“Ta?”
panggil Ari, menyentakkan Ata dari lamunannya tentang Aira. “Lo kenapa, sih?”
tanya Ari bingung.
Ata
buru-buru menggeleng. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Tenggorokannya kering.
Berbagai macam emosi berkecamuk dalam benaknya. “Balik gih,” katanya pelan,
nyaris tak terdengar.
“Tunggu!”
Ari mencekal lengan Ata saat saudara kembarnya itu membalikkan badan.
Ditariknya lengan itu hingga Ata berputar menghadap ke arahnya lagi. “Bilang
dulu sama gue. Lo ada urusan apa sama Angga?”
Urusan hidup dan mati,
Ri. Lo nggak akan ngerti. Ata menelan ludah susah payah tanpa
menjawab pertanyaan Ari.
Kepada
seseorang yang telah ia lukai begitu dalam. Kepada hati yang telah ia
permainkan begitu kejam. Kepada gadis yang telah ia hantarkan ke ambang
kematian. Kalau bisa, Ata ingin berlutut memohon ampun kepada Aira. Namun
kesempatan itu telah lama hilang, bahkan nyaris tidak pernah ada sama sekali.
Aira terlanjur pergi. Tak akan bisa kembali sekeras apapun Ata mencari dan
menanti. Dalam setiap doa yang ia panjatkan, selalu terselip teriakan keras
menghakimi diri. Karena jauh di dalam hati, Ata menyadari, ada sebuah rasa yang
tak terpahami. Antara dia, dengan gadis yang kini telah terbaring dipeluk bumi.
Tak
ada seorang pun yang tahu. Ata lebih dari menyesal. Tapi tetap, permohonan maaf
darinya tak akan pernah terucap. Selamanya hanya akan menggantung di batas
dimensi dunia mereka tanpa pernah tersampaikan.
Kini
Ata hanya menemukan satu jalan, yang kemudian dia tempuh demi meringankan rasa
bersalahnya. Untuk jiwa yang masih tertinggal bersama kepingan hati, Ata ingin
menebus dosa masa lalunya. Untuk Angga, hati yang tanpa sengaja ikut ia
hancurkan atas kematian Aira, Ata ingin menemukan gadis pengganti bagi cowok
itu, sekadar sebagai penutup luka dan pengisi kekosongan. Dan entah ini ironi
atau tragedi, gadis yang ia cari selama ini tiba-tiba muncul, hadir mendampingi
saudara kembarnya.
Tari
memenuhi segala kriteria yang ia ajukan sebagai gadis pengganti. Ata menemukan
sisi “Aira” dalam diri Tari. Manis, lucu, galak, enerjik, pemberontak, dan yang
paling penting, ternyata Angga menyukai gadis itu! Makin lengkaplah persyaratan
yang terpenuhi. Jadi Tari adalah kunci utama dari segala rencananya. Kalau
memang hanya ini satu-satunya cara, Ata tak akan segan-segan meloloskan gadis
itu dari genggaman Ari, kemudian menyerahkannya kepada Angga. Satu beban
terangkat, hutang masa lalu terbayar sudah!
Ketika
akhirnya Ari kehilangan Tari, Ata yakin rencana-rencananya yang lain otomatis
akan berjalan sesuai harapan.
“Nah,
kan. Bengong lagi,” tegur Ari. Diguncangnya lengan Ata. “Ada masalah apa sih,
Ta? Kok lo aneh banget gini?”
Tatapan
Ata mulai terfokus begitu ia menemukan kembali kendali dalam dirinya. Kemudian
dilemparnya tatapan itu ke kedua mata Ari, yang sekelam matanya. “Lo kenal sama
Aira?” tanya Ata lirih, menyerupai bisikan. Diam-diam ia dicekam ketakutan,
karena kalau ternyata Ari masih mengingat Aira, itu artinya dia sedang
melakukan pengakuan dosa sekarang. Tak bisa menghindar lagi.
Kening
Ari berkerut mendengar nama itu. “Aira siapa? Tadi nanyain Angga. Kok jadi
Aira?”
“Angga.
Aira. Lo inget sesuatu tentang nama-nama itu? Apapun? Kenalan lo dulu? Atau
siapapun yang pernah lo temui dan kebetulan namanya Aira?” kejar Ata. Tanpa
sadar intensitas kecemasannya meningkat, nyaris membuat suaranya tercekik.
Kerutan
di kening Ari kian rapat, tanda cowok itu berpikir keras. Kalau Ata begitu
ingin ia mengingat sesuatu tentang seseorang bernama Aira, ini pasti hal yang
penting, dan mungkin bisa memberi sedikit petunjuk atas keanehan saudara
kembarnya itu. Tapi akhirnya Ari menggeleng, menyerah. “Nggak. Gue nggak
ngerasa pernah kenal sama yang namanya Aira.”
Ata
mendesah. Sarat kekecewaan, namun juga kelegaan. Wajar kalau Ari tidak ingat.
Kejadian itu hampir 3 tahun yang lalu. Dan Aira hadir di antara berjuta gadis
lain yang berusaha merebut perhatian Ari. Hanya satu nama, dan beberapa kali
pertemuan yang bisa dihitung dengan jari, tentu tidak akan melekatkan nama Aira
begitu saja dalam memori Ari.
“Emang
kenapa?” tanya Ari lagi, mulai putus asa bertanya kepada Ata.
“Nggak.
Nggak pa-pa. Udah sono, lo balik. Udah malem.”
Ari
menghela napas, gagal membujuk Ata untuk bicara. Tanpa bertanya-tanya lagi, ia
memutuskan pergi dari situ.
***
Motor
itu memasuki garasi yang gelap, sehingga ketika Ari mematikan mesinnya dan
lampu depan motor padam, ia nyaris tak bisa melihat apa-apa. Setelah mengunci
pintu-pintu di belakangnya, Ari memasuki rumahnya yang juga gelap gulita,
menandakan tidak ada seorang pun di dalamnya. Beberapa hari terakhir ini
ayahnya tidak terlihat. Dan Ari merasa bersyukur karenanya. Sambil menghidupkan
lampu di setiap ruangan, ia merogoh ponsel dari saku celana. Jari-jarinya
dengan cepat menekan nomor ponsel Tari. Panggilannya dijawab pada dering ketiga.
“Ya,
Kak?” Suara Tari yang terdengar lebih tenang berhasil menghangatkan hatinya.
“Lagi
apa?” tanya Ari lembut. “Udah mandi, kan? Makan malem?”
“Barusan
mandi. Males makan, nggak laper.”
Ari
mendesah jengkel. “Lo harus makan, Tar.”
“Tapi
gue nggak laper, Kaaak.”
“Bandel,”
dengus Ari. Ia telah tiba di kamarnya. Ditekannya sakelar di sebelah pintu
sehingga lampu menyala terang. Ia menjepit ponsel di antara telinga dan bahu
ketika kedua tangannya menutup jendela dan gorden yang masih terbuka. “Sakit
baru tau rasa lo. Pokoknya kalo lo nggak mau makan, gue ke rumah lo sekarang.
Gue suapin sampe abis satu piring, dan gue pastiin itu atas izin dari Nyokap
lo.” Begitu jendela dan gorden yang menghiasi bingkainya tertutup rapat, cowok
itu merebahkan diri di tempat tidur.
Sementara
itu di seberang, Tari meringis. Ancaman dari Ari terdengar begitu manis. “Iya,
deh. Gue makan abis ini.”
“Janji?”
“Janji.”
“Kalo
sampe lo ketauan boong?”
“Gue
nggak boong.” Tari mendelik gemas.
“Tapi
firasat gue kok nggak enak ya,” pancing Ari.
Akhirnya
Tari menyerah. Gadis itu beranjak dari tempat tidurnya, kemudian melangkah ke
dapur. “Iyaa, gue makan,” gerutunya ke ponsel.
Ari
tersenyum lebar. “Bagus. Gue sebenernya pingin ke situ nemenin makan, tapi udah
malem. Gue temenin di telepon aja, deh. Jadi gue tau lo beneran makan nasi apa
nggak.”
Lagi-lagi
Tari meringis mendengar kata-kata Ari. Meski sarat akan ancaman, namun memang
seperti itulah bentuk sayang Ari kepadanya. Sejenak ia melupakan
permasalahannya dengan Ata. Ia menyendok nasi sesedikit mungkin, berniat
mengunyahnya pelan-pelan sambil mengobrol sehingga Ari tidak menyadari ia makan
mungkin hanya dua-tiga sendok. Karena dirinya benar-benar tidak lapar saat ini.
“Udah
ambil nasi?”
“Udah.”
Tari menatap ke piringnya sambil tersenyum puas.
“Tambah
lagi. Firasat gue bilang kalo di piring lo cuma ada dua sendok nasi.”
Senyuman
Tari memudar. Gadis itu kini menganga lebar. Gila. Pakai ilmu batin apa si Ari?
“Kok kayaknya firasat lo kuat banget ya?” sindir Tari kecut, merasa tak bisa
lolos sedikitpun dari Ari meski mereka sedang tidak bersama.
Ari
terkekeh lembut. “Kalo urusannya sama elo sih gampang, Tar. Buruan tambah
nasinya, trus makan.”
Mau
tak mau Tari menurut. Ia menambah satu sendok lagi ke piringnya, kemudian duduk
di salah satu kursi makan. Didengarnya Ari mendesah. “Cuma nambah satu sendok
kan lo?”
Bener-bener
ni cowok... Tari meringis. “Yang penting nambah kan? Kok lo tau banget gitu,
sih? Ato jangan-jangan lo ada di sini ya sekarang lagi ngeliatin gue?” Gadis
itu celingukan sesaat memindai seluruh dapurnya. “Ngumpet di mana lo? Kalo ngumpet
di belakang lemari dapur ati-ati aja. Suka ada cicak di situ.”
Ari
meledak dalam tawa. Sementara wajah Tari perlahan memerah mengingat “serangan
cicak” yang pernah dilancarkan Ari di sekolah untuk mengganggunya. Bego, ngapain sih gue nyebut-nyebut cicak
sialan itu?
“Gue
nggak takut sama cicak,” kata Ari di sela tawanya. “Paling jijik dikit. Yang
jelas sih nggak sampai pingsan.”
Wajah
Tari tambah memerah begitu kejadian memalukan itu terputar dalam benaknya.
Untung saja ia tidak berhadapan langsung dengan Ari saat ini. Bisa-bisa cowok
itu menggodanya tanpa henti kalau melihat wajahnya yang semerah kepiting rebus.
Ia buru-buru menyuap sesendok penuh nasi dan lauk ke mulutnya. Pasrah dengan
godaan Ari.
Setelah
reda dari tawa, Ari rupanya belum puas. Kesempatan untuk menggoda ceweknya
selalu menjadi saat yang ia tunggu-tunggu. “Nggak. Gue nggak lagi di situ. Ato
lo mau gue ke situ? Gue berangkat sekarang nih kalo lo emang minta. Dan... gue
bisa bantu lo usir cicak-cicak di balik lemari dapur lo.”
“Nggak.
Nggak perlu,” ketus Tari, pula-pula galak. Disuapnya lagi satu sendok besar
nasi. Tau-tau nasi di piringnya sudah habis. Gagal sudah rencana untuk mengecoh
Ari.
“Udah
selesai makannya?” tanya Ari terkejut begitu mendengar gemericik air wastafel
saat Tari mencuci piringnya. Cewek itu meletakkan ponsel di konter dekat
wastafel dalam keadaan speaker aktif.
Tari
baru menjawab setelah meletakkan kembali piring dan sendok yang telah bersih di
rak. “Udah. Dilarang protes! Gue udah makan. Udah kenyang. Lo nggak bisa maksa
gue lagi.”
Ari
berdecak. “Ya deh. Sekarang istirahat.”
“Bossy banget,” dengus Tari pelan.
“Gue
denger itu, Sayang,” sahut Ari dengan nada manis dibuat-buat.
Tari
melangkah ke kamarnya dalam diam. “Jadi?” tanyanya begitu duduk di tempat
tidur.
“Apanya?”
Ari balik bertanya bingung.
“Ada
lagi yang mau lo omongin?”
Ari
terdiam sejenak. “Mau cerita apa sebenernya yang bikin elo nangis tadi sore?”
tanyanya penuh harap.
Tari
sadar cepat atau lambat Ari akan bertanya. Ia menyesali reaksi berlebihannya
tadi sore. Kalau saja ia bisa memutar balik waktu, ia tidak ingin menangis di
hadapan Ari. Ia tahu ia telah membuat cowok itu cemas. Dan Ari terkenal tidak
suka berkompromi dengan siapapun yang membuatnya tidak tenang.
“Tar?”
“Gimana
kalo lo aja yang cerita?” sahut Tari. “Kayaknya lo masih utang penjelasan deh
ke gue. Soal kepindahan Ata.”
Ari
menghela napas. “Kenapa sih tiba-tiba lo pingin tau banget?”
“Kenapa
sih lo nggak mau ngasih tau?” balas Tari.
Karena
tak mendapat jawaban yang memuaskan, Ari mengubah redaksi pertanyaannya. “Tar,
jujur sama gue. Apa bener...” Cowok itu terdiam sejenak, mencari kata-kata yang
pas, “Tadi sore lo nangis gara-gara Ata?”
Pertanyaan
itu membuat Tari terkesiap. “Kok lo tiba-tiba nanya gitu?”
“Stop,
stop,” potong Ari frustasi. “Stop jawab pertanyaan gue dengan pertanyaan balik.
Gue mau jawaban yang pake titik, bukan pake tanda tanya lagi, oke? Jangan bikin
gue jengkel, Tar.”
Tari
menggigit bibir bawahnya. “Ng... kita bahas besok aja ya, Kak. Gue ngantuk.”
Ari
memutuskan untuk mengalah. Ia menghembuskan napas perlahan, menahan
kesabarannya. “Oke. Tidur gih. Malem, Tar.”
“Malem,
Kak.” Tari memutuskan sambungan terlebih dulu. Diingatkan lagi tentang masalah
Ata membuatnya gelisah. Ia bangkit menuju meja belajar untuk menyiapkan jadwal
pelajaran besok, dan baru teringat kalau ada PR Matematika yang belum
dikerjakannya.
“Mampus!
Kelupaan!” Tari menepuk jidat.
***
Pagi
itu begitu tenang. Tidak ada sesuatu yang tidak normal. Segalanya berjalan
seperti biasa sampai motor yang ditumpangi Ari dan Tari berhenti di parkiran
sekolah. Keduanya berjalan bersama menyusuri koridor utama tanpa kecurigaan
sama sekali, tidak menyadari adanya sepasang mata yang mengawasi. Sepasang mata
yang bahkan sudah tertancap lurus-lurus ke arah mereka sejak motor Ari memasuki
gerbang sekolah. Tapi si pemilik mata setajam elang itu berada jauh dari
keberadaan keduanya, berdiri bersandar pada salah satu pilar lantai atas gedung
kelas 12, hanya mengamati dalam diam.
Ata
menarik napas tajam saat melihat Ari mengulurkan tangan untuk mengusap kepala
Tari sebelum keduanya berpisah. Hatinya disesaki perasaan aneh melihat
bagaimana luwesnya Ari menyentuh Tari, bagaimana nyamannya gadis itu menerima
sentuhan Ari, juga bagaimana keduanya saling bertatapan dan tersenyum. Semuanya
terlihat begitu... normal. Begitu biasa. Begitu wajar. Seolah kedua insan itu
telah saling mengenal dan saling menerima selama bertahun-tahun. Kemudian Ata
dihadapkan pada kenyataan yang sudah jelas divisualkan. Ari mencintai gadis
itu!
Tari
menaiki tangga menuju kelasnya, sementara Ari berbelok ke lapangan, menghampiri
teman-temannya. Kini tatapan tajam Ata hinggap di kedua sahabat karib Ari.
Ridho dan Oji. Pion-pion lain dalam permainnya. Dan hari inilah yang telah
dipilihnya menjadi hari untuk membentangkan papan catur, sehingga ia bisa mulai
menggerakkan pion-pion miliknya sesuai keinginan.
Sementara
itu Ari yang biasanya selalu waspada, kini sama sekali tidak mengira adanya
bahaya yang mendekat, yang ironisnya, berasal dari saudara kembarnya sendiri. Bahaya
yang mengincar dia, ceweknya, serta dua sobat karibnya. Bahaya yang menjadi
mata pisau untuk tali hubungannya dengan Tari, siap memotongnya. Cowok itu terlihat
santai setelah memastikan Tari baik-baik saja pagi ini. Ia bergabung bersama
Ridho, Oji, dan beberapa teman sekelasnya yang lain yang sedang duduk-duduk di
bawah pohon di tepi lapangan.
“Nanti
jadi futsal, kan?” tanya Ridho.
Ari
mengangguk. “Jadi, dong. Akhir pekan gini.”
“Mana
sodara kembar lo?” tanya Eki. “Nggak berangkat bareng?”
“Nggak.
Gue bareng Tari.”
“Duileee,
cewek mulu yang dipentingin. Sodara serahim pun dilupain,” cibir Eki lagi.
“Ya
mending bareng cewek, lah,” sergah Oji. “Enak gitu kan boncengan sama cewek,
apalagi pacar sendiri. Biar orang-orang yang ngeliat pada ngiri. Kalo boncengan
sama yang sejenis sih nggak ada untungnya lagi. Nggak bisa dipeluk, nggak ada
manis-manisnya.”
Ari
tertawa, diikuti teman-temannya yang lain. Dirangkulnya bahu Oji di sebelahnya.
“Bener tuh. Elo kelamaan jomblo kali, Ki. Ketauan nggak pernah boncengan sama
cewek.”
“Bukan
jomblo, Ri,” kata Eki membela diri. “Single gitu looh. Single! Gue kan udah
kelas 12, musti konsen ujian, rajin belajar, nyari perguruan tinggi, nggak bisa
mikir cewek dulu.”
“Ngeles
mulu looooo!!” seru teman-temannya serentak, dan beberapa tangan langsung
melayang untuk menjitak Eki. Mereka tahu persis bagaimana teman mereka itu kini
tengah naksir mati-matian seorang adik kelas, anak kelas 11. Jadi kalau Eki
bilang dia sedang tidak bisa memikirkan tentang pacar dan segala yang
berhubungan dengan itu, bisa dipastikan tu cowok ngibul.
Eki
jadi terkekeh-kekeh sambil berusaha melindungi kepalanya. “Ampuun, ampuun.
Ampunilah cowok yang masih ingin bertemu dengan jodohnya ini. Jangan bunuh gue
dulu. Ntar jodoh gue nangis.”
Kalimatnya
itu malah membuat teman-temannya makin geli dan semakin bernafsu untuk memukul
kepalanya. Beberapa dari mereka tak tahan untuk melontarkan berbagai celetukan.
“Justru
kasian kalo sampe tu cewek ketemu sama lo.”
“Iya,
bisa nangis tujuh hari tujuh malem dia begitu liat jodohnya ternyata Eki si
Sableng.”
“Udah
mimpi sepanjang hidup bisa berjodoh sama pangeran, eeh ketemunya malah sama
pangeran kodok!”
“Kalo
gue jadi ceweknya, mending mati aja kali ya.”
“Jadi
lo nggak usah ketemu aja sama dia, Ki. Kasian dia.”
“Bener
tuh! Bener!”
Ari
dan Ridho, dua orang yang tidak ikut melemparkan hinaan untuk Eki, hanya
tertawa. “Sadis emang mereka,” kata Ari pelan, yang diberi anggukan setuju oleh
Ridho.
Keadaan
berbalik sekarang. Eki yang daritadi jadi sasaran ejekan teman-temannya, kini
berdiri sambil mengacungkan tinjunya, pura-pura marah dan tersinggung berat.
“Gue nggak terima harga diri gue hancur terinjak-injak secara tidak hormat di
kaki nista kalian. Awas ya!”
“Kabuuuuuur!!!”
Segerombolan cowok itu lari tunggang langgang menghindar dari Eki, yang segera
mengejar mereka. Ari dan Ridho geleng-geleng kepala, masih sambil tertawa geli,
kemudian menyusul teman-temannya yang berlari menuju kelas.
Benar-benar
tidak ada yang menyadari bahwa ketenangan yang berlangsung saat ini adalah
jenis ketenangan sebelum badai.
***
Waktu
hampir menunjukkan pukul 3 sore. Ari dan teman-teman cowok sekelasnya termasuk
Ata masih berdiam di ruang kelas. Sudah menjadi kebiasaan, mereka menunggu
pukul setengah 4 sebelum akhirnya berangkat ke tempat futsal. Namun sepertinya
rencana futsal itu harus ditunda dulu. Mendadak, Andi, salah seorang adik kelas
yang dinobatkan menjadi jendral tertinggi angkatan kelas 11 dalam pasukan
perang Airlangga, berhenti di ambang pintu kelas Ari dengan terengah-engah.
“Brawijaya!”
serunya.
Tanpa
butuh penjelasan apa-apa, tubuh Ari mencelat dari kursi. Diikuti Andi dan semua
teman sekelasnya, cowok itu melesat keluar kelas, berlari menyusuri koridor.
“Kasih
tau mereka!” tunjuk Ari pada kelas-kelas dengan pintu terbuka yang masih memuat
beberapa orang penghuni. Cowok itu tidak berhenti, sementara beberapa temannya
menyebar, menghampiri kelas lain untuk mengumpulkan pasukan.
“Kita
pasti kekurangan orang, Bos,” kata Oji yang berlari di sampingnya. Ia mengikuti
langkah Ari yang melompati setiap dua anak tangga sekaligus. Ari mendesis. Ia
tahu Oji benar. Dalam waktu sesore ini, pasti banyak dari anak buahnya yang
sudah pulang.
“Sialan
emang si Angga! Apa sih rencana dia!” geramnya. Dalam hati ia sedikit bersyukur
telah mengantar Tari pulang tadi, sehingga cewek itu jauh dari bahaya.
“Ri,
ada apa?” Tiba-tiba Ata berlari menjejeri. Wajahnya berkerut tidak mengerti.
Ari
otomatis menghentikan langkah, sehingga teman-temannya juga ikut berhenti. Ari
sejenak lupa Ata bersama mereka. Ata yang anak baru, yang tidak tahu apa-apa
soal tawuran. Ia mencengkeram bahu Ata. “Anak SMA Brawijaya cari ribut. Udah
biasa.”
“Cari
ribut? Mm, maksudnya, kita mau tawuran?”
“Well, ya. Selamat datang di Jakarta.”
Ata
menatap berkeliling. Kini semuanya sudah berkumpul di lapangan, menunggu
instruksi selanjutnya dari sang panglima perang. Hanya ada sekitar belasan
sampai dua puluhan anak di sini. “Nggak mungkin dengan pasukan sekecil ini!”
seru Ata, meneriakkan keraguan yang bergema dalam benak setiap orang.
“Trus
apa?” sentak Ari tidak sabar. “Lo mau kami mundur? Biarin mereka ngancurin
sekolah kita dan nempatin anak-anak lain dalam bahaya?”
“Ya,
lebih baik gitu,” sahut Ata tegas. “Daripada kita keluar dan nggak selamet.
Nggak ada gunanya juga. Mending kita tunggu di dalem.”
Ari
mendesis. Ia ketatkan cengkeramannya pada bahu Ata sambil merapatkan tubuhnya.
Kemudian ia berbisik tajam di sebelah telinga Ata. “Bukan elo pemimpinnya, bro.
Lo nggak tau apa-apa.” Kemudian ia melanjutkan dengan suara lebih keras dan
demonstratif, dengan sangat jelas menyatakan bahwa kalimat ini bukan hanya
ditujukan kepada Ata, melainkan kepada pasukan di sekelilingnya. “Dan anak SMA
Airlangga nggak pernah ngumpet. Kita bukan pengecut! Inget itu.”
Berpasang-pasang
mata hanya menyaksikan dalam diam. Beberapa anak yang sudah terlanjur terbakar
rasa nasionalisme, yang ingin mempertahankan tanah miliknya sampai titik darah
penghabisan, setuju dengan Ari. Sementara beberapa yang lainnya setuju dengan
Ata, meski mereka tidak mengungkapkannya terang-terangan. Bagaimanapun, memang
Ari pemimpinnya di sini.
Ari
sejenak menatap Ata sebelum melepaskan cengkeramannya. “Kalo lo nggak mau ikut,
tunggu aja di sini. Bantu evakuasi anak-anak yang masih keliaran. Kumpulin di
ruang kelas yang jauh dari gerbang.”
Setelah
itu, ia berteriak kepada pasukannya untuk segera menuju medan perang sebelum rombongan
musuh tiba di depan sekolah. Ata yang masih berdiri diam di tempatnya, menatap
Ari dengan sepasang mata yang perlahan mengelam. Ujung-ujung bibirnya tertarik
ke atas, tidak bisa menahan seringaian. Kemudian ditinggalkannya tempat itu,
melangkah ke salah satu ruang kelas di area kelas 10.
***
Suasana
kacau balau. Ari memaksa otaknya berpikir keras bagaimana menyiasati keadaan
ini, di mana pasukan yang berlari di belakangnya sama sekali tidak memadai
untuk menyeimbangkan posisi. Ia memutuskan untuk membentuk formasi melingkar di
beberapa titik, menghindari adanya serangan dari belakang punggung. Ia berdiri
diapit Ridho dan Oji di kanan kirinya. Mendadak matanya menangkap sesosok gadis
yang berdiri bingung di balik sebatang pohon, beberapa meter darinya. Ari
menyipitkan mata.
“Sialan.
Itu anteknya Vero,” desis Ari yang mengenali Sonia, salah satu personil The
Scissors yang sekarang tengah bersembunyi ketakutan.
“Biarin
aja,” sahut Oji tak acuh.
“Nggak
bisa. Lo berdua, seret dia ke sekolah. Cepet.”
Ridho
dan Oji melesat maju ketika kini cewek tadi jadi sasaran anak-anak Brawijaya.
Keduanya berusaha saling melindungi karena tidak ada pasukan yang bisa mereka rekrut
sebagai bodyguard. Ketika tiba di tempat
Sonia, Ridho tanpa pikir panjang meraih tangan cewek itu.
“Ngapain
sih lo berdiri di sini? Lari!” bentaknya marah.
Mendadak
wajah cewek itu memucat sambil melihat ke belakang punggung Ridho. Baik Ridho
maupun Oji tidak sempat menyadari bahwa dari tikungan di dekat mereka berdiri, muncul
sekitar sepuluh anak Brawijaya, dan kebanyakan dari mereka membawa tongkat kayu.
Ari
yang menoleh sekilas untuk melihat tugas kedua temannya, kontan terkesiap
kaget. “Lari, Dho! Oji! Lari!!!” serunya keras dan panik. Terlambat. Pasukan
Brawijaya yang daritadi bersembunyi di balik tikungan itu menyerbu ke arah
Ridho dan Oji.
“Brengsek!”
umpat Ridho, sadar bahwa tidak ada kesempatan baginya untuk lari. Karena hanya
ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Sonia, ia lepaskan cekalannya dari
tangan cewek itu, kemudian mendorongnya pergi. “Lari! Lari! Lari! Balik ke
sekolah! Lewat jalur yang tadi gue buka! Jangan nengok-nengok lagi!!” teriaknya
tak mau dibantah.
Teriakan
Ridho bagai cambuk bagi Sonia. Dengan segenap upaya dan kenekatan, ia berlari,
mengikuti jalur yang tadi dilewati Ridho dan Oji sambil melindungi kepalanya
agar tidak menjadi korban batu nyasar.
“Siap,
Ji?” Ridho menoleh sekilas ke Oji. Tanpa menunggu jawaban, ia melayangkan
pukulan keras ke salah satu anak Brawijaya yang sudah mendekat.
“Gila!
Mereka milih berantem!” Ari mendengar salah seorang temannya berseru kaget. Ia
panik. Benar-benar panik. Tidak tahu cara untuk menyelamatkan kedua sahabatnya
dengan pasukan yang semakin berkurang jumlahnya, sementara pasukan lawan
sepertinya muncul tak ada habisnya.
“Lo,
kawal cewek itu sampe sekolah! Balik lagi secepatnya!” Ari menunjuk Sonia yang
berlari tanpa perlindungan. Tak urung, tangannya yang menunjuk Sonia mulai
bergetar. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Ridho dan Oji
mulai kewalahan melawan anak-anak Brawijaya.
“Brengsek!
Brengsek! Brengsek!” Ari akhirnya memilih maju, ikut berkelahi bersama kedua
sahabatnya.
“Jangan,
Ri!” teriak Andi.
“Mereka
bisa mati, bego!” bentak Ari.
“Tapi
lo juga bisa mati!”
“Persetan!”
Ari tak lagi mengindahkan teriakan Andi. Diiringi tatap kengerian dari
pasukannya, cowok itu berlari kencang menghampiri kedua sahabatnya yang masih
berkelahi mati-matian. Tidak ada seorang pun dari pasukannya yang memilih untuk
ikut terjun ke titik panas medan perang. Mereka tetap membentuk barikade untuk
melindungi sekolah, karena memang itu yang diperintahkan Ari kepada mereka
setiap kali akan terlibat tawuran.
“Inget,
apapun yang terjadi, sekolah tetep nomor satu. Jangan pernah peduliin gue biar
gue lagi sekarat. Kalo emang situasinya parah banget, kalian harus tetep
lindungi Airlangga, oke?”
Ini
adalah apa yang dimaksud dengan “situasi parah banget” oleh Ari. Jadi mereka
memilih untuk tetap memprioritaskan sekolah, tidak berani melanggar perintah
sang panglima perang.
“Ngapain
lo ke sini, Ri?” bentak Ridho.
“Lo
pikir lo bisa menang?” balas Ari membentak. Dengan kekuatan penuh, dipukulnya
seorang anak Brawijaya yang sudah akan mengayunkan tongkat kayu ke arahnya,
hingga anak itu mental ke belakang. Di tengah pertempuran, dari kerumunan
Brawijaya di sekelilingnya, tiba-tiba menyeruak seseorang yang daritadi
dicari-cari oleh Ari. Angga. Cowok itu melangkah ke arahnya dengan santai. Ari
berhenti bergerak. Matanya menatap tajam saat Angga berdiri tepat di depannya.
“Kalian
nggak akan menang,” kata Angga dengan senyum licik dan angkuh.
Ari
bergerak secepat kilat, menghadiahi bogem mentah ke wajah Angga.
“Brengsek!”
umpat Angga sambil meludahkan darah dari mulutnya. Matanya berkilat marah.
“Abisin dia. Juga temen-temennya.”
Mendadak
saja anak-anak Brawijaya bergerak bersamaan, menutup semua akses jalan.
Teman-teman Ari tidak bisa lagi melihat pertempuran itu. Kawanan Brawijaya
menenggelamkan pemimpin mereka bersama kedua sahabatnya.
Karena
sudah mendapat lampu hijau dari Angga, pasukan Brawijaya kini tak segan-segan
mengayunkan balok kayu di tangan mereka. Salah seorang berhasil mengenai bagian
belakang kepala Ridho, membuatnya ambruk ke tanah seketika dengan kepala
mengucurkan darah.
“Ridho!”
seru Ari. Pemandangan ini terlalu mengerikan baginya. Selama ini, tidak pernah
sekalipun antara dirinya, Oji, atau Ridho yang sampai terkapar di tanah saat
tawuran. Kejatuhan Ridho membuat Ari bergerak semakin membabi buta. Tak lama,
giliran Oji yang terjatuh di tanah saat sebatang balok kayu menghantam keras
dadanya. Ketika cowok itu terbaring di tanah, kaki-kaki di sekitarnya segera
menendanginya tanpa ampun.
“Stop!
Stop!” teriak Ari panik. Tentu saja tidak ada seorang pun yang bersedia
menuruti perintahnya. Kepanikan membuatnya lengah, hingga tidak menyadari saat
balok kayu yang lain mengincar kepalanya. Ari merasakan pukulan keras itu. Ia
terjatuh seketika. Kepalanya pening hebat. Ribuan kunang-kunang memenuhi pandangannya.
“Lo
bakal mati hari ini,” desis Angga yang membungkuk di sampingnya. “Dan lo harus
mati di tangan gue.” Ditendangnya keras-keras perut Ari.
Ari
hanya bisa mengerang di tanah. Sial! Apa
cuma sampe di sini? Nggak! Gue nggak boleh mati sekarang! tekadnya dalam
hati, mempertahankan kesadarannya. Dengan sisa kekuatan, ia menoleh ke arah
Ridho dan Oji yang babak belur, sudah tak sadarkan diri sejak tadi. Maafin gue, Dho, Ji.
“Anggada!
Stop! Lepasin mereka!” teriak sebuah suara menggelegar. Ari membuka matanya
yang berat saat mengenali suara itu. Semua gerakan terhenti mendengar teriakan
yang berasal dari Ata. Ari menatapnya tak percaya setelah matanya menemukan Ata
yang berdiri di tepi jalan, beberapa meter darinya. Bukan saja karena Ata
berani menerjunkan diri ke area tawuran, tapi juga karena gadis yang berada
dalam pelukan saudara kembarnya.
“Lepasin
mereka, ato sepupu lo mati.” Ata mengacungkan pisau ke leher Gita yang berada
dalam pelukannya.
Angga
menatap Ata terperangah. Tak percaya sepupunya ditempatkan dalam bahaya yang
begitu besar.
“Lo
udah janji,” desis Angga kepada Ari, tanpa melepaskan tatapan dari sepasang
mata Gita yang membeliak ketakutan.
“Gue...
nggak ada sangkut pautnya,” sahut Ari sambil berusaha duduk dengan susah payah,
kemudian terbatuk hebat.
“Lo
janji nggak akan melibatkan Gita!” bentak Angga, benar-benar marah. “Stop!”
teriaknya ngeri kepada Ata saat cowok itu semakin mendekatkan mata pisaunya ke
leher Gita.
“Lepasin
mereka. Tinggalin sekolah ini. Suruh pasukan lo mundur,” sahut Ata tenang, dengan
sengaja mengusapkan ujung pisaunya ke sebelah pipi Gita.
“Jangan.
Sakiti. Dia,” geram Angga penuh penekanan. “Gue mundur. Lepasin dia.”
“Nggak.
Temen-temen lo harus pergi dulu. Baru gue lepasin dia.”
Tidak
ada pilihan lain. Angga meminta teman-temannya pergi. Cowok itu tetap mematung
di tempat bersama Bram, yang juga menatap Ata dengan aura membunuh.
“Ata.
Lepasin Gita,” kata Ari serak. Masih sulit memercayai tindakan berani Ata.
Berani, namun gegabah. Saudara kembarnya itu tidak tahu bagaimana dampak dari
ulahnya ini.
“Woi!
Jangan pada bengong! Bawa mereka!” teriak Ata kepada pasukan Airlangga yang
berdiri diam. Mendengar otoritas itu, mereka segera bergerak, menggotong tubuh
Ridho dan Oji. Namun Ari menolak meninggalkan tempat.
“Gue
bisa jalan sendiri!” bentaknya kepada Andi yang sudah mengulurkan tangan. Andi
berdecak, jengkel dengan sifat Ari yang begitu keras kepala.
“Ata!
Lo bego! Lepasin dia!” sembur Ari setelah teman-temannya pergi. Kini jalanan
itu lengang. Hanya ada dirinya, Ata, Gita, Angga, dan Bram, bersama sisa-sisa
pertempuran.
Ata
melangkah mendekat, masih bersama Gita di pelukannya. Begitu tiba di hadapan
Angga, didorongnya tubuh gadis itu. Dengan sigap Angga menangkapnya, kemudian
memeriksa Gita secara cepat, memastikan cewek itu tidak terluka. Namun ada
setetes darah mengalir dari pipi kanan Gita. Bekas luka dari pisau Ata.
“Lo
terluka,” kata Angga dengan suara bergetar. Tangannya bergerak lembut mengusap
darah dari pipi Gita. Sepupunya itu meringis kesakitan. Diserahkannya Gita
kepada Bram. “Bawa dia.”
Bram
benar-benar panik melihat Gita yang pucat dan terluka. Setelah melayangkan
pandangan dendam kesumat ke arah Ata, ia pergi membawa cewek itu.
“Lo
lukain dia,” kata Angga geram. Bukan kepada Ata yang jelas-jelas sudah menyeret
Gita dalam masalah. Kalimat itu ia tujukan kepada Ari, oknum yang sama sekali
tidak ada sangkut pautnya. “Lo tau apa artinya itu,” tambahnya.
“Nggak,”
bisik Ari, tidak mampu berteriak untuk membantah. “Nggak bisa!”
“Tari
sekarang sah milik gue.” Angga mengucapkan satu kalimat yang paling ditakutkan
oleh Ari. “Lo melanggar perjanjian itu. Putusin dia segera,”
“Nggak
bisa! Bukan gue yang melibatkan Gita! Lo liat sendiri!”
“Gue nggak peduli elo ato sodara kembar lo
yang ngelakuin itu. Yang jelas Gita terluka di tangan kalian!” bentak Angga
tegas. Ia dan Ata bertatapan sejenak dengan ekspresi tak terbaca.
“Pergi,”
desis Ata kemudian.
Angga
membalikkan badan. Sebuah senyuman terkembang di bibirnya.
***
Ari
membeku di tempat dengan mulut menganga. Kalau saja dia sedang dalam posisi
berdiri, bisa dipastikan kakinya akan goyah. Namun kini dia sudah dalam keadaan
terduduk, tidak bisa jatuh lebih rendah lagi. Cowok itu menatap aspal di
bawahnya.
“Gue
nggak percaya lo lakuin itu,” bisiknya lirih kepada Ata.
“Lakuin
apa?” tanya Ata, terdengar kebingungan di telinga Ari.
Ari
mendongak. Tatapannya kosong. Ia ingin marah. Ia ingin menghajar Ata. Ia ingin
mencaci saudara kembarnya itu. Tapi tidak bisa. Tubuhnya serasa remuk. Emosinya
terkuras habis.
Ata
menghela napas. “Gue cuma mau bantuin elo, Ri. Gue nggak mau sodara kembar gue
mati konyol di tangan seorang pengecut kayak Angga. Lagian apa lo nggak liat?
Kedua sahabat lo udah sekarat gitu.”
“Gue
pasti punya cara,” geram Ari, mulai menemukan kekuatannya kembali. Ia berdiri
dengan goyah. Ditepisnya tangan Ata yang terulur. “Gue nggak butuh bantuan
elo.”
“Oh,
jadi elo punya cara? Tapi kok gue liatnya elo udah pasrah gitu ya diinjek-injek
Angga?” kata Ata tanpa bisa menyembunyikan sarkasme dalam nadanya. “Jadi cara
apa yang masih ada di kepala lo yang udah kena pukul gitu?”
“Pasti.
Masih. Ada. Jalan. Pasti.” Ari mati-matian menahan emosi yang membuncah di
dadanya.
“Jelas
aja masih,” tukas Ata. “Gita. Dia satu-satunya jalan.”
“Apa
lo nggak tau apa yang udah lo lakuin?!” bentak Ari, tidak bisa membendung
amarahnya lebih lama. Nama Gita menjadi topik sensitif baginya. Didorongnya
bahu Ata dengan segenap tenaga yang masih tersisa. “Brengsek lo, Ta!” Cowok itu
terengah-engah. Dadanya yang juga sempat terkena pukulan terasa sakit. Ia
membungkuk dengan satu tangan bertumpu pada lutut, sementara tangan yang lain
menekan dadanya.
Ata
menatapnya dengan kening berkerut. “Emangnya apa yang udah gue lakuin?”
“Lo
nggak denger kata-kata Angga tadi?”
“Gue
denger. Tari sekarang sah milik dia. Apa maksudnya itu? Gue nggak ngerti.”
Ari
tidak berkesempatan untuk menjelaskan, karena tiba-tiba tubuhnya ambruk, yang
untungnya segera ditangkap oleh Ata.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar