Kamis, 19 Maret 2015

Jingga untuk Matahari #fanfiction-17

Entah ini yang keberapa kalinya Ata diajak Mama datang ke Jakarta untuk mencari Ari, yang sampai sekarang belum tercium jejaknya sama sekali. Ia kembali bertemu dengan Tante Lidya, sosok tetangga sebelah rumah mereka yang dulu menjadi Mama keduanya. Siang ini Ata minta izin untuk melakukan pencarian saudara kembarnya sendirian.
“Ata akan baik-baik aja, Ma. Ata bisa jaga diri,” tegas Ata saat Mama melarangnya. “Biar Ari cepet ketemu. Mama mau cepet-cepet liat Ari, kan?”
Akhirnya Mama luluh dan mengizinkannya. Ata berjalan pelan menyusuri jalan perumahan itu, menuju halte terdekat. Sebenarnya Ata tidak begitu berniat mencari Ari. Dia hanya ingin keluar rumah untuk menghindar dari tangisan Mama. Jujur, Ata tidak tega melihat Mamanya menangis sampai kelelahan. Akhirnya Ata menemukan sebuah halte di pinggir jalan. Ia duduk di sana dalam diam.
“Kak Ari?” teriak seorang gadis yang duduk di sebelahnya, membuat Ata terlonjak kaget. Ia menoleh. Di sampingnya, duduk seorang gadis manis yang menatapnya lekat. “Kak Ari kok udah di sini?”
“Eh?”
Gadis ini mengenal Ari! Begitu pikiran pertama yang langsung terlintas di benak Ata. Ia harus mendekati gadis ini untuk menuntunnya kepada Ari.
“Iyaaaa, tadi kan Kak Ari masih di sekolah. Kita baru aja ketemu di sana.”
“Sekolah?” tanya Ata bego.
“Ini gue, Aira, Kak. Belom juga sejam kita ketemu. Belom lupa, kan? Hehe...” Gadis itu tersenyum malu-malu.
“Eh, iya. Aira. Belom lupa, kok. Tadi gue langsung keluar abis ketemu elo,” jawab Ata. Akan ia perankan sosok Ari untuk gadis ini, demi menemukan saudara kembarnya itu.
“Gimana? Udah buka bingkisan dari gue?” tanya Aira bersemangat, membuat Ata bingung.
“Eh, bingkisan dari elo.. udah, kok. Udah. Makasih ya. Gue suka banget.”
Aira terbelalak tak percaya. Wajahnya berseri-seri. “Beneran? Udah lo abisin semua?”
“Udah, sampe kenyang perut gue.” Ata menepuk-nepuk perutnya, berdoa agar tebakannya tidak salah. Dari kata-kata Aira sih Ata menyimpulkan gadis itu baru saja memberi Ari sejenis makanan.
Senyuman Aira semakin lebar. “Besok kapan-kapan gue bikinin lagi kalo lo suka. Bilang aja.”
Ata menghembuskan napas lega. Ternyata tebakannya tidak salah.
“Kak, lo tau nggak? Gue sebel sama Angga,” gerutu Aira mulai curhat.
Angga siapa? “Kenapa?” tanya Ata, pura-pura perhatian.
“Masa dia ngelarang gue deket-deket sama elo? Tadi aja gue dimarahin gara-gara ngasih kue itu ke elo. Gue kan kesel jadinya. Itu sebabnya gue terdampar di sini. Salah naik bus saking jengkelnya sama Angga, hehehe... Bego bener gue.” Gadis itu memukul kepalanya sendiri.
Ata tersenyum geli. Gadis ini lucu juga. “Emang kenapa dia ngelarang elo deket-deket gue? Gue aja nggak keberatan.”
“Tau, tuh! Katanya lo itu bukan cowok baik-baik. Tapi gue tau Kak Ari orang baik, kok.” Aira tersenyum, terlalu senang mendengar cowok itu tidak keberatan berteman dengannya.
“Gue bukan cowok baik-baik?” Ata mengernyit.
“Iya, soalnya Kak Ari telinganya... eh, kok telinga lo nggak ada tindikannya?” Aira mengamati telinga kiri Ari.
Ata buru-buru menutupi telinganya, walau dia sendiri kaget. Ari bertindik? Surprise! Seburuk itukah saudara kembarnya kini? Pantas saja Angga yang tadi disebut-sebut Aira menyangka Ari bukan cowok baik-baik. “Iya, gue copot tadi antingnya,” sahutnya cepat. Oke, sekarang cukup basa-basinya. “Eh, Ra. Anterin yuk?”
“Kemana?”
“Ke sekolah gue.”
Aira mengerutkan kening. “Ngapain ke sana lagi?”
“Ng... ada barang gue yang ketinggalan. Makanya gue ke sini, mau balik lagi.”
“Ya udah, yuuuuuk.”
Ata membiarkan Aira memimpin jalan, karena ia benar-benar tak tahu arah yang dituju. Hingga tibalah ia di sini, di depan sekolah Ari.
“Lo tunggu sini aja ya? Cari tempat yang teduh. Gue nggak bakalan lama.”
Aira mengangguk. Ata berjalan memasuki gerbang SMP itu dengan harap-harap cemas. Beberapa orang yang berpapasan menyapanya sebagai Ari, menguatkan fakta bahwa saudara kembarnya memang bersekolah di sini. Ata menyusuri penjuru SMP itu dengan cepat, melongok ke kelas-kelas yang pintunya masih terbuka. Ia nyaris frustasi karena tidak bisa berteriak-teriak memanggil nama Ari. Terpaksa cowok itu tetap menelusuri setiap bagian sekolah.
Ari tidak ada di mana pun. Kemungkinan besar cowok itu sudah pulang dari tadi. Ata melangkah keluar dengan lesu. Ia tidak mempunyai petunjuk lain selain sekolah ini. Tidak mungkin dia bertanya-tanya tentang Ari kepada Aira. Cewek itu akan menganggapnya gila.
Aira menyambutnya di gerbang. “Gimana? Udah?”
Ata langsung memasang tampang cerah. “Udah, kok. Makasih ya. Lo langsung pulang, kan?”
“Nggak. Gue mau jalan-jalan. Males pulang. Palingan Angga udah nungguin di rumah. Bete gue sama dia.”
“Ya udah, kalo gitu gue temenin, deh.”
“Serius?” Aira menatap Ata tak percaya.
Ata mengangguk. “Lo kan udah ngasih gue kue dan nganterin ke sini. Jadi sebagai ucapan terima kasih, gue temenin jalan-jalan.”
Aira jelas tak menyia-nyiakan kesempatan itu.

***

Tiga hari ini tingkah Aira semakin aneh. Ketika ditanya, Aira bilang dia sedang bahagia karena bisa dekat dengan Ari. Angga pun tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia hanya pasrah. Akan ia biarkan gadis itu bahagia, bagaimana pun caranya. Beberapa kali Angga memang sempat melihat Ari mengantar Aira pulang. Tapi yang Angga tidak tahu, orang itu bukan Ari. Melainkan Ata.
Ata dan Aira berhubungan akrab selama tiga hari ini. Ata sampai lupa tentang pencariannya kepada Ari. Malah dia terkesan tak peduli. Selama di Jakarta, dia banyak menghabiskan waktu bersama Aira, dengan dalih mencari Ari saat Mama bertanya kemana dia akan pergi.
Besok adalah hari kepulangannya ke Malang. Jadi Ata mengajak Aira bermain ke pantai sampai sore. Ketika Aira mengamati kepiting yang berjalan di dekat kakinya, dengan iseng Ata mengambil topi pantai gadis itu dari belakang.
“Hei!” Aira menoleh ke Ata untuk merebut lagi topinya, dan...
Cup!
Ata menggunakan kesempatan itu untuk mencium pipi Aira. Gerakan Aira terhenti dengan tangan terangkat di udara. Dalam sekejab, pipinya bersemu merah. “Kak Ari!”
“Sori, gue nggak tahan, Ra,” kata Ata nyengir, lalu memakaikan lagi topi Aira ke kepala gadis itu.

