Ketika
motor Ari berhenti di depan rumah Tari siang harinya, tidak ada kata-kata
candaan seperti biasa. Keduanya membisu sampai Tari turun dari motor. Mereka
masih menatap ke titik yang sama, kepada seseorang yang berdiri menunggu mereka
di depan pagar.
Ata
menoleh menyambut kedatangan Ari dan Tari. Ujung-ujung bibirnya terangkat.
“Lama banget ditungguin. Untung gue belom sampe garing di sini.”
“Ngapain
lo di sini, Ta?” tanya Ari.
Ata
melangkah mendekat. Matanya melirik sekilas ke Tari yang berdiri di sebelah
saudara kembarnya. “Gue mau minta tolong ke elo.”
“Minta
tolong apa?”
“Tolong
anterin gue ke rumah lo. Gue mau ketemu sama Bokap.”
Ari
dan Tari sama-sama tidak menduga permintaan Ata. Tari yang sudah was-was begitu
melihat Ata menunggu kepulangan mereka di rumahnya, langsung mencium akan
adanya masalah di keluarga Ari lagi. Tapi ia tidak bisa melarang atau mencegah.
Ia bukan seseorang yang memiliki hak untuk melakukan itu.
“Buat
apa lo ketemu Bokap?” tanya Ari. Tak urung, suaranya terdengar tegang.
“Gue
nggak akan nyari masalah. Gue nggak akan bikin lo kena getahnya, kalo itu yang
lo takutin. Anterin aja gue ke sana,” sahut Ata. Tanpa meminta persetujuan Ari,
dia naik ke boncengan. “Keberatan, bro?”
“Nggak,”
kali ini tanpa ragu Ari menjawab, “Gue anter lo ke sana.” Sebelum pergi, ia
menoleh ke Tari. “Buruan masuk.”
Tari
mengangguk. Bibirnya membisikkan kata hati-hati, yang dibalas dengan anggukan
samar oleh Ari. Saat tangannya membuka pintu pagar, motor Ari melaju
meninggalkan jalanan depan rumahnya.
Tari
berdoa semoga tidak terjadi hal buruk di antara Ari, Ata, dan ayah mereka.
Sampai dia tidak menyadari bahwa hal buruk itu sendiri tengah menghadangnya.
Tari membuka pintu depan, dan tubuhnya langsung terpaku. Tidak jauh di
depannya, di karpet ruang tamu, ia melihat Geo, adiknya, sedang sibuk menyusun
robot gundam bersama seseorang yang tidak ingin Tari temui.
***
Ari
memacu motornya dengan kencang. Predikatnya sebagai raja jalanan kembali ia
pertontonkan siang ini. Menyalip ke sana kemari, membuat manuver-manuver
berbahaya, bahkan menerobos beberapa lampu merah. Ata tidak berusaha
menghalangi. Ia biarkan saudara kembarnya kalut begitu mendengar keputusannya
untuk datang menemui ayah mereka.
Sebenarnya
Ata tidak berniat menemui ayahnya. Ini hanya rencana dadakan agar bisa
menjauhkan Ari dari Tari untuk saat ini.
Dalam
waktu tidak lebih dari lima belas menit, motor memasuki kompleks perumahan
mewah tempat Ari tinggal. Ata menatap sekeliling, mengamati sekilas rumah-rumah
yang mereka lewati. Ia sadar ia harus segera mempersiapkan hati.
Setelah
melewati beberapa tikungan, motor berhenti di depan sebuah pagar rumah yang
menjulang tinggi. Bahkan kalau Ari menurunkannya di depan kompleks dan
menyuruhnya menebak sendiri yang mana rumahnya, Ata yakin ia akan berhenti di
rumah ini. Rumah yang khusus dibangun ayahnya dengan segala simbol yang
berhubungan dengan sang raja langit. Ata turun dari boncengan motor. Matanya
masih tidak lepas dari rumah di depannya.
“Ayo
masuk.”
Sengatan
kebencian mengiringi setiap langkah Ata ketika membuntuti Ari masuk. Jadi begini
hidup yang dijalani Ari selama ini. Saudara kembarnya itu hidup
bermewah-mewahan di rumah yang bagaikan istana dengan ATM unlimited di dompetnya. Bebas menikmati masa-masa SMA dengan segala
macam kenakalan yang diinginkannya. Ata mati-matian menjaga langkahnya tetap
tegak dan mantap, meski ada dorongan kuat dalam dirinya yang menyuruhnya
berlari keluar dari rumah ini.
