin terus, kapan gue pinternya?”
Ari tertawa pelan. Suara tawa itu merembet ke bibir Tari, membuatnya melengkung lebar. Tari suka mendengar Ari tertawa. Bukan tawa kejam apalagi tawa penuh kemenangan seperti yang sering didengarnya selama ini. Namun tawa yang hangat dan ringan tanpa beban.
“Ya udah. Belajar yang serius. Gue nggak mau punya cewek bego.”
“Heh, sembarangan.” Tari jadi cemberut, kemudian menghirup susu panasnya pelan-pelan.
“Tar?”
“Mm?”
Thanks buat tadi sore.”
Bibir Tari kembali tersenyum. “Sama-sama. Gimana Nyokap lo?”
“Nyokap tadi udah janji, dia bakalan buang jauh-jauh semua kenangan tentang Bokap, dan akan bikin kenangan baru. Cuma sama gue dan Ata.”
“Ya. Sepertinya memang itu cara terbaik yang bisa dilakukan Nyokap lo.”
Tari mendengar Ari menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan.
“Ada apa, Ri?”
“Kak,” tegur Ari. “Lo harus manggil gue “Kak”. Mana sopan santun lo sama senior?”
“Dih, gila hormat,” cibir Tari jengkel. “Dipanggil “Kak” kok malah bangga. Itu menunjukkan kalo lo itu udah tua. Dasar kakek-kakek.”
“Eh, malah ngelunjak lo ya. Lo...”
“Iya, iya, Kakak Ariii,” potong Tari. Males kalau harus mendengar cowok itu mulai melontarkan ancaman seenak jidat. “Gue ulang, deh. Ada apa, Kak?” Tari sengaja menekankan satu kata itu.
“Nggak ada apa-apa. Cuma mau bilang makasih.”
“Tadi kan udah. Ngapain bilang lagi?”
Ada jeda beberapa detik di antara mereka sebelum Ari membuka mulut lagi. “Tar,” panggilnya dengan nada suara yang disukai Tari. Begitu lembut dan menyusup jauh ke dalam hati. “Makasih udah mau hadir dalam hidup gue.”
Tari kembali meminum susunya. “Lo udah sering banget bilang makasih ke gue untuk hal itu.”
“Karena gue mau lo tau kalo gue emang bersyukur banget. Ya udah, tidur gih sekarang. Udah hampir tengah malem. Besok pagi gue jemput kayak biasa.”
“Baiklah. Selamat malam, Kak,” ucap Tari dengan penuh kesopanan dan gaya formal. Setelah menutup telepon, ia cekikikan geli sambil geleng-geleng kepala. “Dasar, Kakak. Selalu seenaknya sendiri.”



Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar