Selasa, 21 April 2015

Jingga untuk Matahari #fanfiction-19

Ari terbangun di dalam ruangan serba putih. Bau antiseptik yang menyengat menyergap hidungnya.
“Ari? Sayang? Kamu udah bangun?” Mendadak Mama berdiri di samping ranjangnya, menggenggam tangannya erat. Wajahnya berlinang air mata. “Gimana perasaan kamu?”
“Baik, Ma. Ari nggak pa-pa.” Ari mengerjap beberapa kali. “Di mana ini? Rumah sakit?”
“Iya. Bentar. Mama panggilin dokter.”
Setelah dokter memeriksanya secara keseluruhan, Ari dinyatakan tidak mengalami luka serius. Hanya memar di kepala dan beberapa bagian tubuhnya. Ia diperbolehkan pulang. Ketika Mama mengurus pembayaran di bagian administrasi, Ata berjalan mendekati Ari yang sedang turun perlahan dari tempat tidur.
“Baikan?”
Ari mengangguk. “Gue nggak pa-pa.”
“Kayaknya lo perlu liat sesuatu. Ayo.”
Ari berjalan mengikuti Ata dengan bingung. Cowok itu berhenti di depan sebuah kamar. Dilambaikannya tangan ke arah pintu, meminta Ari untuk masuk. Ari membeku begitu membuka pintu tadi.
Oji dan Ridho, dua sahabatnya, kini berbaring tak berdaya di masing-masing ranjang yang terpisahkan oleh sekat berwana hijau. Kepala Ridho diperban, sementara Oji lebih parah. Cowok itu bertelanjang dada, dengan perban melilit di sekujur tubuh atasnya. Ari tercekat, tak bisa berkata apa-apa.
“Mereka...”
“Cuma dibius. Buat kelancaran obatnya,” jelas Ata.
Dengan gerakan kaku, Ari pertama-tama menghampiri Oji. Temannya itu mengenakan alat bantu pernapasan di hidung. Matanya terpejam rapat. Wajahnya babak belur di mana-mana. Ari menutup mata, tak sanggup melihat kondisi Oji yang begitu mengenaskan. “Maafin gue, Ji,” katanya lirih.
Kemudian dia beranjak mendekati Ridho. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan Oji. Sama-sama memakai alat bantu pernapasan dan memar di mana-mana. “Maafin gue, Dho,” bisik Ari.
Cowok itu menjatuhkan diri di satu-satunya sofa yang ada di ruangan itu. Terguncang. Diremasnya rambut dengan frustasi. Ia merasa bersalah. Kedua sahabatnya yang kini terkapar lemah itu murni karena kebodohannya. Kalau saja ia tidak meminta Oji dan Ridho menyelamatkan Sonia... Kalau saja ia mendengarkan Ata untuk tidak keluar menghadapi Brawijaya... Kalau saja...
“Ngerti kan lo sekarang kenapa gue harus libatin Gita?” kata Ata yang tiba-tiba berdiri di depannya.
Ari menunduk, menyangga kepalanya dengan tangan yang ia tumpukan di lutut.
“Lo nggak tau gimana cemasnya Mama tadi. Dia nangis nggak berenti-berenti nungguin lo siuman. Ini aja lo termasuk nggak dapet luka parah. Nggak kayak sobat-sobat lo itu, yang udah hampir mati.”
“Stop,” kata Ari lemas. “Mereka nggak akan mati.”
“Emang nggak. Belom maksud gue. Coba aja gue nggak muncul bawa Gita waktu itu. Udah beneran jadi almarhum mereka. Dan mungkin juga elo.”
“Gue bilang, stop!” desis Ari tajam. Diangkatnya muka menghadap ke arah Ata.
Ata menghela napas, menyerah. “Oke. Gue nggak akan bilang apa-apa lagi. Gue nggak akan nuntut terima kasih dari elo.”
“Keluar,” perintah Ari. “Bawa Mama pulang.”
“Lo juga harus pulang. Harus istirahat.”
“Nggak. Gue mau jagain mereka di sini.”
“Jangan bego,” tukas Ata. “Lo sendiri butuh dijagain.”
Ari menatap Ata tajam. “Gue bukan anak kecil lagi.”
Kedua kembar itu saling tatap. Kata-kata Ari barusan memicu emosi yang tidak mereka kenal. Memori keduanya seketika terlempar ke masa-masa kecil mereka, masa-masa di mana Ata masih selalu menjaga Ari ketika bermain bersama. Ya. Itu pernah terjadi. Ribuan hari yang lalu. Hingga kini nyaris tidak ada lagi yang tersisa dari masa-masa itu.
“Gue minta,” kata Ata lirih, hampir tidak bisa meredam emosinya yang mewujud dalam bentuk getaran suara. “Sekali aja. Lo turutin kata-kata gue.”
“Tapi...” Ari tak bisa meneruskan kalimatnya. Dengan enggan, akhirnya cowok itu menuruti permintaan Ata. “Oke. Gue balik.”

***

Ari berbaring menatap langit-langit kamar. Mama bersikeras agar dia menginap di rumah kontrakan. Kini untuk sementara Ari menempati kamar tamu. Semenjak ia berbaring sendirian di sini, pikirannya tak lepas dari Tari.
Ingin sekali ia mengabaikan janjinya pada Angga, karena bagaimanapun, Gita terluka bukan karena dirinya. Demi Tuhan! Apa Angga tidak bisa melihat situasi? Ari sudah menjauhi Gita, tidak pernah menyeret gadis itu lagi dalam urusannya dengan Angga. Dia tidak melanggar janjinya. Ata yang melakukannya. Dan Ata tidak tahu apa-apa soal perjanjian sialan itu. Sesungguhnya ini tidak adil. Ari tidak seharusnya menanggung apa yang bukan menjadi kesalahannya.
Tok, tok, tok..
Kepala Ata muncul dari balik pintu yang baru saja diketuk. “Belom tidur?”
Ari bangkit dari posisi tidur. Ia duduk bersandar pada kepala ranjang. “Ada apa?” tanyanya datar.
“Boleh gue ngomong sesuatu?”
Ari terdiam sejenak. Apapun itu yang akan dibicarakan oleh Ata, bisa dipastikan akan membuat kepalanya sakit. Tapi ia ingin tahu apa lagi yang diinginkan saudaranya. “Masuk,” katanya singkat.
Ata melangkah ke arahnya, kemudian duduk di sisi tempat tidur di dekat kakinya. Cowok itu terlihat gelisah. “Gue udah tau sekarang.”
“Tentang?”
“Perjanjian lo sama Angga.”
Ari menarik napas tajam. “Siapa yang cerita?”
“Gue iseng nanya ke Ical tadi. Dia jelasin ke gue panjang lebar. Gita nggak boleh disentuh. Itu aturan nomor satu dari elo. Makanya...” Ata berhenti sejenak saat Ari menatapnya dengan pandangan menusuk. Diam-diam ia menelan ludah. “Mm, makanya gue heran kenapa lo milih ngelawan Angga sampe mau mati gitu, padahal ada kartu as di tangan lo.”
Ari masih tak mengatakan apa-apa. Ata mendesah keras. Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan mondar-mandir sambil meremas rambutnya. Ketika akhirnya ia berhenti, tatapannya langsung jatuh ke Ari. “Gue nggak tau, oke?” katanya lirih. “Gue bener-bener nggak tau, Ri. Gue pikir cuma itu satu-satunya cara buat nyelametin kalian. Gue...” Ata menelan ludah lagi. “Gue minta maaf.”
Kata maaf yang sejak awal sama sekali tidak diharapkan oleh Ari, karena tidak akan mengubah keadaan. Ia tetap menatap Ata dengan dingin.
“Denger.” Ata kembali duduk di sebelahnya ketika Ari tidak menanggapi. “Gue minta tepatin janji lo. Lepasin Tari.”
Kedua alis Ari terangkat. Kaget. Setelah permintaan maaf yang ia kira benar-benar tulus keluar dari bibir Ata, sekarang saudaranya itu malah menyuruhnya melepaskan Tari? Kurang ajar! Sepasang bibir Ari terkatup, membentuk garis lurus yang keras. Otot-ototnya mengencang, sehingga tubuhnya langsung meneriakkan protes karena mereka masih kesakitan. Akhirnya Ari melemaskan tubuhnya lagi. Hanya tatapannya yang semakin menusuk mengarah ke Ata. “Apa lo bilang?” desisnya. “Coba ulangi sekali lagi.”
“Gue minta, lo lepasin Tari,” ulang Ata hati-hati.
“Tari milik gue,” kata Ari defensif. Nadanya rendah dan sarat ancaman, tanda ia tidak mau dibantah. “Selamanya tu cewek tetep milik gue.”
“Apa lo nggak ngerti keadaan?” sahut Ata putus asa.
“Jelasin ke gue, keadaan apa yang belom gue ngerti!” tukas Ari dengan rahang mengertak.
“Selama lo pingsan di rumah sakit, Angga nemuin gue. Dia minta gue mastiin lo tepatin janji lo. Dia minta gue jadi saksi kalo lo udah mutusin Tari. Dia minta gue ngawasin Tari selama di sekolah, mastiin lo nggak deket-deket lagi sama tu cewek.”
“Dan lo setuju?” Ari terperangah. “Bener-bener bajingan lo, Ta! Lo nggak mikirin perasaan gue? Lo dukung si bangsat itu? Lo sekongkol sama dia buat misahin gue sama Tari? Gitu, hah?!”
“Dia ngancem, oke?!” bentak Ata, berusaha membela diri. “Menurut lo, apa lebih baik gue biarin dia macem-macem ke Ridho sama Oji yang lagi terkapar gitu?”
Ari tersentak. “Nggak!” desisnya cepat. “Dia nggak akan berani macem-macem ke sahabat-sahabat gue!”
“Siapa bilang dia nggak berani?” Ata melemparkan tatapan mencemooh. “Jangan terlalu naif, Ri. Lo pikir Ridho sama Oji sekarang tiduran di ranjang rumah sakit gara-gara siapa? Ulah siapa?”
Ari terdiam. Kepalanya berdenyut sakit. Ia memijit pelipisnya. Ata yang menyaksikan kondisi adik kembarnya, akhirnya memutuskan untuk mengakhiri percakapan. Cowok itu bangkit. “Lebih baik sekarang lo istirahat. Baru lo pikirin,” sejenak, ia mencondongkan tubuh ke arah Ari, “putusin Tari, relain dia buat Angga, ato lo liat sahabat-sahabat lo mati.”
Tubuh Ari membeku. Entah bagaimana kalimat yang diucapkan Ata terasa seperti ancaman langsung. Bukan dari Angga, melainkan dari Ata sendiri. Ini bukan pilihan. Bukan haknya untuk membuat keputusan. Ini adalah keharusan. Tidak mungkin ia mengorbankan nyawa kedua sahabat karibnya demi Tari. Bukan tak mungkin Tari juga akan ikut terseret dalam bahaya kalau Ari bersikeras menahan cewek itu di sisinya. Jadi... lepaskan gadis itu!

***

Ari melempar kepalanya ke bantal-bantal, dan otomatis mengerang kesakitan. Kepalanya serasa akan meledak. Ia tekan kepalanya kuat-kuat hingga denyutan menyiksa itu mereda. Setelah itu, diraihnya ponsel di meja samping tempat tidur. Masih dalam posisi tiduran, ia memutuskan untuk menelepon Tari.
“Kak Ari!” Ari menjauhkan ponselnya sejauh lengan begitu Tari menjawab panggilannya dengan jeritan.
“Hai,” gumamnya kemudian.
“Kak Ari, gimana keadaan elo? Gue denger... lo masuk rumah sakit.” Suara Tari mendadak lirih dan bergetar. Gadis itu mulai menangis. Oh, tidak!
“Hei, Tar. Ssstt... Gue baik-baik aja. Gue nggak nginep di rumah sakit, kok. Gue udah boleh pulang,” kata Ari menenangkan. “Dari mana lo tau gue di rumah sakit?”
Tari menghembuskan napas lega. Diusapnya air mata dari pipi. “Kak Ata,” jawabnya, tidak berniat menjelaskan apa-apa. “Gue tadi mau jenguk, tapi nggak ada orang di rumah, jadi gue harus jaga rumah. Gue mau telepon, takutnya gangguin elo istirahat.”
Dada Ari langsung menghangat. Mendengar suara gadis itu seolah mengangkat seluruh bebannya. Cowok itu memejamkan mata, menikmati kehangatan dari bentuk kekhawatiran Tari atas dirinya. Gadis itu begitu perhatian. Kemudian dia dihadapkan kepada permasalahan pokok di sini. Dia harus melepas gadis itu. Harus! Tapi tidak sekarang. Tidak melalui telepon.
“Gue ke rumah elo besok pagi.”
“Eh? Ngapain, Kak? Lo istirahat aja di rumah. Gue yang jenguk ke situ.”
“Nggak,” tolak Ari tegas. “Gue yang ke situ. Titik.”
“Lagi sakit, masih aja bossy,” gerutu Tari, memunculkan senyum tipis di bibir Ari. “Ya deh. Besok gue tunggu. Tapi janji lo nggak akan maksain diri, oke?”
“Janji.”
“Ya udah, istirahat deh. Kayaknya suara lo lemes banget.”
“Yah, badan gue kayak abis ditabrak truk rasanya.”
“Masa?” Tari ternganga. “Separah itu? Nah, mendingan lo tiduran aja di rumah. Nggak usah ke rumah gue.”
“Nggak, nggak,” sahut Ari cepat. “Cuma bercanda. Gue nggak selemah yang lo pikirin, tau. Pokoknya gue ke rumah lo besok. Sampai ketemu.” Karena tak ingin dibantah lagi, Ari segera menutup telepon.
Suasana seketika hening. Ari tahu sebenarnya dia masih ingin mendengar suara Tari. Ia ingin mendengarnya sepanjang malam ini. Ia ingin menghabiskan waktu bersama gadis itu selama dia masih memiliki kesempatan. Ia tidak ingin tidur. Ia tidak ingin hari besok datang. Ia tidak ingin melepas gadis itu.
“Maafin gue, Tar,” katanya lirih. Matanya terpejam perlahan. Tanpa bisa dicegah, setetes air mata mengalir menuruni pelipisnya.

***

“Ari, mau ke mana kamu, Nak?” Mama yang baru saja memasuki kamar terkejut melihat Ari memakai jaketnya, bersiap untuk pergi.
“Pergi sebentar, Ma,” sahut Ari. “Ada urusan penting.”
“Tapi kamu kan...”
“Ari baik-baik aja,” potong Ari cepat. Ia melangkah mendekati Mama, lalu mencium keningnya lembut. “Mama nggak usah khawatir, oke?”
Akhirnya sang Mama luluh, meski kecemasannya tidak surut. Wajah Ari terlihat pucat. Cara berjalannya menyiratkan bahwa putra bungsunya itu masih kesakitan. Setelah mendapat izin, Ari melangkah keluar, dan langsung menemukan Ata yang sedang menonton televisi.
“Mau ke mana?” tanya Ata.
“Menurut lo?” sahut Ari tak acuh, berjalan begitu saja melewati Ata tanpa menoleh.
“Tunggu sebentar.” Ata mengikutinya sampai halaman. Ditariknya lengan Ari sebelum saudaranya itu mencapai pagar. “Ke rumah Tari?” tanyanya begitu Ari menghadap ke arahnya.
“Gue nggak mau sahabat-sahabat gue mati,” jawab Ari rendah setelah terdiam sesaat. Dilepasnya cekalan Ata, kemudian berjalan keluar pagar. Ia memang tidak membawa motornya kemari. Motor hitam itu masih bertengger manis di parkiran sekolah. Tidak ada yang mengambilnya sejak dia masuk ke rumah sakit. Jadi terpaksa cowok itu berjalan keluar kompleks untuk mencari taksi.
Sepanjang perjalanan, Ari menghela napas berkali-kali. Ini bukan sesuatu yang ia rasa bisa ia lalui. Bahkan cowok itu tidak menyiapkan kata-kata yang akan disampaikannya kepada Tari. Dengan sepenuh hati, ia berharap Tari mau mengerti. Atas kesalahan fatal saudara kembarnya yang membuat ini semua harus terjadi.
Taksi berhenti di depan jalan kecil menuju rumah Tari. Ari menarik napas panjang-panjang. “Pak, tungguin sini. Saya nggak lama. Bisa?”
Supir taksi di depannya mengangguk. “Bisa, Mas.” Agak curiga juga supir itu saat melirik kondisi Ari dari spion tengah. Ari penumpang pertamanya hari ini, cukup pagi untuk ukuran orang yang membutuhkan taksi di hari Sabtu, dan tampang cowok itu sudah seperti orang mau gantung diri.
Ari mengulurkan selembar uang berwarna biru. “Buat beli rokok dulu, Pak.”
Setelah itu ia keluar. Dengan langkah gamang, ia menghabiskan jarak yang memisahkannya dengan rumah Tari. Tekad bajanya perlahan runtuh begitu ia berdiri di depan pagar. Tangannya gemetar ketika membuka pintu pagar perlahan agar tidak menimbulkan suara.
Tari membuka pintu setelah Ari mengetuk dua kali. “Kak Ari?” Cewek itu terperangah kaget melihat kondisi Ari yang sepucat mayat.
“Hai,” sapa Ari sambil berusaha tersenyum. Bibir dan tenggorokannya terasa kering. “Boleh gue masuk?”
“Mama sama Papa lagi...” Tari menggantung ucapannya. Setelah mengerutkan kening seperti tengah berpikir, akhirnya cewek itu menggeleng-geleng. “Ng... nggak pa-pa. Masuk aja.” Ia bergeser dari ambang pintu, memberi jalan untuk Ari.
“Nyokap Bokap lo lagi pergi?”
Tari mengangguk. “Dari kemaren gue di rumah sendirian. Keluarga lagi nginep di rumah saudara di Bandung.”
“Kalo gitu kita bicara di luar aja.”
“Nggak. Nggak pa-pa. Masuk aja. Lo lagi sakit gini.” Tari meraih tangan Ari, kemudian menyeretnya masuk dan mendudukkannya di sofa. “Mau minum teh?”
Ari menggeleng. “Gue nggak lama.”
“Oh... oke.” Tari mengangguk ragu-ragu. Sikap Ari aneh sekali. Cewek itu duduk dengan hati-hati di sebelah Ari. “Gimana keadaan lo?”
“Gue... baik,” jawab Ari pelan tanpa menatap Tari. Ia terlihat sangat tertekan.
“Kak, ada apa?” tanya Tari. Karena tidak kunjung mendapat jawaban dari cowok di sebelahnya, tanpa bisa menahan lagi, Tari menubrukkan dirinya ke pelukan Ari, melingkarkan lengannya erat-erat pada cowok itu. “Lo bikin gue kuatir, Kak.”
“Hei, Tar. Ng... pelan-pelan.” Ari berusaha untuk tidak bergerak atau mengerang. Wajahnya mengernyit menahan sakit.
Tari berjengit seperti baru sadar. “Sori, sori,” katanya panik. “Sakit?”
Tubuh Ari merileks. “Nggak parah banget. Cuma... kaget aja.”
Tari menatap Ari dengan prihatin. “Kenapa sih lo maksain ke sini kalo lo masih kesakitan gitu?”
Ari menelan ludah. Ini dia saatnya. “Ada yang mau gue omongin. Nggak bisa lewat telepon.” Diraihnya tangan Tari, kemudian menyelipkan jemarinya di antara jemari gadis itu. Ia butuh pegangan, dan juga butuh tindakan pencegahan kalau gadis itu akan berlari menghindar nanti. Kedua matanya terarah pada jari mereka yang berpaut. Ari merasa tidak memiliki cukup kekuatan untuk menatap langsung ke mata Tari. “Tapi gue minta, jangan lari. Jangan marah. Dengerin gue dulu.”
Tari menatapnya bingung. “Ng.. emangnya...”
“Janji sama gue!” potong Ari cepat, tidak memberi Tari kesempatan untuk bertanya. “Tolong,” suaranya sekarang lirih, namun penuh penekanan, juga permohonan. “Janji sama gue, lo nggak akan membenci gue.”
“Kenapa sih, Kak?” tanya Tari tidak sabar.
“Sialan, Tar. Kenapa sih lo nggak bisa bilang “ya gue janji” gitu aja? Lo nggak perlu nanya-nanya,” desah Ari dengan nada putus asa. Cowok itu masih menunduk.
“Tapi elo...”
“Kita putus.”
Suara lirih Ari seperti tidak nyata. Tari hampir tidak mempercayai pendengarannya sendiri. “Apa?” bisiknya. Jantungnya serasa menghilang dari rongga dada. Mulutnya ternganga. Ingin mengatakan sesuatu, namun tak ada suara yang keluar.
“Plis, Tar. Jangan minta gue ngulangin kalimat itu lagi.” Ari kali ini mengangkat muka. Wajahnya terlihat begitu tersiksa.
“Pu..tus?” Tari menatap kosong. “Kita... putus?” Ia refleks menarik tangannya, namun Ari menggenggamnya lebih erat. “Jangan!” desis cowok itu. “Plis, jangan lari.”
“Kenapa?” Tari menunduk. Suaranya hampir tidak terdengar kalau saja suasana di sekitar mereka tidak benar-benar senyap.
“Percaya sama gue. Gue bener-bener terpaksa, Tar.”
Tari tidak menyahut. Cewek itu tetap menunduk, menatap tangannya yang digenggam erat oleh Ari. Lalu, tiba-tiba saja air matanya jatuh, menetes tepat di antara jemari mereka.
“Hei, Tar. Ssst, tolong, jangan nangis.” Ari menguraikan pegangannya, lalu ganti memeluk cewek itu. Ditekannya kepala Tari di dada, tepat di mana sumber rasa sakitnya. Rasa sakit yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perkelahian kemarin. Rasa sakit ini murni dari jantungnya, yang seolah memompa lahar panas. Menyebarkan perih ke seluruh tubuh. Siksaan yang hampir tak tertahankan.
“Kenapa, Kak? Kenapa?” tanya Tari dengan isakan teredam. “Lo... marah... sama gue?”
“Jangan pernah berpikir ini semua kesalahan elo.” Ari mengetatkan pelukannya. Mempersiapkan gadis itu, juga mempersiapkan diri. Ditelannya ludah susah payah. Kerongkongannya kering kerontang, menimbulkan rasa perih ketika ia menelan. “Gita terlibat di tawuran kemaren.”
Ari bisa merasakan tubuh yang dipeluknya menegang. Sedetik, tubuh itu memberontak, ingin melepaskan diri. “Jangan, Tari. Jangan,” bisik Ari, begitu sarat permohonan. Cowok itu panik dan ketakutan. “Plis, jangan lari dari gue.”
Tari akhirnya berhenti memberontak karena pelukan Ari membatu. “Lo libatin Gita?” bisiknya dengan nada tak percaya.
“Gue nggak bermaksud...”
“Lo lupa sama perjanjian itu? Lo nyerahin gue ke Angga?” Kedua tangan Tari mengepal di sisi tubuhnya yang masih dipeluk erat.
“Dengerin gue dulu...”
Tari mendorong dada Ari kuat-kuat. Terpaksa ia mengeraskan hati saat melihat cowok itu kembali mengernyit kesakitan. Pelukan Ari terurai. Kini keduanya saling bertatapan. “Nggak ada yang perlu dijelasin,” kata Tari dengan suara dan tubuh bergetar oleh amarah. Cewek itu lalu bangkit ke pintu depan, berdiri di sebelah daun pintunya yang terbuka. “Keluar.”
Ari tercekat. “Tar...”
“Keluar,” potong Tari. “Keluar dari rumah gue ato gue bakal teriak.”
“Tapi gue nggak...”
“Keluar! Gue nggak mau denger apa-apa dari elo!” Tari mulai berteriak sambil menutup telinga.
Ari menyerah. Cowok itu mendesah sebelum berdiri dari sofa. Ia berhenti tepat di depan Tari. Kembali kedua pasang mata itu bertemu. Sepasang mata hitam dan sepasang mata cokelat. Keduanya sama-sama penuh luka. Sama-sama tersiksa. Sama-sama menyimpan air mata. Sesaat, tidak ada yang bersuara di antara mereka. Bumi seolah berhenti berputar, menunggu salah satu di antara keduanya bergerak. Jam di dinding pun seolah tidak berdetak. Keduanya tersesat. Tidak bisa menemukan satu sama lain.
Ari menatap Tari dengan beribu emosi. Ia ingin berteriak keras-keras untuk melegakan dadanya. Namun teriakan itu tak bisa keluar. Hanya bergaung di jurang tak terjembatani yang kini memisahkan dirinya dengan Tari. Gadis ini... luput dari genggamannya. Tak teraih lagi. Jiwanya yang telah takluk dan terikat kuat oleh cintanya kepada gadis ini, perlahan-lahan terkulai. Mati.
Dengan begitu hati-hati, ia rengkuh tubuh cewek itu. “Gue harus bilang apa biar lo percaya?” bisiknya serak. Air matanya jatuh di pundak Tari. Air mata penyesalan, juga keputusasaan. “Maafin gue, Tar. Maaf.”
Tari memejamkan mata. Hatinya remuk. Dadanya sesak. Kenapa harus berakhir seperti ini? Semua mimpi indah itu, semua kenangan itu, perlahan memudar, meninggalkannya terseok sendirian.
“Gue nggak pernah mau ngelepasin elo, Tar. Tapi gue terpaksa. Bener-bener terpaksa.” Dengan enggan, Ari melepaskan pelukannya. Diangkatnya dagu cewek itu, memaksanya untuk menatap matanya. “Lo harus inget itu.”
Tari merasakan sapuan lembut di pipinya. Hatinya sekarang porak poranda dilanda badai hebat. Namun ada sebentuk gelenyar hangat mengaliri tubuhnya saat kemudian Ari beralih mencium kedua kelopak matanya yang terpejam.
Ari ikut memejamkan mata saat menyandarkan keningnya ke kening Tari. “Gue cinta sama elo, Jingga Matahari,” katanya selirih hembusan angin. “Selamat tinggal.”
Kalimat itu meruntuhkan pertahanan Tari, membuka gerbang air matanya hingga mengalir tak terkendali. Amarahnya kini kehilangan arti. “Jangan pergi,” isaknya pelan, memohon sepenuh hati.
Namun Tari merasakan kening dan kedua tangan Ari terlepas dari tubuhnya, kemudian hawa di sekitarnya menjadi dingin. Dalam kegelapan, ia mendengar langkah kaki Ari yang menjauh. “Jangan pergi, Kak. Jangan tinggalin gue.”
Tari tak mendengar apa-apa lagi. Suasana di sekitarnya benar-benar hening sekarang. Tari membelalakkan mata. Ari sudah pergi. Cowok itu tidak terlihat lagi. Pintu pagar depan tertutup rapat. Kejadian barusan seperti mimpi. Tari memejamkan mata lagi, berharap bahwa ini benar-benar mimpi. Tapi dia tidak bisa menyangkal. Ucapan selamat tinggal dari Ari terus bergema di kepalanya.
Setelah menutup pintu, ia meluruh jatuh. Tenggelam dalam tangisan hebat. Untuk seseorang yang baru saja meninggalkannya. Untuk belati yang tanpa ampun menyiksa nuraninya. Untuk pelukan perpisahan yang perlahan membunuhnya..
“Gue juga cinta sama elo, Matahari Senja.” Itulah jawabannya!

***

Ari hampir saja membalikkan badan dan meraih Tari dalam pelukan lagi saat cewek itu memohon kepadanya untuk tidak pergi. Tapi dia tidak bisa tinggal. Tidak kalau nyawa kedua sahabatnya yang menjadi taruhan. Jadi dengan segenap tenaga, ia langkahkan kaki keluar, sama sekali tidak menoleh lagi ke dalam rumah. Ditinggalkannya tempat itu, bersama seseorang yang berbagi kehancuran bersamanya.
Ya. Ari hancur. Sama seperti Tari. Kalau pertahanannya tidak begitu kuat, bisa dipastikan ia juga akan terjatuh ke tanah dan menangis. Ketika kemudian tiba di taksi yang masih menunggunya, Ari memutuskan untuk pulang ke rumahnya, bukan ke rumah Mama. Ia butuh waktu untuk sendiri. Ia butuh waktu untuk menerima kenyataan ini. Tidak akan ia biarkan si brengsek Ata menonton kejatuhannya.
Ari menghela napas berat. Dadanya masih sakit. Dan akan terus seperti itu karena ia tak lagi mempunyai obat penawar. Gadis yang selama ini berhasil menutup luka-lukanya kini ia biarkan pergi. Bukan hanya membuka kembali setiap balutan, tapi juga menorehkan luka lebih dalam di sana.
Tiba di rumahnya, Ari melesat ke kamar, mengunci pintu, lalu ambruk ke tempat tidur. Ia mati-matian menahan air mata, hingga akhirnya jatuh tertidur karena kelelahan.






Bersambung...




Nyesek sendiri baca part ini :'(
Maaf kalo part ini cuma dikit, udah nggak kuat mau nambahin *lambaikan tangan ke kamera*
Mungkin untuk part-part selanjutnya masih konsen sama hubungannya Ari-Tari yaa
Yoook komeeen ^^

11 komentar:

  1. Baca part ini berasa aku yang diputusin. Wkwkwkwk...
    nyeseeeek.. =(((
    part selanjutnya pasti bahas galau2nya ari tari. Hehehehe *sotoy
    jangan lama2 ya part selanjutnya. Heheheheh

    BalasHapus
  2. Gw Rela kok Kalo Angga sama Tari tapi kalo angga di jalan kena Begal itu Gw Pelaku'a.. (Sadis)

    Huuaahhh :"( Mereka yg putus tp Gw yg Ga Terima..Hmmmmwwmmm :(

    BalasHapus
  3. tari jangan sama angga donk,, please...
    kan ari sama tari benda & bayangan..
    satu'n mereka lagi yaaa ;)

    BalasHapus
  4. Part selanjutnya mana nih, udah penasaran...

    BalasHapus
  5. Ayo dong, part selanjutnya. Kasih tau, aku ya. Kalau udah di post part selanjutnya :))

    BalasHapus
  6. Mba Auuuuullll mana Lanjutan'a :(

    BalasHapus
  7. coba deh lo baca di blog ini, jerita JUM nya lebih keren... nyambung banget sama JDS dan JDe nya.. http://onceuponatimeinfairyworld.blogspot.com/2013/10/first-fanfic-of-jingga-dan-senja-series_4.html

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, aul udah tau kalo cerita yg itu lebih keren :)

      Hapus