Rabu, 12 November 2014

Jingga untuk Matahari #fanfiction-9

Ketika motor Ari berhenti di depan rumah Tari siang harinya, tidak ada kata-kata candaan seperti biasa. Keduanya membisu sampai Tari turun dari motor. Mereka masih menatap ke titik yang sama, kepada seseorang yang berdiri menunggu mereka di depan pagar.
Ata menoleh menyambut kedatangan Ari dan Tari. Ujung-ujung bibirnya terangkat. “Lama banget ditungguin. Untung gue belom sampe garing di sini.”
“Ngapain lo di sini, Ta?” tanya Ari.
Ata melangkah mendekat. Matanya melirik sekilas ke Tari yang berdiri di sebelah saudara kembarnya. “Gue mau minta tolong ke elo.”
“Minta tolong apa?”
“Tolong anterin gue ke rumah lo. Gue mau ketemu sama Bokap.”
Ari dan Tari sama-sama tidak menduga permintaan Ata. Tari yang sudah was-was begitu melihat Ata menunggu kepulangan mereka di rumahnya, langsung mencium akan adanya masalah di keluarga Ari lagi. Tapi ia tidak bisa melarang atau mencegah. Ia bukan seseorang yang memiliki hak untuk melakukan itu.
“Buat apa lo ketemu Bokap?” tanya Ari. Tak urung, suaranya terdengar tegang.
“Gue nggak akan nyari masalah. Gue nggak akan bikin lo kena getahnya, kalo itu yang lo takutin. Anterin aja gue ke sana,” sahut Ata. Tanpa meminta persetujuan Ari, dia naik ke boncengan. “Keberatan, bro?”
“Nggak,” kali ini tanpa ragu Ari menjawab, “Gue anter lo ke sana.” Sebelum pergi, ia menoleh ke Tari. “Buruan masuk.”
Tari mengangguk. Bibirnya membisikkan kata hati-hati, yang dibalas dengan anggukan samar oleh Ari. Saat tangannya membuka pintu pagar, motor Ari melaju meninggalkan jalanan depan rumahnya.
Tari berdoa semoga tidak terjadi hal buruk di antara Ari, Ata, dan ayah mereka. Sampai dia tidak menyadari bahwa hal buruk itu sendiri tengah menghadangnya. Tari membuka pintu depan, dan tubuhnya langsung terpaku. Tidak jauh di depannya, di karpet ruang tamu, ia melihat Geo, adiknya, sedang sibuk menyusun robot gundam bersama seseorang yang tidak ingin Tari temui.

***

Ari memacu motornya dengan kencang. Predikatnya sebagai raja jalanan kembali ia pertontonkan siang ini. Menyalip ke sana kemari, membuat manuver-manuver berbahaya, bahkan menerobos beberapa lampu merah. Ata tidak berusaha menghalangi. Ia biarkan saudara kembarnya kalut begitu mendengar keputusannya untuk datang menemui ayah mereka.
Sebenarnya Ata tidak berniat menemui ayahnya. Ini hanya rencana dadakan agar bisa menjauhkan Ari dari Tari untuk saat ini.
Dalam waktu tidak lebih dari lima belas menit, motor memasuki kompleks perumahan mewah tempat Ari tinggal. Ata menatap sekeliling, mengamati sekilas rumah-rumah yang mereka lewati. Ia sadar ia harus segera mempersiapkan hati.
Setelah melewati beberapa tikungan, motor berhenti di depan sebuah pagar rumah yang menjulang tinggi. Bahkan kalau Ari menurunkannya di depan kompleks dan menyuruhnya menebak sendiri yang mana rumahnya, Ata yakin ia akan berhenti di rumah ini. Rumah yang khusus dibangun ayahnya dengan segala simbol yang berhubungan dengan sang raja langit. Ata turun dari boncengan motor. Matanya masih tidak lepas dari rumah di depannya.
“Ayo masuk.”
Sengatan kebencian mengiringi setiap langkah Ata ketika membuntuti Ari masuk. Jadi begini hidup yang dijalani Ari selama ini. Saudara kembarnya itu hidup bermewah-mewahan di rumah yang bagaikan istana dengan ATM unlimited di dompetnya. Bebas menikmati masa-masa SMA dengan segala macam kenakalan yang diinginkannya. Ata mati-matian menjaga langkahnya tetap tegak dan mantap, meski ada dorongan kuat dalam dirinya yang menyuruhnya berlari keluar dari rumah ini.
Sementara itu, sengatan rasa bersalah dan malu menguasai diri Ari. Seperti Ata, perasaan itu membuatnya ingin berlari keluar. Melangkah masuk ke rumah mewahnya bersama Ata yang nasibnya entah bagaimana di Malang sana membuat Ari merasa menjadi saudara paling buruk di dunia. Saat dirinya tidur di springbed king size, mungkin Ata harus tidur berdesak-desakan dengan para sepupunya, atau bahkan mungkin tidur tanpa alas. Saat dirinya bebas menghambur-hamburkan uang, mungkin Ata rela bekerja siang dan malam untuk menghidupi dirinya dan Mama. Saat dirinya bebas berlibur ke mana saja, mungkin Ata sibuk membantu Mama mengantarkan pesanan jahitan...
Mereka hampir tiba di pintu depan ketika langkah Ari terhenti tiba-tiba. Ata yang berjalan di belakangnya kontan berhenti juga. Tak bisa menahan diri, Ari memeluk Ata erat. Tubuhnya berguncang bersamaan dengan air matanya yang jatuh di pundak saudara kembarnya.
“Maafin gue, Ta. Maaf.”
Ata tertegun. Tidak ia sangka Ari akan merasakan penyesalan sedalam ini sampai menangis. Ia kira Ari akan membukakan pintu dengan sombong dan mungkin memamerkan kamarnya yang ukurannya bisa dua kali lipat dari rumahnya di Malang. Tapi ternyata ini yang ia dapat. Air mata saudara kembarnya dan bisikan permohonan maaf. Sosok Ari sebagai adik kecilnya yang lemah baru ia lihat kembali hari ini setelah bertahun-tahun mereka berpisah.
“Ri...”
“Gue bego banget nggak berusaha lebih keras nyari elo dan Mama selama ini. Gue terlalu cepat putus asa. Seharusnya gue terus nyariin kalian sampe ketemu. Seharusnya gue nggak membiarkan kalian bekerja begitu keras di Malang.”
Ata membalas pelukan Ari erat. “Nggak ada yang perlu disesali. Yang penting gue ada di sini sekarang. Di pelukan elo. Dan nggak usah merasa bersalah. Bukan kita yang menyebabkan semua ini terjadi. Elo udah cukup hebat dengan bertahan melewati semuanya selama ini.”
Sisi gelap dari diri Ata muncul seketika, mendominasi pikiran cowok itu. Meski bibirnya membisikkan kata-kata menenangkan dan tangannya memeluk saudara kembarnya, otaknya sekarang tertuju pada rencananya yang ternyata berjalan jauh lebih sempurna.

***

Tari membeku dan membisu.
Geo yang pertama menoleh ke arahnya begitu mendengar pintu terbuka. “Kak Tari udah pulang? Mama sama Papa lagi ada acara di luar. Untungnya ada Kak Angga yang nemenin aku. Lihat, dia bantuin aku masangin bagian-bagian yang susah dari robot ini. Kak Angga emang hebat!”
Angga mengacak rambut Geo. “Ge, Kak Angga mau ngomong sebentar sama kakak kamu. Kamu tungguin di dalem ya. Lain kali Kakak bantuin lagi nyusun robot.”
Geo mengangguk patuh. Ia membereskan susunan robotnya, lalu mengangkutnya ke dalam. Sementara Tari masih berdiri mematung di ambang pintu. Begitu Angga berdiri dan berjalan mendekat, cewek itu balik badan, berlari sekencang-kencangnya keluar rumah.
Tangan kanannya bahkan baru menyentuh pintu pagar ketika tangan kirinya dicekal dari belakang.
“Lepasin, nggak?! Lepasin! Jangan sentuh gue!” Trauma akan sentuhan Angga kembali menyerang. Tari meronta-ronta berusaha melepaskan diri, yang malah membuat tangannya dicekal makin ketat.
“Ssst, Tar, gue nggak ada niat buruk sama elo. Gue cuma mau ngomong. Kita bicarain ini di dalem. Malu kan kalo lo teriak-teriak diliatin tetangga-tetangga lo?”
“Biarin! Gue nggak mau masuk ke dalem! Gue nggak mau denger apapun dari elo! Lepasin!”
Tidak ada cara lain. Mungkin tindakan Angga bisa dibilang tindak kriminalitas. Suasana sekitar begitu sepi karena orang-orang sedang malas keluar di tengah teriknya matahari siang itu. Angga mengeluarkan sapu tangan dari saku kemejanya. Sapu tangan yang sudah ia bubuhi obat tidur, berhasil membuat tubuh Tari melemah. Dosisnya memang sengaja ia atur agar tidak membuat Tari pingsan, karena ia tidak punya banyak waktu untuk menunggu gadis itu siuman.
Tari tidak bisa melawan pengaruh obat bius yang dipaksakan masuk lewat hidungnya. Ia tidak bisa meronta. Ia tidak bisa bicara. Sebelum tubuhnya lumpuh, ia meneriakkan nama Ari keras-keras. Namun tidak seperti harapan, teriakan itu tidak keluar dalam bentuk jeritan melalui tenggorokannya. Hanya menggema dalam tempurung kepalanya sendiri. “Kak Ari! Tolong!!

***

Sebuah ide tentang apa yang harus ia katakan terlintas di benak Ata tepat saat Papa muncul di hadapan mereka.
Papa menatap kedua anak kembarnya dengan alis terangkat. Detik ini dia baru menyadari begitu serupanya kedua anak ini meski waktu telah memisahkan mereka cukup lama. Bahkan mungkin ia akan kesulitan mengenali Ari kalau saja anak itu tidak memakai seragam sekolah.
“Ada yang ingin kalian bicarakan?” tanyanya datar.
“Ya. Ada sesuatu yang ingin Ata dengar dari mulut Papa,” sahut Ata tegas. “Mumpung Ata dan Ari berdiri di depan Papa sekarang, tolong beritahu kami apa yang membuat Papa membenci Mama.”
Ari tidak kalah kaget dengan Papa saat mendengar kalimat berani Ata. Setelah sekian lama, ia baru benar-benar disadarkan oleh pertanyaan yang selama ini mengganggunya. Apa yang membuat Papa begitu membenci Mama? Apa yang tiba-tiba membuat mereka bercerai bertahun-tahun yang lalu? Kini Ari ikut menatap papanya yang terdiam, menuntut jawaban.
Ditatap seperti itu oleh kedua anaknya, Papa menghela napas sejenak. “Duduklah,” katanya kemudian, menyuruh mereka duduk di salah satu sofa panjang. Ia duduk di hadapan kedua anaknya, terdiam lagi untuk mengulur waktu.
“Papa rasa kalian sudah cukup dewasa untuk menilai ini.” Pria paruh baya itu memijat pelipisnya. Otaknya memutar kembali peristiwa bertahun-tahun lalu, yang kemudian ia suarakan untuk didengar oleh kedua putranya. “Waktu itu Papa belum begitu berpengalaman bisnis. Jadi Papa termakan omongan teman. Papa menanamkan saham kepadanya dalam jumlah besar, dengan iming-iming keuntungan berlipat ganda. Kalian bisa menebak sendiri apa yang terjadi setelah itu.”
“Papa ditipu,” kata Ari.
“Dan Mama marah,” sambung Ata.
“Ya. Papa ditipu. Bukan hanya sekali, tapi dua kali. Papa memang bodoh. Widia jelas marah besar. Kalian tau waktu itu keluarga kita hidup pas-pasan. Tabungan kami ludes. Padahal kebutuhan kita semakin banyak. Setelah hari di mana Papa mengaku kalau Papa ditipu, semuanya menjadi berbeda. Tatapan dan sikap Widia tak lagi sama. Papa berusaha meyakinkan dia untuk bersabar dan memulai lagi pelan-pelan. Bagaimanapun caranya Papa akan berusaha agar kalian bisa bersekolah seperti biasa. Tapi suatu hari, mungkin karena Widia tidak tahan lagi, ia mengucapkan sesuatu yang tidak akan pernah Papa lupakan.” Perlahan rahang Papa mengeras. Ata dan Ari bertukar pandang sejenak.
“Apa yang Mama katakan?” tanya Ari pelan, kembali menatap ayahnya.
“Dia mengatai Papa sebagai lelaki yang tidak becus menafkahi keluarga. Bahkan kalian, sebagai anak-anak kami, ia rasa lebih bisa menghasilkan uang daripada Papa. Dulu memang sempat ada tawaran bermain film untuk pasangan anak kembar. Tapi Papa melarang. Papa ingin kalian bersekolah dengan benar tanpa harus kelelahan syuting ke sana kemari. Papa dulu sering bilang kepada kalian, “Sekolah yang rajin dan benar. Papa mau anak-anak Papa jadi orang cerdas dan sukses.” Ingat?”
Ata dan Ari mengangguk-angguk. Mereka ingat betul Papa sering berkata seperti itu kepada mereka.
“Lalu puncaknya, mama kalian mengancam, kalau sampai Papa belum bisa melunasi cicilan rumah akhir bulan itu dengan uang Papa sendiri, ia memilih untuk pulang ke Malang.” Papa tersenyum kecut. Matanya menyorotkan luka. “Masalah cicilan rumah sudah tidak penting lagi setelah itu.”
Suasana menjadi hening. Cerita seperti itu tidak pernah terlintas sedikit pun di benak Ata maupun Ari. “Itu sebabnya Papa menceraikan Mama?” tanya Ata lirih.