Sementara
itu, sengatan rasa bersalah dan malu menguasai diri Ari. Seperti Ata, perasaan
itu membuatnya ingin berlari keluar. Melangkah masuk ke rumah mewahnya bersama
Ata yang nasibnya entah bagaimana di Malang sana membuat Ari merasa menjadi
saudara paling buruk di dunia. Saat dirinya tidur di springbed king size, mungkin Ata harus tidur berdesak-desakan
dengan para sepupunya, atau bahkan mungkin tidur tanpa alas. Saat dirinya bebas
menghambur-hamburkan uang, mungkin Ata rela bekerja siang dan malam untuk
menghidupi dirinya dan Mama. Saat dirinya bebas berlibur ke mana saja, mungkin
Ata sibuk membantu Mama mengantarkan pesanan jahitan...
Mereka
hampir tiba di pintu depan ketika langkah Ari terhenti tiba-tiba. Ata yang
berjalan di belakangnya kontan berhenti juga. Tak bisa menahan diri, Ari
memeluk Ata erat. Tubuhnya berguncang bersamaan dengan air matanya yang jatuh
di pundak saudara kembarnya.
“Maafin
gue, Ta. Maaf.”
Ata
tertegun. Tidak ia sangka Ari akan merasakan penyesalan sedalam ini sampai
menangis. Ia kira Ari akan membukakan pintu dengan sombong dan mungkin
memamerkan kamarnya yang ukurannya bisa dua kali lipat dari rumahnya di Malang.
Tapi ternyata ini yang ia dapat. Air mata saudara kembarnya dan bisikan
permohonan maaf. Sosok Ari sebagai adik kecilnya yang lemah baru ia lihat kembali
hari ini setelah bertahun-tahun mereka berpisah.
“Ri...”
“Gue
bego banget nggak berusaha lebih keras nyari elo dan Mama selama ini. Gue
terlalu cepat putus asa. Seharusnya gue terus nyariin kalian sampe ketemu.
Seharusnya gue nggak membiarkan kalian bekerja begitu keras di Malang.”
Ata
membalas pelukan Ari erat. “Nggak ada yang perlu disesali. Yang penting gue ada
di sini sekarang. Di pelukan elo. Dan nggak usah merasa bersalah. Bukan kita
yang menyebabkan semua ini terjadi. Elo udah cukup hebat dengan bertahan melewati
semuanya selama ini.”
Sisi
gelap dari diri Ata muncul seketika, mendominasi pikiran cowok itu. Meski
bibirnya membisikkan kata-kata menenangkan dan tangannya memeluk saudara
kembarnya, otaknya sekarang tertuju pada rencananya yang ternyata berjalan jauh
lebih sempurna.
***
Tari
membeku dan membisu.
Geo
yang pertama menoleh ke arahnya begitu mendengar pintu terbuka. “Kak Tari udah
pulang? Mama sama Papa lagi ada acara di luar. Untungnya ada Kak Angga yang
nemenin aku. Lihat, dia bantuin aku masangin bagian-bagian yang susah dari
robot ini. Kak Angga emang hebat!”
Angga
mengacak rambut Geo. “Ge, Kak Angga mau ngomong sebentar sama kakak kamu. Kamu
tungguin di dalem ya. Lain kali Kakak bantuin lagi nyusun robot.”
Geo
mengangguk patuh. Ia membereskan susunan robotnya, lalu mengangkutnya ke dalam.
Sementara Tari masih berdiri mematung di ambang pintu. Begitu Angga berdiri dan
berjalan mendekat, cewek itu balik badan, berlari sekencang-kencangnya keluar
rumah.
Tangan
kanannya bahkan baru menyentuh pintu pagar ketika tangan kirinya dicekal dari
belakang.
“Lepasin,
nggak?! Lepasin! Jangan sentuh gue!” Trauma akan sentuhan Angga kembali
menyerang. Tari meronta-ronta berusaha melepaskan diri, yang malah membuat
tangannya dicekal makin ketat.
“Ssst,
Tar, gue nggak ada niat buruk sama elo. Gue cuma mau ngomong. Kita bicarain ini
di dalem. Malu kan kalo lo teriak-teriak diliatin tetangga-tetangga lo?”
“Biarin!
Gue nggak mau masuk ke dalem! Gue nggak mau denger apapun dari elo! Lepasin!”
Tidak
ada cara lain. Mungkin tindakan Angga bisa dibilang tindak kriminalitas. Suasana
sekitar begitu sepi karena orang-orang sedang malas keluar di tengah teriknya
matahari siang itu. Angga mengeluarkan sapu tangan dari saku kemejanya. Sapu
tangan yang sudah ia bubuhi obat tidur, berhasil membuat tubuh Tari melemah.
Dosisnya memang sengaja ia atur agar tidak membuat Tari pingsan, karena ia
tidak punya banyak waktu untuk menunggu gadis itu siuman.
Tari
tidak bisa melawan pengaruh obat bius yang dipaksakan masuk lewat hidungnya. Ia
tidak bisa meronta. Ia tidak bisa bicara. Sebelum tubuhnya lumpuh, ia
meneriakkan nama Ari keras-keras. Namun tidak seperti harapan, teriakan itu
tidak keluar dalam bentuk jeritan melalui tenggorokannya. Hanya menggema dalam
tempurung kepalanya sendiri. “Kak Ari!
Tolong!!”
***
Sebuah
ide tentang apa yang harus ia katakan terlintas di benak Ata tepat saat Papa
muncul di hadapan mereka.
Papa
menatap kedua anak kembarnya dengan alis terangkat. Detik ini dia baru
menyadari begitu serupanya kedua anak ini meski waktu telah memisahkan mereka
cukup lama. Bahkan mungkin ia akan kesulitan mengenali Ari kalau saja anak itu
tidak memakai seragam sekolah.
“Ada
yang ingin kalian bicarakan?” tanyanya datar.
“Ya.
Ada sesuatu yang ingin Ata dengar dari mulut Papa,” sahut Ata tegas. “Mumpung
Ata dan Ari berdiri di depan Papa sekarang, tolong beritahu kami apa yang
membuat Papa membenci Mama.”
Ari
tidak kalah kaget dengan Papa saat mendengar kalimat berani Ata. Setelah sekian
lama, ia baru benar-benar disadarkan oleh pertanyaan yang selama ini
mengganggunya. Apa yang membuat Papa begitu membenci Mama? Apa yang tiba-tiba
membuat mereka bercerai bertahun-tahun yang lalu? Kini Ari ikut menatap papanya
yang terdiam, menuntut jawaban.
Ditatap
seperti itu oleh kedua anaknya, Papa menghela napas sejenak. “Duduklah,”
katanya kemudian, menyuruh mereka duduk di salah satu sofa panjang. Ia duduk di
hadapan kedua anaknya, terdiam lagi untuk mengulur waktu.
“Papa
rasa kalian sudah cukup dewasa untuk menilai ini.” Pria paruh baya itu memijat
pelipisnya. Otaknya memutar kembali peristiwa bertahun-tahun lalu, yang
kemudian ia suarakan untuk didengar oleh kedua putranya. “Waktu itu Papa belum
begitu berpengalaman bisnis. Jadi Papa termakan omongan teman. Papa menanamkan
saham kepadanya dalam jumlah besar, dengan iming-iming keuntungan berlipat
ganda. Kalian bisa menebak sendiri apa yang terjadi setelah itu.”
“Papa
ditipu,” kata Ari.
“Dan
Mama marah,” sambung Ata.
“Ya.
Papa ditipu. Bukan hanya sekali, tapi dua kali. Papa memang bodoh. Widia jelas marah
besar. Kalian tau waktu itu keluarga kita hidup pas-pasan. Tabungan kami ludes.
Padahal kebutuhan kita semakin banyak. Setelah hari di mana Papa mengaku kalau
Papa ditipu, semuanya menjadi berbeda. Tatapan dan sikap Widia tak lagi sama.
Papa berusaha meyakinkan dia untuk bersabar dan memulai lagi pelan-pelan.
Bagaimanapun caranya Papa akan berusaha agar kalian bisa bersekolah seperti
biasa. Tapi suatu hari, mungkin karena Widia tidak tahan lagi, ia mengucapkan
sesuatu yang tidak akan pernah Papa lupakan.” Perlahan rahang Papa mengeras.
Ata dan Ari bertukar pandang sejenak.
“Apa
yang Mama katakan?” tanya Ari pelan, kembali menatap ayahnya.
“Dia
mengatai Papa sebagai lelaki yang tidak becus menafkahi keluarga. Bahkan
kalian, sebagai anak-anak kami, ia rasa lebih bisa menghasilkan uang daripada
Papa. Dulu memang sempat ada tawaran bermain film untuk pasangan anak kembar.
Tapi Papa melarang. Papa ingin kalian bersekolah dengan benar tanpa harus
kelelahan syuting ke sana kemari. Papa dulu sering bilang kepada kalian,
“Sekolah yang rajin dan benar. Papa mau anak-anak Papa jadi orang cerdas dan
sukses.” Ingat?”
Ata
dan Ari mengangguk-angguk. Mereka ingat betul Papa sering berkata seperti itu
kepada mereka.
“Lalu
puncaknya, mama kalian mengancam, kalau sampai Papa belum bisa melunasi cicilan
rumah akhir bulan itu dengan uang Papa sendiri, ia memilih untuk pulang ke
Malang.” Papa tersenyum kecut. Matanya menyorotkan luka. “Masalah cicilan rumah
sudah tidak penting lagi setelah itu.”
Suasana
menjadi hening. Cerita seperti itu tidak pernah terlintas sedikit pun di benak
Ata maupun Ari. “Itu sebabnya Papa menceraikan Mama?” tanya Ata lirih.
“Ya.
Papa sudah tidak mau hidup dengan wanita yang tidak bisa bersabar dan tidak
bisa mendukung suaminya dalam keadaan apapun. Papa tidak tau apa Widia menyesal
dengan kata-katanya dulu, tapi sebagai seorang lelaki dan suami, Papa tidak
bisa memaafkan ucapannya.” Papa mengakhiri cerita. Ia menatap Ata dingin.
“Sekarang kamu pulanglah. Kembalilah ke Malang seperti keinginan mamamu dulu.
Kehidupan kita sudah berbeda sekarang.”
“Kenapa?”
geram Ata dengan kepala tertunduk. Ari tertegun mendapati suasana hati Ata yang
tiba-tiba berubah. “Kenapa Papa bilang kehidupan kita sudah berbeda? Papa nggak
nganggep Ata sebagai anak Papa lagi, gitu?!” Suasana meledak ketika kesabaran
masing-masing pihak habis. Ata mulai berteriak. Ia berdiri sambil menggebrak
meja yang memisahkan dirinya dengan Papa. “Kenapa yang Papa perhatiin cuma Ari?
Apa gara-gara dulu Ata cuma anak bandel yang bisanya ngerepotin? Jadi Papa
lebih memilih Ari? Ata dibuang begitu aja? Dibiarkan hidup menderita di Malang?”
“Ata!”
bentak Ari, terlalu kaget dengan kata-kata Ata.
“Salahkan
mamamu kalau hidup kamu di Malang serba kekurangan! Kalau dia bisa lebih sabar,
mungkin keluarga kita masih utuh dan tinggal di rumah ini sekarang tanpa pusing
memikirkan masalah uang!” Papa ganti berteriak.
“Jadi
Papa nyalahin Mama?” balas Ata lagi.
“Tentu
saja! Karena dia yang membuat keluarga kita berantakan,” sahut Papa. “Buat apa
Widia mengajakmu ke Jakarta sekarang? Pasti bukan karena Ari. Dia tau Papa
telah sukses, jadi dia ingin meminta uang dari Papa, kan? Kalian sudah tidak
tahan hidup kekurangan di Malang, kan? Dan karena dia belum mendapat apa yang
diinginkannya, kalian sampai sekarang belum kembali lagi ke Malang. Dasar
wanita tidak tau malu!”
“Papa,
cukup! Jaga ucapan Papa!” bentak Ari lagi, benar-benar sakit mendengar
kata-kata Papa yang keterlaluan menuduh Mama.
Sementara
itu Ata semakin meradang. Kemarahan dan kekecewaan atas semua ketidakadilan
yang ia terima selama ini membuncah keluar. “Kalau ini semua memang salah Mama,
kenapa Ata juga yang kena? Kalau memang Papa membenci Mama, kenapa Papa ikut
membenci Ata juga? Kenapa Ata ikutan susah atas masalah kalian?!”
Pangkal
kemarahannya memang berasal dari Papa, karena ayahnya itu dulu lebih memilih
Ari ketimbang dirinya. Ketika memikirkan kenyataan itu tepat di depan si
pelaku, kedua mata Ata mulai perih. Tapi ia menolak menangis di hadapan Papa
dan Ari. Ia telan semua air mata yang mendesak keluar, yang menyebabkan
suaranya bergetar ketika melanjutkan, “Apa Papa nggak tau? Selama sembilan
tahun Ata bekerja keras, dengan memegang kata-kata Papa untuk tetap bersekolah
dengan rajin. Selama sembilan tahun setelah Papa dan Mama cerai, Ata yang bayar
biaya sekolah Ata sendiri, Pa! Ata rela kerja apapun sejak SD biar bisa
sekolah, biar bisa jadi orang sukses. Demi apa? Demi Papa! Demi Mama juga!”
Ata
berteriak semakin keras dan kalap. Tidak ada yang menghentikannya sekarang.
“Tapi lama-kelamaan Ata sadar, percuma Ata jadi orang sukses kalau nggak bisa
nunjukin itu semua ke Papa. Ata nyerah! Capek! Ata milih jadi montir sekarang
karena Ata udah nggak peduli sama Papa yang juga nggak pernah peduliin Ata.”
Aliran
kata-kata keras dari mulut Ata membungkam Papa dan Ari. Keduanya masih terpaku
di tempat sampai Ata berjalan menjauh. Setelah beberapa langkah, ia berhenti,
membalikkan badan dan manatap Papa tepat di mata, mengatakan sesuatu untuk
terakhir kalinya. “Apapun itu yang tadi Papa bilang soal Mama, itu cuma tuduhan
nggak masuk akal. Mama nggak akan pernah sudi nerima duit sepeser pun dari
Papa.” Ata terdiam sejenak, mengambil nafas panjang. “Asal Papa tau. Di Malang,
Mama selalu nangis tiap malem sambil nyebut-nyebut nama Papa dan Ari. Itu
bentuk penyesalan Mama yang paling dalem. Dan cuma Ata yang ada di sana buat
meluk Mama.”
***
Tari
masih setengah sadar saat Angga menggendongnya masuk ke rumah. Cowok itu
membaringkannya di sofa, duduk di sebelahnya, dan menatapnya lekat-lekat.
“Mungkin
kata maaf nggak akan cukup mewakili penyesalan gue. Tapi lo harusnya memahami
posisi gue, Tar. Gue mau ngelindungin Gita. Dan bukan berarti gue berniat
nyakitin elo demi keinginan gue itu.”
“Elo
jahat, Ga! Pergi aja lo!” usir Tari dengan suara lemah. Tangannya memukul-mukul
dada Angga dengan gerakan lemah juga. Air mata mulai menetes dari sudut
matanya.
“Gue
nggak akan pergi. Mulai sekarang, gue nggak akan pernah ninggalin lo lagi,”
sahut Angga tegas. Ia menangkap kedua tangan Tari, dan kedua matanya mengunci
kedua bola mata cewek itu. “Tar, jauhin Ari ya? Sstt, gue ngomong gini demi
kebaikan elo juga. Dengerin gue. Ari bukan cowok baik buat elo.”
“Atas
dasar apa lo ngomong kayak gitu? Lo pikir lo siapa sampai berani nentuin dia
bukan cowok baik buat gue?” sahut Tari marah, perlahan menemukan kekuatannya.
Angga
menghela napas dan berdecak pelan. Ini dia saatnya. “Kalo lo mau tau, ini yang
gue dapet tadi pagi.”
Rasanya
bagai tersambar petir bagi Tari saat menerima selembar foto yang disodorkan
Angga. Ia menatap foto itu lekat-lekat, berharap setengah mati bahwa yang
menjadi objek di foto tadi bukan cowoknya. Tapi tidak ada hal di dunia ini yang
bisa menipunya kalau itu bukan Ari. Meski kenyataan berkata bahwa Ari memang
memiliki saudara kembar, Tari tahu itu bukan Ata. Itu memang Ari! Astaga...
Di
dalam foto yang sedang dilihat Tari, si fotografer begitu pintar mengambil
sudut tembak hingga yang terlihat sebagai latar belakang adalah dinding kelas,
bukan kerumunan yang sebenarnya ada di sekitar mereka, sehingga suasana di
dalamnya terlihat sepi. Objek utama dalam foto itu adalah Ari, dengan Vero yang
mengalungkan lengannya di leher cowok itu dan Ari sendiri mencengkeram bahu
Vero, tengah berciuman. Sekali lagi karena kepintaran si fotografer, ia
memotret tepat saat Ari memejamkan mata karena kaget, sehingga apa yang dilihat
Tari adalah cowok itu tengah menikmati momen yang terjadi.
“Ini...”
Napas Tari memburu. Ia tidak sanggup berkata-kata.
“Lo
boleh simpen foto itu sebagai bukti. Untuk saat ini, gue serahin ke elo apa
keputusan yang mau lo ambil. Lo bisa minta nomor gue ke Gita kalo bingung
gimana mau ngehubungin gue. Oke?”
Terakhir,
Angga meraih salah satu tangan Tari yang tidak sedang memegang foto. Ia
meletakkan sesuatu di sana. Kelopak bunga yang berasal dari mawar merah
pemberiannya, yang beberapa waktu lalu sengaja disimpan Tari dalam kamusnya. Setelah
itu Angga pergi. Meninggalkan Tari begitu saja saat cewek itu megap-megap
menghirup oksigen yang tiba-tiba sulit masuk ke paru-parunya.
***
Jadi
ini alasan Papa selalu bekerja keras sehingga tidak pernah ada di rumah. Luka
masa lalu atas kata-kata Mama menjadi pemicu bagi Papa untuk terus mengejar
kekayaan materi. Ari menatap marah kepada Papa, masih tidak terima atas tuduhan
tak berperasaan Papa tadi. Ayahnya itu sedang duduk dengan wajah muram. “Kenapa
Papa tega...”
“Kalau
kamu masih mau protes, nanti saja. Papa capek.” Tanpa mengindahkan Ari, Papa
berdiri dari sofa.
Ari
menatap kepergian Papa sampai pria itu masuk ke kamarnya. Rahasia besar antara
Papa dan Mama tentang alasan mereka bercerai akhirnya terkuak. Ari jadi ingin
mendengar kisah ini versi Mama, yang pastinya akan penuh dengan air mata
penyesalan dibanding kemarahan seperti Papa. Ari tahu Mama pasti sangat
menyesal. Ibunya adalah jenis wanita yang lemah lembut dan berhati lunak. Pasti
saat itu Mama sedang benar-benar marah entah karena apa sehingga mengucapkan
kata-kata kasar kepada Papa. Apapun itu, seharusnya tidak jadi seperti ini!
Perceraian ini menghancurkan segalanya!
Ari
melangkah gontai ke kamarnya sendiri. Ia bahkan sampai lupa mengantarkan Ata pulang.
Tiba di kamar, ia terjun ke tempat tidur dan menutup kepalanya dengan bantal. Ari
ingin mengenyahkan semua kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir Papa
maupun Ata. Tapi tidak bisa. Kenyataan yang diteriakkan oleh kedua orang itu
terus menggema di telinga dan otaknya.
***
Tari
tidak tau apa yang harus ia lakukan. Dengan foto itu. Dengan kelopak mawar itu.
Tubuhnya lemas. Kali ini bukan karena pengaruh obat bius. Foto yang tadi
diberikan Angga mempunyai efek lebih dahsyat bagi tubuhnya daripada obat bius.
Ia menolak bergerak dari sofa. Cewek itu tetap berbaring di sana selama
beberapa saat. Ia baru kembali ke kamar saat Geo bilang teman-temannya akan datang
bermain.
Malam
ini malam Sabtu. Malam di mana biasanya Ari datang ke rumahnya. Entah untuk membantunya
mengerjakan PR atau mengajaknya berjalan-jalan keluar. Gadis itu kebingungan.
Apa yang harus dilakukannya begitu berhadapan dengan Ari? Apa yang harus ia
katakan?
Pukul
tujuh malam, mendadak ponselnya berdering, memunculkan nama cowok yang sejak
tadi menjadi objek pikirannya. Keputusan spontan jelas me-reject panggilan itu. Satu SMS langsung ia terima begitu tiga kali
ia menolak menjawab panggilan Ari.
Knp lo reject? Lupa kata2 gw soal
me-reject pgln?
Sambil
menggigit-gigit bibir, Tari mengetik balasan. Tapi belum sampai ia mengirimnya,
satu pesan lagi masuk. Masih dari orang yang sama.
Gw otw ke rmh lo
Tari
tidak ingin bertemu cowok itu sekarang. Ia tidak ingin melihat wajah cowok itu
saat ini. Cepat-cepat ia membalas.
Sori, Kak. Gw lg pusing
Satu
balasan lagi ia terima dalam jangka waktu kurang dari setengah menit.
Plis, Tar. Gw butuh elo skrg
Pertahanan
Tari luluh lantak. Dilema yang ia rasakan runtuh seketika. Cukup dengan
mendengar bahwa Ari membutuhkannya, ia langsung merasa mempunyai kewajiban
untuk berada di sisi cowok itu, bagaimana pun keadaannya. Tari menghirup napas
dalam-dalam.
Oke. Gw tunggu
Dua
puluh menit setelah pesan balasan itu terkirim, Tari mendengar suara motor
berhenti di depan rumahnya. Sekali lagi ia menghirup napas dalam-dalam,
memenuhi paru-parunya dengan oksigen.
“Tari,
dicariin Ari,” panggil Mama dari luar kamarnya.
“Iya,
Ma. Tunggu sebentar.” Tari menatap dirinya di cermin sekali lagi. “Ayo, Tari.
Hadapi aja,” bisiknya penuh tekad, kemudian keluar kamar.
Sebulat
apapun tekadnya di dalam kamar tadi, semua itu langsung musnah begitu ia tiba
di hadapan Ari. Tari yakin ia tidak akan sanggup menatap mata Ari secara
langsung tanpa memikirkan apa yang telah diperbuat cowok itu di belakangnya. Hatinya
serasa diremas-remas seiring berkurangnya jarak antara ia dan Ari. Tapi cowok
itu bahkan tidak menatapnya. Ari sedang duduk di sofa ruang tamu sambil
bertopang dagu, tenggelam dalam lamunan dengan pandangan kosong.
Tari
tetap melangkah mendekat tanpa suara. Pikiran Ari sepertinya benar-benar sedang
berada di alam lain, sehingga ketika Tari yang kini telah berdiri tepat di
depannya menepuk bahunya pelan, cowok itu terlonjak kaget.
“Tar,”
panggilnya pelan.
Detik
itu juga Tari menyadari Ari sedang mengalami waktu yang berat. Hal itu
terpancar jelas di kedua matanya. Sorot tersiksa dan terluka. Refleks ia
melupakan sejenak permasalahan hatinya tentang foto kontroversial Ari dengan
Vero. Cewek itu menangkup kedua pipi Ari dan bertanya khawatir, “Kenapa, Kak?”
“Gue
akhirnya tau...” kata Ari lirih. “Gue akhirnya tau alesan Bokap Nyokap gue
cerai.”
Jadi
ini yang tadi menjadi bahan pembicaraan antara Ata, Ari, dan ayah mereka. Yang pasti
berujung tidak baik, seperti biasa. Tari terdiam. Ia biarkan Ari meneruskan
ceritanya. Namun Ari juga memilih diam, hingga Tari menyimpulkan bahwa
pembicaraan keluarga tadi siang cukup menguras emosi sampai-sampai Ari tidak
sanggup mengulang kembali percakapan itu.
Tiba-tiba
Ari berdiri. Tangannya meraih pergelangan tangan Tari.
“Kak,
mau kemana?” tanya Tari saat Ari menyeretnya keluar rumah.
“Ke
tempat gue bisa meluk elo.”
***
Ata
baru tiba kembali di rumah Tante Lidya saat matahari hampir terbenam. Mama
menyambutnya dengan khawatir.
“Ata,
kamu kemana aja seharian ini? Kenapa baru pulang jam segini?” Mama mengusap
rambut dari dahi Ata, sementara cowok itu sendiri menatap kosong ke lantai.
Wajahnya pucat.
“Ata,
Nak...”
Ucapan
Mama terhenti oleh pelukan Ata. Cowok itu tanpa malu menangis tersedu di bahu
mamanya. “Ayo kita balik ke Malang, Ma,” isaknya. “Ata nggak mau tinggal di
Jakarta lebih lama.”
Mama
terkejut karena dua hal. Yang pertama adalah karena sebelumnya, Matahari-nya
yang satu ini belum pernah menangis seperti ini selama sembilan tahun terakhir.
Selama ini Ata selalu terlihat tegar, selalu siap meminjamkan dadanya sebagai
tempat Mama menyandarkan diri dan menumpahkan air mata. Tak pernah sedikit pun
Ata meluapkan emosinya dalam bentuk tangis kesedihan, sesulit apapun
keadaannya. Yang kedua, adalah karena permintaan Ata untuk segera kembali ke
Malang. Tapi Mama mengerti, keadaan semakin sulit setelah kehadiran mantan
suaminya di antara mereka.
Perlahan,
Mama mengusap punggung Ata. “Iya. Kita akan kembali ke Malang secepatnya.”
***
Ari
meninggalkan motornya di depan rumah Tari. Ia dan gadis itu berjalan bersama
bergandengan tangan tanpa suara maupun tujuan. Sampai mereka tiba di sebuah
taman. Karena malam itu malam Sabtu, taman kompleks yang tidak terlalu luas ini
lumayan ramai. Beberapa pedagang yang sibuk melayani pembeli dan anak-anak yang
sedang bermain kembang api menceriakan suasana.
Ari
menggandeng Tari ke arah kolam ikan yang terletak di salah satu sudut taman. Di
depannya terdapat kursi semen. Ari melepaskan tangan Tari, kemudian duduk
menghadap kolam, kembali menatap kosong ke arah titik-titik cahaya lampu taman
yang terpantul di permukaan kolam.
Tari
berdiri bingung. Setelah bergerak-gerak gelisah tanpa tujuan selama beberapa
saat, akhirnya ia mengambil keputusan. Pelan-pelan ia berjalan mendekati
punggung Ari. Dengan ragu dan sedikit rikuh, ia melingkarkan kedua lengannya ke
leher Ari, memeluk cowok itu dari belakang.
Tubuh
Ari sedikit tersentak. Sampai kemudian ia merasakan napas Tari yang hangat
berhembus pelan di lehernya.
“Gue
nggak akan pernah ngerti gimana sulitnya kehidupan elo, Kak,” kata Tari lirih.
“Gue nggak akan bisa bayangin kayak apa sakit yang lo rasakan selama ini. Dan
gue mungkin nggak akan bisa nyembuhin luka-luka lo. Jadi tolong bilang ke gue,
apa yang bisa gue lakuin untuk sedikit meringankan beban elo?”
“Dengan
selalu ada di samping gue, Tar,” sahut Ari setelah terdiam beberapa detik.
“Dengan selalu bersedia meluk gue kayak gini tiap gue kesakitan.”
***
Malam
ini ada begitu banyak air mata yang tumpah. Termasuk milik Tari. Sepulangnya
dari acara berjalan-jalan tadi, Ari langsung pamit. Dan begitu Tari sendirian
di kamar, air matanya tak terbendung lagi.
Sesuatu
di dalam dadanya berdenyut sakit, menimbulkan sesak yang makin lama makin
menyiksa. “Elo tega, Kak,” katanya lirih di sela isakannya. “Gue selalu ada
buat elo. Kenapa elo mengkhianati gue?”
Isakannya
semakin menjadi, tapi berusaha ia redam dengan menenggelamkan wajah pada bantal.
Ia tidak ingin keluarganya mendengar tangisannya. Di luar kesadaran, ia meraih
ponsel dan menelepon sahabatnya.
“Ya,
Tar?” sahut Fio di seberang.
Cerita
Tari langsung meluncur deras sehingga Fio tidak bisa menyela sedikit pun. Mulai
dari peristiwa pulang sekolah sampai yang baru saja terjadi.
“Gue
harus gimana, Fi?” tanyanya pada akhirnya.
Fio,
yang dari tadi cuma bisa diam terkaget-kaget, menghela napas sebentar. “Jangan
nanya gue, Tar. Gue nggak bisa mutusin yang terbaik buat elo. Ini udah nyangkut
perasaan. Tanya aja sama hati lo sendiri, lo beneran percaya sama Ari apa
nggak?”
Tari
kembali tenggelam dalam tangisnya, membuat Fio kebingungan. “Tar, jangan nangis
gitu, dong...”
“Fio...”
potong Tari lirih, kesulitan berbicara, “Fio... Gue sayang dia, Fi. Gue
mencintai Ari dan nggak akan ada yang bisa mengubah perasaan itu.”
Bersambung...
Halooooo!! Ketemu lagi sama akuuu, hehe
Lama ya nungguinnya? Maaf yaaa :(
Kemaren badan sempet drop lamaa, sampe bolos sekolah seminggu lebih
Trus masuk-masuk tugas sekolahnya udah segunung
Aduh puciiiiing *malah curcol*
Lanjutannya nggak janji bisa cepet
Ini aja udah aku post dua part sekalian, banyak banget lagi, jadi ya sabar aja
Makasiiih udah baca karya aku yg rada2 gaje ini, heuheuheu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar