Saat
melihat mamanya, tak urung rasa bersalah berkelebat di hati Tari gara-gara
membolos sekolah hari ini. Apalagi mamanya tidak marah dan menyambut Ari dengan
senang hati, bahkan mengajaknya makan malam bersama. Ari menolaknya dengan
sopan, lalu berpamitan.
“Selamat
malem, Tante. Malem, Tar.”
Tari
balas tersenyum. Begitu Ari berlalu dengan Alphard-nya, ia bergegas masuk ke
kamar.
“Tari,
ada kiriman buat kamu tadi siang,” kata Mama tepat sebelum Tari membuka pintu
kamar.
“Kiriman
apa?”
“Liat
sendiri di meja belajar kamu. Mandi sana. Trus makan.”
Buket
bunga. Besar. Berisi rangkaian mawar merah. Sesuatu yang langsung menarik
perhatian Tari karena keberadaan buket bunga itu terlalu mencolok di dalam
kamarnya yang didominasi warna oranye.
“Dari
siapa, Ma?” teriak Tari. Kaget.
“Nggak
tau. Belum Mama buka kertasnya,” sahut Mama dari ruang keluarga.
Kakinya
melangkah cepat menghampiri buket bunga tadi. Memang ada sepucuk surat kecil
terselip di dalamnya.
Gimana? Asyik jalan-jalannya sama Ari?
Tari
tercekat. “Ini...” Tidak mungkin! Kepanikan seketika menghantam pikirannya.
Pengirim bunga ini tahu dia membolos sekolah. Tahu dia sedang berjalan-jalan
bersama Ari. Siapa? Siapa yang mengirim buket bunga ini? Tari bersyukur Mama
belum membaca surat yang terselip tadi. Tari tahu Mama cukup menjaga
privasinya.
Tangannya bergetar mencabut setangkai mawar merah. Tiba-tiba saja
otaknya memunculkan dua nama yang kemungkinan besar menjadi si pengirim. Angga,
atau Ata. Entah apa alasannya, Tari yakin itu adalah salah satu dari mereka.
Satu-satunya hal yang ia tahu pasti adalah buket bunga ini mempunyai satu
isyarat. Peringatan.
Melewati
sisa malam ini dengan menatap buket bunga tadi membawakan mimpi buruk untuk
Tari. Pagi harinya saat mendapati sekeliling matanya hitam dan berkantung, ia
menyesali kebodohannya tidak membuang buket bunga misterius itu sejak awal.
“Bakal
bilang apa ke Ari?” desahnya bingung, sementara sudah tak ada waktu yang
tersisa untuk mengompres matanya.
Ari
menjemputnya menggunakan motor hitamnya yang biasa, beberapa menit setelah Tari
menunggu dengan gelisah. Ia bahkan tak mampu menghabiskan sarapannya.
“Ma,
Tari berangkat dulu. Udah dijemput. Oh ya, jangan lupa buang buket bunga di
meja belajar Tari ya, Ma. Buang yang jauh! Ato bakar aja sekalian!”
“Iya.
Ati-ati, Tar,” sahut Mama yang sedang sibuk mencuci piring di dapur.
“Pagi,
Tar,” sapa Ari, yang kelihatannya suasana hatinya sedang bagus hari ini,
berbeda seratus delapan puluh derajat dengan suasana hati Tari.
Terlambat.
Sebelum Tari menyembunyikan wajahnya yang kacau, Ari menangkupkan tangannya di
kedua pipinya. “Lo kenapa? Mata lo...”
“Nggak
pa-pa. Cuma kurang tidur.” Dengan lembut, Tari melepaskan tangan Ari dari
pipinya.
“Kecapekan
gara-gara gue ajakin main kemaren?”
Tari
tertawa. Digandenganya tangan Ari ke motor untuk menghindari tatapan cowok itu.
“Nggak, lah. Cuma dapet mimpi buruk semalem, jadi nggak bisa tidur. Udah yuk,
berangkat.”
Tanpa
berkata-kata lagi, Ari naik ke motornya, disusul Tari. Sebisa mungkin Tari tidak
menunjukkan kegelisahannya di hadapan Ari.
Tapi
itu terjadi lagi. Selesai pelajaran olahraga, Tari menemukan sesuatu yang tak
biasa. Setangkai mawar merah tanpa identitas tergeletak di mejanya. Membuat
hatinya kacau balau seketika.
“Dari
siapa, Tar?” seru teman-temannya ingin tahu.
Tari
menggeleng. “Palingan dari Ari,” katanya tidak yakin. Dibiarkannya
teman-temannya bercia-cie menggoda dan berkata sesuka hati.
“Ucapan
lekas sembuh dari Ari. Kemaren kan Tari sakit, nggak masuk sekolah,” kata Fio
kepada teman-temannya, sekaligus melemparkan sindiran untuk sahabatnya itu.
Tari
tersenyum kecut. “Thanks, Fi.” Karena
masih ada lima belas menit tersisa sebelum jam olahraga habis, ia menyeret Fio
ke gudang tempat persembunyiannya, masih sambil membawa mawar tadi.
“Ada
apa?” tanya Fio. Otaknya yang jeli langsung bisa menangkap adanya sesuatu yang
tidak beres.
Tari
jatuh merosot dengan bersandar pada dinding. Tubuhnya lemas. “Kira-kira, siapa
yang tadi masuk ke kelas kita, trus ngasih mawar ini ke meja gue?”
“Kak
Ari, kan? Lo bilang sendiri tadi.”
Tari
menggeleng. “Ini bukan dari Ari.”
“Apa?”
“Mawar
ini bukan dari Ari,” ulang Tari.
“Trus,
dari siapa?”
Tari
menggeleng lagi. “Mana gue tahu,” erangnya bingung.
“Lo
tanya Kak Ari dulu gih. Siapa tahu emang dari dia.”
“Gue
takut, Fi. Gue takut dia bakalan berpikiran yang macem-macem kalo gue bilang
gue dapet kiriman mawar. Kemaren juga gitu. Gue dapet buket bunga, nggak tau
dari siapa. Yang jelas, tu orang tau kalo gue lagi bolos bareng Ari. Gimana gue
nggak panik, coba? Itu artinya kemaren ada yang liat gue bolos.”
“Ya
makanya lo tanya Kak Ari,” kata Fio gemas. “Gimana kalo emang dari dia?”
“Nggak,
ah. Gue yakin bukan dari Ari. Dan, gue ngerasa ada keterlibatan Angga di sini.”
Kening
Fio kontan berkerut mendengar nama itu. “Angga?”
Tari
menceritakan kedatangan Angga kemarin ke rumahnya. Sampai tiba-tiba matanya
melebar dan mulutnya berhenti bicara. “Oh!” teriaknya, seolah baru menyadari
sesuatu. “Mawar-mawar ini pasti dari Angga! Iya! Pasti! Pasti tadi Gita yang
masuk ke kelas kita dan naruh mawar ini ke meja gue.”
“Tapi
Gita kan juga lagi pelajaran.”
“Ijin
ke toilet, dong.”
“Bawa-bawa
mawar?” debat Fio lagi.
“Bisa
aja ni mawar dititipin Angga di pos satpam, trus tadi diambil Gita. Iya, kan?”
Kemungkinan
itu muncul begitu saja. Memang terdengar masuk akal. “Iya, sih.” Fio mengakui
argumen Tari ada benarnya. “Trus, mawar ini mau lo apain?”
“Enaknya
diapain? Dibuang?”
“Iya,
lah. Kalo Kak Ari sampe liat, bisa ngamuk dia. Lebih baik lo buang.”
Itu
benar dan harus segera dilakukannya. Tapi begitu yakin mawar ini dari Angga,
kenapa hati Tari menyangkal keharusan itu? Kenapa ia merasa sayang untuk
membuang mawar di tangannya ini? Ya. Tidak akan dibuangnya secara utuh. Satu
persatu, ia mencabut kelopak mawar sampai habis, kemudian memungutinya lagi.
“Yuk, balik,” ajaknya. Sampai di dekat tong sampah, ia membuang kelopak dan
tangkai mawar tadi. Namun tanpa sepengetahuan Fio, Tari menyisakan satu kelopak
di genggamannya, berharap bisa menyimpannya.
Begitu
hampir tiba di pintu kelas, tubuh Tari menegang mendapati siapa yang tengah
menunggunya di sana. Ari.
***
Berbeda
dengan apa yang ditampakkannya di depan Tari, suasana hati Ari sebenarnya tidak
begitu baik pagi ini. Ayahnya masih di rumah sampai sekarang, dan Ari selalu berusaha
menghindarinya. Atmosfer rumah mereka terasa ganjil. Ada semacam ketegangan
yang menggantung di udara, membuat Ari tambah tidak betah di rumah. Sebisa
mungkin dia bertahan dengan menjaga untuk tidak bertatap muka langsung dengan
ayahnya, tapi tetap berusaha terlihat. Ia tidak mau ayahnya mendadak memblokir
semua ATM dan haknya untuk keluar rumah. Karena bisa dipastikan ayahnya akan
langsung menuduh dirinya pergi bertemu dengan Mama dan Ata kalau sampai dia
menghilang tiba-tiba.
“Pagi,
Bos,” sapa Oji saat Ari meletakkan tas di meja.
Ari
meliriknya sedikit, kemudian duduk di sebelah sohibnya itu. Tangan kanannya
bergerak membuka kancing teratas kemejanya dengan resah.
“Kemaren
cabut ke mana?” tanya Ridho yang tiba-tiba sudah menghampiri meja mereka.
“Jalan-jalan
sama Tari,” sahut Ari acuh tak acuh.
“Tari
ikutan bolos?” seru Oji, kemudian mendecakkan lidah beberapa kali. Takjub.
“Wah, hebat, hebat. Lain kali ajak gue juga, Bos.”
“Lo
bener-bener nularin pengaruh buruk buat tu cewek, Ri,” ucap Ridho yang otaknya
masih bisa berpikir waras.
Ari
tertawa mendengus. “Dia nggak keberatan, kok,” kilahnya sambil mengibaskan
tangan, lalu bangkit berdiri.
“Mau
kemana?” tanya kedua sahabatnya serentak.
“Keluar.
Gue masih belom punya mood buat
pelajaran. Ikut?”
Oji
dan Ridho menggeleng. Bukannya mereka nggak minat ikutan cabut, tapi ada tugas
mahapenting yang harus mereka laksanakan di jam pertama ini. Merayu guru kesenian
dan bersikap baik agar nilai kesenian mereka terjamin baik, setelah beberapa
waktu yang lalu nilai mapel yang satu itu membuat rata-rata mereka anjlok.
Ari
sendiri tak pernah ambil pusing dengan nilai-nilainya. Karena kedua temannya
menolak ikut, ia berjalan sendirian menuruni gedung kelas dua belas, melangkah
ke arah tepi lapangan, mengambil tempat tersembunyi di sana untuk menyulut
sebatang rokok. Tapi niatnya langsung goyah ketika melihat Tari berjalan masuk
ke lapangan. Ternyata pagi ini cewek itu ada pelajaran olahraga. Ari mendesah.
Dimasukkannya kembali batang rokok yang belum sempat tersulut api ke saku
kemeja.
Bel
masuk berbunyi. Kelas Tari mulai membentuk barisan, dan sepasang mata Ari tak
pernah lepas dari sosok gadis yang selalu bernuansa oranye itu, yang selalu
terlihat mencolok di antara teman-temannya.
Tak
terhitung sudah berapa kali gadis itu ia lukai. Dalam kali yang tak terbilang
ia menjadi alasan gadis itu menangis dan sakit hati. Namun sampai sekarang
gadis itu masih bisa tersenyum dan tertawa kepadanya, bahkan bersedia menjadi
satu-satunya orang yang berada di sampingnya di saat ia membutuhkan sandaran.
Ari
bangkit berdiri, berniat untuk berpindah tempat setelah sekali lagi
memperhatikan Tari yang tengah melakukan pemanasan, memastikan gadis itu
baik-baik saja dan akan selalu ada untuknya. Ia berjalan pelan, menelusuri
koridor yang sepi dan menyapa guru-guru yang berpapasan dengannya. Daripada
capek-capek mengurusi siswa yang satu itu dan membuat mood rusak di pagi hari di mana mereka masih harus bekerja beberapa
jam ke depan, yang hasilnya pasti sia-sia saja, para guru memilih diam. Tidak
akan mengomel apalagi membalas salam Ari. Mereka angkat tangan.
Ari
baru saja meringis lebar ke Pak Yusuf ketika matanya menangkap sebuah motor
yang berhenti di dekat pos satpam. Sekilas, Ari mengenali motor itu. Ia
memicingkan mata untuk mempertajam pandangan. Pengendara motor tadi turun, dan
mengeluarkan sesuatu yang tak ia duga. Setangkai bunga mawar. Merah dan segar.
Tak berhasil mengenali si pengendara motor, Ari memilih untuk terus
memperhatikan. Dan kekagetan seketika menghantamnya begitu si pengendara
menaikkan kaca helm. Angga. Cowok itu menyerahkan bunga mawar tadi kepada
satpam yang berjaga di sana dan berbicara beberapa saat. Pak Satpam terlihat
mengangguk-angguk mengerti.
Ketika
Angga menoleh ke dalam sekolah. Ke arahnya. Ketika kedua pasang mata mereka
bertemu. Dalam ketersimaan yang bertahan sekejab, Ari menangkap sinar dendam
itu masih menyorot di sana. Sekarang ditambah dengan senyum mengejek.
“Brengsek!”
umpat Ari begitu tersadar, dan langsung berlari ke motornya. Dalam waktu yang harus
dihabiskan Ari mulai dari berlari ke motor dan mengeluarkannya dari lapangan
parkir, Angga telah menghilang dari tempatnya tadi.
“Buka
gerbangnya! Cepetan!” teriak Ari kepada Pak Satpam yang tengah meletakkan mawar
titipan Angga ke dalam pos. Untuk sesaat, satpam itu bingung, apakah dia harus
membukakan gerbang, atau lebih baik menelepon kepala sekolah dan menahan Ari
sampai kepala sekolah mereka menjemputnya? Sampai Ari tiba-tiba membunyikan
klakson motornya panjang-panjang, kehabisan kesabaran. Akhirnya pintu gerbang
dibukakan. Motor hitam besar itu langsung melesat kencang meninggalkan sekolah,
berusaha mengejar Angga yang sudah hilang tak meninggalkan jejak. Di kepala Ari
hanya ada satu tujuan saat ini. SMA Brawijaya.
Sekolah
musuh itu sudah sepi karena pelajaran tengah berlangsung. Ari menghentikan
motor di dekat pos satpam penjaga gerbang utama.
“Mas!
Liat Angga?” bentaknya kepada mas-mas sekuriti yang berjaga di sana.
“Anggada?”
tanya salah satu satpam, yang jelas-jelas mengenal Angga karena cowok itu
pentolan sekolah di sini. Sama seperti Ari yang begitu terkenal di sekolahnya,
hingga seluruh pedagang kantin sampai tukang kebun pun mengenal nama dan segala
tindak-tanduknya. Dan satpam di sini juga mengenal Ari sebagai musuh utama dari
pentolan sekolah mereka, yang tidak jarang datang kemari untuk melakukan
perhitungan.
“Iya!
Di mana dia?” bentak Ari lagi.
“Saya
belum lihat dia lewat sejak pagi tadi. Mungkin nggak masuk. Mas ada perlu apa?”
Jadi
Angga tidak ke sini. Ari mengumpat-ngumpat dalam hati. Sialan! Kemana tu anak? Sementara otaknya tidak bisa menebak kemana
Angga pergi.
“Tolong
Mas bilangin ke dia, kalo ada urusan di sekolah gue, langsung ketemu sama gue!
Nggak usah nitip-nitip satpam di sana. Ngerti?”
Semua
kontan mengangguk-angguk melihat wajah angker Ari. Ari membawa motornya dan
bersembunyi di tempat yang tak terlihat dari jalan masuk SMA Brawijaya,
menunggu Angga datang dan memastikan cowok itu tidak kabur. Tapi hingga bermenit-menit
ia duduk di atas motor di tempat persembunyiannya, Angga tidak muncul. Kembali
Ari mengumpat dalam hati, kemudian memutuskan pergi dari sana. Ia rasa percuma
menunggu Angga. Kemungkinan besar rivalnya itu telah mengetahui dia akan datang
ke sini, lalu sengaja membuatnya kesal dan kelabakan dengan tidak menampakkan
diri.
“Pengecut!”
desis Ari ke arah bangunan sekolah tak jauh di depannya sebelum meluncur pergi.
Saat tiba kembali di SMA Airlangga, mawar di dalam pos satpam sudah raib.
“Mas,
kemana mawar yang tadi?”
Satpam
di sana menggeleng. “Udah diambil kayaknya. Tadi baru saya tinggal ke kelas XI
IPA 6, pas balik ke sini udah nggak ada.”
Ari
memarkirkan motor. Siapapun itu yang mengambilnya, ia yakin untuk siapa mawar tadi
ditujukan. Dengan langkah cepat, nyaris dikategorikan berlari, Ari menghampiri
kelas X-9. Siswa-siswi yang sedang berleha-leha sehabis olahraga langsung duduk
tegak begitu Ari masuk ke kelas mereka. Sepasang matanya yang tajam memindai ke
penjuru kelas, tapi tak berhasil menemukan orang yang ia cari.
“Mana
Tari?” tanyanya tidak sabar.
Semua
kontan menggeleng-geleng. “Tadi keluar sama Fio, Kak,” jawab Jimmy pelan.
Ari
baru melangkah keluar ketika dilihatnya Tari dan Fio berjalan ke arahnya.
Sesaat, ia melihat Tari menghentikan langkah dan menatapnya kaget.
“Ehm,
Tar, gue masuk kelas dulu ya,” bisik Fio saat Ari melangkah menghampiri mereka.
Ari
menunggu sampai Fio masuk ke kelas, kemudian kembali menatap Tari penuh
selidik. “Lo dapet mawar?” tanyanya langsung, seperti biasa, tidak butuh
basa-basi.
Mau
tak mau Tari mengangguk. “Merah? Iya.”
“Dari
siapa?”
“Gue
nggak tahu. Tadi pas balik ke kelas selesai olahraga tu mawar ada di meja gue.
Gue pikir dari elo,” kilah Tari, dalam hati bersyukur dia telah membuang mawar
tadi dan menyimpan kelopak terakhirnya di kantong celana.
“Bukan,”
jawab Ari serius, dan tanpa sadar suaranya jadi lirih. “Itu dari Angga.”
Tari
tersentak. Ia tahu hal ini. Tapi bagaimana Ari juga tahu mawar tadi dari Angga?
“Di
mana mawar itu sekarang?”
“Eh,
itu, ng... udah gue buang barusan.”
“Bagus.”
Ari mengangguk-angguk, tampak terkesan dengan keputusan Tari untuk membuang
mawar pemberian Angga tanpa disuruh.
“Ehm,
Kak?” panggil Tari, menghentikan langkah pertama Ari yang sudah akan meninggalkannya.
Ari
berhenti dan menoleh lagi. Alisnya terangkat, menunggu pertanyaan Tari.
“Lo
tau dari mana itu mawar dari Angga?”
“Tadi
Angga ke sini. Tapi nggak berhasil gue kejar.” Ari mengangkat bahu sedikit.
Ari
liat Angga ke sini? Tari mulai mencium adanya bahaya.
“Tar,
lo harus ati-ati,” kata Ari lagi, memperjelas bunyi alarm dalam kepala Tari.
“Gue
akan ati-ati,” angguk gadis itu.
***
Jam
istirahat pertama, Tari berjalan terburu-buru ke kelas Gita. Dia ingin
memastikan dan memperingatkan cewek itu untuk tidak lagi ikut campur dalam
hubungannya dengan Ari dan Angga. Tari tidak ingin Gita masuk ke dalam bahaya.
Langkah cepat Tari terhenti beberapa meter dari pintu kelas Gita saat melihat
siapa yang baru saja keluar dari sana. Ari juga balas melihatnya. Cowok itu
kemudian melangkah mendekat sambil menggeleng.
“Gue
udah nanya barusan. Gita nggak masuk.”
“Nggak
masuk?” Tari tercengang. “Trus siapa yang ngasih mawar itu ke meja gue? Pak
Satpam?”
“Sekuriti
itu tadi lagi pergi pas mawarnya diambil. Lagian dia nggak mungkin tau meja lo
yang mana, kan?”
Keduanya
terdiam. Tanya yang sama tercipta dalam benak mereka. Kalau bukan Gita yang mengambil
mawar dari pos satpam dan meletakkannya di meja Tari, lalu siapa?
“Ada
orang di sekolah ini yang berani bantu si Angga. Awas aja tu orang kalo sampe
ketangkep,” geram Ari.
“Kak,”
panggil Tari, terdengar ragu setelah beberapa saat terdiam. “Bisa nggak, kali
ini lo nggak libatin Gita?” tanyanya kemudian.
“Apa?”
Ari menyipitkan mata, seolah tak mempercayai pendengarannya.
Tari
buru-buru meneruskan kalimatnya sebelum keberaniannya menguap habis. “Jangan lo
libatin Gita lagi. Lo tau mawar ini dari Angga. Buat gue. Dan lo tau bukan Gita
yang bantuin Angga tadi, tapi orang lain. Jadi jangan bawa-bawa Gita dalam masalah
kita. Dia nggak salah apa-apa.”
Masih
sambil menyipitkan mata, Ari menyahut dengan suara mendesis berbahaya yang
membuat Tari menelan ludah, “Pertama, gue tau bukan Gita yang bantuin Angga
kali ini. Kedua, lo bilang Gita nggak salah apa-apa? Kalo lo mau tau, kesalahan
terbesar Gita adalah sekolah di sini. Satu gedung sama gue. Dia ada di bawah
teritori gue.”
“Tapi...”
“Oke,
oke,” sela Ari sebelum Tari sempat memprotes. “Gue nggak akan libatin Gita,
asal lo janji satu hal sama gue.”
“Apa?”
“Jangan
terlibat sama Angga lagi.”
Keputusan
telah dijatuhkan. Dan apapun itu akan menjadi tak terbantahkan kalau yang
menjatuhkan adalah Ari. Tapi Tari tidak bisa mengangguk begitu saja. Kelopak
mawar yang sekarang tersimpan manis dan rapat di dalam tas menjadi bukti kalau
dirinya masih terlibat dengan Angga.
“Oke?”
desak Ari, meminta persetujuan.
Tapi
ini demi Gita. Perasaan bersalah selalu mengganggu Tari setiap kali ia menatap
Gita. Gadis itu berada dalam zona tidak aman di sekolah ini, karena selalu
menjadi incaran Ari, menjadi tawanan yang sewaktu-waktu bisa dimanfaatkan.
Tidak mungkin Tari membiarkannya hidup dalam gelisah selama Ari masih ada di
sekolah ini.
“Tar?”
“Oke,”
jawab Tari akhirnya, berusaha tidak terdengar keberatan. “Gue setuju.”
***
Sementara
itu di waktu yang sama namun latar tempat yang berbeda, motor Angga memasuki
halaman parkir SMA Brawijaya. Cowok itu melepas helm dan segera mengeluarkan
ponsel.
“Halo?”
“Gimana?
Udah baikan?” tanya Angga lembut.
Di
seberang sana, dengan posisi terlentang lemah di tempat tidur dan tertutup
selimut tebal, Gita meraba keningnya sesaat, kemudian menekannya kuat-kuat,
berusaha meredakan sakit di kepalanya. “Belom,” jawabnya singkat.
“Udah
ke dokter? Kalo belom gue bisa anter lo sekarang.”
“Udah,
barusan dianterin Mamah.”
“Minum
obatnya kalo gitu. Istirahat yang cukup.”
“Iya,
iya. Lo nggak mau jenguk gue siang ini?”
Angga
berpikir sesaat. “Kayaknya gue nggak bisa ntar siang. Ada urusan. Mungkin malem
gue ke rumah elo.”
“Ooh,
iya deh. Udah sono, belajar dulu. Eh, lagi jam istirahat ya sekarang? Jajan
dulu, deh.”
Angga
tertawa kecil. “Oke. Bye.”
Gita
sakit. Suatu keberuntungan tersendiri untuk Angga hari ini. Rencana pertamanya
berhasil. Bahkan lebih dari yang ia duga. Saat menitipkan mawar di pos satpam
SMA Airlangga tadi pagi, tak ia sangka Ari melihatnya. Bisa dipastikan rivalnya
itu akan langsung memburunya, tapi dengan mudah ia meloloskan diri. Kalau saja
Gita masuk sekolah, sasaran Ari pasti akan langsung berpindah ke cewek itu.
Berhubung tidak mempunyai tawanan hari ini, Angga tidak bisa membayangkan akan
seperti apa wajah Ari. Diam-diam ia tersenyum geli. Sekarang tinggal menyiapkan
rencana untuk siang nanti. Ia berharap semoga keberuntungan selalu berpihak
kepadanya.
Bersambung...
KEREEENNN !!! Ayo lanjutin!!! Aq udah promosiin blog ini loohh, soalnya fanficnya terlalu kerenn siihh :-D Tapi nggak gratis lho yaa, imbalannya aku minta lanjutannya lagi, heheheee
BalasHapusmakasih apresiasinya, sampe dipromosiin segala :D
Hapusuntuk lanjutannya tunggu aja yaa
Laanjutannya manaaa?? Hampir satu minggu ditungguin kok nggak diposting juga x-(
BalasHapusMaaf ya kalo nungguin lama
HapusSoalnya di sini aku punya banyak kesibukan lain yang bener2 nggak bisa ditinggalin
Untuk lanjutannya udah aku post, selamat membaca :)