“Ya. Papa sudah tidak mau hidup dengan wanita yang tidak bisa bersabar dan tidak bisa mendukung suaminya dalam keadaan apapun. Papa tidak tau apa Widia menyesal dengan kata-katanya dulu, tapi sebagai seorang lelaki dan suami, Papa tidak bisa memaafkan ucapannya.” Papa mengakhiri cerita. Ia menatap Ata dingin. “Sekarang kamu pulanglah. Kembalilah ke Malang seperti keinginan mamamu dulu. Kehidupan kita sudah berbeda sekarang.”
“Kenapa?” geram Ata dengan kepala tertunduk. Ari tertegun mendapati suasana hati Ata yang tiba-tiba berubah. “Kenapa Papa bilang kehidupan kita sudah berbeda? Papa nggak nganggep Ata sebagai anak Papa lagi, gitu?!” Suasana meledak ketika kesabaran masing-masing pihak habis. Ata mulai berteriak. Ia berdiri sambil menggebrak meja yang memisahkan dirinya dengan Papa. “Kenapa yang Papa perhatiin cuma Ari? Apa gara-gara dulu Ata cuma anak bandel yang bisanya ngerepotin? Jadi Papa lebih memilih Ari? Ata dibuang begitu aja? Dibiarkan hidup menderita di Malang?”
“Ata!” bentak Ari, terlalu kaget dengan kata-kata Ata.
“Salahkan mamamu kalau hidup kamu di Malang serba kekurangan! Kalau dia bisa lebih sabar, mungkin keluarga kita masih utuh dan tinggal di rumah ini sekarang tanpa pusing memikirkan masalah uang!” Papa ganti berteriak.
“Jadi Papa nyalahin Mama?” balas Ata lagi.
“Tentu saja! Karena dia yang membuat keluarga kita berantakan,” sahut Papa. “Buat apa Widia mengajakmu ke Jakarta sekarang? Pasti bukan karena Ari. Dia tau Papa telah sukses, jadi dia ingin meminta uang dari Papa, kan? Kalian sudah tidak tahan hidup kekurangan di Malang, kan? Dan karena dia belum mendapat apa yang diinginkannya, kalian sampai sekarang belum kembali lagi ke Malang. Dasar wanita tidak tau malu!”
“Papa, cukup! Jaga ucapan Papa!” bentak Ari lagi, benar-benar sakit mendengar kata-kata Papa yang keterlaluan menuduh Mama.
Sementara itu Ata semakin meradang. Kemarahan dan kekecewaan atas semua ketidakadilan yang ia terima selama ini membuncah keluar. “Kalau ini semua memang salah Mama, kenapa Ata juga yang kena? Kalau memang Papa membenci Mama, kenapa Papa ikut membenci Ata juga? Kenapa Ata ikutan susah atas masalah kalian?!”
Pangkal kemarahannya memang berasal dari Papa, karena ayahnya itu dulu lebih memilih Ari ketimbang dirinya. Ketika memikirkan kenyataan itu tepat di depan si pelaku, kedua mata Ata mulai perih. Tapi ia menolak menangis di hadapan Papa dan Ari. Ia telan semua air mata yang mendesak keluar, yang menyebabkan suaranya bergetar ketika melanjutkan, “Apa Papa nggak tau? Selama sembilan tahun Ata bekerja keras, dengan memegang kata-kata Papa untuk tetap bersekolah dengan rajin. Selama sembilan tahun setelah Papa dan Mama cerai, Ata yang bayar biaya sekolah Ata sendiri, Pa! Ata rela kerja apapun sejak SD biar bisa sekolah, biar bisa jadi orang sukses. Demi apa? Demi Papa! Demi Mama juga!”
Ata berteriak semakin keras dan kalap. Tidak ada yang menghentikannya sekarang. “Tapi lama-kelamaan Ata sadar, percuma Ata jadi orang sukses kalau nggak bisa nunjukin itu semua ke Papa. Ata nyerah! Capek! Ata milih jadi montir sekarang karena Ata udah nggak peduli sama Papa yang juga nggak pernah peduliin Ata.”
Aliran kata-kata keras dari mulut Ata membungkam Papa dan Ari. Keduanya masih terpaku di tempat sampai Ata berjalan menjauh. Setelah beberapa langkah, ia berhenti, membalikkan badan dan manatap Papa tepat di mata, mengatakan sesuatu untuk terakhir kalinya. “Apapun itu yang tadi Papa bilang soal Mama, itu cuma tuduhan nggak masuk akal. Mama nggak akan pernah sudi nerima duit sepeser pun dari Papa.” Ata terdiam sejenak, mengambil nafas panjang. “Asal Papa tau. Di Malang, Mama selalu nangis tiap malem sambil nyebut-nyebut nama Papa dan Ari. Itu bentuk penyesalan Mama yang paling dalem. Dan cuma Ata yang ada di sana buat meluk Mama.”

***

Tari masih setengah sadar saat Angga menggendongnya masuk ke rumah. Cowok itu membaringkannya di sofa, duduk di sebelahnya, dan menatapnya lekat-lekat.
“Mungkin kata maaf nggak akan cukup mewakili penyesalan gue. Tapi lo harusnya memahami posisi gue, Tar. Gue mau ngelindungin Gita. Dan bukan berarti gue berniat nyakitin elo demi keinginan gue itu.”
“Elo jahat, Ga! Pergi aja lo!” usir Tari dengan suara lemah. Tangannya memukul-mukul dada Angga dengan gerakan lemah juga. Air mata mulai menetes dari sudut matanya.
“Gue nggak akan pergi. Mulai sekarang, gue nggak akan pernah ninggalin lo lagi,” sahut Angga tegas. Ia menangkap kedua tangan Tari, dan kedua matanya mengunci kedua bola mata cewek itu. “Tar, jauhin Ari ya? Sstt, gue ngomong gini demi kebaikan elo juga. Dengerin gue. Ari bukan cowok baik buat elo.”
“Atas dasar apa lo ngomong kayak gitu? Lo pikir lo siapa sampai berani nentuin dia bukan cowok baik buat gue?” sahut Tari marah, perlahan menemukan kekuatannya.
Angga menghela napas dan berdecak pelan. Ini dia saatnya. “Kalo lo mau tau, ini yang gue dapet tadi pagi.”
Rasanya bagai tersambar petir bagi Tari saat menerima selembar foto yang disodorkan Angga. Ia menatap foto itu lekat-lekat, berharap setengah mati bahwa yang menjadi objek di foto tadi bukan cowoknya. Tapi tidak ada hal di dunia ini yang bisa menipunya kalau itu bukan Ari. Meski kenyataan berkata bahwa Ari memang memiliki saudara kembar, Tari tahu itu bukan Ata. Itu memang Ari! Astaga...
Di dalam foto yang sedang dilihat Tari, si fotografer begitu pintar mengambil sudut tembak hingga yang terlihat sebagai latar belakang adalah dinding kelas, bukan kerumunan yang sebenarnya ada di sekitar mereka, sehingga suasana di dalamnya terlihat sepi. Objek utama dalam foto itu adalah Ari, dengan Vero yang mengalungkan lengannya di leher cowok itu dan Ari sendiri mencengkeram bahu Vero, tengah berciuman. Sekali lagi karena kepintaran si fotografer, ia memotret tepat saat Ari memejamkan mata karena kaget, sehingga apa yang dilihat Tari adalah cowok itu tengah menikmati momen yang terjadi.
“Ini...” Napas Tari memburu. Ia tidak sanggup berkata-kata.
“Lo boleh simpen foto itu sebagai bukti. Untuk saat ini, gue serahin ke elo apa keputusan yang mau lo ambil. Lo bisa minta nomor gue ke Gita kalo bingung gimana mau ngehubungin gue. Oke?”
Terakhir, Angga meraih salah satu tangan Tari yang tidak sedang memegang foto. Ia meletakkan sesuatu di sana. Kelopak bunga yang berasal dari mawar merah pemberiannya, yang beberapa waktu lalu sengaja disimpan Tari dalam kamusnya. Setelah itu Angga pergi. Meninggalkan Tari begitu saja saat cewek itu megap-megap menghirup oksigen yang tiba-tiba sulit masuk ke paru-parunya.

***

Jadi ini alasan Papa selalu bekerja keras sehingga tidak pernah ada di rumah. Luka masa lalu atas kata-kata Mama menjadi pemicu bagi Papa untuk terus mengejar kekayaan materi. Ari menatap marah kepada Papa, masih tidak terima atas tuduhan tak berperasaan Papa tadi. Ayahnya itu sedang duduk dengan wajah muram. “Kenapa Papa tega...”
“Kalau kamu masih mau protes, nanti saja. Papa capek.” Tanpa mengindahkan Ari, Papa berdiri dari sofa.
Ari menatap kepergian Papa sampai pria itu masuk ke kamarnya. Rahasia besar antara Papa dan Mama tentang alasan mereka bercerai akhirnya terkuak. Ari jadi ingin mendengar kisah ini versi Mama, yang pastinya akan penuh dengan air mata penyesalan dibanding kemarahan seperti Papa. Ari tahu Mama pasti sangat menyesal. Ibunya adalah jenis wanita yang lemah lembut dan berhati lunak. Pasti saat itu Mama sedang benar-benar marah entah karena apa sehingga mengucapkan kata-kata kasar kepada Papa. Apapun itu, seharusnya tidak jadi seperti ini! Perceraian ini menghancurkan segalanya!
Ari melangkah gontai ke kamarnya sendiri. Ia bahkan sampai lupa mengantarkan Ata pulang. Tiba di kamar, ia terjun ke tempat tidur dan menutup kepalanya dengan bantal. Ari ingin mengenyahkan semua kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir Papa maupun Ata. Tapi tidak bisa. Kenyataan yang diteriakkan oleh kedua orang itu terus menggema di telinga dan otaknya.

***

Tari tidak tau apa yang harus ia lakukan. Dengan foto itu. Dengan kelopak mawar itu. Tubuhnya lemas. Kali ini bukan karena pengaruh obat bius. Foto yang tadi diberikan Angga mempunyai efek lebih dahsyat bagi tubuhnya daripada obat bius. Ia menolak bergerak dari sofa. Cewek itu tetap berbaring di sana selama beberapa saat. Ia baru kembali ke kamar saat Geo bilang teman-temannya akan datang bermain.
Malam ini malam Sabtu. Malam di mana biasanya Ari datang ke rumahnya. Entah untuk membantunya mengerjakan PR atau mengajaknya berjalan-jalan keluar. Gadis itu kebingungan. Apa yang harus dilakukannya begitu berhadapan dengan Ari? Apa yang harus ia katakan?
Pukul tujuh malam, mendadak ponselnya berdering, memunculkan nama cowok yang sejak tadi menjadi objek pikirannya. Keputusan spontan jelas me-reject panggilan itu. Satu SMS langsung ia terima begitu tiga kali ia menolak menjawab panggilan Ari.

Knp lo reject? Lupa kata2 gw soal me-reject pgln?

Sambil menggigit-gigit bibir, Tari mengetik balasan. Tapi belum sampai ia mengirimnya, satu pesan lagi masuk. Masih dari orang yang sama.

Gw otw ke rmh lo

Tari tidak ingin bertemu cowok itu sekarang. Ia tidak ingin melihat wajah cowok itu saat ini. Cepat-cepat ia membalas.

Sori, Kak. Gw lg pusing

Satu balasan lagi ia terima dalam jangka waktu kurang dari setengah menit.

Plis, Tar. Gw butuh elo skrg

Pertahanan Tari luluh lantak. Dilema yang ia rasakan runtuh seketika. Cukup dengan mendengar bahwa Ari membutuhkannya, ia langsung merasa mempunyai kewajiban untuk berada di sisi cowok itu, bagaimana pun keadaannya. Tari menghirup napas dalam-dalam.

Oke. Gw tunggu

Dua puluh menit setelah pesan balasan itu terkirim, Tari mendengar suara motor berhenti di depan rumahnya. Sekali lagi ia menghirup napas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya dengan oksigen.
“Tari, dicariin Ari,” panggil Mama dari luar kamarnya.
“Iya, Ma. Tunggu sebentar.” Tari menatap dirinya di cermin sekali lagi. “Ayo, Tari. Hadapi aja,” bisiknya penuh tekad, kemudian keluar kamar.
Sebulat apapun tekadnya di dalam kamar tadi, semua itu langsung musnah begitu ia tiba di hadapan Ari. Tari yakin ia tidak akan sanggup menatap mata Ari secara langsung tanpa memikirkan apa yang telah diperbuat cowok itu di belakangnya. Hatinya serasa diremas-remas seiring berkurangnya jarak antara ia dan Ari. Tapi cowok itu bahkan tidak menatapnya. Ari sedang duduk di sofa ruang tamu sambil bertopang dagu, tenggelam dalam lamunan dengan pandangan kosong.
Tari tetap melangkah mendekat tanpa suara. Pikiran Ari sepertinya benar-benar sedang berada di alam lain, sehingga ketika Tari yang kini telah berdiri tepat di depannya menepuk bahunya pelan, cowok itu terlonjak kaget.
“Tar,” panggilnya pelan.
Detik itu juga Tari menyadari Ari sedang mengalami waktu yang berat. Hal itu terpancar jelas di kedua matanya. Sorot tersiksa dan terluka. Refleks ia melupakan sejenak permasalahan hatinya tentang foto kontroversial Ari dengan Vero. Cewek itu menangkup kedua pipi Ari dan bertanya khawatir, “Kenapa, Kak?”
“Gue akhirnya tau...” kata Ari lirih. “Gue akhirnya tau alesan Bokap Nyokap gue cerai.”
Jadi ini yang tadi menjadi bahan pembicaraan antara Ata, Ari, dan ayah mereka. Yang pasti berujung tidak baik, seperti biasa. Tari terdiam. Ia biarkan Ari meneruskan ceritanya. Namun Ari juga memilih diam, hingga Tari menyimpulkan bahwa pembicaraan keluarga tadi siang cukup menguras emosi sampai-sampai Ari tidak sanggup mengulang kembali percakapan itu.
Tiba-tiba Ari berdiri. Tangannya meraih pergelangan tangan Tari.
“Kak, mau kemana?” tanya Tari saat Ari menyeretnya keluar rumah.
“Ke tempat gue bisa meluk elo.”

***

Ata baru tiba kembali di rumah Tante Lidya saat matahari hampir terbenam. Mama menyambutnya dengan khawatir.
“Ata, kamu kemana aja seharian ini? Kenapa baru pulang jam segini?” Mama mengusap rambut dari dahi Ata, sementara cowok itu sendiri menatap kosong ke lantai. Wajahnya pucat.
“Ata, Nak...”
Ucapan Mama terhenti oleh pelukan Ata. Cowok itu tanpa malu menangis tersedu di bahu mamanya. “Ayo kita balik ke Malang, Ma,” isaknya. “Ata nggak mau tinggal di Jakarta lebih lama.”
Mama terkejut karena dua hal. Yang pertama adalah karena sebelumnya, Matahari-nya yang satu ini belum pernah menangis seperti ini selama sembilan tahun terakhir. Selama ini Ata selalu terlihat tegar, selalu siap meminjamkan dadanya sebagai tempat Mama menyandarkan diri dan menumpahkan air mata. Tak pernah sedikit pun Ata meluapkan emosinya dalam bentuk tangis kesedihan, sesulit apapun keadaannya. Yang kedua, adalah karena permintaan Ata untuk segera kembali ke Malang. Tapi Mama mengerti, keadaan semakin sulit setelah kehadiran mantan suaminya di antara mereka.
Perlahan, Mama mengusap punggung Ata. “Iya. Kita akan kembali ke Malang secepatnya.”

***

Ari meninggalkan motornya di depan rumah Tari. Ia dan gadis itu berjalan bersama bergandengan tangan tanpa suara maupun tujuan. Sampai mereka tiba di sebuah taman. Karena malam itu malam Sabtu, taman kompleks yang tidak terlalu luas ini lumayan ramai. Beberapa pedagang yang sibuk melayani pembeli dan anak-anak yang sedang bermain kembang api menceriakan suasana.
Ari menggandeng Tari ke arah kolam ikan yang terletak di salah satu sudut taman. Di depannya terdapat kursi semen. Ari melepaskan tangan Tari, kemudian duduk menghadap kolam, kembali menatap kosong ke arah titik-titik cahaya lampu taman yang terpantul di permukaan kolam.
Tari berdiri bingung. Setelah bergerak-gerak gelisah tanpa tujuan selama beberapa saat, akhirnya ia mengambil keputusan. Pelan-pelan ia berjalan mendekati punggung Ari. Dengan ragu dan sedikit rikuh, ia melingkarkan kedua lengannya ke leher Ari, memeluk cowok itu dari belakang.
Tubuh Ari sedikit tersentak. Sampai kemudian ia merasakan napas Tari yang hangat berhembus pelan di lehernya.
“Gue nggak akan pernah ngerti gimana sulitnya kehidupan elo, Kak,” kata Tari lirih. “Gue nggak akan bisa bayangin kayak apa sakit yang lo rasakan selama ini. Dan gue mungkin nggak akan bisa nyembuhin luka-luka lo. Jadi tolong bilang ke gue, apa yang bisa gue lakuin untuk sedikit meringankan beban elo?”
“Dengan selalu ada di samping gue, Tar,” sahut Ari setelah terdiam beberapa detik. “Dengan selalu bersedia meluk gue kayak gini tiap gue kesakitan.”

***

Malam ini ada begitu banyak air mata yang tumpah. Termasuk milik Tari. Sepulangnya dari acara berjalan-jalan tadi, Ari langsung pamit. Dan begitu Tari sendirian di kamar, air matanya tak terbendung lagi.
Sesuatu di dalam dadanya berdenyut sakit, menimbulkan sesak yang makin lama makin menyiksa. “Elo tega, Kak,” katanya lirih di sela isakannya. “Gue selalu ada buat elo. Kenapa elo mengkhianati gue?”
Isakannya semakin menjadi, tapi berusaha ia redam dengan menenggelamkan wajah pada bantal. Ia tidak ingin keluarganya mendengar tangisannya. Di luar kesadaran, ia meraih ponsel dan menelepon sahabatnya.
“Ya, Tar?” sahut Fio di seberang.
Cerita Tari langsung meluncur deras sehingga Fio tidak bisa menyela sedikit pun. Mulai dari peristiwa pulang sekolah sampai yang baru saja terjadi.
“Gue harus gimana, Fi?” tanyanya pada akhirnya.
Fio, yang dari tadi cuma bisa diam terkaget-kaget, menghela napas sebentar. “Jangan nanya gue, Tar. Gue nggak bisa mutusin yang terbaik buat elo. Ini udah nyangkut perasaan. Tanya aja sama hati lo sendiri, lo beneran percaya sama Ari apa nggak?”
Tari kembali tenggelam dalam tangisnya, membuat Fio kebingungan. “Tar, jangan nangis gitu, dong...”

“Fio...” potong Tari lirih, kesulitan berbicara, “Fio... Gue sayang dia, Fi. Gue mencintai Ari dan nggak akan ada yang bisa mengubah perasaan itu.”




Bersambung...




Halooooo!! Ketemu lagi sama akuuu, hehe
Lama ya nungguinnya? Maaf yaaa :(
Kemaren badan sempet drop lamaa, sampe bolos sekolah seminggu lebih
Trus masuk-masuk tugas sekolahnya udah segunung
Aduh puciiiiing *malah curcol*
Lanjutannya nggak janji bisa cepet
Ini aja udah aku post dua part sekalian, banyak banget lagi, jadi ya sabar aja
Makasiiih udah baca karya aku yg rada2 gaje ini, heuheuheu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar