Tari
baru saja selesai mengenakan bandana oranye kesayangannya ketika ia mendengar
deru mesin mobil berhenti di depan rumah. Tari segera mengecek kembali
penampilannya.
“Udah
siap?” Mama membuka pintu kamar Tari.
“Udah.
Yuk, Ma, keluar.” Gadis itu menyambar ponselnya di tempat tidur.
Di
luar, Ari telah menunggu bersama mamanya, Ata, dan Tante Lidya. Tari merasa
malu ketika semua orang menoleh ke arahnya, namun juga ada semacam perasaan
aneh membuncah dalam hatinya saat Ari tersenyum kepadanya. Rasa bahagia, kah?
“Sore,
Tante,” sapa Ari ramah kepada mama Tari.
Sementara
Mama, Mama Ari, Tante Lidya, dan Ata saling mengobrol untuk pertama kalinya,
Tari beringsut mendekati Ari.
“Mau
kemana, sih? Kayaknya penting banget sampe ngajak-ngajak Nyokap segala,” bisik
Tari, tidak bisa menahan penasarannya.
“Mau
acara lamaran,” sahut Ari kalem.
Tari
melotot kaget. “Serius, nih!” desisnya sambil mencubit pinggang Ari yang
langsung ketawa.
“Bercanda.
Gue mau ajak kalian main ke tempat favorit gue.”
“Kemana?”
“Bawel.
Tinggal ikut aja.”
Tatapan
Tari berhenti kepada Ata yang ternyata juga tengah menatapnya. Tari buru-buru
mengalihkan pandangan ke arah lain karena tatapan Ata terasa menusuk. Tatapan
yang tak terbaca, tapi jelas menyiratkan sebuah makna.
“Yuk,
masuk.” Ari menggandeng tangan Tari dan membukakan pintu mobil. “Lo duduk di
belakang ya sama Ata. Biar nyokap lo sama Tante Lidya di tengah.”
Tari
terkesiap. “Gue sama Ata?”
“Iya.
Kenapa? Nggak mau?” tanya Ari heran. “Gue harus nyetir dan Nyokap suka mabuk,
jadi harus duduk di depan juga. Sori.”
“Ehm,
bukan masalah itu, tapi... eh, nggak pa-pa, kok. Gue nggak keberatan.” Tari
menggeleng pelan, kemudian masuk dan duduk di jok belakang. Tak lama Ata
menyusul, duduk di sebelahnya. Tari memejamkan mata sejenak sambil menghirup
napas dalam-dalam. Lewat sudut mata, ia bisa melihat Ata tengah
memperhatikannya. Sepanjang perjalanan, semua orang di dalam mobil mengobrol
seru, kecuali Tari yang masih kesulitan meredam gelisah.
Ah, Mama, nih! Cepet
banget akrab sama keluarga Ari, gerutu Tari dalam
hati, bete sendiri memperhatikan Mama yang sejak tadi asyik berbincang dengan
mama Ari dan Tante Lidya, sesekali Ari dan Ata ikut menimpali juga. Tertawa. Bertukar
cerita. Gue gimana niiiih!! jeritnya
frustasi.
Jok
super nyaman pun tak berhasil membuat Tari duduk diam. Berkali-kali ia
menggeser posisinya, kadang bangkit dari sandaran jok, dan kadang menghempaskan
punggungnya lagi dengan keras. Tiba-tiba ponsel dalam saku celana jins-nya
bergetar, menandakan pesan masuk. Tari
merasa sedikit lega karena akhirnya ada kegiatan yang bisa dilakukannya sebelum
dia mati bosan dan gelisah. Semoga saja bukan SMS dari operator.
Lo knp?
Tari
mengerutkan kening. Dari nomor tak dikenal. Siapa? Tubuh Tari mendadak menegang
dan kerutan di keningnya menghilang seketika. Siapa yang dari tadi
memperhatikan gerak-geriknya selain Ata? Tidak mungkin Ari, karena dilihatnya
dan didengarnya cowok itu sedang berbicara kepada mamanya. Tidak mungkin juga
dia mengetik SMS di tengah-tengah tugasnya menyetir. Dan, lagi-lagi, lewat
sudut mata, Tari melihat tangan kanan Ata menggenggam ponsel.
Pasti
cowok itu meminta nomor ponselnya dari Ari, dan entah apa yang ada di pikiran
Ari hingga memberikannya tanpa kecurigaan. Yang bikin Tari makin heran, kenapa Ata
malah bertanya? Apa dia tidak sadar Tari jadi seperti ini gara-gara kedatangan
dan kata-katanya beberapa hari yang lalu? Apa dia lupa? Apa dia sedang
bercanda? Kenapa dia malah bersikap seperti ini?
Sambil
menggigiti bibir cemas, Tari mengetik balasan, berusaha keras untuk tidak melirik
apalagi menoleh ke arah seseorang yang duduk di sebelahnya.
Gpp
Ngapain lo nyimpen no gw?
Betul,
memang itu tadi SMS dari Ata. Buktinya, cowok itu langsung membuka ponselnya
yang berkedip beberapa kali untuk membaca pesan masuk, tepat setelah SMS dari
Tari terkirim. Tari membuang muka ke jendela, menunggu ponsel di tangannya
bergetar lagi. Tapi hingga satu menit penuh terlewat, ponselnya tetap diam. Tak
ada balasan masuk. Tari juga tak merasakan tatapan itu lagi. Tatapan yang
berasal dari sepasang mata Ata yang sejak berangkat tadi sudah mengganggunya.
Suasana di dalam mobil juga mendadak hening. Pelan-pelan gadis itu menoleh,
penasaran. Ternyata Ata memang tidak sedang memandangnya. Matanya sekarang
tengah sibuk menatap keluar jendela. Badannya tegak dan tegang.
“Ri,”
panggil Ata dengan suara tercekat, memecah keheningan yang tercipta terlalu
tiba-tiba. “Jangan bilang kita mau ke...”
“Ya,”
potong Ari dari depan. Tangannya mencengkeram setir kuat-kuat, hingga buku-buku
jarinya memutih. Ketegangan yang sama juga dirasakannya. “Kita ke sana.”
Ari
menoleh sekilas pada Mama yang diam membeku. Melihat ekspresi di wajah mamanya,
Ari memutuskan untuk tidak berkata apa-apa. Ia yakin Mama dan Ata sangat
mengenali jalan ini. Diinjaknya pedal gas semakin dalam, mempercepat mereka
sampai ke tujuan. Obrolan menyenangkan sepanjang perjalanan membuat semua
orang, kecuali Ari, tidak sadar bahwa mobil telah memasuki daerah luar kota.
Jalannya pun telah berubah, dari yang awalnya jalan raya yang lebar dan ramai,
jalan yang kini mereka lalui sempit dan cenderung naik. Meski bodi mobil
tergolong cukup besar, Ari begitu terlatih untuk tetap menjalankannya dengan
mulus di jalanan sempit ini.
Menit-menit
berlalu dalam keheningan yang tidak wajar. Tari dan mamanya yang tidak mengerti
apa yang terjadi, juga ikutan diam. Tari kini terang-terangan menatap Ata,
berusaha mendapatkan jawaban, namun cowok itu masih sibuk menatap ke luar sana.
Sama sekali tak peduli lagi padanya. Akhirnya keterdiaman mereka pecah ketika
Ari menghentikan mobil di sebuah tempat parkir.
Ari
keluar dan segera membukakan pintu untuk mamanya. “Ma?” panggil Ari sembari
mengguncang pelan tubuh sang Mama yang sudah turun dari mobil dengan kondisi
seperti mayat hidup. Pucat. Kaku. Dingin. “Mama baik-baik aja?”
“Tempat
ini,” bisik Mama yang seolah kehilangan kesadaran dan akal sehatnya.
Ari
tahu mamanya tak akan sanggup menahan tangis. Ia sudah bisa memperkirakan hal
itu sejak berjam-jam yang lalu. Dipeluknya tubuh sang Mama, yang langsung
menumpahkan tangis di sana.
“Tempat
ini, Ri...”
Ari
menghela napas, mengusir sesak yang makin lama makin menghimpit seiring dengan
air mata Mama yang jatuh di dadanya. Cowok itu malah kehilangan ketenangannya
sendiri yang seharusnya ia bagi kepada Mama. Jadi bukan kata-kata menenangkan
yang bisa ia beri sekarang, hanya pelukan erat dan kecupan di dahi untuk
mamanya.
Ya.
Tempat ini. Ari sering mengunjungi tempat ini kala ia terpuruk. Ketika ia
kehilangan kekuatannya. Ketika kesepian kembali mendera. Ketika kekosongan
berhasil menguasai hatinya. Ketika kesakitan sukses meruntuhkan benteng
pertahanannya. Kepada tempat ini ia mengadu seluruh luka. Kepada sang matahari
senja ia tunjukkan tetesan air mata. Tanpa segala topeng yang selama ini telah
ia kenakan.
Tak
ada rahasia antara dirinya dan tempat ini. Tempat ini mengetahui keseluruhan
alur hidupnya. Menjadi saksi bisu atas segala cerita tentang keluarganya.
Masa-masa bahagia yang kemudian digantikan dengan masa-masa kelam, yang membuat
Ari terluka di setiap detiknya. Tempat inilah yang selalu menjadi tempat
pelarian. Menjadi tempatnya berpegangan. Dengan melihat setiap detail, hingga
kemudian Ari percaya bahwa kenangan bahagia antara dirinya, Mama, Papa, dan Ata
bukan sekadar mimpi belaka. Semuanya memang pernah ada. Semuanya realita.
Kesadaran
itu membantunya mendapatkan kekuatan kembali. Menutup seluruh luka untuk
sementara. Membangun kembali benteng dalam dirinya, yang semakin lama
kekokohannya semakin dipertanyakan. Serta memperbaiki setiap topeng dan jubah
untuk dikenakannya lagi di dunia luar, tempat di mana ia tak bisa menjadi
dirinya sendiri.
Mama
terluka karena lebih dari sembilan tahun lamanya tempat ini tak pernah ia injak
kembali. Di antara sekian banyak kenangan dalam kepalanya, tempat ini yang
selalu dirindukannya. Bukan rumah lamanya. Bukan rumah Lidya. Tapi tempat ini.
Tempat yang seketika mengingatkannya pada seribu satu cerita di masa lalu. Juga
mengingatkannya bahwa dulu keluarga mereka pernah tertawa bersama. Di sini. Di
tempat ini. Merajut cinta. Berbagi canda. Hingga semuanya kini tak lagi ada.
Semua kisah indah itu. Apalagi yang disebut keluarga. Juga kue-kue perbekalan
yang dulu selalu menemani mereka. Semuanya menghilang begitu saja.
Ata
menatap Mama dan adik kembarnya yang sedang berpelukan dengan perasaan campur
aduk. Ia sendiri sebenarnya tak kalah kalutnya dengan Mama setelah mengetahui
Ari membawa mereka ke tempat ini. Tubuhnya sempat terhuyung sesaat begitu turun
dari mobil, yang untungnya dengan sigap dipegangi oleh Tante Lidya hingga ia tidak
sampai tersungkur ke tanah. Tante Lidya menuntunnya pelan-pelan ke Mama dan
Ari. Begitu tiba di dekat mereka, Mama melepaskan Ari dan ganti memeluknya.
Keduanya terguncang. Tenggelam dalam lautan memori yang membanjiri kepala
mereka.
Ari
perlahan menyeka setitik air mata yang nyaris meluncur turun dari sudut mata menggunakan
ujung lengan kaus, kemudian ia menghampiri Tari dan mamanya yang hanya berdiri
diam menyaksikan.
“Maaf,
Tante. Kami terlalu emosional di tempat ini. Karena...”
“Tante
tahu,” sela mama Tari sambil tersenyum. Disentuhnya bahu kanan Ari dan diusapnya
lembut. “Tante mengerti. Tempat ini pasti punya kenangan tersendiri buat
kalian.”
Ari
mengangguk-angguk, membenarkan perkataan mama Tari. “Kalo gitu, ayo masuk.”
Sementara
mama Tari berjalan mendekati mamanya yang masih menangis, tatapan Ari beralih
pada gadis di depannya. “Yuk, Tar.”
Keduanya
melangkah beriringan. Ari tidak membuka mulut sampai mereka tiba di salah satu
saung yang menghadap ke barat. Saung tua favoritnya. Sudah hampir pukul 5 sore.
Senja mulai turun di cakrawala. Menyambut kedatangan dua matahari senja lain
yang sekarang duduk bersama di ujung saung.
“Indah
banget ya,” desah Tari tanpa melepas tatapannya dari langit berwarna lembayung
jingga yang menyuguhkan pesona alam matahari terbenam.
“Ya.
Itu salah satu alasan gue suka berada di sini,” sahut Ari, juga tanpa
mengalihkan perhatiannya dari langit barat. “Ini tempat favorit gue.”
“Boleh
gue ikut duduk?” Sebuah suara berat menyela di belakang mereka. Ata. Sosok
matahari yang lain. Ari menoleh ke belakang, dan bisa ia lihat, Mama, mama
Tari, dan Tante Lidya duduk di meja yang ada di bekalang sana. Mama sudah
terlihat lebih tenang, bahkan melempar senyum padanya. Ketiga wanita itu
kemudian mengeluarkan dan menata perbekalan.
“Boleh,”
jawab Ari, kemudian bergeser ke kiri. Tari juga ikut bergeser. Tak ayal, posisi
duduk Tari kini diapit oleh dua matahari. Sementara dirinya sendiri juga
matahari. Seperti ada jalinan dalam posisi duduk ini yang berhubungan dengan
semua peristiwa yang terjadi di antara mereka.
Ari,
yang awalnya selalu duduk sendiri, hingga kemudian Tari datang dalam hidupnya,
mendampingi dan mengantarkannya pada Ata. Ari menganggap makna tersirat dari
posisi duduk mereka seperti itu. Tari adalah jembatan pengubung antara dirinya
dan Ata, hingga ia merasa mempunyai tanggung jawab untuk menjaga jembatan tadi.
Sayang, dia tak tahu apa yang ada di pikiran saudara kembarnya tentang posisi
duduk ini.
Ata
diam-diam melirik Tari yang duduk tepat di sebelahnya. Kata maaf berulang kali
terucap dalam hatinya. Ditujukan kepada saudara kembarnya, juga kepada
seseorang yang menyandang nama serupa dengannya. Permohonan maaf yang sengaja
ia ucapkan lebih awal, namun tanpa suara. Membiarkannya bergema dalam tempurung
kepala. Karena Ata tahu, percuma kata maaf itu ia utarakan. Akan sia-sia saja.
***
Tari
merentangkan tangan untuk meregangkan otot. Sudah pukul sebelas malam lewat.
Mungkin meminum secangkir susu cokelat panas ide yang baik untuk menyegarkan
pikiran setelah beberapa saat yang lalu ia paksakan untuk menyelesaikan PR
Kimia. Tugas yang cukup berat untuk otaknya yang seharian ini sudah bekerja
keras menghadapi berbagai masalah. Beberapa menit kemudian, ponselnya
menjerit-jerit minta diangkat. Tari tergopoh-gopoh melesat dari dapur ke kamar
sambil menjaga agar susu cokelat panas di tangannya tidak tumpah dari cangkir.
“Halo?”
“Udah
tidur?” sapa suara dari seberang. Ari.
“Belom.
Baru aja ngerjain tugas Kimia.”
“Sampe
jam segini?”
“Susah,
tau,” gerutu Tari. “Gue bukan elo yang otaknya encer kalo disuruh ngerjain
Kimia.”
“Kenapa
tadi nggak minta tolong gue? Gue bisa bantu elo besok pagi.”
“Udah
selesai, kok. Lagian kalo dibantuin terus, kapan gue pinternya?”
Ari
tertawa pelan. Suara tawa itu merembet ke bibir Tari, membuatnya melengkung
lebar. Tari suka mendengar Ari tertawa. Bukan tawa kejam apalagi tawa penuh
kemenangan seperti yang sering didengarnya selama ini. Namun tawa yang hangat
dan ringan tanpa beban.
“Ya
udah. Belajar yang serius. Gue nggak mau punya cewek bego.”
“Heh,
sembarangan.” Tari jadi cemberut, kemudian menghirup susu panasnya pelan-pelan.
“Tar?”
“Mm?”
“Thanks buat tadi sore.”
Bibir
Tari kembali tersenyum. “Sama-sama. Gimana Nyokap lo?”
“Nyokap
tadi udah janji, dia bakalan buang jauh-jauh semua kenangan tentang Bokap, dan
akan bikin kenangan baru. Cuma sama gue dan Ata.”
“Ya.
Sepertinya memang itu cara terbaik yang bisa dilakukan Nyokap lo.”
Tari
mendengar Ari menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan.
“Ada
apa, Ri?”
“Kak,”
tegur Ari. “Lo harus manggil gue “Kak”. Mana sopan santun lo sama senior?”
“Dih,
gila hormat,” cibir Tari jengkel. “Dipanggil “Kak” kok malah bangga. Itu menunjukkan
kalo lo itu udah tua. Dasar kakek-kakek.”
“Eh,
malah ngelunjak lo ya. Lo...”
“Iya,
iya, Kakak Ariii,” potong Tari. Males kalau harus mendengar cowok itu mulai melontarkan
ancaman seenak jidat. “Gue ulang, deh. Ada apa, Kak?” Tari sengaja menekankan satu kata itu.
“Nggak
ada apa-apa. Cuma mau bilang makasih.”
“Tadi
kan udah. Ngapain bilang lagi?”
Ada
jeda beberapa detik di antara mereka sebelum Ari membuka mulut lagi. “Tar,”
panggilnya dengan nada suara yang disukai Tari. Begitu lembut dan menyusup jauh
ke dalam hati. “Makasih udah mau hadir dalam hidup gue.”
Tari
kembali meminum susunya. “Lo udah sering banget bilang makasih ke gue untuk hal
itu.”
“Karena
gue mau lo tau kalo gue emang bersyukur banget. Ya udah, tidur gih sekarang.
Udah hampir tengah malem. Besok pagi gue jemput kayak biasa.”
“Baiklah.
Selamat malam, Kak,” ucap Tari dengan penuh kesopanan dan gaya formal. Setelah
menutup telepon, ia cekikikan geli sambil geleng-geleng kepala. “Dasar, Kakak. Selalu seenaknya sendiri.”
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar