Kamis, 19 Maret 2015

Jingga untuk Matahari #fanfiction-16

Mau post 2 part sekaligus niiih!!
Gila, ngetiknya maraton banget, dari malem Minggu, trus langsung selesai 2 part di hari Minggunya! Gini nih kalo lagi ada ide, tangan dipaksa ngetik sampe pegel2.. Sementara kalo otak lagi buntu, mau berhari-hari di depan laptop juga nggak bakal nambah apa2, hehe...
Oke, kayak yang udah Aul bocorin, 2 part berikut ini menceritakan asal mula Angga dendam sama Ari.. Maybe it will be a mainstream story, but I've tried to write it in different way (walau mungkin hasilnya sama aja sih -_-)
Aul sebenernya agak gimanaaaa gitu mau nambahin peran, tapi kalo nggak ada peran tambahan juga nggak ada cerita dong.. Akhirnya terciptalah sosok "Aira" di sini, yang asli bikinan Aul sendiri, dari ide Aul sendiri
Nah, siapa itu Aira? Let's see...


***

Angga berjalan sendirian memasuki sebuah restoran, tempat yang telah disepakati untuk pertemuan mereka. Kayaknya tu cewek belom dateng, pikirnya saat melayangkan pandangan ke penjuru restoran. Ia mengambil tempat duduk di pojokan, menghindari orang-orang yang bisa saja menjadi penguping. Baru saja ia duduk di bangku yang menghadap pintu restoran, cewek yang ditunggunya datang.
Angga melambaikan tangan hingga cewek itu melihatnya. Segera saja ia melenggang menghampiri Angga dan duduk dengan gaya anggun yang dibuat-buat. Cih, emang dasar cewek murahan, cibir Angga dalam hati begitu mengamati mini dress yang dikenakan cewek itu. Begini nih gambar-gambar seniornya Airlangga. Nggak beres. Ah, peduli apa gue. Enak malah dapet tontonan gratis gini.
“Udah puas liatin gue, hm?” kata Vero yang menyadari tatapan mata Angga tertuju pada badannya.
Angga tersenyum kecut. “Sori, tapi gue nggak tertarik.”
“Ya iyalah. Tipe elo kan gadis-gadis sok polos kayak Tari,” dengus Vero, lalu menyilangkan kakinya, dengan sengaja memamerkan kakinya yang jenjang. “So, lo mau denger nggak rencana kita selanjutnya?”
“Ya. Jelasin ke gue,” jawab Angga. Meski tadi dia bilang tidak tertarik, matanya tak lepas dari kedua kaki Vero. Sementara si Vero cuek bebek, malah terkesan bangga karena berhasil memancing pentolan Brawijaya ini.
“Puas-puasin deh pelototin kaki gue. Besok-besok lo udah nggak bisa dapet kesempatan ini lagi karena udah jalan sama Tari.”
Angga kontan menatap wajah Vero. “Apa maksud lo?”
Vero tersenyum sambil memajukan kursinya. “Oh, gue belom bilang ya? Pangeran gue tercinta, si Matahari Senja, berhasil bawa saudara kembarnya ke Jakarta. Itu artinya, rencana kita berjalan mulus, dan sebentar lagi Tari jadi milik elo.”
Angga terdiam, berusaha mencerna perkataan Vero. Perlahan, bibirnya terkembang. “Good job,” katanya puas. “Bego banget si Ari. Bawa saudara kembarnya ke Jakarta. Well, berarti dia yang bawa bencana itu sendiri ke sini.”
“Stop bego-begoin Ari di depan gue,” gerutu Vero.
“Sial, gue lupa. Sori. Jadi, gimana rencana selanjutnya?”

***

Ari memarkirkan motor di depan sebuah rumah sederhana. Tanpa mengetuk pintu, ia langsung masuk dan mendapati Ata baru saja keluar dari kamar mandi sambil mengusap rambutnya yang basah.
“Baru aja mandi?” tanya Ari.
“Iya. Gue baru aja nyampe rumah. Lo dari mana aja?”
“Nganterin Tari.”
Langkah Ata terhenti sejenak. Ia mengamati wajah saudara kembarnya, seperti mencari sesuatu dari sana. Tapi yang ia dapat hanya wajah lelah Ari. “Oh,” sahutnya singkat. Cowok itu duduk di sofa depan televisi, lalu menyalakannya.
Ari mengempaskan tubuh di sebelah Ata. “Dia aneh banget,” keluhnya.
“Siapa?”
“Tari.” Ari menyandarkan kepala dengan lelah. Matanya yang baru terpejam beberapa detik tiba-tiba terbuka lagi setelah menyadari sesuatu. “Tunggu. Lo bilang lo baru aja pulang?”
Ata mengangguk tak acuh. Tangannya memegang remote untuk mengganti-ganti channel.
“Lo tadi liat Tari di sekolah? Sore ini, maksud gue. Lo liat ada yang macem-macem sama dia?”
Gerakan Ata kembali terhenti. Ia menoleh ke Ari dengan wajah datar. “Nggak,” jawabnya. “Emang dia kenapa?”
Ari mendesah. Ia berharap Ata memiliki jawaban untuknya atas keanehan Tari. Tentang alasan gadis itu menangis dan memaksanya untuk menceritakan tentang kepindahan Ata. Sebersit pikiran aneh timbul di pikiran Ari. Apa ini memang hanya kebetulan kalau Ata dan Tari keluar dari sekolah hampir bersamaan? Bagaimana mungkin Ata tidak melihat Tari di sekolah kalau memang benar keduanya sama-sama pulang sore? “Lo serius?” tanya Ari lagi.
Ata terdiam sejenak. “Gue mau belajar,” katanya sambil mematikan televisi, lalu beranjak ke kamar untuk mengambil buku.
“Gue nanya ke elo, Matahari Jingga,” desis Ari, tidak suka dengan sikap Ata yang tiba-tiba menghindarinya.
Ata membalikkan badan dan menatap Ari. “Gue nggak liat dia! Oke? Gue nggak ketemu sama dia. Lo nuduh gue bohong?” Mendadak matanya menyipit. “Oh, ato jangan-jangan lo nuduh gue yang jadi penyebab keanehan Tari? Lo nuduh gue yang macem-macem ke dia?”
“Apa? Bukan gitu...” sahut Ari tergeragap. Memang dia sempat curiga pada saudara kembarnya ini. Tapi tak mungkin ia terang-terangan menuduh Ata tanpa bukti. Bisa saja Ata memang mengatakan yang sebenarnya. “Sori,” katanya sambil bangkit. “Gue nggak bermaksud nuduh elo. Gue cuma... ah, lupakan aja. Mana Mama?”
Ata membukakan pintu kamar, menunjuk Mama yang telah tertidur nyenyak di tempat tidur. “Udah tidur. Mungkin kecapekan beres-beres rumah seharian ini.”
Ari melangkah masuk, lalu mencium kening Mamanya lembut. “Ari pulang dulu, Ma,” pamitnya lirih. “Balik dulu, bro,” katanya pada Ata.
Ata mengantar saudara kembarnya sampai pintu depan. “Eh, Ri?” panggilnya saat Ari menaiki motor. Ari menoleh, tidak jadi memakai helm. “Ya?”
“Gue mau nanya sesuatu.” Ata melangkah mendekat. Wajahnya nampak serius. “Tentang Angga. Anggada.”
Kedua alis Ari terangkat mendengar Ata menyebut nama musuh bebuyutannya.
“Lo kenal dia?” tanya Ata lagi.
Bagaimana mungkin Ari tidak mengenal seseorang yang selalu menggiring pasukannya untuk menyerang SMA Airlangga itu? “Jelas,” jawab Ari. “Kenapa? Lo kenal juga? Ada urusan apa?” Ari tidak suka kalau Angga ikut melibatkan Ata.
“Gue nggak ada urusan apa-apa sama dia.” Ata menggeleng pelan. “Tapi gue tau lo nggak berhubungan baik sama dia,” lanjutnya.
Mau tak mau Ari mengangguk mengakui. “Bukan salah gue, Ta,” desahnya. “Gue temenan sama dia pas di SMP. Tapi tau-tau sikap dia aneh banget, seolah gue ini musuh terbesarnya. Dia kayak punya dendam gitu ke gue, padahal gue merasa sama sekali nggak pernah bikin kesalahan ke dia.”
Jelas bukan kesalahan elo, Ri, kata Ata dalam hati. Karena ini semua kesalahan gue. Jadi gue yang harus menebusnya, meski itu artinya lo harus ikut berkorban.

***

Beberapa tahun yang lalu...
“Makannya pelan-pelan, dong.” Angga mengelap sudut bibir Aira menggunakan tisu, lalu memperlihatkan noda saus di tisu itu. “Nih, belepotan semua.”
Aira nyengir dengan pipi menggembung, lalu buru-buru mengunyah dan menelan spaghetti di mulutnya. Angga menatapnya gemas. Gadis ini! Teman masa kecil yang berhasil mencuri perhatiannya sejak pertama mereka bertemu sebagai tetangga. Umurnya satu tahun lebih muda dari Angga. Dan ketika mereka memasuki masa remaja, gadis ini bukan hanya berhasil mencuri perhatiannya, tapi juga hatinya! Aira tumbuh menjadi gadis yang cantik. Kepolosan gadis itu membuat Angga terpesona. Kebaikan hati gadis itu membuat Angga jatuh cinta. Dan senyuman gadis itu membuat Angga ingin memilikinya.
Siang ini, Angga mengajaknya makan siang di mal. Bukan sesuatu yang spesial, karena mugkin sudah ribuan kali mereka jalan berdua seperti ini.
“Lo masih belom mau ngenalin temen lo waktu itu?” tanya Aira, membuat Angga nyaris tersedak minumannya.
“Temen yang mana?” tanya Angga gugup.
“Yang waktu itu dateng ke rumah eloooo,” sahut Aira gemas. “Harus gue sebutin lagi ciri-cirinya? Tinggi, ganteng, putih, telinga kirinya bertindik...”
“Oke, oke, stop,” potong Angga. “Gue tau yang lo maksud. Namanya Ari, oke? A-ri.” Angga mengejakan nama Ari dengan malas.
“Ari?” Kedua mata Aira yang berwarna amber kontan berbinar. “Wah! Bahkan nama dia kebalikan dari nama gue. Ari-Ira, bagus, kan?” Gadis itu tertawa senang.
“Seneng banget,” dengus Angga. “Tapi gue peringatin ke elo, jangan deket-deket sama dia.”
Tawa Aira lenyap. Ia menatap Angga dengan bingung. “Emangnya kenapa?”
“Dia bukan cowok baik-baik, Ra. Gue kenal sama dia. Gue tau gimana latar belakang dia. Lo liat aja penampilannya, telinganya tindikan gitu.”
“Emang kenapa kalo dia tindikan?” protes Aira tidak terima. Nada suaranya meninggi. “Bukan berarti dia jahat, kan? Lo juga dulu pernah mau tindikan, tapi gue larang. Inget nggak? Nyatanya lo tuh cowok baik-baik, Ga. Mungkin itu yang terjadi sama Ari. Dia emang niat mau tindikan, tapi karena nggak ada yang ngelarang, ya dia lakuin aja.”
“Terserah, deh,” gumam Angga, malas kalau harus memulai perdebatan dengan Aira. “Abisin tuh makanannya. Kita jalan lagi abis ini.”
“Oke.” Aira kembali menyantap spaghetti-nya. “Oh iya! Ga?” panggil Aira. Lagi-lagi dengan mulut penuh.
“Telen dulu, anak kecil.” Gadis ini memang selalu berhasil memunculkan senyumnya. “Keselek ntar.”
Aira segera menelan tanpa sempat mengunyah makanannya sampai halus. “Ada boneka yang gue pingin. Beliin ya?”
“Ih, lo kira gue Bokap lo,” dengus Angga. “Boneka apa? Barbie?”
“Yee. Gue udah nggak mainan Barbie lagi. Yang ini boneka kucing, lucuuuuu banget. Gue nggak mau boneka itu keburu dibeli orang karena gue belom punya uang.” Aira memasang tampang andalannya. Muka memelas dengan mata membesar yang bikin trenyuh siapa saja yang melihatnya, apalagi Angga.
Cowok itu mendesah pelan, luluh begitu saja. “Iya, deh, iya. Jangan nangis. Ntar gue beliin.”
“Yes! Makasih!” Aira kontan berdiri dan mencium pipi Angga, membuat cowok itu terpaku seketika. “Ups, sori. Pipi lo jadi kena saus,” kata Aira. Ia mengulurkan tangan, hendak mengelap pipi Angga menggunakan tisu tanpa menyadari reaksi cowok itu. Angga tak bisa bergerak. Persendiannya terkunci dan otot-ototnya membeku selagi Aira mengusap pipinya lembut.
“Nah, selesai. Yuk langsung bayar aja. Gue udah kenyang.” Aira mendorong piring spaghetti-nya menjauh, lalu menarik Angga ke kasir.

***

“Iiiih, lucu banget! Liat! Lucu, kan? Lucu, kan? Kayak gue, kan?” Aira memamerkan boneka barunya ke depan muka Angga sambil berteriak girang. Keduanya baru saja keluar dari toko tempat boneka kucing incaran Aira berada. Dan sekarang si kucing pink itu sudah berpindah ke pelukan Aira.
“Iyaaa, lucu, kayak elo,” sahut Angga geli. “Bilang apa, dong?”
“Makasiiiiih!” Aira memeluk boneka kucing raksasanya erat.
“Bilang makasihnya ke gue tapi yang dipeluk bonekanya,” gerutu Angga.
“Jadi elo mau gue peluk juga?”
“Mau.”
Aira pura-pura berpikir. “Nggak, ah. Ntar dimarahin Mama kalo peluk-pelukan.”
“Lah tadi lo nyium pipi gue?” protes Angga dengan senyum tertahan.
“Refleks, Ga,” sahut Aira nyengir. “Pulang yuk? Mau pamer boneka ini ke Mama.”
Angga menggelengkan kepala. Tangannya mengusap kepala Aira dengan gemas. “Dasar anak kecil.”

***

“Mamaaaa, Aira dapet boneka lucu dari Angga! Liat!” teriak Aira begitu sampai di rumah. Angga mengikuti di belakangnya. Rumah Aira yang terletak persis di sebelah rumahnya memang sudah seperti rumah kedua. Orang tua Aira dan orang tua Angga membebaskan anak-anaknya keluar masuk, sudah menganggap keluarga sendiri.
“Sudah berapa kali Mama bilang, panggil dia Kak. Dia lebih tua, Ra,” tegur Mama yang baru selesai mengangkati jemuran.
Angga tertawa. “Nggak pa-pa, Tante. Saya nggak keberatan. Dia emang bandel, susah dibilangin. Jadi biarin aja.”
Aira jadi cemberut. “Aira nggak suka manggil Angga pake Kak. Kan cuma beda satu tahun.”
“Iyaa, gue juga nggak mau dipanggil Kak sama elo. Dah, sana, simpen bonekanya. Bantuin Mama tuh lipet baju. Lo tuh ya, udah SMP, masih aja main boneka.”
“Hehe, nggak pa-pa, kan? Makasih, yaaa.” Aira melesat ke kamarnya diiringi senyuman Angga.
“Makasih ya, Ga. Baik banget sampe beliin boneka buat Aira. Jangan terlalu dimanja itu anak, ngelunjak ntar,” kata Mama Aira.
Angga tertawa. “Nggak masalah, kok. Pulang dulu, Tante,” pamitnya.

***

Malam hari di kamarnya, Aira duduk di tempat tidur sambil menatap boneka kucing pemberian Angga.
“Jadi, namanya Ari?” gumamnya pada diri sendiri. Ia memuntir-muntir kumis kucingnya dengan tak mengerti.
Hanya butuh satu pertemuan. Hanya butuh satu tatapan. Hanya butuh satu senyuman. Hanya butuh satu sapaan. Dan Ari sudah berhasil membawa lari hati Aira!
Beberapa hari yang lalu Ari datang ke rumah Angga. Aira juga tidak sengaja datang siang itu. “Angga? Gue mau minta tolong.” Seperti biasa, Aira melangkah memasuki ruang tamu tanpa mengetuk pintu, karena kebetulan pintu depan juga sedang terbuka lebar. Tiba-tiba ia sadar ada seseorang di sana. Gadis itu menoleh ke sofa.
Aira hampir saja percaya bahwa ada seorang dewa Yunani berseragam sekolah yang kini tengah duduk di sofa. Gadis itu menahan napas, antara kaget dan terpesona.
“Hei,” sapa Ari. Bibirnya tersenyum sekadar untuk menunjukkan kesopanan. “Nyariin Angga?”
Aira mengangguk kaku, tak menyangka akan disapa oleh cowok tampan bersuara berat itu.
“Dia di dalem. Lagi ambil laptop.”
Aira kembali mengangguk. “Makasih,” gumamnya, lalu berjalan masuk, hampir lupa apa tujuannya mencari Angga ke sini.
Setelah pertemuan hari itu, belum pernah sekalipun Aira bertemu dengan Ari lagi. Ia memang tidak bersekolah di SMP yang sama dengan Angga. Tapi entah kenapa sejak hari itu pula wajah Ari selalu terbayang-bayang. Tidak terlupa satu detail pun. Mata hitam yang tajam. Alis yang tebal. Hidung yang mancung. Bibir yang tipis. Dagu dan rahang yang kokoh. Telinga yang bertindik...
Aira merebahkan diri bersama boneka kucing yang menjadi benda kesayangan terbarunya. Bibirnya tak berhenti tersenyum.
“Rira,” panggilnya pada boneka kucing di pelukannya. “Mulai sekarang nama kamu Arira, diambil dari Ari-Ira, oke? Sst, tapi ini jadi rahasia kita berdua aja ya? Jangan bilang-bilang ke Angga. Kalo di depan Angga, aku panggil kamu Kitty, deh. Hihi..” Konyol memang gadis itu. Tak heran Angga selalu gemas padanya. “Oh iya! Rira tau nggak?” katanya lagi. Kali ini dengan antusias. “Aira lagi jatuh cinta, lho!”

***

Dan bencana pun dimulai. Angga jelas merasakan ada yang berubah dari gadis itu. Aira-nya. Sahabat kecil yang menjadi dambaan hatinya. Semenjak Aira mengetahui nama Ari, ia selalu bertanya tentang cowok itu. Dan karena tak ingin menyakiti gadis kecil kesayangannya ini, Angga selalu menjawab meski enggan.
“Kalo Kak Ari suka cokelat nggak?” tanya Aira suatu siang.
“Mana gue tau,” jawab Angga malas, sudah nyaris bosan setiap hari diinterogasi tentang Ari. “Emangnya kenapa? Lo mau ngasih dia cokelat?”
Tanpa diduga, pertanyaan asal-asalan Angga dijawab dengan anggukan. “Udah mau valentine. Rencananya sih gue mau ngasih cookies cokelat buatan gue sendiri. Ntar tolong kasihin ya?”
Tubuh Angga menegang. Ada rasa cemburu amat sangat dalam hatinya. Sudah berapa valentine yang ia lalui bersama Aira? Apa gadis itu pernah sekalipun memberinya sesuatu? Tidak. Tidak pernah. Dia yang selalu memberi gadis itu sesuatu. Bunga. Kue. Cokelat. Boneka. Yang selalu saja tak dianggap berarti oleh Aira. Bukannya dia berharap Aira balas memberinya barang apapun. Ia hanya ingin Aira mulai menganggapnya sebagai lelaki, yang pantas diperhitungkan dalam hatinya.
Dan kini begitu Angga mengetahui Aira ingin memberi sesuatu kepada Ari, cowok yang bahkan tidak mengenal Aira, pertahanannya runtuh sudah. “Nggak! Nggak mau!” tolaknya. “Kasihin aja sendiri.”
“Iiih, kok jahat, sih?” Aira cemberut. “Plis, Gaaa. Pliiiiss. Gue malu kalo harus ngasih sendiri. Kan dia nggak kenal gue.”
Aira kembali memasang tampang andalannya. Tapi kali ini Angga mengeraskan hati. Cukup sudah pengorbanannya. Ia tak bisa bertahan lebih dari ini. “Pokoknya nggak!” tegasnya, lalu berjalan keluar dari rumah Aira.
Hingga valentine tiba, keduanya belum saling bicara sama sekali. Angga terlalu sakit hati, sementara Aira yang dasarnya kurang peka malah marah karena Angga tidak mau membantunya. Ia menganggap Angga sudah tidak peduli padanya.
Siang ini Angga berjalan bersama Ari menuju gerbang. “Ga, kayaknya gue pernah liat gadis itu.” Ari menyikutnya, lalu menunjuk ke arah gadis yang sedang celingukan di dekat gerbang.
Angga menyipitkan mata, dan seketika terkejut. “Aira?”
“Aira?” ulang Ari.
“Ngapain dia ke sini?” gumam Angga risau. Tanpa menjelaskan apa-apa pada Ari, cowok itu melangkah cepat menghampiri Aira. “Ra, ngapain lo ke sini?” desisnya.
“Lo kira untuk apa?” sahut Aira dengan nada pongah, bikin Angga tambah kaget. “Ah, itu dia!” jeritnya tertahan. Ditinggalkannya begitu saja Angga yang masih terperangah di tempat.
Ari yang daritadi hanya mengamati dari jauh, tertegun saat gadis yang dipanggil Aira itu melangkah ke arahnya. Di tangannya, ada tas kertas cantik berhias pita. Begitu tiba di depannya, gadis itu mengulurkan tas kertas tadi. “Buat elo, Kak Ari. Kenalin, gue Aira.”
Ari menerima tas kertas tadi ragu-ragu. “Ng... makasih. Tapi, buat apa? Kenapa lo ngasih ini?”
Happy valentine! Semoga lo suka,” seru Aira, lalu tanpa berkata-kata lagi, ia berbalik pergi. Saat melewati Angga, cewek itu tersenyum penuh kemenangan. “See? Gue nggak butuh bantuan elo!”

***

Pemandangan itu terjadi tepat di depan mata. Senyum puas dan kata-kata dari bibir Aira seolah mengejeknya. Angga masih tak bisa bergerak. Perlahan, ketika kesadarannya pulih, ia mempertanyakan apakah hatinya masih utuh di dalam. Tidak. Ia bahkan tak bisa merasakannya. Dadanya terasa hampa. Tidak ada sakit, sesak, atau kecewa.
“Ga,” panggil Ari yang sudah berdiri di dekatnya. Tangannya mengulurkan tas kertas pemberian Aira. “Mending lo balikin ini ke Aira. Gue...”
“Nggak!” geram Angga. “Itu buat elo. Lo harus terima!” Kemudian cowok itu melangkah pergi.
Ari jadi heran melihat Angga yang marah. Sebenarnya dia sudah terlalu sering mendapat bingkisan saat valentine. Tas kertas dari Aira ini mungkin bingkisan keduapuluh yang diterimanya hari ini. Karena tak ingin tas atau tangannya penuh dengan hadiah-hadiah monoton dari cewek-cewek pemujanya, Ari lebih sering membagi-bagikan hadiah itu untuk teman-teman cowoknya. Kalo kue, cokelat, atau permen, ya silahkan dimakan. Kalo kaos atau kemeja, ya silahkan dipake. Kalo bunga ato barang lainnya, silahkan aja disimpen. Ari tak peduli.
Hadiah dari Aira ini sama saja. Palingan isinya cokelat. Tapi kali ini Ari tidak membuang atau memberikannya kepada orang lain. Ia masukkan bingkisan itu ke dalam tas, lalu melanjutkan langkah ke gerbang. Aira. Gadis itu cukup aneh. Ari belum lupa wajahnya yang pernah ia temui di rumah Angga beberapa hari yang lalu.
“Tambah lagi deh daftar fans gue,” desah Ari tanpa bermaksud menyombong, malah terkesan lelah. “Sori, Ra. Tapi gue nggak tertarik.” Satu penolakan yang selalu Ari utarakan untuk setiap cewek dalam daftar fans-nya. Aira yang malang.

***

Angga segera mengejar Aira yang sudah berlari keluar gerbang sekolah. Gadis itu rupanya sedang menunggu bis di halte. Ia tampak tak peduli saat Angga menghampirinya.
“Jelasin ke gue! Apa itu tadi?” kata Angga marah. Dicekalnya erat tangan Aira.
“Gue musti jelasin apa? Gue cuma ngasih cokelat ke Ari. Ngasihin sendiri, oke? Karena lo kan nggak mau bantu gue,” sindir Aira sengit.
“Bukannya gue pernah bilang, jangan deket-deket sama Ari!”
“Emang kenapa?” tantang Aira. Cewek itu mulai murka. “Lo nggak berhak ngatur-ngatur gue! Terserah gue dong mau deket sama siapa.”
Kalimat Aira menohoknya. Angga serasa ditampar oleh kenyataan itu. Ya. dia memang tidak memiliki hak apa-apa untuk mengatur hidup Aira. Dia bukan siapa-siapa, terlebih bagi gadis ini. Dia hanya seorang sahabat dan tetangga masa kecil. Tidak lebih!
“Lepasin, gue mau pulang,” kata Aira pelan, seperti ingin menangis. Jujur, cewek itu pun merasa sakit mendengar kata-katanya sendiri.
“Pulang sama gue,” kata Angga. Ia eratkan cekalannya.
“Nggak! Gue mau pulang sendiri! Lepasin! Lo jauh-jauh aja dari gue!”
Mau tak mau Angga melepaskannya. Gadis itu naik ke bus yang berhenti di halte tanpa menoleh lagi. Angga mendesah, kemudian pergi dari situ.




Bersambung...


***

Fiuuuh, entah kenapa Aul kok suka ya sama karakternya Aira, kayak anak kecil gitu, polos, manja, lucuuu ^^
Part berikutnya masih lanjutan flashback.. staytune! #apadeh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar