Sabtu, 27 September 2014

Jingga untuk Matahari #fanfiction-1



 Huaaaaaah, si Angel sampe berdebu nih saking lamanya nggak aku urusin
Maaf ya blog-ku tersayang tercinta dan terkasih, aku sibuk banget selama ini *sok jadi orang penting*
Kali ini aku mau kembali meramaikan blog dengan ceritaku, hehe
Dan ini adalah tentang....... jeng! jeng! jeng! Ari dan Tari!!!
Siapa sih yang nggak kenal mereka? Pasangan fenomenal yang ngetop BGT berkat kisahnya di novel serial JDS dan JDE
Hai hai, Mama Esti Kinasih, jangan PHP terus dong T_T
Katanya bulan ini terbit lah, bulan itu terbit lah, nyatanya JUM belum terbit juga sampai sekarang
Plis, Ma... Para penggemarmu butuh kepastian, jangan menggantung kita seperti ini *alaynya kumat*
Tapi yang pasti kita selalu setia menunggu kok, walau harus jatuh bangun :') *tambah parah alaynya*
Oke, mungkin sekarang udah bukan jaman fanfic Jingga untuk Matahari, tapi yaa karena aku udah terlanjur bikin, mending aku post aja deh, kan lumayan bisa jadi obat sementara untuk kerinduan kalian pada sosok Matahari Senja sampai JUM terbit :)
Bikinnya sebenernya udah lama, hampir setahun yang lalu, cuma emang dari dulu nggak ada niat buat aku publish
Tapi daripada jadi sampah di laptop, mending aku share, iya nggak?
Ya udah deh, pembukaannya kepanjangan, hehe...
Silahkan membaca, harap komen juga, okaaay? ;)



***

“Ji, cewek gue ngambek lagi.” Kalimat singkat yang dilontarkan Ari begitu masuk ke kelas mengalihkan perhatian Oji yang sedari tadi sibuk menyalin PR Matematika milik Deva ke bukunya. Cowok itu meletakkan pensil, kemudian berdiri. “Siap, Bos! Berangkat!”
Keduanya berjalan keluar kelas dan langsung menyeret Ridho yang baru akan mencapai ambang pintu.
“Ikut,” perintah Ari tanpa penjelasan lebih lanjut, yang sudah lebih dari cukup untuk membuat Ridho mengikuti langkah lebar kedua sahabatnya. Sangat tahu kemana tujuan mereka. Kelas sepuluh sembilan.
“Ada masalah apa lagi, nih?” tanya Ridho ketika ketiganya menuruni anak-anak tangga.
“Gue cium dia kemaren,” jawab Ari santai tanpa menoleh, sehingga tak melihat dua pasang mata milik Oji dan Ridho yang kontan membelalak lebar.
“Cium pipi?” tanya Ridho lagi, terdengar ragu, karena sepertinya dia sudah bisa menebak jawaban dari pertanyaannya sendiri.
“Nggak, lah.” Ari mengetuk-ngetuk sepasang bibirnya yang mengembangkan seulas senyum lebar menggunakan jari telunjuk. Jelas saja Ridho dan Oji melotot lagi.
“Keterlaluan kalo itu, Bos. Pantes aja dia marah!” seru Oji sambil memukul kepala Ari, sementara itu Ridho menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir.
Ari malah terkekeh geli. “Dia cerewet banget kemaren. Jadi gue suruh diem. Dan kalian tahu sendiri gue paling nggak suka bikin dia bungkam pake kata-kata.”
Oh ya. Tentu saja. Seperti yang diketahui semua orang, Ari lebih suka bertindak langsung daripada berdebat, yang sering kali tindakannya itu bisa dikategorikan nekat dan berani. Mencium seseorang bernama Tari seharusnya bukan sesuatu yang mengagetkan bagi Ridho dan Oji. Apalagi kalau mengingat kelakuan-kelakuan Ari terhadap Tari di masa-masa awal keduanya bertemu. Tidak mengherankan dan sudah bisa diprediksi oleh otak setiap orang, bahwa Ari mendaratkan ciuman untuk Tari, bukan sekadar di pipi, pasti memang akan terjadi, cepat atau lambat.
No comment,” ucap Ridho dengan wajah datar, dan lagi-lagi Ari terkekeh dibuatnya. Kini cowok itu tengah memikirkan bagaimana reaksi Tari begitu melihat wajahnya nanti. Tanpa sadar, Ari mengusap pipi kirinya yang menjadi tempat pendaratan telapak tangan Tari semalam. Cukup keras juga Tari menamparnya, tapi memang tak berpengaruh apapun untuk Ari selain menimbulkan sekelebat rasa kaget. Itu pun hanya sebentar. Sampai sekarang, masih terekam jelas dalam ingatannya bagaimana marahnya wajah Tari sesaat setelah ia cium. Wajah itulah yang membuatnya dihantui perasaan bersalah dan gelisah semalaman karena Tari tak menjawab satupun panggilannya.
Oji, yang berjalan di sebelah kiri Ari, menoleh heran. “Kenapa?”
“Kena gampar.”
“Pantes.” Oji manggut-manggut.
“Untung cuma kena gampar tangan dia. Coba kalo kena gampar emak-bapaknya. Mau ngomong apa lo?” Ridho menimpali, yang hanya dijawab seringaian oleh Ari.
Kelas X-9 masih setengah kosong saat Ari melangkah masuk dan melemparkan tatapannya ke penjuru kelas. “Tari mana?” tanyanya kepada penghuni kelas tersebut yang semuanya kompak mengunci mulut begitu dia muncul tadi, tanpa bersusah payah menjelaskan Tari yang mana yang dia cari meski di dunia ini ada jutaan orang bernama Tari.
“Belom dateng, Kak,” jawab Nyoman yang posisinya paling dekat dengannya.
Ari mengangguk-angguk, memutuskan untuk menunggu gadis itu datang dengan bercokol di bangku panjang yang ada di luar kelas Tari, membuat semua anak yang lewat di koridor itu membungkukkan badan rendah-rendah dengan kesopanan luar biasa ketika melintas di hadapan orang yang paling ditakuti di SMA Airlangga, apalagi orang itu duduk bersama kedua sahabatnya yang juga sama-sama ditakuti.
Begitu sang pentolan sekolah keluar dari kelas mereka, semua anak kelas X-9 sibuk menerka-nerka, kira-kira “ada” dan “akan ada” kejadian apa lagi setelah Tari datang nanti. Yang pasti sesuatu yang menarik. Tak perlu bertanya-tanya lebih lama karena beberapa menit kemudian Tari terlihat di ujung koridor, datang bersama Fio dengan wajah suram, seperti siap mengamuk. Sepasang matanya yang berkilat-kilat ketika melihat Ari juga jelas menunjukkan bahwa di antara keduanya sedang ada masalah. Lagi-lagi.
Titik-titik penonton mulai terbentuk di sekeliling mereka ketika Oji mencegat langkah kedua cewek itu beberapa meter dari pintu kelas, sementara Ari dan Ridho berdiri tidak jauh dari ketiganya. Memperhatikan.
“Mau apa lo?!” bentak Tari. “Minggir! Kami mau lewat!”
“Wih, kasar amat. Yang nyium elo bukan gue kali, Tar,” kata Oji santai, tak bisa menahan senyum geli biar kena bentak dan pelototan seperti itu.
Kini tatapan penuh bara kemarahan tadi beralih kepada Ari. Dengan geram, Tari mendorong tubuh Oji agar menyingkir dari hadapannya. Kakinya melangkah cepat menghampiri Ari, yang justru menyambutnya dengan senyuman hangat.
“Pagi, Tar.” Seolah letupan amarah di sepasang mata Tari tidak ada, Ari menyapa gadis itu dengan ramah.
“Minggir lo,” desis Tari. Bukan ditujukkan untuk Ari tentu saja, melainkan untuk Ridho.
“Dho, mending lo minggat dulu. Soalnya kalo ni cewek ngamuk, dia bakalan sama bahayanya kayak gue. Lihat. Kami emang jodoh, kan?”
Ridho menanggapi perkataan sahabatnya dengan tawa. Sebelum berjalan pergi, ia membungkukkan badan sedikit untuk menyejajarkan wajahnya dengan wajah Tari. “Marahin aja Ari sepuas lo. Oke?”
Sekarang giliran Ari yang tertawa. “Thanks, Dho.”
“Yoi,” jawab Ridho nyengir.
Ari mengembalikan perhatiannya kepada cewek yang tengah mengatupkan rahang kuat-kuat di hadapannya itu. Sesaat, tidak ada yang bicara di antara keduanya. Yang satu menunggu, yang lain bertahan. Ari menunggu Tari menumpahkan amarahnya, namun yang ditunggu malah berusaha untuk tidak melakukannya.
Ari menghela napas pelan, lalu bicara dengan nada serius, “Lo denger kan kata Ridho barusan? Kalo lo mau marahin gue, marahin aja sepuasnya. Gue terima.”
Tari mati-matian menahan mulutnya agar tidak menyemburkan luapan kemarahan yang telah ia pendam sejak tadi malam. Hanya sepasang matanya yang berbicara kepada Ari tentang apa yang ada dalam hatinya saat ini. Marah. Benci. Tapi tidak ia utarakan semua itu lewat sepasang bibirnya, karena ia tahu, sebatas kata-kata tak akan bisa mewakili seluruh emosi. Tak akan sanggup membebaskannya dari sesak yang semalaman menghimpit dadanya.
“Tar,” panggil Ari. “Udah berapa lama kita pa...”
“Kita putus!” seru Tari tiba-tiba. “Kita putus! Selesai!”
Semua orang yang mendengar seruan Tari kontan terperangah, menatap Tari seolah-olah gadis itu sudah tidak waras. Tapi tidak untuk Ari. Sudah terbayang dalam benaknya sejak pagi tadi tentang akibat dari perbuatannya. Tari minta putus. Tidak cukup mengagetkan. Sebelum cewek itu melangkah meninggalkannya, Ari mencekal salah satu pergelangan tangan Tari.
“Lepas,” desis Tari dingin.
“Gue mau ngomong,” Ari balas mendesis tajam. Sepasang matanya yang berkilat dan melontarkan peringatan ternyata tanpa takut ditentang oleh Tari.
“Lepasin sekarang juga ato gue bakal teriak!”
Ari tak mempedulikan ancaman itu. Ditariknya tubuh Tari yang meronta hebat semakin merapat ke tubuhnya sendiri. “Lo marah sama gue?”
“Bangeeet!” jerit Tari, masih terus berontak.
“Lo mau pukul gue?”
“Bangeeet!”
“Lo mau gue cium lagi?” Kali ini Ari menundukkan kepala rendah-rendah ketika membisikkan pertanyaan itu.
“Ba- eh, apa?” Pemberontakan Tari terhenti seketika. Ia terpaku. Amarah yang membutakannya membuatnya tidak sadar kalau dia telah menantang seekor singa jantan yang tengah kelaparan. Di depan begitu banyak mata pula. Tari memejamkan mata, tidak sanggup menonton tindakan Ari selanjutnya. Gadis itu sangat tahu, semakin ia tantang, akan semakin besar pula bahaya terkaman singa yang tengah menjadi lawannya sekarang.
“Tar,” panggil Ari lagi. Lembut, namun terasa seperti desiran hawa dingin bagi Tari, membuat sekujur tubuhnya merinding. “Gue minta maaf.” Satu kalimat pendek yang diucapkan begitu tulus dari seseorang yang mengharap ampunan. Dengan nada yang dimengerti semua orang bahwa kalimat itu benar-benar berasal jauh dari lubuk hati dan berdasar pada seluruh sesal. Kalimat yang berhasil menguraikan satu persatu tali emosi yang mengekang Tari sejak berjam-jam yang lalu. Sejenak, sesuatu seperti luruh jauh di dalam hati Tari. Dan ia menyadari apa yang perlahan memudar itu. Kemarahan.
“Kalo liat lo marah banget gitu, gue nyesel,” lanjut Ari, diam-diam menyimpan senyum kemenangan melihat Tari yang bungkam tak melawan. Permohonan maaf diterima, penyesalan selesai sudah. Meski Tari tidak secara terang-terangan memaafkannya, Ari tak peduli. Ia bisa melihat jauh di dalam hati Tari, bahwa gadis itu sudah tidak marah padanya. Atau lebih tepatnya, sudah tidak berhak untuk marah. Sekarang tinggal membereskan masalah terakhir. Cukup mudah karena kendali sudah sepenuhnya ada di tangan Ari. “Lo minta apa tadi? Coba ulangi sekali lagi.”
Walau setiap kata yang keluar dari mulut Ari bernada lembut dan terkesan santai, Tari malah semakin ketakutan. “Gue... minta putus,” jawabnya lirih.
“Apa? Gue nggak denger, nih. Bisa nggak ngomongnya kencengan dikit?”
“Ng... nggak. Itu... eh, bukan apa-apa.” Tari menggeleng-geleng, sudah tidak punya keberanian untuk mengucapkannya sekali lagi.
Ari melepaskan cekalannya. Kakinya mundur setengah langkah, menciptakan ruang di antara dirinya dan Tari. “Silahkan pukul gue.”
“Apa?” Tari tercengang. Ditatapnya sepasang mata Ari, dan ia menemukan kesungguhan di dalamnya. Bahkan hal itu sebenarnya tidak dibutuhkan, karena Tari telah mengerti sejak dulu kalau Ari tidak pernah main-main dengan kata-katanya.
Beberapa detik terlewat dalam hening yang melingkupi suasana di sekitar mereka. Semua orang yang menyaksikan menunggu tindakan Tari selanjutnya. Tapi gadis itu bergeming di tempat. Yang bergerak kemudian malah Ari, merentangkan tangan, dan memeluk gadis itu. Sorak sorai pecah membahana menggantikan sunyi yang menegangkan. Tari menundukkan kepala dalam-dalam. Malu setengah mati. Tapi ia tahu, kalau sampai dia melawan pelukan ini, bisa jadi tindakan Ari akan lebih memalukan lagi. Jadi ia hanya diam tak berkutik sementara Ari menundukkan kepala untuk mendekatkan bibir ke telinganya.
“Kita baik-baik aja?” tanya cowok itu dengan bisikan tajam.
Tari buru-buru mengangguk.
“Bagus. We’re fine, okay? Nggak ada kata putus.” Nada final! Yang itu artinya tak ada lagi hak untuk Tari bicara. Kecupan ringan di puncak kepala Tari menambah histeria penonton dan gemuruh tepuk tangan. Ari melepaskan pelukannya setelah memastikan gadis di rengkuhannya tak akan berani melawan. Belum sempat Tari menghela napas lega, mendadak Ari memanggilnya lagi.
“Ntar malem kita jalan. Jam tujuh. Nggak boleh buron.”
Fio segera berlari menghampiri Tari setelah Ari dan kedua konconya pergi dari situ, bersamaan dengan bubarnya para penonton. Dipapahnya tubuh lemas Tari ke dalam kelas.
“Gue kira sifat Kak Ari udah berubah sejak kalian jadian,” komentarnya sambil mendudukkan Tari di bangku mereka.
“Berubah apanya?” dengus Tari. “Dia itu tetep aja kayak gitu biar gue udah jadi ceweknya. Nyebelin!” teriaknya. Tapi cuma itu. Hanya sebatas jengkel. Tidak ada kemarahan lebih lanjut apalagi air mata seperti dulu. Karena, bisa dibilang, Tari sudah kebal dengan semua tindakan Ari.
“Kenapa elo mau juga jadi cewek dia?” tanya Fio heran.
Tari terdiam. Sampai sekarang, tak ada ragu sedikit pun dalam hatinya ketika memikirkan kembali keputusannya untuk menerima Ari dalam hidupnya, beberapa hari yang lalu. Menerima dalam artian sukarela, atas kemauannya sendiri, bukan karena paksaan Ari yang selama ini memang berusaha melesak masuk dalam buku takdirnya meski Tari tidak mengizinkan.
Sejak kembalinya mama dan saudara kembarnya dalam hidup Ari, Tari mengharapkan sisi baik pada diri cowok itu bisa semakin sering muncul. Ari telah membuktikan bahwa dia adalah lelaki yang menyenangkan ketika dulu menyamar menjadi Ata. Dan Tari nyaman bersamanya. Bersama sosok Ari yang lembut, baik hati, dan penuh perhatian. Sayangnya, sisi baik itu hingga kini masih sering terkalahkan. Ari menyembunyikan sisi yang satu itu dan lebih suka memamerkan sisi dalam dirinya yang lain. Sisi yang telah menyertai lebih dari separuh umur hidupnya. Sisi yang membuatnya menjadi penguasa mutlak SMA Airlangga. Bandel, kasar, dingin, suka memaksa, menyiksa, mengintimidasi, dan seabrek sifat buruk lainnya. Membuatnya tak terkalahkan.
Harapan Tari sepertinya tinggal harapan. Sejak mereka pacaran pun acara ribut-ribut lebih sering terjadi ketimbang adegan romantisnya. Itu pun tak peduli tempat. Seperti biasa. Ribut di sekolah, di mal, di depan rumah, di mana aja. Kalau Ari berulah, kini Tari tak segan-segan untuk marah, walau akhirnya cewek itu pula yang harus mundur teratur ketika Ari mulai mematahkan segala upaya protesnya dengan tindakan-tindakan ekstrem. Sebesar apapun kesalahan cowok itu, mau tak mau Tari harus memaafkannya. Contohnya saja tragedi ciuman ini. Tapi sepertinya semua mata di SMA Airlangga memandang setiap acara ribut-ribut antara dirinya dan Ari sebagai adegan romantis. Bukan suatu pertengkaran.
“Tar,” panggil Fio, karena sahabatnya itu diam saja sejak ia melontarkan pertanyaan terakhir.
“Gue sayang dia,” kata Tari pelan.
“Apa?”
“Gue sayang dia, Fi,” ulang Tari, tetap tak berani keras-keras. “Jangan tanya sejak kapan gue sayang sama Ari. Gue sendiri nggak tau.”
Pengakuan yang tidak pernah didengar telinga Ari. Tari enggan mengatakannya karena cowok itu sendiri tidak pernah bilang sayang kepadanya. Jadi, untuk apa? Yang sama-sama tak diketahui keduanya namun juga sama-sama dilakukan oleh keduanya adalah, rasa sayang mereka memang tak akan diungkapkan lewat kata-kata, namun akan mereka tunjukkan lewat sikap dan sorot mata. Tak perlu membuang-buang tenaga melempar sejuta sumpah dan janji palsu untuk setia, yang terpenting adalah bagaimana mereka menjaga dan mempertahankan komitmen yang telah ada.
Bagian terpenting nomor dua adalah saling percaya. Tari percaya Ari tak akan berpaling darinya meski dikelilingi segudang cewek cantik nan seksi, yang tak bosan-bosannya mendekati Ari setiap hari, di setiap kesempatan. Tinggal bagaimana dia menilai setiap cewek yang berani bertingkah di dekat cowok itu. Kalau dirasanya sudah cukup keterlaluan dan melewati ambang batas, Tari akan melancarkan aksi protes keras. Bukan kepada oknum yang telah menggoda Ari tentunya, tapi kepada cowoknya langsung. Lebih mudah bagi Ari untuk mempercayai Tari. Dengan status yang sekarang tengah disandangnya, tak akan ada cowok yang berani menggoda Tari apalagi colek-colek sembarangan, karena itu sama artinya dengan mengundang maut, udah nggak sayang nyawa.
Ari dan Tari. Setiap kisah yang mengiringi langkah keduanya seperti tak ada habisnya. Selalu enak untuk didengar apalagi disaksikan langsung dengan mata kepala. Kedua matahari itu benar-benar tak terpisahkan sekarang. Sama-sama senja yang kala bersatu akan menjadi pemandangan indah memanja mata. Dua matahari jingga yang memancarkan sinar berbeda. Yang satu berbias panas namun redup, sementara yang satu begitu dingin namun menyala sangat terang. Pasangan yang langka, karena memang tak ada sejarahnya ada dua matahari di dalam satu galaksi. Dua matahari yang akan saling melengkapi ketika bersama. Yang redup akan menjadi lebih terang, dan yang terang tidak akan terlalu menyilaukan. Juga kehangatan yang mereka bagikan dalam satu pancaran. Hangat yang nyaman dan menyenangkan, bukan panas yang membakar apalagi dingin yang menggigilkan. Sempurna.

***

Tiba kembali di kelas, Oji kembali kepada pekerjaannya menyalin PR Matematika dengan kecepatan maksimum, karena bel sudah hampir berbunyi sementara mata pelajaran mengerikan itu jatuh pada jam pertama dan kedua. Sedangkan Ari dengan santai mengeluarkan ponselnya. Ada pesan masuk. Dari Tari.

Jgn cium2 sembarangan lg!

Senyuman lebar terkembang di bibir Ari sambil membalas pesan itu.

Knp?

Tak lama kemudian, balasan dari Tari sampai.

Jgn anggep gw cwk murahan!

Cewek murahan? Oke, ini semakin menarik saja. Ari tahu Tari adalah cewek yang berbeda bila dibandingkan dengan semua cewek di sekolahan ini. Cewek yang tak akan rela disentuh oleh seorang Matahari Senja. Selama ini Ari muak dengan semua cewek yang selalu menatapnya dengan penuh keingintahuan, dan kebanyakan dari cewek-cewek itu minta diperhatikan, hingga segala macam cara sering dilancarkan. Tari adalah satu-satunya cewek yang menatapnya dengan penuh penolakan, dan sering kali lebih memilih menghindar ketimbang berurusan dengannya. Cewek itu tak pernah mau menerima segala macam bentuk kepeduliannya. Padahal, Ari tak pernah memberi perhatian untuk siapapun, apalagi untuk adik kelas. Hal ini semakin menegaskan bahwa Tari adalah seseorang yang sangat berbeda, yang membuat Ari menjadi berbeda pula.
Tapi demi Tuhan! Ari tidak pernah menganggap Tari sebagai cewek murahan. Mungkin tindakannya tadi malam memang agak keterlaluan, dan Ari yakin hal itu menjadi luka bagi Tari. Ia menyesal. Sungguh-sungguh menyesal. Cowok itu bahkan telah bersumpah, Tari adalah seorang gadis yang akan ia jaga lahir dan batin. Oke, mungkin tidak secara “batin”, secara dia sendiri masih suka menyiksa batin Tari. Sadar atau tidak.
Ari segera mengetik balasan untuk seseorang yang kini menjadi pacar pertamanya itu, yang membuat geger seisi sekolah beberapa minggu yang lalu ketika ia dengan resmi menggandeng Tari sebagai pacarnya.

Ok! Tampar gw lg kalo gw udh kelewatan!

Tari tak membalas. Jadi Ari menganggap masalah ini udah clear. Tak boleh ada lagi protes tentang hal ini. Sedetik ia memasukkan ponsel ke dalam saku kemeja, mendadak dikeluarkannya lagi benda itu dan segera ditekannya sederet angka yang telah ia hafalkan di luar kepala, saking seringnya nomor itu  ia hubungi. Bahkan Ari tidak suka membuka daftar kontak telepon hanya untuk mencari nomor Tari kalau ingin menghubunginya. Entah kenapa cowok itu lebih suka menekan-nekan angkanya secara langsung.
Setelah menunggu beberapa detik sambil mendengarkan nada sambung yang membosankan, panggilannya diangkat juga. Namun tak ada suara yang menyahut di seberang sana. Hanya suasana ribut di dalam kelas yang ia dengar.
“Masih ada yang perlu gue omongin,” kata Ari tanpa basa-basi. “Gue udah sering banget peringatin hal ini ke elo, tapi kayaknya lo suka banget kalo dapet kesempatan ngelawan gue dikit aja. Mulai sekarang, jangan pernah lagi lo reject panggilan gue. Karena apa? Karena kalo lo reject satu kali aja, gue bakalan muncul di hadapan lo langsung. Ngerti? Oh ya, dan satu lagi. Kalo gue telepon gini, nggak sopan banget kan kalo dicuekin? Apalagi nggak ada salam pembuka kayak barusan. Jadi mendingan sekarang lo ngomong atau gue akan lari ke kelas lo saat ini juga.”
Ari bisa mendengar Tari mendesah jengkel, dan cowok itu tersenyum geli ketika kemudian Tari buka bicara dengan menekan seluruh emosinya, “Iyaa, iyaaaa. Ada lagi yang mau diomongin?”
“Ya. Ada,” sahut Ari. “Yang harus selalu elo tahu, Tar. Gue nggak pernah sama sekali dan nggak akan pernah, sekalipun atau sedikitpun, nganggep elo sebagai cewek murahan.” Bel masuk berbunyi tepat ketika kalimat itu selesai terucap. “Oke, udah bel. Belajar yang baik,” kata Ari sebelum mengakhiri pembicaraan mereka.



Bersambung...

5 komentar: