Selasa, 30 September 2014

Jingga untuk Matahari #fanfiction-2

Ari menghentikan motor di depan rumah Tari. Tanpa menunggu lebih lama, cewek di boncengannya langsung meloncat turun.
“Makasih,” kata Tari sekenanya.
“Inget, ntar jam tujuh, oke?” Ari menaikkan kaca helm dan melemparkan kedipan sebelah mata.
Tari menghembuskan napas keras-keras. “Iya, iyaaa. Nggak usah diingetin terus, gue belom pikun. Udah sana pulang.”
Ari tertawa mendengus. “Elo tuh ya. Suka banget ngusir-ngusir gue.” Diusapnya kepala Tari dengan gemas. “Ya udah. Gue pulang.”
Tari tetap berdiri di tempatnya sampai motor Ari menghilang ditelan gang sempit di ujung jalan sana. Setiap pulang sekolah, Ari memang selalu mampir ke rumah Tante Lidya untuk menemui Mama dan Ata. Oh ya. Ata. Tari belum pernah berbicara lagi dengan Ata sejak cowok itu datang ke rumahnya dan berbicara sesuatu yang nggak jelas beberapa hari yang lalu.
“Bakalan sering bikin gue nangis?” gumam Tari heran ketika kembali mengingat kata-kata Ata. Cewek itu melipat tangan di depan dada. Bibirnya mengerucut, dan sepasang matanya mengawasi jalan masuk gang tempat Ari menghilang tadi. “Aneh. Kenapa sampai sekarang Kak Ata masih diem? Yah, syukur deh kalo dia cuma bercanda soal kata-katanya dulu. Mungkin untuk saat ini gue aman.”
“Aman dari apa?”
Tari terlonjak kaget mendengar suara yang berasal tepat dari belakang telinganya itu. Suara yang cukup lama tidak didengarnya, hingga nyaris terdengar asing. Begitu membalikkan badan, ia semakin terperangah melihat sosok pemilik suara tadi.
Angga menikmati keterpanaan gadis di depannya. Cowok itu membalasnya dengan senyuman lebar. “Lagi ngapain siang bolong begini berdiri di sini?”
“Ang... ga?” Tari menggelengkan kepala tak percaya.
“Ya. Cuma satu-satunya di dunia ini,” sahut Angga nyengir. “Halo, Tari. Udah berapa lama kita nggak ketemu?”
“Ehm, mending lo pulang, deh,” jawab Tari. Seketika ia jadi takut, panik, kalut, tapi juga merasa tidak enak telah mengusir Angga. Perasaannya kacau balau. Ia bahkan lupa bagaimana harus bersikap ramah di hadapan Angga setelah sekian lama tidak bertemu. “Ari masih ada di deket-deket sini. Takutnya kalo dia tiba-tiba nongol.”
Angga mengangkat sebelah bahunya. “Gue nggak takut. Biar aja kalo dia mau nongol. Emangnya kenapa?”
Tari melotot. “Lo nggak mikir kesalemetan sepupu lo kalo sampe Ari tahu lo ada di sini?”
“Tar,” panggil Angga, sengaja menghindari pertanyaan Tari barusan, dan langsung mengajukan pertanyaan inti untuk menyerang balik. “Apa bener lo udah jadian sama Ari?”
“Eh? Ng... itu...” Tari jadi salah tingkah. Harus bilang bagaimana di hadapan Angga? Apa Angga bakalan marah? Mendadak Tari merasa bersalah. Merasa menjadi pengkhianat, entah apa alasannya. Jadian dengan Ari sekarang terasa salah begitu berhadapan dengan Angga. Dilihat dari sudut pandang dirinya sendiri sekali pun.
“Jawab aja yang jujur,” kata Angga lagi. Tidak bermaksud memaksa, bahkan sebisa mungkin ia menunjukkan sikap santai. Ia ingin gadis di hadapannya ini mengatakan kenyataan yang sebenarnya dengan sukarela. “Gue ke sini mau mastiin gosip itu bener ato nggak. Jadi jangan bikin kedatengan gue yang mempertaruhkan keselamatan Gita jadi sia-sia.”
Memikirkan hal itu, akhirnya Tari menjawab takut-takut, “I.. iya, gue emang udah jadian sama Ari.”
Angga mengangguk-angguk. Raut wajahnya datar, begitu sulit ditebak. Sama sekali tak terbaca. Begitu banyak emosi yang berkelebat di sana. Ekspresi seperti itu malah membuat Tari semakin tegang. Akan lebih baik kalau Angga menunjukkan wajah marahnya daripada wajah misterius seperti ini.
“Sejak kapan?” tanya Angga lagi.
Diam-diam Tari kesulitan menelan ludah. “Belum lama, sih. Baru sekitar... dua-tiga minggu yang lalu.”
“Langsung lo jawab?”
“Mm? Apa maksud lo?”
Angga menghela napas, kemudian berbicara lambat-lambat, “Saat Ari minta lo jadi ceweknya, apa langsung lo jawab? Lo langsung mau?”
Pikiran Tari langsung melayang pada hari di mana Ari meminta ia menjadi ceweknya. Hari itu, tubuh Tari serasa luluh lantak karena ia memaksakan diri mengikuti pelajaran olahraga, padahal sejak pagi tubuhnya lemas entah kenapa. Materi pelajaran olahraga hari itu bisa dibilang menyiksa. Lari bolak-balik setengah lapangan berjarak 20 meter dalam waktu dan target yang telah ditentukan. Tari nyaris pingsan. Tapi ia berhasil melewati jam olahraga dan jam-jam pelajaran berikutnya dengan selamat.
Pulang sekolah, ketika ia baru saja menghempaskan pantat ke tempat duduk yang masih kosong di dalam bus, seseorang juga mengambil tempat duduk di sebelahnya. Tanpa mengacuhkan orang di sebelahnya yang ia tahu juga mengenakan seragam SMA yang sama dengannya, Tari menyandarkan kepala ke sandaran kursi lalu memejamkan mata. Mendadak, telapak tangan milik seseorang meraba dahinya. Kontan tubuh Tari berjengit dan kedua kelopak matanya membuka lebar. Belum sempat ia bicara atau menjerit, sebuah suara berat dan bernada rendah mendahuluinya.
“Hangat. Lo sakit?”
Tari menoleh. Ternyata telapak tangan yang kini menempel di keningnya adalah milik Ari. “Elo...”
Saking terpakunya, Tari tidak melanjutkan kata-katanya ataupun berusaha mengenyahkan tangan Ari, sampai Ari sendiri yang menarik tangannya menjauh. “Gue liat lo lemes banget hari ini.”
“Mm,” gumam Tari pelan. Kemudian memejamkan matanya lagi. Kepalanya terasa berat. “Lo ngapain naik bus? Kemana motor lo? Atau jangan-jangan elo berniat buntutin gue ya?”
Ari tersenyum geli. “Elo tuh ya. Sakit, masih aja cerewet. Suka-suka gue dong mau naik bus ato becak. Lagian ngapain juga gue buntutin elo.”
“Serah deh,” gumam Tari lagi. Begitu bus berhenti di halte dekat rumahnya, ia turun. Tanpa disangka, penumpang bus yang tadi duduk di sebelahnya juga ikut turun. Tari menoleh sekilas saat Ari berjalan mengikuti di belakangnya, masih sambil melangkah menuju rumahnya. “Sok-sokan bilang nggak mau buntutin gue. Trus ini namanya apa?” gerutunya dengan suara keras.
Lagi-lagi Ari hanya tersenyum geli. Ia menjaga jarak hanya satu setengah meter di belakang Tari. Tari memilih untuk tidak memusingkan cowok itu. Mau Ari berjalan ke mana kek, dia tidak ingin peduli karena kepalanya bertambah sakit saat ini.
Ternyata perkiraan Ari tidak meleset. Menjelang mereka mencapai pagar rumah Tari, tubuh gadis itu meluruh jatuh. Ari yang sudah berjaga-jaga sejak tadi, dengan sigap menangkap tubuh Tari. Gadis itu tidak pingsan. Matanya yang sayu melebar saat wajah Ari muncul di atasnya. Badannya yang lemas semakin tidak bisa digerakkan ketika menyadari kedua lengan cowok itu merengkuh keseluruhan tubuhnya.
“Ini sebabnya gue ngikutin elo dari tadi,” bisik Ari pelan. Tanpa permisi, ia menggendong tubuh Tari dan membawanya masuk ke rumah. Tari tidak akan pernah lupa bagaimana ekspresi Mama begitu melihat anak perempuannya pulang dalam gendongan seorang cowok.
Mama sempat terpana dengan mimik wajah yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Namun buru-buru ia menyuruh Ari membawa Tari masuk dan membaringkannya di sofa. Dalam waktu yang digunakan Mama untuk mengambil obat, Ari mengurung Tari yang kini tergolek lemah di sofa dengan kedua lengannya.
“Mau ngapain lo?” desis Tari, pelan namun panik.
Ari malah semakin mendekatkan wajah. Bibirnya tersenyum tipis. “Gue belom denger makasih.”
“Makasih,” sahut Tari cepat-cepat. Ingin rasanya ia berteriak menyuruh Ari agar cepat pulang dan tidak mengganggunya. Tapi cowok itu bergeser sedikit pun tidak.
“Gue rasa elo tau, apa yang gue lakukan tadi bukan bentuk perhatian biasa. Nggak ada yang merhatiin kalo wajah lo pucet banget dan badan lo kayak pohon mau tumbang. Cuma gue. Dan mungkin kalo gue nggak peduliin itu semua, lo bakal pingsan di depan sana dan masih tiduran di tanah sampai sekarang dengan ancaman gegar otak. Nggak tau lo nganggep perhatian gue itu jenis perhatian apa, tapi yang gue tahu itu adalah jenis perhatian cowok ke ceweknya.”
Ari menegakkan tubuhnya tepat saat Mama muncul kembali. Tari berusaha mencerna perkataan Ari sementara ia menelan obat yang disodorkan Mama. Pelan-pelan, ia menyadari kemana arah pembicaraan ini. Dan seiring kesadaran itu pula, tubuhnya mendadak tegang. Semuanya tambah kacau ketika Mama meminta tolong Ari untuk sekalian menggendongkan Tari ke kamarnya.
“Nggak usah, Ma. Tari bisa jalan sendiri,” tolaknya setengah mati.
“Nggak pa-pa, Tar. Gue nggak keberatan, kok. Tambah repot kan kalo lo jatoh ntar,” kata Ari kalem. Tari melotot.
Mama mengangguk-angguk mendukung pernyataan Ari. “Mama siapin kamar kamu.”
Ah Mama nih! Tega! jerit Tari dalam hati. Mama berjalan lebih dulu ke kamar Tari. Melihat Ari yang sudah mengulurkan lengan hendak menggendongnya, Tari ingin kabur sejauh-jauhnya, tapi... apa daya. Ia merutuki tubuh lemasnya habis-habisan. Mau tak mau ia kembali terkurung dalam lengan Ari yang mengangkat tubuhnya dengan mudah.
“Jadi, biar lain kali perhatian gue ke elo nggak terasa berlebihan dan ekspresi Nyokap lo nggak kayak tadi lagi waktu liat lo di gendongan gue, kita harus memperjelas status kita,” bisik Ari sambil berjalan.
Sekarang bukan hanya kepala Tari tambah nyut-nyutan, jantungnya pun ikut berdenyut tak karuan. “Maksudnya... gue jadi cewek elo, gitu? Elo jadi cowok gue?”
“Yap, pinter. Tapi elo sendiri yang bakal nentuin hal itu. Gue kasih waktu. Jangan lama-lama.” Tari juga tidak akan pernah lupa kalau Ari mencium keningnya lembut setelah mengucapkan itu.

***

“Tar?” Suara Angga menyentakkan Tari kembali ke alam nyata di mana ia sedang berdiri di hadapan cowok itu siang ini.
“Eh, itu...” Tari menggigit bibir panik. Ini masalah pribadi, dan ia merasa memiliki hak untuk menolak menjawabnya. Angga tak akan bisa memaksa. Namun berdiri di depan Angga secara langsung seperti ini membuatnya kesulitan berbohong, apalagi menolak menjawab. Jadi Tari hanya berkelit, “Lo nggak mau masuk dulu? Di sini panas.”
“Nggak usah. Gue nggak lama. Bukannya lo sendiri yang takut kalo Ari tiba-tiba ke sini? Lo mau dia ngamuk?” Angga mencondongkan tubuh tingginya ke arah Tari, membuat gadis itu mundur setengah langkah sambil menggeleng-geleng pelan.
“Gue nggak takut sama keselametan gue sendiri, Tar. Gue lebih mentingin keselametan lo dan Gita.” Angga sudah mengulurkan tangan untuk menyentuh kepala Tari, tapi segera diurungkannya niat itu. Ia tarik kembali tangannya dan dimasukkannya ke saku celana dengan keadaan menggenggam keras, hingga ia bisa merasakan kuku-kukunya menancap kuat di telapak tangannya. Ia tahu, hal-hal sepele seperti mengusap kepala Tari akan kembali memunculkan rasa itu dalam hatinya. Untuk kali ini Angga menyadari. Benar-benar menyadari. Rasa yang ada bukan semata-mata mencari kepuasan balas dendam kepada Ari. Tapi rasa ini lebih mengenai seseorang yang ia sayangi hingga begitu ingin ia perjuangkan.
Bukannya Angga tak menyukai perasaan semacam itu. Bahkan ia nikmati setiap detiknya. Dibiarkannya denyut cinta menyayat urat nadi dan rasa rindu membakar nuraninya. Memang terasa menyiksa. Karena setelah sekian lama ia tak bertemu dengan seseorang yang ia cintai, kini orang itu malah sudah berada dalam rengkuhan lengan lawan. Angga hanya sedang mencari jembatan penghubung antara dirinya dan Tari, yang dulu telah diblokir penuh oleh Ari lewat kehadiran Gita, sepupunya, di antara mereka. Namun jembatan itu hanya diblokir. Belum runtuh. Jadi masih ada harapan. Kalaupun jembatan itu sudah tidak bisa dibuka apalagi dilalui, ia rela membangun jembatan baru, yang akan ia hindarkan dari keterlibatan Gita.
“Sekarang lo jawab pertanyaan gue,” kata Angga lagi. “Lo beneran langsung mau?”
“Nggak, sih,” jawab Tari. Entah kenapa Angga merasa lega mendengarnya. “Gue minta waktu beberapa hari.”
“Nggak mungkin Ari bisa nunggu lama,” tukas Angga.
“Tepat sekali.” Tari tersenyum tipis. “Gue baru mikir satu hari, dan dia udah neror gue. Bukan cuma di alam nyata, tau nggak. Di alam mimpi pun gue bawaannya liat dia mulu, ngejar-ngejar gue sambil nagih jawaban. Gimana gue nggak jadi stres?” Tari menggedikkan bahu. “Yah, gitu deh, akhirnya gue kasih jawaban.”
Angga menatap Tari lurus-lurus. Kepada sepasang bola mata cokelat di depannya ini ia kirimkan seluruh perasaan dalam hatinya. Entah bagaimana Tari akan menangkapnya, ia tak sepenuhnya peduli. “Sekarang pertanyaan terakhir. Gue mau lo jawab sejujur-jujurnya.”
Tari tak bisa berjanji. Kejujurannya akan tergantung pada pertanyaan Angga. Kalau memang dia tidak bisa berterus terang, akan dilakukannya itu. Berbohong.
Kehati-hatian tertangkap jelas ketika Angga mengajukan pertanyaan, “Tar... apa lo sayang sama Ari?”
Tari tercekat seketika. Kenapa harus pertanyaan ini? keluhnya dalam hati. Angga terlihat begitu tenang saat bertanya tadi. Cowok itu berhasil menyembunyikan kegelisahan yang timbul bersama sejuta gelegak emosi dalam dada, dan juga berhasil menekan seluruh ketakutannya. Tak ia lepaskan tatapannya dari sepasang mata Tari, berusaha mencari kejujuran di sana.
“Soal itu... gue belom tau,” jawab Tari gugup, tidak berhasil menemukan kata-kata lain. Ia juga tak yakin bisa berbicara lebih lanjut karena tenggorokannya serasa tersekat sesuatu.
Angga diam sejenak. Matanya menyipit saat berhasil mengartikan apa yang dia lihat dari sepasang mata Tari. “Elo bohong.”
“Apa?”
“Gue tau lo nggak jujur. Sebenernya lo udah tau jawabannya. Ada di hati lo.” Angga melangkah maju, memperpendek jarak dengan Tari, hingga tinggal beberapa senti saja ruang yang tersisa di antara mereka. Ia membungkukkan badan sedikit untuk berbisik di sebelah telinga kiri Tari, “Gue mau lo ngaku. Tapi gue nggak akan maksa. Kalo lo nggak mau ngomong, it’s fine. Suatu saat nanti gue akan tau sendiri jawabannya.”
Perlahan kakinya melangkah mundur. Untuk sesaat, ditatapnya Tari yang tak mau balas menatap. Dalam benaknya, sudah bisa ia bayangkan bahwa pada hari-hari ke depan, dirinya dan gadis ini akan semakin sering bertemu. Entah pada situasi yang diinginkan atau tidak. Entah pada suasana yang menyenangkan atau tidak.

***

Bisikkan Angga membuat Tari memutuskan untuk menundukkan kepala, tidak ingin melihat cowok itu lebih lama. Ketika Angga berjalan menjauh pun ia masih tetap menunduk. Satu... dua... tiga... empat... lima... Sampai pada hitungan kedua puluh, barulah Tari mengangkat wajah. Angga sudah menghilang dari hadapannya. Tari bertanya-tanya kenapa cowok itu tidak membawa motor.
“Duuh, tu cowok bikin kaget aja. Nongol tiba-tiba, ngilang juga tiba-tiba,” keluhnya sembari menepuk-nepuk dada dan menarik napas panjang, berusaha melegakan paru-parunya karena sejak tadi ia terlalu sering menahan napas. Baru saja kakinya akan melangkah memasuki pagar rumah, ponselnya menjeritkan ringtone.
“Ck, ini lagi. Mau apa, sih?” Tari menatap layar ponsel yang memunculkan nama Ari dengan malas. Niatnya untuk me-reject panggilan seketika lenyap begitu teringat ancaman Ari di sekolah tadi pagi.
“Halo?” sapanya bete.
“Ada perubahan rencana,” sahut Ari tanpa merasa perlu menjawab salam Tari. “Kita nggak jadi jalan ntar malem.”
“Yang bener?” seru Tari lega luar biasa. Syukurlaaaaah... jerit cewek itu dalam hati.
“Maksud gue, kita nggak akan jalan berdua aja. Gue mau ngajak lo jalan bareng Nyokap, Ata, sama Tante Lidya ntar sore. Ajak nyokap lo sekalian.”
“Apa?!” Sekarang Tari benar-benar menjerit kaget. “Mau jalan ke mana emangnya?”
“Rahasia.” Tanpa bertatap muka pun Tari tahu cowok yang tengah meneleponnya ini tersenyum lebar. “Pokoknya gue jemput kalian jam setengah 4 sore, sebentar lagi, oke?”
Apa Tari bisa menolak? Tentu saja tidak. “Iya, deh. Ntar gue bilangin Nyokap. Udah kan, itu doang?”
“Iya. Lo belom masuk rumah?”
Tari tersentak. “Kok lo tau?!” jeritnya tertahan. Ketakutan seketika merayapi hatinya. Jangan-jangan Ari ada di sekitar sini sekarang. Dekat. Memata-matai. Tari melirik sekeliling dengan cemas.
Tapi ternyata Ari hanya sekedar menebak. “Jadi bener lo belom masuk rumah dari tadi? Ngapain aja?” tanya cowok itu curiga.
“Nggak ngapa-ngapain, kok! Nggak ngapa-ngapain!” Tanpa sadar Tari jadi panik sendiri, takut kalau sampai Ari mencium kedatangan Angga barusan.
“Tar...”
“Gue mau masuk dulu. Ntar jam setengah 4, kan? Oke. Daah.” Tari cepat-cepat menutup telepon sebelum Ari bertanya lebih jauh.
Tari menepuk-nepuk jidat. Pusing atas kedatangan Angga tadi. Tak ayal, kembalinya Angga ke hadapannya menimbulkan berbagai perasaan aneh. Sudah lama Tari berusaha melupakan Angga dan mematikan semua rasa dalam hatinya untuk cowok itu. Awalnya memang terasa sulit. Tari sempat terguncang ketika Angga memutuskan untuk mundur. Sampai kemudian Ari semakin mendominasi hari-harinya, Tari pun harus menghadapi cowok itu tanpa backing-an dari Angga lagi. Benar-benar berjalan sendiri, melawan semua masalah yang diciptakan Ari. Merasakan semua luka dan sakit hati. Dan ternyata ia berhasil. Tanpa Angga. Bahkan sekarang ia telah memutuskan untuk menjatuhkan diri dalam dunia milik Ari. Dunia yang jelas terasing dari seseorang yang bernama Anggada.
Tari terjun ke tempat tidur tanpa sempat mengganti seragam sekolah, menenggelamkan wajah dalam bantal. “Kenapa sih tu cowok harus muncul lagi?” desahnya pelan. Ia kira semuanya akan berlangsung dengan lancar, karena Tari yakin dia telah berhasil melupakan Angga. Meninggalkannya sebagai luka masa lalu yang tak perlu lagi disuguhkan dalam fokus pikiran. Tapi begitu Angga kembali datang, kenapa perasaan gelisah itu tak kunjung reda?
“Ck, terserah, lah,” decaknya pusing. Pikirannya buntu. “Oh ya, gue harus kasih tau Mama soal ajakan Ari. Mamaaaaaa!” Tari bangkit dari tempat tidur dan berlari menemui mamanya yang sedang sibuk menjahit.

***

“Sialan. Ditutup gitu aja,” dengus Ari sesaat setelah Tari memutuskan sambungan. Ibu jarinya sudah akan menekan nomor Tari untuk menghubunginya lagi, tapi tidak jadi saat Mama memanggil namanya.
“Ari, makan siang dulu,” panggil Mama sambil melongokkan kepala dari dapur rumah Tante Lidya.
“Iya, Ma,” sahut Ari sambil menatap layar ponselnya sekali lagi. Sudut-sudut bibirnya terangkat sedikit. Sebelum menghampiri Mama di dapur, Ari menekan nomor ponsel Raka.
“Ada mobil nganggur, Ka? Yang agak gedean, gitu,” kata Ari langsung begitu Raka mengangkat telepon.
“Wah, kebetulan banget, nih. Lagi ada Alphard di tempat gue.”
“Yang bener?” Sepasang mata Ari berbinar puas. “Gue ambil habis ini.”
“Buat berapa hari?”
“Mungkin sampe besok atau lusa. Siapin baik-baik. Mau buat jalan ntar sore.”
“Siap, Bos!” sahut Raka patuh. Ari menutup telepon. Bibirnya mengembang semakin lebar.
“Ariiii...”
“Iya, iya. Ari datang, Ma,” jawab Ari, bergegas melesat ke dapur untuk makan siang bersama Mama, Ata, dan Tante Lidya. Sebuah kebiasaan baru yang selalu mereka lakukan begitu Ari pulang sekolah. Dan mereka sangat menyukai hal itu, terutama Ari.
“Gimana sekolah kamu?” tanya Mama begitu Ari duduk di sebelahnya.
Ari mengangkat bahu ringan. “Biasa aja. Nggak ada yang menarik.”
Mama mengusap-ngusap punggung Ari dengan sayang. “Belajar yang baik.”
“Pasti, Ma,” jawab Ari. Tanpa sengaja tatapannya jatuh kepada Ata yang duduk di hadapannya. Ari sudah mendengar Ata masuk ke SMK sambil bekerja sebagai montir di sebuah bengkel. Dan Ari sangat menyayangkan nasib saudara kembarnya itu. Kalau saja mereka bertemu lebih awal, pada saat lulus-lulusan SMP dulu, Ari bisa saja membayari sekolah Ata di SMA, jadi Ata bisa tetap fokus bersekolah hingga perguruan tinggi tanpa harus bekerja.
Yang Ari sukai dari seorang Ata adalah ia tak pernah mengeluh. Mereka pernah membicarakan masalah ini beberapa hari yang lalu. Ari meminta Ata berhenti bekerja dan berjanji akan membiayai seluruh hidup Mama dan Ata dengan uang Papa yang berlimpah ruah, yang tak akan habis dimakan tujuh turunan, apalagi kalau hanya digunakan oleh dirinya sendiri. Masih terngiang jelas apa yang dikatakan Ata kepadanya sebagai jawaban.
“Gue kerja untuk menebus semua kenakalan dan dosa masa kecil gue, Ri. Pas kita masih anak-anak dulu, elo yang selalu bantuin Mama. Sekarang giliran gue.” Ata merangkul bahu Ari. Matanya menatap tegas kepada adik kembarnya. “Gue tau dulu gue paling suka nyusahin kalian. Gue minta maaf. Tapi sekarang lo nggak usah kuatir. Gue akan jagain Mama. Sebisanya. Buat elo. Juga buat diri gue sendiri. Gue nggak bisa nerima kebaikan elo. Sekali lagi, sori. Gue yakin Mama juga nggak bakalan setuju make duit Papa. Yah, walau penghasilan gue dan Mama pas-pasan banget, toh sampe sekarang kami masih bertahan hidup, kan?”
Ari hanya bisa mengangguk-angguk waktu mendengarnya. Betapa berbedanya Ata yang dulu dengan yang sekarang. Sampai saat ini Ari masih takjub mendapati perubahan-perubahan dalam diri saudara kembarnya itu.
“Oh ya. Ari mau ngajak kalian semua ntar sore,” kata Ari begitu teringat rencana yang telah disusunnya.
“Kemana?” tanya Tante Lidya penasaran.
“Rahasia. Yang penting Mama sama Tante Lidya siapin bekal yang enak. Oke?”




Bersambung...

2 komentar:

  1. Ayo dong lanjutin.. Keren banggetts, aq suka ni fanfic.. Cepet ya lanjutannya, aq tunggu lho :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks :)
      Lanjutannya udah aku post :D
      Happy reading

      Hapus