Selasa, 14 Oktober 2014

Jingga untuk Matahari #fanfiction-5

Saat melihat mamanya, tak urung rasa bersalah berkelebat di hati Tari gara-gara membolos sekolah hari ini. Apalagi mamanya tidak marah dan menyambut Ari dengan senang hati, bahkan mengajaknya makan malam bersama. Ari menolaknya dengan sopan, lalu berpamitan.
“Selamat malem, Tante. Malem, Tar.”
Tari balas tersenyum. Begitu Ari berlalu dengan Alphard-nya, ia bergegas masuk ke kamar.
“Tari, ada kiriman buat kamu tadi siang,” kata Mama tepat sebelum Tari membuka pintu kamar.
“Kiriman apa?”
“Liat sendiri di meja belajar kamu. Mandi sana. Trus makan.”
Buket bunga. Besar. Berisi rangkaian mawar merah. Sesuatu yang langsung menarik perhatian Tari karena keberadaan buket bunga itu terlalu mencolok di dalam kamarnya yang didominasi warna oranye.
“Dari siapa, Ma?” teriak Tari. Kaget.
“Nggak tau. Belum Mama buka kertasnya,” sahut Mama dari ruang keluarga.
Kakinya melangkah cepat menghampiri buket bunga tadi. Memang ada sepucuk surat kecil terselip di dalamnya.

Gimana? Asyik jalan-jalannya sama Ari?

Tari tercekat. “Ini...” Tidak mungkin! Kepanikan seketika menghantam pikirannya. Pengirim bunga ini tahu dia membolos sekolah. Tahu dia sedang berjalan-jalan bersama Ari. Siapa? Siapa yang mengirim buket bunga ini? Tari bersyukur Mama belum membaca surat yang terselip tadi. Tari tahu Mama cukup menjaga privasinya.
Tangannya bergetar mencabut setangkai mawar merah. Tiba-tiba saja otaknya memunculkan dua nama yang kemungkinan besar menjadi si pengirim. Angga, atau Ata. Entah apa alasannya, Tari yakin itu adalah salah satu dari mereka. Satu-satunya hal yang ia tahu pasti adalah buket bunga ini mempunyai satu isyarat. Peringatan.
Melewati sisa malam ini dengan menatap buket bunga tadi membawakan mimpi buruk untuk Tari. Pagi harinya saat mendapati sekeliling matanya hitam dan berkantung, ia menyesali kebodohannya tidak membuang buket bunga misterius itu sejak awal.
“Bakal bilang apa ke Ari?” desahnya bingung, sementara sudah tak ada waktu yang tersisa untuk mengompres matanya.
Ari menjemputnya menggunakan motor hitamnya yang biasa, beberapa menit setelah Tari menunggu dengan gelisah. Ia bahkan tak mampu menghabiskan sarapannya.
“Ma, Tari berangkat dulu. Udah dijemput. Oh ya, jangan lupa buang buket bunga di meja belajar Tari ya, Ma. Buang yang jauh! Ato bakar aja sekalian!”
“Iya. Ati-ati, Tar,” sahut Mama yang sedang sibuk mencuci piring di dapur.
“Pagi, Tar,” sapa Ari, yang kelihatannya suasana hatinya sedang bagus hari ini, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan suasana hati Tari.
Terlambat. Sebelum Tari menyembunyikan wajahnya yang kacau, Ari menangkupkan tangannya di kedua pipinya. “Lo kenapa? Mata lo...”
“Nggak pa-pa. Cuma kurang tidur.” Dengan lembut, Tari melepaskan tangan Ari dari pipinya.
“Kecapekan gara-gara gue ajakin main kemaren?”
Tari tertawa. Digandenganya tangan Ari ke motor untuk menghindari tatapan cowok itu. “Nggak, lah. Cuma dapet mimpi buruk semalem, jadi nggak bisa tidur. Udah yuk, berangkat.”
Tanpa berkata-kata lagi, Ari naik ke motornya, disusul Tari. Sebisa mungkin Tari tidak menunjukkan kegelisahannya di hadapan Ari.
Tapi itu terjadi lagi. Selesai pelajaran olahraga, Tari menemukan sesuatu yang tak biasa. Setangkai mawar merah tanpa identitas tergeletak di mejanya. Membuat hatinya kacau balau seketika.
“Dari siapa, Tar?” seru teman-temannya ingin tahu.
Tari menggeleng. “Palingan dari Ari,” katanya tidak yakin. Dibiarkannya teman-temannya bercia-cie menggoda dan berkata sesuka hati.
“Ucapan lekas sembuh dari Ari. Kemaren kan Tari sakit, nggak masuk sekolah,” kata Fio kepada teman-temannya, sekaligus melemparkan sindiran untuk sahabatnya itu.
Tari tersenyum kecut. “Thanks, Fi.” Karena masih ada lima belas menit tersisa sebelum jam olahraga habis, ia menyeret Fio ke gudang tempat persembunyiannya, masih sambil membawa mawar tadi.
“Ada apa?” tanya Fio. Otaknya yang jeli langsung bisa menangkap adanya sesuatu yang tidak beres.
Tari jatuh merosot dengan bersandar pada dinding. Tubuhnya lemas. “Kira-kira, siapa yang tadi masuk ke kelas kita, trus ngasih mawar ini ke meja gue?”
“Kak Ari, kan? Lo bilang sendiri tadi.”
Tari menggeleng. “Ini bukan dari Ari.”
“Apa?”
“Mawar ini bukan dari Ari,” ulang Tari.
“Trus, dari siapa?”
Tari menggeleng lagi. “Mana gue tahu,” erangnya bingung.
“Lo tanya Kak Ari dulu gih. Siapa tahu emang dari dia.”
“Gue takut, Fi. Gue takut dia bakalan berpikiran yang macem-macem kalo gue bilang gue dapet kiriman mawar. Kemaren juga gitu. Gue dapet buket bunga, nggak tau dari siapa. Yang jelas, tu orang tau kalo gue lagi bolos bareng Ari. Gimana gue nggak panik, coba? Itu artinya kemaren ada yang liat gue bolos.”
“Ya makanya lo tanya Kak Ari,” kata Fio gemas. “Gimana kalo emang dari dia?”
“Nggak, ah. Gue yakin bukan dari Ari. Dan, gue ngerasa ada keterlibatan Angga di sini.”
Kening Fio kontan berkerut mendengar nama itu. “Angga?”
Tari menceritakan kedatangan Angga kemarin ke rumahnya. Sampai tiba-tiba matanya melebar dan mulutnya berhenti bicara. “Oh!” teriaknya, seolah baru menyadari sesuatu. “Mawar-mawar ini pasti dari Angga! Iya! Pasti! Pasti tadi Gita yang masuk ke kelas kita dan naruh mawar ini ke meja gue.”
“Tapi Gita kan juga lagi pelajaran.”
“Ijin ke toilet, dong.”
“Bawa-bawa mawar?” debat Fio lagi.
“Bisa aja ni mawar dititipin Angga di pos satpam, trus tadi diambil Gita. Iya, kan?”
Kemungkinan itu muncul begitu saja. Memang terdengar masuk akal. “Iya, sih.” Fio mengakui argumen Tari ada benarnya. “Trus, mawar ini mau lo apain?”
“Enaknya diapain? Dibuang?”
“Iya, lah. Kalo Kak Ari sampe liat, bisa ngamuk dia. Lebih baik lo buang.”
Itu benar dan harus segera dilakukannya. Tapi begitu yakin mawar ini dari Angga, kenapa hati Tari menyangkal keharusan itu? Kenapa ia merasa sayang untuk membuang mawar di tangannya ini? Ya. Tidak akan dibuangnya secara utuh. Satu persatu, ia mencabut kelopak mawar sampai habis, kemudian memungutinya lagi. “Yuk, balik,” ajaknya. Sampai di dekat tong sampah, ia membuang kelopak dan tangkai mawar tadi. Namun tanpa sepengetahuan Fio, Tari menyisakan satu kelopak di genggamannya, berharap bisa menyimpannya.
Begitu hampir tiba di pintu kelas, tubuh Tari menegang mendapati siapa yang tengah menunggunya di sana. Ari.

***

Berbeda dengan apa yang ditampakkannya di depan Tari, suasana hati Ari sebenarnya tidak begitu baik pagi ini. Ayahnya masih di rumah sampai sekarang, dan Ari selalu berusaha menghindarinya. Atmosfer rumah mereka terasa ganjil. Ada semacam ketegangan yang menggantung di udara, membuat Ari tambah tidak betah di rumah. Sebisa mungkin dia bertahan dengan menjaga untuk tidak bertatap muka langsung dengan ayahnya, tapi tetap berusaha terlihat. Ia tidak mau ayahnya mendadak memblokir semua ATM dan haknya untuk keluar rumah. Karena bisa dipastikan ayahnya akan langsung menuduh dirinya pergi bertemu dengan Mama dan Ata kalau sampai dia menghilang tiba-tiba.
“Pagi, Bos,” sapa Oji saat Ari meletakkan tas di meja.
Ari meliriknya sedikit, kemudian duduk di sebelah sohibnya itu. Tangan kanannya bergerak membuka kancing teratas kemejanya dengan resah.
“Kemaren cabut ke mana?” tanya Ridho yang tiba-tiba sudah menghampiri meja mereka.
“Jalan-jalan sama Tari,” sahut Ari acuh tak acuh.
“Tari ikutan bolos?” seru Oji, kemudian mendecakkan lidah beberapa kali. Takjub. “Wah, hebat, hebat. Lain kali ajak gue juga, Bos.”
“Lo bener-bener nularin pengaruh buruk buat tu cewek, Ri,” ucap Ridho yang otaknya masih bisa berpikir waras.
Ari tertawa mendengus. “Dia nggak keberatan, kok,” kilahnya sambil mengibaskan tangan, lalu bangkit berdiri.
“Mau kemana?” tanya kedua sahabatnya serentak.
“Keluar. Gue masih belom punya mood buat pelajaran. Ikut?”
Oji dan Ridho menggeleng. Bukannya mereka nggak minat ikutan cabut, tapi ada tugas mahapenting yang harus mereka laksanakan di jam pertama ini. Merayu guru kesenian dan bersikap baik agar nilai kesenian mereka terjamin baik, setelah beberapa waktu yang lalu nilai mapel yang satu itu membuat rata-rata mereka anjlok.
Ari sendiri tak pernah ambil pusing dengan nilai-nilainya. Karena kedua temannya menolak ikut, ia berjalan sendirian menuruni gedung kelas dua belas, melangkah ke arah tepi lapangan, mengambil tempat tersembunyi di sana untuk menyulut sebatang rokok. Tapi niatnya langsung goyah ketika melihat Tari berjalan masuk ke lapangan. Ternyata pagi ini cewek itu ada pelajaran olahraga. Ari mendesah. Dimasukkannya kembali batang rokok yang belum sempat tersulut api ke saku kemeja.
Bel masuk berbunyi. Kelas Tari mulai membentuk barisan, dan sepasang mata Ari tak pernah lepas dari sosok gadis yang selalu bernuansa oranye itu, yang selalu terlihat mencolok di antara teman-temannya.
Tak terhitung sudah berapa kali gadis itu ia lukai. Dalam kali yang tak terbilang ia menjadi alasan gadis itu menangis dan sakit hati. Namun sampai sekarang gadis itu masih bisa tersenyum dan tertawa kepadanya, bahkan bersedia menjadi satu-satunya orang yang berada di sampingnya di saat ia membutuhkan sandaran.
Ari bangkit berdiri, berniat untuk berpindah tempat setelah sekali lagi memperhatikan Tari yang tengah melakukan pemanasan, memastikan gadis itu baik-baik saja dan akan selalu ada untuknya. Ia berjalan pelan, menelusuri koridor yang sepi dan menyapa guru-guru yang berpapasan dengannya. Daripada capek-capek mengurusi siswa yang satu itu dan membuat mood rusak di pagi hari di mana mereka masih harus bekerja beberapa jam ke depan, yang hasilnya pasti sia-sia saja, para guru memilih diam. Tidak akan mengomel apalagi membalas salam Ari. Mereka angkat tangan.
Ari baru saja meringis lebar ke Pak Yusuf ketika matanya menangkap sebuah motor yang berhenti di dekat pos satpam. Sekilas, Ari mengenali motor itu. Ia memicingkan mata untuk mempertajam pandangan. Pengendara motor tadi turun, dan mengeluarkan sesuatu yang tak ia duga. Setangkai bunga mawar. Merah dan segar. Tak berhasil mengenali si pengendara motor, Ari memilih untuk terus memperhatikan. Dan kekagetan seketika menghantamnya begitu si pengendara menaikkan kaca helm. Angga. Cowok itu menyerahkan bunga mawar tadi kepada satpam yang berjaga di sana dan berbicara beberapa saat. Pak Satpam terlihat mengangguk-angguk mengerti.
Ketika Angga menoleh ke dalam sekolah. Ke arahnya. Ketika kedua pasang mata mereka bertemu. Dalam ketersimaan yang bertahan sekejab, Ari menangkap sinar dendam itu masih menyorot di sana. Sekarang ditambah dengan senyum mengejek.
“Brengsek!” umpat Ari begitu tersadar, dan langsung berlari ke motornya. Dalam waktu yang harus dihabiskan Ari mulai dari berlari ke motor dan mengeluarkannya dari lapangan parkir, Angga telah menghilang dari tempatnya tadi.
“Buka gerbangnya! Cepetan!” teriak Ari kepada Pak Satpam yang tengah meletakkan mawar titipan Angga ke dalam pos. Untuk sesaat, satpam itu bingung, apakah dia harus membukakan gerbang, atau lebih baik menelepon kepala sekolah dan menahan Ari sampai kepala sekolah mereka menjemputnya? Sampai Ari tiba-tiba membunyikan klakson motornya panjang-panjang, kehabisan kesabaran. Akhirnya pintu gerbang dibukakan. Motor hitam besar itu langsung melesat kencang meninggalkan sekolah, berusaha mengejar Angga yang sudah hilang tak meninggalkan jejak. Di kepala Ari hanya ada satu tujuan saat ini. SMA Brawijaya.
Sekolah musuh itu sudah sepi karena pelajaran tengah berlangsung. Ari menghentikan motor di dekat pos satpam penjaga gerbang utama.
“Mas! Liat Angga?” bentaknya kepada mas-mas sekuriti yang berjaga di sana.
“Anggada?” tanya salah satu satpam, yang jelas-jelas mengenal Angga karena cowok itu pentolan sekolah di sini. Sama seperti Ari yang begitu terkenal di sekolahnya, hingga seluruh pedagang kantin sampai tukang kebun pun mengenal nama dan segala tindak-tanduknya. Dan satpam di sini juga mengenal Ari sebagai musuh utama dari pentolan sekolah mereka, yang tidak jarang datang kemari untuk melakukan perhitungan.
“Iya! Di mana dia?” bentak Ari lagi.
“Saya belum lihat dia lewat sejak pagi tadi. Mungkin nggak masuk. Mas ada perlu apa?”
Jadi Angga tidak ke sini. Ari mengumpat-ngumpat dalam hati. Sialan! Kemana tu anak? Sementara otaknya tidak bisa menebak kemana Angga pergi.
“Tolong Mas bilangin ke dia, kalo ada urusan di sekolah gue, langsung ketemu sama gue! Nggak usah nitip-nitip satpam di sana. Ngerti?”
Semua kontan mengangguk-angguk melihat wajah angker Ari. Ari membawa motornya dan bersembunyi di tempat yang tak terlihat dari jalan masuk SMA Brawijaya, menunggu Angga datang dan memastikan cowok itu tidak kabur. Tapi hingga bermenit-menit ia duduk di atas motor di tempat persembunyiannya, Angga tidak muncul. Kembali Ari mengumpat dalam hati, kemudian memutuskan pergi dari sana. Ia rasa percuma menunggu Angga. Kemungkinan besar rivalnya itu telah mengetahui dia akan datang ke sini, lalu sengaja membuatnya kesal dan kelabakan dengan tidak menampakkan diri.
“Pengecut!” desis Ari ke arah bangunan sekolah tak jauh di depannya sebelum meluncur pergi. Saat tiba kembali di SMA Airlangga, mawar di dalam pos satpam sudah raib.
“Mas, kemana mawar yang tadi?”
Satpam di sana menggeleng. “Udah diambil kayaknya. Tadi baru saya tinggal ke kelas XI IPA 6, pas balik ke sini udah nggak ada.”
Ari memarkirkan motor. Siapapun itu yang mengambilnya, ia yakin untuk siapa mawar tadi ditujukan. Dengan langkah cepat, nyaris dikategorikan berlari, Ari menghampiri kelas X-9. Siswa-siswi yang sedang berleha-leha sehabis olahraga langsung duduk tegak begitu Ari masuk ke kelas mereka. Sepasang matanya yang tajam memindai ke penjuru kelas, tapi tak berhasil menemukan orang yang ia cari.
“Mana Tari?” tanyanya tidak sabar.
Semua kontan menggeleng-geleng. “Tadi keluar sama Fio, Kak,” jawab Jimmy pelan.
Ari baru melangkah keluar ketika dilihatnya Tari dan Fio berjalan ke arahnya. Sesaat, ia melihat Tari menghentikan langkah dan menatapnya kaget.
“Ehm, Tar, gue masuk kelas dulu ya,” bisik Fio saat Ari melangkah menghampiri mereka.
Ari menunggu sampai Fio masuk ke kelas, kemudian kembali menatap Tari penuh selidik. “Lo dapet mawar?” tanyanya langsung, seperti biasa, tidak butuh basa-basi.
Mau tak mau Tari mengangguk. “Merah? Iya.”
“Dari siapa?”
“Gue nggak tahu. Tadi pas balik ke kelas selesai olahraga tu mawar ada di meja gue. Gue pikir dari elo,” kilah Tari, dalam hati bersyukur dia telah membuang mawar tadi dan menyimpan kelopak terakhirnya di kantong celana.
“Bukan,” jawab Ari serius, dan tanpa sadar suaranya jadi lirih. “Itu dari Angga.”
Tari tersentak. Ia tahu hal ini. Tapi bagaimana Ari juga tahu mawar tadi dari Angga?
“Di mana mawar itu sekarang?”
“Eh, itu, ng... udah gue buang barusan.”
“Bagus.” Ari mengangguk-angguk, tampak terkesan dengan keputusan Tari untuk membuang mawar pemberian Angga tanpa disuruh.
“Ehm, Kak?” panggil Tari, menghentikan langkah pertama Ari yang sudah akan meninggalkannya.
Ari berhenti dan menoleh lagi. Alisnya terangkat, menunggu pertanyaan Tari.
“Lo tau dari mana itu mawar dari Angga?”
“Tadi Angga ke sini. Tapi nggak berhasil gue kejar.” Ari mengangkat bahu sedikit.
Ari liat Angga ke sini? Tari mulai mencium adanya bahaya.
“Tar, lo harus ati-ati,” kata Ari lagi, memperjelas bunyi alarm dalam kepala Tari.
“Gue akan ati-ati,” angguk gadis itu.

***

Jam istirahat pertama, Tari berjalan terburu-buru ke kelas Gita. Dia ingin memastikan dan memperingatkan cewek itu untuk tidak lagi ikut campur dalam hubungannya dengan Ari dan Angga. Tari tidak ingin Gita masuk ke dalam bahaya. Langkah cepat Tari terhenti beberapa meter dari pintu kelas Gita saat melihat siapa yang baru saja keluar dari sana. Ari juga balas melihatnya. Cowok itu kemudian melangkah mendekat sambil menggeleng.
“Gue udah nanya barusan. Gita nggak masuk.”
“Nggak masuk?” Tari tercengang. “Trus siapa yang ngasih mawar itu ke meja gue? Pak Satpam?”
“Sekuriti itu tadi lagi pergi pas mawarnya diambil. Lagian dia nggak mungkin tau meja lo yang mana, kan?”
Keduanya terdiam. Tanya yang sama tercipta dalam benak mereka. Kalau bukan Gita yang mengambil mawar dari pos satpam dan meletakkannya di meja Tari, lalu siapa?
“Ada orang di sekolah ini yang berani bantu si Angga. Awas aja tu orang kalo sampe ketangkep,” geram Ari.
“Kak,” panggil Tari, terdengar ragu setelah beberapa saat terdiam. “Bisa nggak, kali ini lo nggak libatin Gita?” tanyanya kemudian.
“Apa?” Ari menyipitkan mata, seolah tak mempercayai pendengarannya.
Tari buru-buru meneruskan kalimatnya sebelum keberaniannya menguap habis. “Jangan lo libatin Gita lagi. Lo tau mawar ini dari Angga. Buat gue. Dan lo tau bukan Gita yang bantuin Angga tadi, tapi orang lain. Jadi jangan bawa-bawa Gita dalam masalah kita. Dia nggak salah apa-apa.”
Masih sambil menyipitkan mata, Ari menyahut dengan suara mendesis berbahaya yang membuat Tari menelan ludah, “Pertama, gue tau bukan Gita yang bantuin Angga kali ini. Kedua, lo bilang Gita nggak salah apa-apa? Kalo lo mau tau, kesalahan terbesar Gita adalah sekolah di sini. Satu gedung sama gue. Dia ada di bawah teritori gue.”
“Tapi...”
“Oke, oke,” sela Ari sebelum Tari sempat memprotes. “Gue nggak akan libatin Gita, asal lo janji satu hal sama gue.”
“Apa?”
“Jangan terlibat sama Angga lagi.”
Keputusan telah dijatuhkan. Dan apapun itu akan menjadi tak terbantahkan kalau yang menjatuhkan adalah Ari. Tapi Tari tidak bisa mengangguk begitu saja. Kelopak mawar yang sekarang tersimpan manis dan rapat di dalam tas menjadi bukti kalau dirinya masih terlibat dengan Angga.
“Oke?” desak Ari, meminta persetujuan.
Tapi ini demi Gita. Perasaan bersalah selalu mengganggu Tari setiap kali ia menatap Gita. Gadis itu berada dalam zona tidak aman di sekolah ini, karena selalu menjadi incaran Ari, menjadi tawanan yang sewaktu-waktu bisa dimanfaatkan. Tidak mungkin Tari membiarkannya hidup dalam gelisah selama Ari masih ada di sekolah ini.
“Tar?”
“Oke,” jawab Tari akhirnya, berusaha tidak terdengar keberatan. “Gue setuju.”

***

Sementara itu di waktu yang sama namun latar tempat yang berbeda, motor Angga memasuki halaman parkir SMA Brawijaya. Cowok itu melepas helm dan segera mengeluarkan ponsel.
“Halo?”
“Gimana? Udah baikan?” tanya Angga lembut.
Di seberang sana, dengan posisi terlentang lemah di tempat tidur dan tertutup selimut tebal, Gita meraba keningnya sesaat, kemudian menekannya kuat-kuat, berusaha meredakan sakit di kepalanya. “Belom,” jawabnya singkat.
“Udah ke dokter? Kalo belom gue bisa anter lo sekarang.”
“Udah, barusan dianterin Mamah.”
“Minum obatnya kalo gitu. Istirahat yang cukup.”
“Iya, iya. Lo nggak mau jenguk gue siang ini?”
Angga berpikir sesaat. “Kayaknya gue nggak bisa ntar siang. Ada urusan. Mungkin malem gue ke rumah elo.”
“Ooh, iya deh. Udah sono, belajar dulu. Eh, lagi jam istirahat ya sekarang? Jajan dulu, deh.”
Angga tertawa kecil. “Oke. Bye.”

Gita sakit. Suatu keberuntungan tersendiri untuk Angga hari ini. Rencana pertamanya berhasil. Bahkan lebih dari yang ia duga. Saat menitipkan mawar di pos satpam SMA Airlangga tadi pagi, tak ia sangka Ari melihatnya. Bisa dipastikan rivalnya itu akan langsung memburunya, tapi dengan mudah ia meloloskan diri. Kalau saja Gita masuk sekolah, sasaran Ari pasti akan langsung berpindah ke cewek itu. Berhubung tidak mempunyai tawanan hari ini, Angga tidak bisa membayangkan akan seperti apa wajah Ari. Diam-diam ia tersenyum geli. Sekarang tinggal menyiapkan rencana untuk siang nanti. Ia berharap semoga keberuntungan selalu berpihak kepadanya.




Bersambung...

4 komentar:

  1. KEREEENNN !!! Ayo lanjutin!!! Aq udah promosiin blog ini loohh, soalnya fanficnya terlalu kerenn siihh :-D Tapi nggak gratis lho yaa, imbalannya aku minta lanjutannya lagi, heheheee

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih apresiasinya, sampe dipromosiin segala :D
      untuk lanjutannya tunggu aja yaa

      Hapus
  2. Laanjutannya manaaa?? Hampir satu minggu ditungguin kok nggak diposting juga x-(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf ya kalo nungguin lama
      Soalnya di sini aku punya banyak kesibukan lain yang bener2 nggak bisa ditinggalin
      Untuk lanjutannya udah aku post, selamat membaca :)

      Hapus