***

Tindakan Ata di pantai sore ini memberi suatu penegasan untuk Aira. Cowok itu tertarik padanya! Yes!
Aira jingkrak-jingkrak sendiri di tempat tidur. “Rira! Tau nggak?! Masa Kak Ari tadi nyi... eh, sstt, pelan-pelan aja ya? Sini, Aira bisikin.” Gadis itu berhenti meloncat-loncat, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga boneka kucingnya. “Tadi Kak Ari nyium pipi Aira!” desis cewek itu seperti akan meledak, lalu kembali meloncat-loncat di tempat tidur.
“Ampuuun deh Aira! Lagi ngapain kamuuu?” Mama yang masuk ke kamar kontan melotot melihat tingkah anak gadisnya.
“Aira lagi seneng pokoknya. Mama nggak boleh protes!”
“Ya tapi kasur kamu...”
“Nanti Aira beresin,” potong Aira cepat.
Mama menggelengkan kepala. “Tadi Angga nyariin kamu, lho. Kamu kemana aja, sih? Mama kira tadi main sama Angga.”
Aira berhenti meloncat-loncat. Gadis itu lalu duduk manis di tengah tempat tidurnya yang berantakan. “Tadi Aira main sama temen. Masa main sama Angga mulu?”
“Yaaa, kan biasanya kayak gitu.” Mama mendekati anak semata wayangnya itu. “Angga kayaknya lagi ada masalah. Mama tanyain nggak mau jawab. Coba kamu nanya ke dia ada masalah apa. Mungkin kamu bisa bantu.”
Aira menghela napas. “Iya, deh. Nanti Aira SMS Angga.”

***

Tapi nyatanya Aira tak peduli. Ia terlanjur kesal dengan Angga atas kejadian tempo hari. Siang ini, Aira berniat menemui Ari di sekolahnya. Dia ingin mengajaknya jalan, kemudian memaksa cowok itu mengakui perasaannya, meminta suatu penegasan nyata. Karena tidak mungkin cowok itu mencuri ciuman di pipinya tanpa maksud apa-apa, kan?
“Nah, itu dia,” gumamnya senang melihat Ari di kejauhan. Cowok itu berjalan sendirian. Begitu tiba di gerbang, Aira mencegat langkah Ari.
“Halo, Kak!”
Ari kontan menghentikan langkah kaget ketika seorang gadis melompat di hadapannya. “Eh, hai?” balasnya ragu. Samar-samar, ia masih mengenali wajah Aira.
Aira nyengir. “Punya waktu? Jalan yuk?”
“Jalan?” Kening Ari berkerut rapat. Baru kali ini Ari menemui seorang gadis asing yang berani mengajaknya jalan! “Sori, tapi.. jalan kemana?”
“Jalan-jalan pokoknya! Ayoo!” Aira meraih tangan Ari, yang dengan refleks ditepis cowok itu.
Aira menatap Ari dengan bingung. Kayaknya cowok itu kemarin-kemarin tidak pernah menolak gandengannya. Tapi kenapa sekarang ia malah terlihat marah?
“Jangan sentuh gue seenaknya!” geram cowok itu.
“Eh?” Aira semakin bingung. “Elo kenapa, sih?”
“Gue kenapa? Harusnya gue yang nanya, elo itu kenapa? Sori, gue bahkan lupa sama nama elo.”
“Lupa nama gue?!” teriak Aira. “Gimana mungkin! Tapi kemarin kita kan jalan-jalan bareng. Bahkan lo cium pipi gue, inget?”
“Cium pipi?” Ari terperangah. Ini cewek udah gila apa gimana, sih? “Jangan ngaco lo! Gue nggak pernah jalan sama cewek manapun apalagi cium-cium pipinya,” kata Ari dingin. Cowok itu tersinggung juga dituduh sembarangan.
“Tapi, Kak...”
“Jangan ganggu gue lagi. Dasar cewek nggak tau malu,” sahut Ari, lalu pergi begitu saja.

***

Aira membeku di tempat. Tak percaya atas sikap Ari kepadanya. Sosok ini dingin, bukan lagi cowok yang dikenalnya selama beberapa hari terakhir. Sosok ini asing, bukan lagi cowok yang mencium pipinya kemarin sore. Dan sosok asing itu kini menolaknya, bahkan mengatainya cewek tak tau malu!
Hancur adalah kata yang terlalu ringan untuk menggambarkan perasaannya. Hati Aira menyerpih, melebur bersama udara. Ari adalah cinta pertamanya. Kepada cowok itu ia menaruh harapan besar. Namun kini harapan itu sirna seketika, terhembus oleh angin bersama serpihan hatinya.
Akan lebih baik kalau Ari langsung menolaknya saat awal-awal mereka bertemu. Nyatanya, cowok itu membawanya terbang hingga ke awang-awang, dan begitu berada tinggi di langit, ia lepaskan pegangannya. Ia biarkan Aira terjatuh. Terempas mengenaskan di bumi! Dan sepertinya itu saja belum cukup. Ari yang masih terbang bebas di atas kemudian menginjak-injaknya tanpa ampun, menjadikannya seonggok sampah.
“Aira?”
Aira segera membalikkan badan. Ia tidak ingin bertemu dengan Angga sekarang. Ia tidak ingin menunjukkan air matanya. Ia tidak ingin menunjukkan kekalahannya. Aira berlari cepat meninggalkan sekolah.
“Aira! Tunggu!” Angga segera mengejar.
“Jangan ikutin gue!” bentak Aira dengan tangis tertahan.
Angga tetap mengikutinya dalam diam. Ia tanpa sengaja mendengar percakapan antara Ari dan Aira tadi. Ia geram setengah mati melihat perlakuan Ari pada Aira. Selama ini dia telah melancarkan berbagai macam cara untuk merebut perhatian Aira, namun Ari dengan mudah mendapatkan hati gadis itu tanpa usaha. Dan ketika dia sudah menyerah dan rela melepaskan Aira untuk Ari, cowok itu malah membuang gadis kesayangannya begitu saja, menyia-nyiakan cinta tulus gadis itu. Dasar bajingan keparat! Liat aja lo! desis Angga dalam hati, bersumpah akan membalas dendam ke Ari yang telah melukai Aira.
Entah kemana cewek di depannya ini akan berlari. Hingga tiba di perempatan, cewek itu berhenti dan membalikkan badan. Aira kembali membentak begitu melihat Angga masih mengikutinya. “Gue bilang, jangan ikutin gue!”
Angga tertegun. Wajah cewek itu penuh air mata. Ada sorot terluka amat sangat dari kedua mata itu. Sorot yang membuat Angga ingin menyakiti dirinya sendiri. Belum pernah Angga melihat Aira sekacau ini. Dan ini semua gara-gara Ari! “Aira, plis, sini, ngomong sama gue.”
“Nggak! Gue benci sama lo! Gue benci sama Ari! Gue benci kalian semua!”
“Aira, gue tau lo masih marah sama gue...”
Aira tak mengindahkan Angga yang belum selesai bicara. Cewek itu membalikkan badan lagi. Pandangan yang buram oleh air mata membuatnya tidak sadar kemana dia melangkah.
“Aira! Stop!” teriak Angga. Ada kengerian yang tersirat jelas dalam teriakan itu.
CIIIIITTT.... BRAK!!!
Aira baru tiga langkah menapak di zebra cross, ketika tiba-tiba tubuhnya terhantam keras oleh benda besi raksasa, bersamaan dengan decitan rem yang memekakkan telinga. Decitan rem itu sia-sia, karena tak bisa menghentikan sang maut menghampiri Aira.
Angga tak bisa berkutik saat melihat tubuh itu rebah. Beku. Bisu. Kelu. Kaku. Ia lumpuh di tempat. Suasana di sekelilingnya, jeritan-jeritan, klakson-klakson kendaraan, berbagai macam pekikan, segalanya terasa kabur.
Remuknya tulang Aira seperti meremukkan dirinya. Darah yang mengalir dari tubuh gadis itu menjebol bendungan air matanya. Angga jatuh terduduk di trotoar yang panas. Tak terisak, namun air matanya mengalir deras. Tak tahu apa yang harus ia lakukan selain menangis. Ia tak sanggup menghampiri Aira yang terbaring diam bersimbah darah di aspal, hanya beberapa meter darinya. Sungguh, ia tak sanggup.
Tuhan, tolong katakan ini tidak nyata...

***

Doa itu kembali bergema berulang kali dalam kepalanya saat dokter mengatakan nyawa Aira tak terselamatkan.
Tuhan, tolong katakan ini tidak nyata, tidak nyata, tidak nyata... Ini bukan Aira. Aira sekarang masih di rumah, menungguku pulang, lalu sore nanti kami jalan-jalan berdua seperti biasa.
 Ketika Angga melangkah memasuki ruang rawat Aira. Ketika Angga menatap wajah pucat gadis itu. Doa itu terus ia lantunkan.
Tuhan! Dengarkan aku! Tolong! Tolong katakan ini tidak nyata! Ini bukan Aira-ku.. ini bukan gadisku... rintih Angga dalam hati.
Tapi sosok kaku di depannya ini memang Aira. Gadis yang biasanya penuh energi dan selalu ceria itu, sekarang tertidur diam dalam pelukan sang maut. Angga bisa menyentuh kulitnya yang dingin. Jadi ini memang nyata. Tak ada penyangkalan lagi. Sekujur tubuh Angga bergetar.
Tuhan, kembalikan gadis kecilku ini. Aku mencintainya...

***

Luka itu terlalu dalam. Waktu pun tak akan bisa menyembuhkannya. Perlahan, jiwa di dalamnya rusak oleh kemarahan. Nurani dalam hatinya tertutup oleh dendam yang semakin membusuk.
Hingga detik terakhir pemakaman Aira, Ari tidak datang, atau sekadar menyampaikan bela sungkawanya. Ari sama sekali tak peduli. Hidupnya tetap berjalan seperti biasa. Sementara di sini, ada beberapa kehidupan yang telah berhasil dihancurkannya. Itu sebabnya Angga tak bisa menatap Ari dengan cara yang sama lagi. Selalu ada dendam yang memancar di sana. Ada bom yang siap meledak kapanpun juga. Ada taring yang siap menghabisi Ari seketika.
Tapi Angga sengaja menahan itu semua. Karena kalau sekarang Aira masih hidup, ia tahu gadis berhati lembut itu tak ingin Angga melukai siapa saja. Sampai kiamat pun, bahkan ketika alam sudah memisahkan mereka seperti ini, Angga tidak pernah ingin melukai perasaan Aira. Jadi ia tunggu kesadaran Ari untuk meminta maaf.
Namun hingga kini, kata maaf itu tak pernah terucap dari bibir Ari. Membuat Angga sengaja menulikan telinga agar tidak lagi mendengar hati kecilnya yang membujuk untuk tetap menjaga perasaan Aira. Menurutnya, Ari sudah keterlaluan. Cowok itu pantas diberi pelajaran!
Demi Tuhan, Angga tidak tahu harus menghukum Ari dengan cara apa. Nyawa dibayar dengan nyawa? Gagasan itu sungguh menggoda, tapi ia belum ingin masuk penjara. Sementara cara lain selain membunuh dianggapnya tidak memuaskan. Selama berperang dengan diri sendiri itulah, dendam dalam hatinya kian meradang, sementara lukanya kian bernanah, tanpa Angga tahu bagaimana cara memulihkannya.
Hanya ada satu orang yang mengerti kisah lengkap di balik kematian Aira. Karena kepadanyalah Angga bercerita dengan segala sedu sedan dan air mata. Orang itu pun ikut menangis bersamanya, seolah merasakan luka yang dirasakan Angga. Orang itu juga yang setia menopangnya hingga Angga bisa berdiri tegak lagi sekarang. Oleh sebab itu Angga merasa nyaman bersamanya. Dia adalah Anggita, sepupu terdekatnya.

***

Saat Ata kembali lagi ke Jakarta berbulan-bulan kemudian, ia kembali kehilangan petunjuk tentang Ari. Saudaranya itu telah lulus dari SMP, dan Ata tidak tahu kemana Ari melanjutkan sekolah.
Kemudian ia teringat Aira. Sosok gadis yang telah menuntunnya kepada Ari. Bagaimana kira-kira keadaan cewek itu sekarang? Ata berjanji saat ia bertemu lagi dengan Aira nanti, akan ia ceritakan siapa dirinya sebenarnya.
“Ma, Ata keluar dulu,” pamit Ata.
Dengan ingatannya yang masih tersisa, Ata menuju ke rumah Aira. Beberapa meter dari rumah yang dituju, ia melihat kedua orang tua Aira baru keluar sambil membawa buket bunga berisi rangkaian mawar putih.
“Pa, ayo cepet, Pa! Aira pasti seneng dibawain mawar putih,” kata Mama Aira sambil mencium buket bunga itu. “Dia paling suka sama mawar putih. Inget nggak? Dulu dia pernah nangis sambil marah-marah gara-gara tanaman mawar di kebun Mama pangkas.” Wanita itu tersenyum, namun yang ditangkap Ata bukan sebuah senyuman, melainkan duka yang begitu dalam di sana. Ditambah setetes air mata yang kemudian jatuh. Pria di sebelahnya merangkul wanita itu erat.
Ata sungguh tidak mengerti apa yang terjadi. Ia memutuskan untuk mengikuti dua orang tua Aira diam-diam. Dan cowok itu kaget setengah mati saat kedua orang yang diikutinya berhenti di sebuah pemakaman umum. Ia hanya mengamati dari jauh saat beberapa lama Mama dan Papa Aira berhenti di sebuah makam, meletakkan buket bunga tadi di sana, berjongkok, lalu memanjatkan doa.
Ketika dua orang itu pergi, Ata melangkah terseok ke makam yang baru saja mereka tinggalkan.
Airana Tunggadewi
Nama di batu nisan itu menghujam dada Ata, menekannya, dan menghantamnya bertubi-tubi hingga cowok itu sesak napas. Aira meninggal tepat di tanggal Ata terakhir kali berada di Jakarta. Berarti satu hari setelah mereka bermain ke pantai bersama. Kenapa?
Ata terduduk di tanah. Tubuhnya lemas. Ia membutuhkan jawaban. Tapi tak tahu kepada siapa dia harus bertanya. Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya. Ata menoleh. Di belakangnya, berdiri seorang gadis berkaca mata.
“Mm, permisi, Kakak temennya Aira?”
Ata mengangguk kaku. Gadis itu balas mengangguk. “Nama saya Febri. Saya temen sekelas Aira.” Febri kemudian meletakkan sebuket bunga lain di atas makam Aira, lalu memanjatkan doa sambil memejamkan mata.
“Semoga kamu tenang di alam sana, Aira. Kamu tau? Aku selalu kangen kamu. Temen-temen yang lain juga,” ucap Febri lirih. Tangannya mengusap nisan Aira dengan lembut.
“Ng, Febri?”
Febri menoleh ke arah Ata. “Ya, Kak?”
“Sebenernya gue temen jauh Aira. Gue baru tau belakangan ini kalo... Aira meninggal. Apa penyebabnya?”
“Kecelakaan, Kak,” jawab Febri. Tatapannya tertuju pada makam Aira. “Saya juga kurang tau kronologinya gimana. Terakhir kali saya ngobrol sama Aira, dia curhat ke saya, katanya lagi deket sama... ng, siapa sih namanya? Ah, iya. Kak Ari. Dia naksir Kak Ari. Saya juga nggak tau siapa itu Kak Ari. Yang jelas Aira seneeeng banget. Trus, tiba-tiba...” Penjelasan Febri terhenti. Ia menarik napas panjang beberapa kali. “Tiba-tiba, saya dapet kabar kalo siang itu Aira ketabrak mobil, dan...” Gadis itu menggigit bibir. Matanya mulai berkaca-kaca.
 “Kenapa dia bisa kecelakaan? Emangnya dia kemana siang itu?” tuntut Ata.
“Ng... ini sebenernya cuma gosip, sih. Saya nggak tau bener apa nggak. Katanya siang itu Aira patah hati. Ditolak cowok. Jadi dia lari ke jalan sambil nangis, sampe nggak liat kalo ada mobil.” Febri berhenti sejenak, membiarkan Ata mencerna ucapannya, kemudian melanjutkan, “Karena saya yang selalu jadi tempat curhat dia, saya nyimpulin dia ditolak Kak Ari. Saya jadi penasaran, deh. Terakhir Aira bilangnya Kak Ari sempet cium pipi dia gitu di pantai. Kenapa cowok itu lalu nolak Aira? Brengsek banget.”
Ata membeku. Bukan. Bukan Ari yang brengsek. Saudara kembarnya tidak salah menolak Aira, karena memang bukan Ari yang dekat dengan cewek itu. Bukan Ari yang mencium pipi cewek itu. Bukan Ari yang mengumbar harapan palsu. Tapi dia!
Dialah yang akrab dengan Aira selama beberapa hari. Dialah yang mengajak Aira bermain ke sana kemari. Dialah yang memberi Aira ciuman di pipi. Tanpa pernah memikirkan perasaan Aira yang jelas-jelas jatuh cinta kepada Ari. Lalu dia pergi begitu saja, meninggalkan Aira sebagai tanggung jawab Ari.

Jadi dialah si brengsek itu! Dia, Ata, adalah penyebab kematian Aira!






Bersambung...


***


So, gimana, nih? Ada yg mau komentar? Ada yang kurang sreg gitu sama 2 part khususon flashback ini? Nggak ngerasa kalo ceritanya fail banget kan? Aul kurang mantep aja, hehe
Akhirnyaaaaa terungkap juga kenapa Angga dendam sama Ari (versi Aul lho yaaaa, kalo versinya Mama Esti Kinasih mungkin beda lagi)
Untuk next part-nya, kayaknya bakalan lama. Banget. Tauk ah, gelap. Ide di otak lagi terkuras abis, blas belom ada bayangan buat lanjutannya, harap maklum yaaa... Aul juga harus mulai persiapan buat try out ke-3, dan langsung lanjut Ujian Nasional... Doakaaan, doakaaaan, doakaaan *sungkem satu-satu*
Makasiiiih buat yg udah baca dan mendoakan, huehehehe ^-^
Biar nggak kenal, Aul sayang kaliaaan, muaaah muaaah muaaaaaaah :*

9 komentar:

  1. Huuaahhh Alhamdulillah banget bisa baca 2 post tanpa harus nunggu berbulan" kaya kemaren... tp kalo harus nunggu lagi kek'a ga Alhamdulillah lagi deh di ganti jadi Astaghfirullohaladzim Sabar" (Sambil ngelus dada)... semoga mimin eh salah Mba Auull cpet dapet ide yah biar ga penasaran lagi dan Good luck aja buat Ujian'a... :)

    BalasHapus
  2. Huuaahhh Alhamdulillah banget bisa baca 2 post tanpa harus nunggu berbulan" kaya kemaren... tp kalo harus nunggu lagi kek'a ga Alhamdulillah lagi deh di ganti jadi Astaghfirullohaladzim Sabar" (Sambil ngelus dada)... semoga mimin eh salah Mba Auull cpet dapet ide yah biar ga penasaran lagi dan Good luck aja buat Ujian'a... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih yaa udah sabar nungguin :D
      Amiiin amiiiin, ide datanglah, ide datanglah, dewa inspirasi datanglaaaah, aul butuh banget nih, demi mereka yg udah baca dan setia menunggu lanjutannya
      Makasih doanyaa ^^
      Pingin cepet2 selesai ujian

      Hapus
  3. Hahah sama" Mba.. baca dari Novel JDS mpe yg smp udah pd kuliah blom terbit" juga tuh buku.. Mpe abang jualan buku aja mpe hafal aq mw nanya apa kalo kesana..hahah..
    Mba Esti lg sibuk apa yah mpe kita" di suruh nunggu bener" bertaon".. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. nggak tau, kalo saja kita punya kesempatan untuk nanya langsung ke mbak estii, betapa bahagianya...
      kenapa komentar kamu yang setelah ini dihapus? udah aku baca kok, dan maaf kalo baru bisa bales sekarang, minggu kemaren masih try out, dan ga bisa bales lewat HP
      makasih atas pemberitahuan kamu di komen yg udah kamu hapus itu :)
      waktu itu aku langsung buka fb dan ngerti kok maksud kamu, meski aku sempet bingung juga waktu baca pemberitahuan kamu di sini, haha
      kita bisa lanjut ngobrol di fb kalo mau :)

      Hapus
    2. Hahah maaf Mba Cos Komentar aq gaje bgt sih mkanya aq hapus.. :D
      Ok mba Fb Qu Yani Kejora Cari aja di Grup :).. Oia Salam kenal yah.. Kalo bisa Lanjutin donk Cerita'a penasaran nih :(

      Hapus
    3. duh, besok senin udah UN nih, blm bisa mikirin kelanjutannya
      abis UN yaa :)

      Hapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. Ok deh tp kalo bisa jangan 1 minggu 1 part Kelamaan (eh kok maksa :D)
    Hahah :p

    BalasHapus