Minggu, 19 April 2015

Jingga untuk Matahari #fanfiction-18

“Ta?” panggil Ari, menyentakkan Ata dari lamunannya tentang Aira. “Lo kenapa, sih?” tanya Ari bingung.
Ata buru-buru menggeleng. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Tenggorokannya kering. Berbagai macam emosi berkecamuk dalam benaknya. “Balik gih,” katanya pelan, nyaris tak terdengar.
“Tunggu!” Ari mencekal lengan Ata saat saudara kembarnya itu membalikkan badan. Ditariknya lengan itu hingga Ata berputar menghadap ke arahnya lagi. “Bilang dulu sama gue. Lo ada urusan apa sama Angga?”
Urusan hidup dan mati, Ri. Lo nggak akan ngerti. Ata menelan ludah susah payah tanpa menjawab pertanyaan Ari.
Kepada seseorang yang telah ia lukai begitu dalam. Kepada hati yang telah ia permainkan begitu kejam. Kepada gadis yang telah ia hantarkan ke ambang kematian. Kalau bisa, Ata ingin berlutut memohon ampun kepada Aira. Namun kesempatan itu telah lama hilang, bahkan nyaris tidak pernah ada sama sekali. Aira terlanjur pergi. Tak akan bisa kembali sekeras apapun Ata mencari dan menanti. Dalam setiap doa yang ia panjatkan, selalu terselip teriakan keras menghakimi diri. Karena jauh di dalam hati, Ata menyadari, ada sebuah rasa yang tak terpahami. Antara dia, dengan gadis yang kini telah terbaring dipeluk bumi.
Tak ada seorang pun yang tahu. Ata lebih dari menyesal. Tapi tetap, permohonan maaf darinya tak akan pernah terucap. Selamanya hanya akan menggantung di batas dimensi dunia mereka tanpa pernah tersampaikan.
Kini Ata hanya menemukan satu jalan, yang kemudian dia tempuh demi meringankan rasa bersalahnya. Untuk jiwa yang masih tertinggal bersama kepingan hati, Ata ingin menebus dosa masa lalunya. Untuk Angga, hati yang tanpa sengaja ikut ia hancurkan atas kematian Aira, Ata ingin menemukan gadis pengganti bagi cowok itu, sekadar sebagai penutup luka dan pengisi kekosongan. Dan entah ini ironi atau tragedi, gadis yang ia cari selama ini tiba-tiba muncul, hadir mendampingi saudara kembarnya.
Tari memenuhi segala kriteria yang ia ajukan sebagai gadis pengganti. Ata menemukan sisi “Aira” dalam diri Tari. Manis, lucu, galak, enerjik, pemberontak, dan yang paling penting, ternyata Angga menyukai gadis itu! Makin lengkaplah persyaratan yang terpenuhi. Jadi Tari adalah kunci utama dari segala rencananya. Kalau memang hanya ini satu-satunya cara, Ata tak akan segan-segan meloloskan gadis itu dari genggaman Ari, kemudian menyerahkannya kepada Angga. Satu beban terangkat, hutang masa lalu terbayar sudah!
Ketika akhirnya Ari kehilangan Tari, Ata yakin rencana-rencananya yang lain otomatis akan berjalan sesuai harapan.
“Nah, kan. Bengong lagi,” tegur Ari. Diguncangnya lengan Ata. “Ada masalah apa sih, Ta? Kok lo aneh banget gini?”
Tatapan Ata mulai terfokus begitu ia menemukan kembali kendali dalam dirinya. Kemudian dilemparnya tatapan itu ke kedua mata Ari, yang sekelam matanya. “Lo kenal sama Aira?” tanya Ata lirih, menyerupai bisikan. Diam-diam ia dicekam ketakutan, karena kalau ternyata Ari masih mengingat Aira, itu artinya dia sedang melakukan pengakuan dosa sekarang. Tak bisa menghindar lagi.
Kening Ari berkerut mendengar nama itu. “Aira siapa? Tadi nanyain Angga. Kok jadi Aira?”
“Angga. Aira. Lo inget sesuatu tentang nama-nama itu? Apapun? Kenalan lo dulu? Atau siapapun yang pernah lo temui dan kebetulan namanya Aira?” kejar Ata. Tanpa sadar intensitas kecemasannya meningkat, nyaris membuat suaranya tercekik.
Kerutan di kening Ari kian rapat, tanda cowok itu berpikir keras. Kalau Ata begitu ingin ia mengingat sesuatu tentang seseorang bernama Aira, ini pasti hal yang penting, dan mungkin bisa memberi sedikit petunjuk atas keanehan saudara kembarnya itu. Tapi akhirnya Ari menggeleng, menyerah. “Nggak. Gue nggak ngerasa pernah kenal sama yang namanya Aira.”
Ata mendesah. Sarat kekecewaan, namun juga kelegaan. Wajar kalau Ari tidak ingat. Kejadian itu hampir 3 tahun yang lalu. Dan Aira hadir di antara berjuta gadis lain yang berusaha merebut perhatian Ari. Hanya satu nama, dan beberapa kali pertemuan yang bisa dihitung dengan jari, tentu tidak akan melekatkan nama Aira begitu saja dalam memori Ari.
“Emang kenapa?” tanya Ari lagi, mulai putus asa bertanya kepada Ata.
“Nggak. Nggak pa-pa. Udah sono, lo balik. Udah malem.”
Ari menghela napas, gagal membujuk Ata untuk bicara. Tanpa bertanya-tanya lagi, ia memutuskan pergi dari situ.

***

Motor itu memasuki garasi yang gelap, sehingga ketika Ari mematikan mesinnya dan lampu depan motor padam, ia nyaris tak bisa melihat apa-apa. Setelah mengunci pintu-pintu di belakangnya, Ari memasuki rumahnya yang juga gelap gulita, menandakan tidak ada seorang pun di dalamnya. Beberapa hari terakhir ini ayahnya tidak terlihat. Dan Ari merasa bersyukur karenanya. Sambil menghidupkan lampu di setiap ruangan, ia merogoh ponsel dari saku celana. Jari-jarinya dengan cepat menekan nomor ponsel Tari. Panggilannya dijawab pada dering ketiga.
“Ya, Kak?” Suara Tari yang terdengar lebih tenang berhasil menghangatkan hatinya.
“Lagi apa?” tanya Ari lembut. “Udah mandi, kan? Makan malem?”
“Barusan mandi. Males makan, nggak laper.”
Ari mendesah jengkel. “Lo harus makan, Tar.”
“Tapi gue nggak laper, Kaaak.”
“Bandel,” dengus Ari. Ia telah tiba di kamarnya. Ditekannya sakelar di sebelah pintu sehingga lampu menyala terang. Ia menjepit ponsel di antara telinga dan bahu ketika kedua tangannya menutup jendela dan gorden yang masih terbuka. “Sakit baru tau rasa lo. Pokoknya kalo lo nggak mau makan, gue ke rumah lo sekarang. Gue suapin sampe abis satu piring, dan gue pastiin itu atas izin dari Nyokap lo.” Begitu jendela dan gorden yang menghiasi bingkainya tertutup rapat, cowok itu merebahkan diri di tempat tidur.
Sementara itu di seberang, Tari meringis. Ancaman dari Ari terdengar begitu manis. “Iya, deh. Gue makan abis ini.”
“Janji?”
“Janji.”
“Kalo sampe lo ketauan boong?”
“Gue nggak boong.” Tari mendelik gemas.
“Tapi firasat gue kok nggak enak ya,” pancing Ari.
Akhirnya Tari menyerah. Gadis itu beranjak dari tempat tidurnya, kemudian melangkah ke dapur. “Iyaa, gue makan,” gerutunya ke ponsel.
Ari tersenyum lebar. “Bagus. Gue sebenernya pingin ke situ nemenin makan, tapi udah malem. Gue temenin di telepon aja, deh. Jadi gue tau lo beneran makan nasi apa nggak.”
Lagi-lagi Tari meringis mendengar kata-kata Ari. Meski sarat akan ancaman, namun memang seperti itulah bentuk sayang Ari kepadanya. Sejenak ia melupakan permasalahannya dengan Ata. Ia menyendok nasi sesedikit mungkin, berniat mengunyahnya pelan-pelan sambil mengobrol sehingga Ari tidak menyadari ia makan mungkin hanya dua-tiga sendok. Karena dirinya benar-benar tidak lapar saat ini.
“Udah ambil nasi?”
“Udah.” Tari menatap ke piringnya sambil tersenyum puas.
“Tambah lagi. Firasat gue bilang kalo di piring lo cuma ada dua sendok nasi.”
Senyuman Tari memudar. Gadis itu kini menganga lebar. Gila. Pakai ilmu batin apa si Ari? “Kok kayaknya firasat lo kuat banget ya?” sindir Tari kecut, merasa tak bisa lolos sedikitpun dari Ari meski mereka sedang tidak bersama.
Ari terkekeh lembut. “Kalo urusannya sama elo sih gampang, Tar. Buruan tambah nasinya, trus makan.”
Mau tak mau Tari menurut. Ia menambah satu sendok lagi ke piringnya, kemudian duduk di salah satu kursi makan. Didengarnya Ari mendesah. “Cuma nambah satu sendok kan lo?”
Bener-bener ni cowok... Tari meringis. “Yang penting nambah kan? Kok lo tau banget gitu, sih? Ato jangan-jangan lo ada di sini ya sekarang lagi ngeliatin gue?” Gadis itu celingukan sesaat memindai seluruh dapurnya. “Ngumpet di mana lo? Kalo ngumpet di belakang lemari dapur ati-ati aja. Suka ada cicak di situ.”
Ari meledak dalam tawa. Sementara wajah Tari perlahan memerah mengingat “serangan cicak” yang pernah dilancarkan Ari di sekolah untuk mengganggunya. Bego, ngapain sih gue nyebut-nyebut cicak sialan itu?
“Gue nggak takut sama cicak,” kata Ari di sela tawanya. “Paling jijik dikit. Yang jelas sih nggak sampai pingsan.”
Wajah Tari tambah memerah begitu kejadian memalukan itu terputar dalam benaknya. Untung saja ia tidak berhadapan langsung dengan Ari saat ini. Bisa-bisa cowok itu menggodanya tanpa henti kalau melihat wajahnya yang semerah kepiting rebus. Ia buru-buru menyuap sesendok penuh nasi dan lauk ke mulutnya. Pasrah dengan godaan Ari.
Setelah reda dari tawa, Ari rupanya belum puas. Kesempatan untuk menggoda ceweknya selalu menjadi saat yang ia tunggu-tunggu. “Nggak. Gue nggak lagi di situ. Ato lo mau gue ke situ? Gue berangkat sekarang nih kalo lo emang minta. Dan... gue bisa bantu lo usir cicak-cicak di balik lemari dapur lo.”
“Nggak. Nggak perlu,” ketus Tari, pula-pula galak. Disuapnya lagi satu sendok besar nasi. Tau-tau nasi di piringnya sudah habis. Gagal sudah rencana untuk mengecoh Ari.
“Udah selesai makannya?” tanya Ari terkejut begitu mendengar gemericik air wastafel saat Tari mencuci piringnya. Cewek itu meletakkan ponsel di konter dekat wastafel dalam keadaan speaker aktif.
Tari baru menjawab setelah meletakkan kembali piring dan sendok yang telah bersih di rak. “Udah. Dilarang protes! Gue udah makan. Udah kenyang. Lo nggak bisa maksa gue lagi.”
Ari berdecak. “Ya deh. Sekarang istirahat.”
Bossy banget,” dengus Tari pelan.
“Gue denger itu, Sayang,” sahut Ari dengan nada manis dibuat-buat.
Tari melangkah ke kamarnya dalam diam. “Jadi?” tanyanya begitu duduk di tempat tidur.
“Apanya?” Ari balik bertanya bingung.
“Ada lagi yang mau lo omongin?”
Ari terdiam sejenak. “Mau cerita apa sebenernya yang bikin elo nangis tadi sore?” tanyanya penuh harap.
Tari sadar cepat atau lambat Ari akan bertanya. Ia menyesali reaksi berlebihannya tadi sore. Kalau saja ia bisa memutar balik waktu, ia tidak ingin menangis di hadapan Ari. Ia tahu ia telah membuat cowok itu cemas. Dan Ari terkenal tidak suka berkompromi dengan siapapun yang membuatnya tidak tenang.
“Tar?”
“Gimana kalo lo aja yang cerita?” sahut Tari. “Kayaknya lo masih utang penjelasan deh ke gue. Soal kepindahan Ata.”
Ari menghela napas. “Kenapa sih tiba-tiba lo pingin tau banget?”
“Kenapa sih lo nggak mau ngasih tau?” balas Tari.
Karena tak mendapat jawaban yang memuaskan, Ari mengubah redaksi pertanyaannya. “Tar, jujur sama gue. Apa bener...” Cowok itu terdiam sejenak, mencari kata-kata yang pas, “Tadi sore lo nangis gara-gara Ata?”
Pertanyaan itu membuat Tari terkesiap. “Kok lo tiba-tiba nanya gitu?”
“Stop, stop,” potong Ari frustasi. “Stop jawab pertanyaan gue dengan pertanyaan balik. Gue mau jawaban yang pake titik, bukan pake tanda tanya lagi, oke? Jangan bikin gue jengkel, Tar.”
Tari menggigit bibir bawahnya. “Ng... kita bahas besok aja ya, Kak. Gue ngantuk.”
Ari memutuskan untuk mengalah. Ia menghembuskan napas perlahan, menahan kesabarannya. “Oke. Tidur gih. Malem, Tar.”
“Malem, Kak.” Tari memutuskan sambungan terlebih dulu. Diingatkan lagi tentang masalah Ata membuatnya gelisah. Ia bangkit menuju meja belajar untuk menyiapkan jadwal pelajaran besok, dan baru teringat kalau ada PR Matematika yang belum dikerjakannya.
“Mampus! Kelupaan!” Tari menepuk jidat.

***

Pagi itu begitu tenang. Tidak ada sesuatu yang tidak normal. Segalanya berjalan seperti biasa sampai motor yang ditumpangi Ari dan Tari berhenti di parkiran sekolah. Keduanya berjalan bersama menyusuri koridor utama tanpa kecurigaan sama sekali, tidak menyadari adanya sepasang mata yang mengawasi. Sepasang mata yang bahkan sudah tertancap lurus-lurus ke arah mereka sejak motor Ari memasuki gerbang sekolah. Tapi si pemilik mata setajam elang itu berada jauh dari keberadaan keduanya, berdiri bersandar pada salah satu pilar lantai atas gedung kelas 12, hanya mengamati dalam diam.
Ata menarik napas tajam saat melihat Ari mengulurkan tangan untuk mengusap kepala Tari sebelum keduanya berpisah. Hatinya disesaki perasaan aneh melihat bagaimana luwesnya Ari menyentuh Tari, bagaimana nyamannya gadis itu menerima sentuhan Ari, juga bagaimana keduanya saling bertatapan dan tersenyum. Semuanya terlihat begitu... normal. Begitu biasa. Begitu wajar. Seolah kedua insan itu telah saling mengenal dan saling menerima selama bertahun-tahun. Kemudian Ata dihadapkan pada kenyataan yang sudah jelas divisualkan. Ari mencintai gadis itu!
Tari menaiki tangga menuju kelasnya, sementara Ari berbelok ke lapangan, menghampiri teman-temannya. Kini tatapan tajam Ata hinggap di kedua sahabat karib Ari. Ridho dan Oji. Pion-pion lain dalam permainnya. Dan hari inilah yang telah dipilihnya menjadi hari untuk membentangkan papan catur, sehingga ia bisa mulai menggerakkan pion-pion miliknya sesuai keinginan.
Sementara itu Ari yang biasanya selalu waspada, kini sama sekali tidak mengira adanya bahaya yang mendekat, yang ironisnya, berasal dari saudara kembarnya sendiri. Bahaya yang mengincar dia, ceweknya, serta dua sobat karibnya. Bahaya yang menjadi mata pisau untuk tali hubungannya dengan Tari, siap memotongnya. Cowok itu terlihat santai setelah memastikan Tari baik-baik saja pagi ini. Ia bergabung bersama Ridho, Oji, dan beberapa teman sekelasnya yang lain yang sedang duduk-duduk di bawah pohon di tepi lapangan.
“Nanti jadi futsal, kan?” tanya Ridho.
Ari mengangguk. “Jadi, dong. Akhir pekan gini.”
“Mana sodara kembar lo?” tanya Eki. “Nggak berangkat bareng?”
“Nggak. Gue bareng Tari.”
“Duileee, cewek mulu yang dipentingin. Sodara serahim pun dilupain,” cibir Eki lagi.
“Ya mending bareng cewek, lah,” sergah Oji. “Enak gitu kan boncengan sama cewek, apalagi pacar sendiri. Biar orang-orang yang ngeliat pada ngiri. Kalo boncengan sama yang sejenis sih nggak ada untungnya lagi. Nggak bisa dipeluk, nggak ada manis-manisnya.”
Ari tertawa, diikuti teman-temannya yang lain. Dirangkulnya bahu Oji di sebelahnya. “Bener tuh. Elo kelamaan jomblo kali, Ki. Ketauan nggak pernah boncengan sama cewek.”
“Bukan jomblo, Ri,” kata Eki membela diri. “Single gitu looh. Single! Gue kan udah kelas 12, musti konsen ujian, rajin belajar, nyari perguruan tinggi, nggak bisa mikir cewek dulu.”
“Ngeles mulu looooo!!” seru teman-temannya serentak, dan beberapa tangan langsung melayang untuk menjitak Eki. Mereka tahu persis bagaimana teman mereka itu kini tengah naksir mati-matian seorang adik kelas, anak kelas 11. Jadi kalau Eki bilang dia sedang tidak bisa memikirkan tentang pacar dan segala yang berhubungan dengan itu, bisa dipastikan tu cowok ngibul.
Eki jadi terkekeh-kekeh sambil berusaha melindungi kepalanya. “Ampuun, ampuun. Ampunilah cowok yang masih ingin bertemu dengan jodohnya ini. Jangan bunuh gue dulu. Ntar jodoh gue nangis.”
Kalimatnya itu malah membuat teman-temannya makin geli dan semakin bernafsu untuk memukul kepalanya. Beberapa dari mereka tak tahan untuk melontarkan berbagai celetukan.
“Justru kasian kalo sampe tu cewek ketemu sama lo.”
“Iya, bisa nangis tujuh hari tujuh malem dia begitu liat jodohnya ternyata Eki si Sableng.”
“Udah mimpi sepanjang hidup bisa berjodoh sama pangeran, eeh ketemunya malah sama pangeran kodok!”
“Kalo gue jadi ceweknya, mending mati aja kali ya.”
“Jadi lo nggak usah ketemu aja sama dia, Ki. Kasian dia.”
“Bener tuh! Bener!”
Ari dan Ridho, dua orang yang tidak ikut melemparkan hinaan untuk Eki, hanya tertawa. “Sadis emang mereka,” kata Ari pelan, yang diberi anggukan setuju oleh Ridho.
Keadaan berbalik sekarang. Eki yang daritadi jadi sasaran ejekan teman-temannya, kini berdiri sambil mengacungkan tinjunya, pura-pura marah dan tersinggung berat. “Gue nggak terima harga diri gue hancur terinjak-injak secara tidak hormat di kaki nista kalian. Awas ya!”
“Kabuuuuuur!!!” Segerombolan cowok itu lari tunggang langgang menghindar dari Eki, yang segera mengejar mereka. Ari dan Ridho geleng-geleng kepala, masih sambil tertawa geli, kemudian menyusul teman-temannya yang berlari menuju kelas.
Benar-benar tidak ada yang menyadari bahwa ketenangan yang berlangsung saat ini adalah jenis ketenangan sebelum badai.

***

Waktu hampir menunjukkan pukul 3 sore. Ari dan teman-teman cowok sekelasnya termasuk Ata masih berdiam di ruang kelas. Sudah menjadi kebiasaan, mereka menunggu pukul setengah 4 sebelum akhirnya berangkat ke tempat futsal. Namun sepertinya rencana futsal itu harus ditunda dulu. Mendadak, Andi, salah seorang adik kelas yang dinobatkan menjadi jendral tertinggi angkatan kelas 11 dalam pasukan perang Airlangga, berhenti di ambang pintu kelas Ari dengan terengah-engah.
“Brawijaya!” serunya.
Tanpa butuh penjelasan apa-apa, tubuh Ari mencelat dari kursi. Diikuti Andi dan semua teman sekelasnya, cowok itu melesat keluar kelas, berlari menyusuri koridor.
“Kasih tau mereka!” tunjuk Ari pada kelas-kelas dengan pintu terbuka yang masih memuat beberapa orang penghuni. Cowok itu tidak berhenti, sementara beberapa temannya menyebar, menghampiri kelas lain untuk mengumpulkan pasukan.
“Kita pasti kekurangan orang, Bos,” kata Oji yang berlari di sampingnya. Ia mengikuti langkah Ari yang melompati setiap dua anak tangga sekaligus. Ari mendesis. Ia tahu Oji benar. Dalam waktu sesore ini, pasti banyak dari anak buahnya yang sudah pulang.
“Sialan emang si Angga! Apa sih rencana dia!” geramnya. Dalam hati ia sedikit bersyukur telah mengantar Tari pulang tadi, sehingga cewek itu jauh dari bahaya.
“Ri, ada apa?” Tiba-tiba Ata berlari menjejeri. Wajahnya berkerut tidak mengerti.
Ari otomatis menghentikan langkah, sehingga teman-temannya juga ikut berhenti. Ari sejenak lupa Ata bersama mereka. Ata yang anak baru, yang tidak tahu apa-apa soal tawuran. Ia mencengkeram bahu Ata. “Anak SMA Brawijaya cari ribut. Udah biasa.”
“Cari ribut? Mm, maksudnya, kita mau tawuran?”
Well, ya. Selamat datang di Jakarta.”
Ata menatap berkeliling. Kini semuanya sudah berkumpul di lapangan, menunggu instruksi selanjutnya dari sang panglima perang. Hanya ada sekitar belasan sampai dua puluhan anak di sini. “Nggak mungkin dengan pasukan sekecil ini!” seru Ata, meneriakkan keraguan yang bergema dalam benak setiap orang.
“Trus apa?” sentak Ari tidak sabar. “Lo mau kami mundur? Biarin mereka ngancurin sekolah kita dan nempatin anak-anak lain dalam bahaya?”
“Ya, lebih baik gitu,” sahut Ata tegas. “Daripada kita keluar dan nggak selamet. Nggak ada gunanya juga. Mending kita tunggu di dalem.”
Ari mendesis. Ia ketatkan cengkeramannya pada bahu Ata sambil merapatkan tubuhnya. Kemudian ia berbisik tajam di sebelah telinga Ata. “Bukan elo pemimpinnya, bro. Lo nggak tau apa-apa.” Kemudian ia melanjutkan dengan suara lebih keras dan demonstratif, dengan sangat jelas menyatakan bahwa kalimat ini bukan hanya ditujukan kepada Ata, melainkan kepada pasukan di sekelilingnya. “Dan anak SMA Airlangga nggak pernah ngumpet. Kita bukan pengecut! Inget itu.”
Berpasang-pasang mata hanya menyaksikan dalam diam. Beberapa anak yang sudah terlanjur terbakar rasa nasionalisme, yang ingin mempertahankan tanah miliknya sampai titik darah penghabisan, setuju dengan Ari. Sementara beberapa yang lainnya setuju dengan Ata, meski mereka tidak mengungkapkannya terang-terangan. Bagaimanapun, memang Ari pemimpinnya di sini.
Ari sejenak menatap Ata sebelum melepaskan cengkeramannya. “Kalo lo nggak mau ikut, tunggu aja di sini. Bantu evakuasi anak-anak yang masih keliaran. Kumpulin di ruang kelas yang jauh dari gerbang.”
Setelah itu, ia berteriak kepada pasukannya untuk segera menuju medan perang sebelum rombongan musuh tiba di depan sekolah. Ata yang masih berdiri diam di tempatnya, menatap Ari dengan sepasang mata yang perlahan mengelam. Ujung-ujung bibirnya tertarik ke atas, tidak bisa menahan seringaian. Kemudian ditinggalkannya tempat itu, melangkah ke salah satu ruang kelas di area kelas 10.

***

Suasana kacau balau. Ari memaksa otaknya berpikir keras bagaimana menyiasati keadaan ini, di mana pasukan yang berlari di belakangnya sama sekali tidak memadai untuk menyeimbangkan posisi. Ia memutuskan untuk membentuk formasi melingkar di beberapa titik, menghindari adanya serangan dari belakang punggung. Ia berdiri diapit Ridho dan Oji di kanan kirinya. Mendadak matanya menangkap sesosok gadis yang berdiri bingung di balik sebatang pohon, beberapa meter darinya. Ari menyipitkan mata.
“Sialan. Itu anteknya Vero,” desis Ari yang mengenali Sonia, salah satu personil The Scissors yang sekarang tengah bersembunyi ketakutan.
“Biarin aja,” sahut Oji tak acuh.
“Nggak bisa. Lo berdua, seret dia ke sekolah. Cepet.”
Ridho dan Oji melesat maju ketika kini cewek tadi jadi sasaran anak-anak Brawijaya. Keduanya berusaha saling melindungi karena tidak ada pasukan yang bisa mereka rekrut sebagai bodyguard. Ketika tiba di tempat Sonia, Ridho tanpa pikir panjang meraih tangan cewek itu.
“Ngapain sih lo berdiri di sini? Lari!” bentaknya marah.
Mendadak wajah cewek itu memucat sambil melihat ke belakang punggung Ridho. Baik Ridho maupun Oji tidak sempat menyadari bahwa dari tikungan di dekat mereka berdiri, muncul sekitar sepuluh anak Brawijaya, dan kebanyakan dari mereka membawa tongkat kayu.
Ari yang menoleh sekilas untuk melihat tugas kedua temannya, kontan terkesiap kaget. “Lari, Dho! Oji! Lari!!!” serunya keras dan panik. Terlambat. Pasukan Brawijaya yang daritadi bersembunyi di balik tikungan itu menyerbu ke arah Ridho dan Oji.
“Brengsek!” umpat Ridho, sadar bahwa tidak ada kesempatan baginya untuk lari. Karena hanya ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Sonia, ia lepaskan cekalannya dari tangan cewek itu, kemudian mendorongnya pergi. “Lari! Lari! Lari! Balik ke sekolah! Lewat jalur yang tadi gue buka! Jangan nengok-nengok lagi!!” teriaknya tak mau dibantah.
Teriakan Ridho bagai cambuk bagi Sonia. Dengan segenap upaya dan kenekatan, ia berlari, mengikuti jalur yang tadi dilewati Ridho dan Oji sambil melindungi kepalanya agar tidak menjadi korban batu nyasar.
“Siap, Ji?” Ridho menoleh sekilas ke Oji. Tanpa menunggu jawaban, ia melayangkan pukulan keras ke salah satu anak Brawijaya yang sudah mendekat.
“Gila! Mereka milih berantem!” Ari mendengar salah seorang temannya berseru kaget. Ia panik. Benar-benar panik. Tidak tahu cara untuk menyelamatkan kedua sahabatnya dengan pasukan yang semakin berkurang jumlahnya, sementara pasukan lawan sepertinya muncul tak ada habisnya.
“Lo, kawal cewek itu sampe sekolah! Balik lagi secepatnya!” Ari menunjuk Sonia yang berlari tanpa perlindungan. Tak urung, tangannya yang menunjuk Sonia mulai bergetar. Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Ridho dan Oji mulai kewalahan melawan anak-anak Brawijaya.
“Brengsek! Brengsek! Brengsek!” Ari akhirnya memilih maju, ikut berkelahi bersama kedua sahabatnya.
“Jangan, Ri!” teriak Andi.
“Mereka bisa mati, bego!” bentak Ari.
“Tapi lo juga bisa mati!”
“Persetan!” Ari tak lagi mengindahkan teriakan Andi. Diiringi tatap kengerian dari pasukannya, cowok itu berlari kencang menghampiri kedua sahabatnya yang masih berkelahi mati-matian. Tidak ada seorang pun dari pasukannya yang memilih untuk ikut terjun ke titik panas medan perang. Mereka tetap membentuk barikade untuk melindungi sekolah, karena memang itu yang diperintahkan Ari kepada mereka setiap kali akan terlibat tawuran.
“Inget, apapun yang terjadi, sekolah tetep nomor satu. Jangan pernah peduliin gue biar gue lagi sekarat. Kalo emang situasinya parah banget, kalian harus tetep lindungi Airlangga, oke?”
Ini adalah apa yang dimaksud dengan “situasi parah banget” oleh Ari. Jadi mereka memilih untuk tetap memprioritaskan sekolah, tidak berani melanggar perintah sang panglima perang.
“Ngapain lo ke sini, Ri?” bentak Ridho.
“Lo pikir lo bisa menang?” balas Ari membentak. Dengan kekuatan penuh, dipukulnya seorang anak Brawijaya yang sudah akan mengayunkan tongkat kayu ke arahnya, hingga anak itu mental ke belakang. Di tengah pertempuran, dari kerumunan Brawijaya di sekelilingnya, tiba-tiba menyeruak seseorang yang daritadi dicari-cari oleh Ari. Angga. Cowok itu melangkah ke arahnya dengan santai. Ari berhenti bergerak. Matanya menatap tajam saat Angga berdiri tepat di depannya.
“Kalian nggak akan menang,” kata Angga dengan senyum licik dan angkuh.
Ari bergerak secepat kilat, menghadiahi bogem mentah ke wajah Angga.
“Brengsek!” umpat Angga sambil meludahkan darah dari mulutnya. Matanya berkilat marah. “Abisin dia. Juga temen-temennya.”
Mendadak saja anak-anak Brawijaya bergerak bersamaan, menutup semua akses jalan. Teman-teman Ari tidak bisa lagi melihat pertempuran itu. Kawanan Brawijaya menenggelamkan pemimpin mereka bersama kedua sahabatnya.
Karena sudah mendapat lampu hijau dari Angga, pasukan Brawijaya kini tak segan-segan mengayunkan balok kayu di tangan mereka. Salah seorang berhasil mengenai bagian belakang kepala Ridho, membuatnya ambruk ke tanah seketika dengan kepala mengucurkan darah.
“Ridho!” seru Ari. Pemandangan ini terlalu mengerikan baginya. Selama ini, tidak pernah sekalipun antara dirinya, Oji, atau Ridho yang sampai terkapar di tanah saat tawuran. Kejatuhan Ridho membuat Ari bergerak semakin membabi buta. Tak lama, giliran Oji yang terjatuh di tanah saat sebatang balok kayu menghantam keras dadanya. Ketika cowok itu terbaring di tanah, kaki-kaki di sekitarnya segera menendanginya tanpa ampun.
“Stop! Stop!” teriak Ari panik. Tentu saja tidak ada seorang pun yang bersedia menuruti perintahnya. Kepanikan membuatnya lengah, hingga tidak menyadari saat balok kayu yang lain mengincar kepalanya. Ari merasakan pukulan keras itu. Ia terjatuh seketika. Kepalanya pening hebat. Ribuan kunang-kunang memenuhi pandangannya.
“Lo bakal mati hari ini,” desis Angga yang membungkuk di sampingnya. “Dan lo harus mati di tangan gue.” Ditendangnya keras-keras perut Ari.
Ari hanya bisa mengerang di tanah. Sial! Apa cuma sampe di sini? Nggak! Gue nggak boleh mati sekarang! tekadnya dalam hati, mempertahankan kesadarannya. Dengan sisa kekuatan, ia menoleh ke arah Ridho dan Oji yang babak belur, sudah tak sadarkan diri sejak tadi. Maafin gue, Dho, Ji.
“Anggada! Stop! Lepasin mereka!” teriak sebuah suara menggelegar. Ari membuka matanya yang berat saat mengenali suara itu. Semua gerakan terhenti mendengar teriakan yang berasal dari Ata. Ari menatapnya tak percaya setelah matanya menemukan Ata yang berdiri di tepi jalan, beberapa meter darinya. Bukan saja karena Ata berani menerjunkan diri ke area tawuran, tapi juga karena gadis yang berada dalam pelukan saudara kembarnya.
“Lepasin mereka, ato sepupu lo mati.” Ata mengacungkan pisau ke leher Gita yang berada dalam pelukannya.
Angga menatap Ata terperangah. Tak percaya sepupunya ditempatkan dalam bahaya yang begitu besar.
“Lo udah janji,” desis Angga kepada Ari, tanpa melepaskan tatapan dari sepasang mata Gita yang membeliak ketakutan.
“Gue... nggak ada sangkut pautnya,” sahut Ari sambil berusaha duduk dengan susah payah, kemudian terbatuk hebat.
“Lo janji nggak akan melibatkan Gita!” bentak Angga, benar-benar marah. “Stop!” teriaknya ngeri kepada Ata saat cowok itu semakin mendekatkan mata pisaunya ke leher Gita.
“Lepasin mereka. Tinggalin sekolah ini. Suruh pasukan lo mundur,” sahut Ata tenang, dengan sengaja mengusapkan ujung pisaunya ke sebelah pipi Gita.
“Jangan. Sakiti. Dia,” geram Angga penuh penekanan. “Gue mundur. Lepasin dia.”
“Nggak. Temen-temen lo harus pergi dulu. Baru gue lepasin dia.”
Tidak ada pilihan lain. Angga meminta teman-temannya pergi. Cowok itu tetap mematung di tempat bersama Bram, yang juga menatap Ata dengan aura membunuh.
“Ata. Lepasin Gita,” kata Ari serak. Masih sulit memercayai tindakan berani Ata. Berani, namun gegabah. Saudara kembarnya itu tidak tahu bagaimana dampak dari ulahnya ini.
“Woi! Jangan pada bengong! Bawa mereka!” teriak Ata kepada pasukan Airlangga yang berdiri diam. Mendengar otoritas itu, mereka segera bergerak, menggotong tubuh Ridho dan Oji. Namun Ari menolak meninggalkan tempat.
“Gue bisa jalan sendiri!” bentaknya kepada Andi yang sudah mengulurkan tangan. Andi berdecak, jengkel dengan sifat Ari yang begitu keras kepala.
“Ata! Lo bego! Lepasin dia!” sembur Ari setelah teman-temannya pergi. Kini jalanan itu lengang. Hanya ada dirinya, Ata, Gita, Angga, dan Bram, bersama sisa-sisa pertempuran.
Ata melangkah mendekat, masih bersama Gita di pelukannya. Begitu tiba di hadapan Angga, didorongnya tubuh gadis itu. Dengan sigap Angga menangkapnya, kemudian memeriksa Gita secara cepat, memastikan cewek itu tidak terluka. Namun ada setetes darah mengalir dari pipi kanan Gita. Bekas luka dari pisau Ata.
“Lo terluka,” kata Angga dengan suara bergetar. Tangannya bergerak lembut mengusap darah dari pipi Gita. Sepupunya itu meringis kesakitan. Diserahkannya Gita kepada Bram. “Bawa dia.”
Bram benar-benar panik melihat Gita yang pucat dan terluka. Setelah melayangkan pandangan dendam kesumat ke arah Ata, ia pergi membawa cewek itu.
“Lo lukain dia,” kata Angga geram. Bukan kepada Ata yang jelas-jelas sudah menyeret Gita dalam masalah. Kalimat itu ia tujukan kepada Ari, oknum yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya. “Lo tau apa artinya itu,” tambahnya.
“Nggak,” bisik Ari, tidak mampu berteriak untuk membantah. “Nggak bisa!”
“Tari sekarang sah milik gue.” Angga mengucapkan satu kalimat yang paling ditakutkan oleh Ari. “Lo melanggar perjanjian itu. Putusin dia segera,”
“Nggak bisa! Bukan gue yang melibatkan Gita! Lo liat sendiri!”
 “Gue nggak peduli elo ato sodara kembar lo yang ngelakuin itu. Yang jelas Gita terluka di tangan kalian!” bentak Angga tegas. Ia dan Ata bertatapan sejenak dengan ekspresi tak terbaca.
“Pergi,” desis Ata kemudian.
Angga membalikkan badan. Sebuah senyuman terkembang di bibirnya.

***

Ari membeku di tempat dengan mulut menganga. Kalau saja dia sedang dalam posisi berdiri, bisa dipastikan kakinya akan goyah. Namun kini dia sudah dalam keadaan terduduk, tidak bisa jatuh lebih rendah lagi. Cowok itu menatap aspal di bawahnya.
“Gue nggak percaya lo lakuin itu,” bisiknya lirih kepada Ata.
“Lakuin apa?” tanya Ata, terdengar kebingungan di telinga Ari.
Ari mendongak. Tatapannya kosong. Ia ingin marah. Ia ingin menghajar Ata. Ia ingin mencaci saudara kembarnya itu. Tapi tidak bisa. Tubuhnya serasa remuk. Emosinya terkuras habis.
Ata menghela napas. “Gue cuma mau bantuin elo, Ri. Gue nggak mau sodara kembar gue mati konyol di tangan seorang pengecut kayak Angga. Lagian apa lo nggak liat? Kedua sahabat lo udah sekarat gitu.”
“Gue pasti punya cara,” geram Ari, mulai menemukan kekuatannya kembali. Ia berdiri dengan goyah. Ditepisnya tangan Ata yang terulur. “Gue nggak butuh bantuan elo.”
“Oh, jadi elo punya cara? Tapi kok gue liatnya elo udah pasrah gitu ya diinjek-injek Angga?” kata Ata tanpa bisa menyembunyikan sarkasme dalam nadanya. “Jadi cara apa yang masih ada di kepala lo yang udah kena pukul gitu?”
“Pasti. Masih. Ada. Jalan. Pasti.” Ari mati-matian menahan emosi yang membuncah di dadanya.
“Jelas aja masih,” tukas Ata. “Gita. Dia satu-satunya jalan.”
“Apa lo nggak tau apa yang udah lo lakuin?!” bentak Ari, tidak bisa membendung amarahnya lebih lama. Nama Gita menjadi topik sensitif baginya. Didorongnya bahu Ata dengan segenap tenaga yang masih tersisa. “Brengsek lo, Ta!” Cowok itu terengah-engah. Dadanya yang juga sempat terkena pukulan terasa sakit. Ia membungkuk dengan satu tangan bertumpu pada lutut, sementara tangan yang lain menekan dadanya.
Ata menatapnya dengan kening berkerut. “Emangnya apa yang udah gue lakuin?”
“Lo nggak denger kata-kata Angga tadi?”
“Gue denger. Tari sekarang sah milik dia. Apa maksudnya itu? Gue nggak ngerti.”
Ari tidak berkesempatan untuk menjelaskan, karena tiba-tiba tubuhnya ambruk, yang untungnya segera ditangkap oleh Ata.





Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar