Mau post 2 part sekaligus niiih!!
Gila, ngetiknya maraton banget, dari malem Minggu, trus langsung selesai 2 part di hari Minggunya! Gini nih kalo lagi ada ide, tangan dipaksa ngetik sampe pegel2.. Sementara kalo otak lagi buntu, mau berhari-hari di depan laptop juga nggak bakal nambah apa2, hehe...
Oke, kayak yang udah Aul bocorin, 2 part berikut ini menceritakan asal mula Angga dendam sama Ari.. Maybe it will be a mainstream story, but I've tried to write it in different way (walau mungkin hasilnya sama aja sih -_-)
Aul sebenernya agak gimanaaaa gitu mau nambahin peran, tapi kalo nggak ada peran tambahan juga nggak ada cerita dong.. Akhirnya terciptalah sosok "Aira" di sini, yang asli bikinan Aul sendiri, dari ide Aul sendiri
Nah, siapa itu Aira? Let's see...
***
Angga
berjalan sendirian memasuki sebuah restoran, tempat yang telah disepakati untuk
pertemuan mereka. Kayaknya tu cewek belom
dateng, pikirnya saat melayangkan pandangan ke penjuru restoran. Ia
mengambil tempat duduk di pojokan, menghindari orang-orang yang bisa saja
menjadi penguping. Baru saja ia duduk di bangku yang menghadap pintu restoran, cewek
yang ditunggunya datang.
Angga
melambaikan tangan hingga cewek itu melihatnya. Segera saja ia melenggang
menghampiri Angga dan duduk dengan gaya anggun yang dibuat-buat. Cih, emang dasar cewek murahan, cibir
Angga dalam hati begitu mengamati mini
dress yang dikenakan cewek itu. Begini
nih gambar-gambar seniornya Airlangga. Nggak beres. Ah, peduli apa gue. Enak malah dapet tontonan gratis gini.
“Udah
puas liatin gue, hm?” kata Vero yang menyadari tatapan mata Angga tertuju pada
badannya.
Angga
tersenyum kecut. “Sori, tapi gue nggak tertarik.”
“Ya
iyalah. Tipe elo kan gadis-gadis sok polos kayak Tari,” dengus Vero, lalu
menyilangkan kakinya, dengan sengaja memamerkan kakinya yang jenjang. “So, lo mau denger nggak rencana kita
selanjutnya?”
“Ya.
Jelasin ke gue,” jawab Angga. Meski tadi dia bilang tidak tertarik, matanya tak
lepas dari kedua kaki Vero. Sementara si Vero cuek bebek, malah terkesan bangga
karena berhasil memancing pentolan Brawijaya ini.
“Puas-puasin
deh pelototin kaki gue. Besok-besok lo udah nggak bisa dapet kesempatan ini
lagi karena udah jalan sama Tari.”
Angga
kontan menatap wajah Vero. “Apa maksud lo?”
Vero
tersenyum sambil memajukan kursinya. “Oh, gue belom bilang ya? Pangeran gue
tercinta, si Matahari Senja, berhasil bawa saudara kembarnya ke Jakarta. Itu
artinya, rencana kita berjalan mulus, dan sebentar lagi Tari jadi milik elo.”
Angga
terdiam, berusaha mencerna perkataan Vero. Perlahan, bibirnya terkembang. “Good job,” katanya puas. “Bego banget si
Ari. Bawa saudara kembarnya ke Jakarta. Well,
berarti dia yang bawa bencana itu sendiri ke sini.”
“Stop
bego-begoin Ari di depan gue,” gerutu Vero.
“Sial,
gue lupa. Sori. Jadi, gimana rencana selanjutnya?”
***
Ari
memarkirkan motor di depan sebuah rumah sederhana. Tanpa mengetuk pintu, ia
langsung masuk dan mendapati Ata baru saja keluar dari kamar mandi sambil
mengusap rambutnya yang basah.
“Baru
aja mandi?” tanya Ari.
“Iya.
Gue baru aja nyampe rumah. Lo dari mana aja?”
“Nganterin
Tari.”
Langkah
Ata terhenti sejenak. Ia mengamati wajah saudara kembarnya, seperti mencari sesuatu
dari sana. Tapi yang ia dapat hanya wajah lelah Ari. “Oh,” sahutnya singkat. Cowok
itu duduk di sofa depan televisi, lalu menyalakannya.
Ari
mengempaskan tubuh di sebelah Ata. “Dia aneh banget,” keluhnya.
“Siapa?”
“Tari.”
Ari menyandarkan kepala dengan lelah. Matanya yang baru terpejam beberapa detik
tiba-tiba terbuka lagi setelah menyadari sesuatu. “Tunggu. Lo bilang lo baru
aja pulang?”
Ata
mengangguk tak acuh. Tangannya memegang remote untuk mengganti-ganti channel.
“Lo
tadi liat Tari di sekolah? Sore ini, maksud gue. Lo liat ada yang macem-macem
sama dia?”
Gerakan
Ata kembali terhenti. Ia menoleh ke Ari dengan wajah datar. “Nggak,” jawabnya.
“Emang dia kenapa?”
Ari
mendesah. Ia berharap Ata memiliki jawaban untuknya atas keanehan Tari. Tentang
alasan gadis itu menangis dan memaksanya untuk menceritakan tentang kepindahan
Ata. Sebersit pikiran aneh timbul di pikiran Ari. Apa ini memang hanya
kebetulan kalau Ata dan Tari keluar dari sekolah hampir bersamaan? Bagaimana
mungkin Ata tidak melihat Tari di sekolah kalau memang benar keduanya sama-sama
pulang sore? “Lo serius?” tanya Ari lagi.
Ata
terdiam sejenak. “Gue mau belajar,” katanya sambil mematikan televisi, lalu
beranjak ke kamar untuk mengambil buku.
“Gue
nanya ke elo, Matahari Jingga,” desis Ari, tidak suka dengan sikap Ata yang
tiba-tiba menghindarinya.
Ata
membalikkan badan dan menatap Ari. “Gue nggak liat dia! Oke? Gue nggak ketemu
sama dia. Lo nuduh gue bohong?” Mendadak matanya menyipit. “Oh, ato
jangan-jangan lo nuduh gue yang jadi penyebab keanehan Tari? Lo nuduh gue yang
macem-macem ke dia?”
“Apa?
Bukan gitu...” sahut Ari tergeragap. Memang dia sempat curiga pada saudara
kembarnya ini. Tapi tak mungkin ia terang-terangan menuduh Ata tanpa bukti.
Bisa saja Ata memang mengatakan yang sebenarnya. “Sori,” katanya sambil
bangkit. “Gue nggak bermaksud nuduh elo. Gue cuma... ah, lupakan aja. Mana
Mama?”
Ata
membukakan pintu kamar, menunjuk Mama yang telah tertidur nyenyak di tempat
tidur. “Udah tidur. Mungkin kecapekan beres-beres rumah seharian ini.”
Ari
melangkah masuk, lalu mencium kening Mamanya lembut. “Ari pulang dulu, Ma,”
pamitnya lirih. “Balik dulu, bro,” katanya pada Ata.
Ata
mengantar saudara kembarnya sampai pintu depan. “Eh, Ri?” panggilnya saat Ari
menaiki motor. Ari menoleh, tidak jadi memakai helm. “Ya?”
“Gue
mau nanya sesuatu.” Ata melangkah mendekat. Wajahnya nampak serius. “Tentang
Angga. Anggada.”
Kedua
alis Ari terangkat mendengar Ata menyebut nama musuh bebuyutannya.
“Lo
kenal dia?” tanya Ata lagi.
Bagaimana
mungkin Ari tidak mengenal seseorang yang selalu menggiring pasukannya untuk
menyerang SMA Airlangga itu? “Jelas,” jawab Ari. “Kenapa? Lo kenal juga? Ada
urusan apa?” Ari tidak suka kalau Angga ikut melibatkan Ata.
“Gue
nggak ada urusan apa-apa sama dia.” Ata menggeleng pelan. “Tapi gue tau lo
nggak berhubungan baik sama dia,” lanjutnya.
Mau
tak mau Ari mengangguk mengakui. “Bukan salah gue, Ta,” desahnya. “Gue temenan
sama dia pas di SMP. Tapi tau-tau sikap dia aneh banget, seolah gue ini musuh
terbesarnya. Dia kayak punya dendam gitu ke gue, padahal gue merasa sama sekali
nggak pernah bikin kesalahan ke dia.”
Jelas bukan kesalahan
elo, Ri, kata Ata dalam hati. Karena ini semua kesalahan gue. Jadi gue yang harus menebusnya, meski
itu artinya lo harus ikut berkorban.
***
Beberapa tahun yang
lalu...
“Makannya
pelan-pelan, dong.” Angga mengelap sudut bibir Aira menggunakan tisu, lalu
memperlihatkan noda saus di tisu itu. “Nih, belepotan semua.”
Aira
nyengir dengan pipi menggembung, lalu buru-buru mengunyah dan menelan spaghetti di mulutnya. Angga menatapnya
gemas. Gadis ini! Teman masa kecil yang berhasil mencuri perhatiannya sejak
pertama mereka bertemu sebagai tetangga. Umurnya satu tahun lebih muda dari
Angga. Dan ketika mereka memasuki masa remaja, gadis ini bukan hanya berhasil
mencuri perhatiannya, tapi juga hatinya! Aira tumbuh menjadi gadis yang cantik.
Kepolosan gadis itu membuat Angga terpesona. Kebaikan hati gadis itu membuat
Angga jatuh cinta. Dan senyuman gadis itu membuat Angga ingin memilikinya.
Siang
ini, Angga mengajaknya makan siang di mal. Bukan sesuatu yang spesial, karena
mugkin sudah ribuan kali mereka jalan berdua seperti ini.
“Lo
masih belom mau ngenalin temen lo waktu itu?” tanya Aira, membuat Angga nyaris
tersedak minumannya.
“Temen
yang mana?” tanya Angga gugup.
“Yang
waktu itu dateng ke rumah eloooo,” sahut Aira gemas. “Harus gue sebutin lagi ciri-cirinya?
Tinggi, ganteng, putih, telinga kirinya bertindik...”
“Oke,
oke, stop,” potong Angga. “Gue tau yang lo maksud. Namanya Ari, oke? A-ri.”
Angga mengejakan nama Ari dengan malas.
“Ari?”
Kedua mata Aira yang berwarna amber kontan berbinar. “Wah! Bahkan nama dia
kebalikan dari nama gue. Ari-Ira, bagus, kan?” Gadis itu tertawa senang.
“Seneng
banget,” dengus Angga. “Tapi gue peringatin ke elo, jangan deket-deket sama
dia.”
Tawa
Aira lenyap. Ia menatap Angga dengan bingung. “Emangnya kenapa?”
“Dia
bukan cowok baik-baik, Ra. Gue kenal sama dia. Gue tau gimana latar belakang
dia. Lo liat aja penampilannya, telinganya tindikan gitu.”
“Emang
kenapa kalo dia tindikan?” protes Aira tidak terima. Nada suaranya meninggi.
“Bukan berarti dia jahat, kan? Lo juga dulu pernah mau tindikan, tapi gue
larang. Inget nggak? Nyatanya lo tuh cowok baik-baik, Ga. Mungkin itu yang
terjadi sama Ari. Dia emang niat mau tindikan, tapi karena nggak ada yang
ngelarang, ya dia lakuin aja.”
“Terserah,
deh,” gumam Angga, malas kalau harus memulai perdebatan dengan Aira. “Abisin
tuh makanannya. Kita jalan lagi abis ini.”
“Oke.”
Aira kembali menyantap spaghetti-nya.
“Oh iya! Ga?” panggil Aira. Lagi-lagi dengan mulut penuh.
“Telen
dulu, anak kecil.” Gadis ini memang selalu berhasil memunculkan senyumnya.
“Keselek ntar.”
Aira
segera menelan tanpa sempat mengunyah makanannya sampai halus. “Ada boneka yang
gue pingin. Beliin ya?”
“Ih,
lo kira gue Bokap lo,” dengus Angga. “Boneka apa? Barbie?”
“Yee.
Gue udah nggak mainan Barbie lagi. Yang ini boneka kucing, lucuuuuu banget. Gue
nggak mau boneka itu keburu dibeli orang karena gue belom punya uang.” Aira
memasang tampang andalannya. Muka memelas dengan mata membesar yang bikin
trenyuh siapa saja yang melihatnya, apalagi Angga.
Cowok
itu mendesah pelan, luluh begitu saja. “Iya, deh, iya. Jangan nangis. Ntar gue
beliin.”
“Yes!
Makasih!” Aira kontan berdiri dan mencium pipi Angga, membuat cowok itu terpaku
seketika. “Ups, sori. Pipi lo jadi kena saus,” kata Aira. Ia mengulurkan
tangan, hendak mengelap pipi Angga menggunakan tisu tanpa menyadari reaksi
cowok itu. Angga tak bisa bergerak. Persendiannya terkunci dan otot-ototnya
membeku selagi Aira mengusap pipinya lembut.
“Nah,
selesai. Yuk langsung bayar aja. Gue udah kenyang.” Aira mendorong piring spaghetti-nya menjauh, lalu menarik
Angga ke kasir.
***
“Iiiih,
lucu banget! Liat! Lucu, kan? Lucu, kan? Kayak gue, kan?” Aira memamerkan
boneka barunya ke depan muka Angga sambil berteriak girang. Keduanya baru saja
keluar dari toko tempat boneka kucing incaran Aira berada. Dan sekarang si
kucing pink itu sudah berpindah ke
pelukan Aira.
“Iyaaa,
lucu, kayak elo,” sahut Angga geli. “Bilang apa, dong?”
“Makasiiiiih!”
Aira memeluk boneka kucing raksasanya erat.
“Bilang
makasihnya ke gue tapi yang dipeluk bonekanya,” gerutu Angga.
“Jadi
elo mau gue peluk juga?”
“Mau.”
Aira
pura-pura berpikir. “Nggak, ah. Ntar dimarahin Mama kalo peluk-pelukan.”
“Lah
tadi lo nyium pipi gue?” protes Angga dengan senyum tertahan.
“Refleks,
Ga,” sahut Aira nyengir. “Pulang yuk? Mau pamer boneka ini ke Mama.”
Angga
menggelengkan kepala. Tangannya mengusap kepala Aira dengan gemas. “Dasar anak
kecil.”
***
“Mamaaaa,
Aira dapet boneka lucu dari Angga! Liat!” teriak Aira begitu sampai di rumah. Angga
mengikuti di belakangnya. Rumah Aira yang terletak persis di sebelah rumahnya
memang sudah seperti rumah kedua. Orang tua Aira dan orang tua Angga
membebaskan anak-anaknya keluar masuk, sudah menganggap keluarga sendiri.
“Sudah
berapa kali Mama bilang, panggil dia Kak. Dia lebih tua, Ra,” tegur Mama yang
baru selesai mengangkati jemuran.
Angga
tertawa. “Nggak pa-pa, Tante. Saya nggak keberatan. Dia emang bandel, susah
dibilangin. Jadi biarin aja.”
Aira
jadi cemberut. “Aira nggak suka manggil Angga pake Kak. Kan cuma beda satu tahun.”
“Iyaa,
gue juga nggak mau dipanggil Kak sama elo. Dah, sana, simpen bonekanya. Bantuin
Mama tuh lipet baju. Lo tuh ya, udah SMP, masih aja main boneka.”
“Hehe,
nggak pa-pa, kan? Makasih, yaaa.” Aira melesat ke kamarnya diiringi senyuman
Angga.
“Makasih
ya, Ga. Baik banget sampe beliin boneka buat Aira. Jangan terlalu dimanja itu
anak, ngelunjak ntar,” kata Mama Aira.
Angga
tertawa. “Nggak masalah, kok. Pulang dulu, Tante,” pamitnya.
***
Malam
hari di kamarnya, Aira duduk di tempat tidur sambil menatap boneka kucing
pemberian Angga.
“Jadi,
namanya Ari?” gumamnya pada diri sendiri. Ia memuntir-muntir kumis kucingnya
dengan tak mengerti.
Hanya
butuh satu pertemuan. Hanya butuh satu tatapan. Hanya butuh satu senyuman.
Hanya butuh satu sapaan. Dan Ari sudah berhasil membawa lari hati Aira!
Beberapa
hari yang lalu Ari datang ke rumah Angga. Aira juga tidak sengaja datang siang
itu. “Angga? Gue mau minta tolong.” Seperti biasa, Aira melangkah memasuki
ruang tamu tanpa mengetuk pintu, karena kebetulan pintu depan juga sedang
terbuka lebar. Tiba-tiba ia sadar ada seseorang di sana. Gadis itu menoleh ke
sofa.
Aira
hampir saja percaya bahwa ada seorang dewa Yunani berseragam sekolah yang kini
tengah duduk di sofa. Gadis itu menahan napas, antara kaget dan terpesona.
“Hei,”
sapa Ari. Bibirnya tersenyum sekadar untuk menunjukkan kesopanan. “Nyariin
Angga?”
Aira
mengangguk kaku, tak menyangka akan disapa oleh cowok tampan bersuara berat
itu.
“Dia
di dalem. Lagi ambil laptop.”
Aira
kembali mengangguk. “Makasih,” gumamnya, lalu berjalan masuk, hampir lupa apa
tujuannya mencari Angga ke sini.
Setelah
pertemuan hari itu, belum pernah sekalipun Aira bertemu dengan Ari lagi. Ia
memang tidak bersekolah di SMP yang sama dengan Angga. Tapi entah kenapa sejak
hari itu pula wajah Ari selalu terbayang-bayang. Tidak terlupa satu detail pun.
Mata hitam yang tajam. Alis yang tebal. Hidung yang mancung. Bibir yang tipis.
Dagu dan rahang yang kokoh. Telinga yang bertindik...
Aira
merebahkan diri bersama boneka kucing yang menjadi benda kesayangan terbarunya.
Bibirnya tak berhenti tersenyum.
“Rira,”
panggilnya pada boneka kucing di pelukannya. “Mulai sekarang nama kamu Arira, diambil
dari Ari-Ira, oke? Sst, tapi ini jadi rahasia kita berdua aja ya? Jangan bilang-bilang
ke Angga. Kalo di depan Angga, aku panggil kamu Kitty, deh. Hihi..” Konyol
memang gadis itu. Tak heran Angga selalu gemas padanya. “Oh iya! Rira tau
nggak?” katanya lagi. Kali ini dengan antusias. “Aira lagi jatuh cinta, lho!”
***
Dan
bencana pun dimulai. Angga jelas merasakan ada yang berubah dari gadis itu.
Aira-nya. Sahabat kecil yang menjadi dambaan hatinya. Semenjak Aira mengetahui
nama Ari, ia selalu bertanya tentang cowok itu. Dan karena tak ingin menyakiti
gadis kecil kesayangannya ini, Angga selalu menjawab meski enggan.
“Kalo
Kak Ari suka cokelat nggak?” tanya Aira suatu siang.
“Mana
gue tau,” jawab Angga malas, sudah nyaris bosan setiap hari diinterogasi
tentang Ari. “Emangnya kenapa? Lo mau ngasih dia cokelat?”
Tanpa
diduga, pertanyaan asal-asalan Angga dijawab dengan anggukan. “Udah mau valentine. Rencananya sih gue mau ngasih
cookies cokelat buatan gue sendiri.
Ntar tolong kasihin ya?”
Tubuh
Angga menegang. Ada rasa cemburu amat sangat dalam hatinya. Sudah berapa valentine yang ia lalui bersama Aira?
Apa gadis itu pernah sekalipun memberinya sesuatu? Tidak. Tidak pernah. Dia yang
selalu memberi gadis itu sesuatu. Bunga. Kue. Cokelat. Boneka. Yang selalu saja
tak dianggap berarti oleh Aira. Bukannya dia berharap Aira balas memberinya
barang apapun. Ia hanya ingin Aira mulai menganggapnya sebagai lelaki, yang
pantas diperhitungkan dalam hatinya.
Dan
kini begitu Angga mengetahui Aira ingin memberi sesuatu kepada Ari, cowok yang
bahkan tidak mengenal Aira, pertahanannya runtuh sudah. “Nggak! Nggak mau!”
tolaknya. “Kasihin aja sendiri.”
“Iiih,
kok jahat, sih?” Aira cemberut. “Plis, Gaaa. Pliiiiss. Gue malu kalo harus
ngasih sendiri. Kan dia nggak kenal gue.”
Aira
kembali memasang tampang andalannya. Tapi kali ini Angga mengeraskan hati.
Cukup sudah pengorbanannya. Ia tak bisa bertahan lebih dari ini. “Pokoknya
nggak!” tegasnya, lalu berjalan keluar dari rumah Aira.
Hingga
valentine tiba, keduanya belum saling
bicara sama sekali. Angga terlalu sakit hati, sementara Aira yang dasarnya
kurang peka malah marah karena Angga tidak mau membantunya. Ia menganggap Angga
sudah tidak peduli padanya.
Siang
ini Angga berjalan bersama Ari menuju gerbang. “Ga, kayaknya gue pernah liat
gadis itu.” Ari menyikutnya, lalu menunjuk ke arah gadis yang sedang celingukan
di dekat gerbang.
Angga
menyipitkan mata, dan seketika terkejut. “Aira?”
“Aira?”
ulang Ari.
“Ngapain
dia ke sini?” gumam Angga risau. Tanpa menjelaskan apa-apa pada Ari, cowok itu
melangkah cepat menghampiri Aira. “Ra, ngapain lo ke sini?” desisnya.
“Lo
kira untuk apa?” sahut Aira dengan nada pongah, bikin Angga tambah kaget. “Ah,
itu dia!” jeritnya tertahan. Ditinggalkannya begitu saja Angga yang masih terperangah
di tempat.
Ari
yang daritadi hanya mengamati dari jauh, tertegun saat gadis yang dipanggil
Aira itu melangkah ke arahnya. Di tangannya, ada tas kertas cantik berhias
pita. Begitu tiba di depannya, gadis itu mengulurkan tas kertas tadi. “Buat
elo, Kak Ari. Kenalin, gue Aira.”
Ari
menerima tas kertas tadi ragu-ragu. “Ng... makasih. Tapi, buat apa? Kenapa lo
ngasih ini?”
“Happy valentine! Semoga lo suka,” seru
Aira, lalu tanpa berkata-kata lagi, ia berbalik pergi. Saat melewati Angga,
cewek itu tersenyum penuh kemenangan. “See?
Gue nggak butuh bantuan elo!”
***
Pemandangan
itu terjadi tepat di depan mata. Senyum puas dan kata-kata dari bibir Aira
seolah mengejeknya. Angga masih tak bisa bergerak. Perlahan, ketika
kesadarannya pulih, ia mempertanyakan apakah hatinya masih utuh di dalam.
Tidak. Ia bahkan tak bisa merasakannya. Dadanya terasa hampa. Tidak ada sakit,
sesak, atau kecewa.
“Ga,”
panggil Ari yang sudah berdiri di dekatnya. Tangannya mengulurkan tas kertas
pemberian Aira. “Mending lo balikin ini ke Aira. Gue...”
“Nggak!”
geram Angga. “Itu buat elo. Lo harus terima!” Kemudian cowok itu melangkah
pergi.
Ari
jadi heran melihat Angga yang marah. Sebenarnya dia sudah terlalu sering
mendapat bingkisan saat valentine.
Tas kertas dari Aira ini mungkin bingkisan keduapuluh yang diterimanya hari
ini. Karena tak ingin tas atau tangannya penuh dengan hadiah-hadiah monoton
dari cewek-cewek pemujanya, Ari lebih sering membagi-bagikan hadiah itu untuk
teman-teman cowoknya. Kalo kue, cokelat, atau permen, ya silahkan dimakan. Kalo
kaos atau kemeja, ya silahkan dipake. Kalo bunga ato barang lainnya, silahkan
aja disimpen. Ari tak peduli.
Hadiah
dari Aira ini sama saja. Palingan isinya cokelat. Tapi kali ini Ari tidak
membuang atau memberikannya kepada orang lain. Ia masukkan bingkisan itu ke dalam
tas, lalu melanjutkan langkah ke gerbang. Aira. Gadis itu cukup aneh. Ari belum
lupa wajahnya yang pernah ia temui di rumah Angga beberapa hari yang lalu.
“Tambah
lagi deh daftar fans gue,” desah Ari tanpa bermaksud menyombong, malah terkesan
lelah. “Sori, Ra. Tapi gue nggak tertarik.” Satu penolakan yang selalu Ari
utarakan untuk setiap cewek dalam daftar fans-nya. Aira yang malang.
***
Angga
segera mengejar Aira yang sudah berlari keluar gerbang sekolah. Gadis itu rupanya
sedang menunggu bis di halte. Ia tampak tak peduli saat Angga menghampirinya.
“Jelasin
ke gue! Apa itu tadi?” kata Angga marah. Dicekalnya erat tangan Aira.
“Gue
musti jelasin apa? Gue cuma ngasih cokelat ke Ari. Ngasihin sendiri, oke?
Karena lo kan nggak mau bantu gue,” sindir Aira sengit.
“Bukannya
gue pernah bilang, jangan deket-deket sama Ari!”
“Emang
kenapa?” tantang Aira. Cewek itu mulai murka. “Lo nggak berhak ngatur-ngatur
gue! Terserah gue dong mau deket sama siapa.”
Kalimat
Aira menohoknya. Angga serasa ditampar oleh kenyataan itu. Ya. dia memang tidak
memiliki hak apa-apa untuk mengatur hidup Aira. Dia bukan siapa-siapa, terlebih
bagi gadis ini. Dia hanya seorang sahabat dan tetangga masa kecil. Tidak lebih!
“Lepasin,
gue mau pulang,” kata Aira pelan, seperti ingin menangis. Jujur, cewek itu pun
merasa sakit mendengar kata-katanya sendiri.
“Pulang
sama gue,” kata Angga. Ia eratkan cekalannya.
“Nggak!
Gue mau pulang sendiri! Lepasin! Lo jauh-jauh aja dari gue!”
Mau
tak mau Angga melepaskannya. Gadis itu naik ke bus yang berhenti di halte tanpa
menoleh lagi. Angga mendesah, kemudian pergi dari situ.
Bersambung...
***
Fiuuuh, entah kenapa Aul kok suka ya sama karakternya Aira, kayak anak kecil gitu, polos, manja, lucuuu ^^
Part berikutnya masih lanjutan flashback.. staytune! #apadeh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar