Sabtu, 14 Maret 2015

Jingga untuk Matahari #fanfiction-15

Akhir-akhir ini Ari terlihat sibuk. Itu yang Tari pikirkan semenjak terakhir kali mereka jalan bersama mencari mesin jahit. Ari tidak menjawab pertanyaan tentang tujuan ia membeli mesin jahit waktu itu, jadi Tari hanya bisa bertanya-tanya dalam hati. Cowok itu juga sekarang jarang mengunjungi kelas atau rumahnya, meski setiap pagi dan siang Ari masih setia menjadi ojek pribadi.
“Sibuk?” tanya Tari suatu siang saat naik ke boncengan Ari.
“Lumayan,” jawab Ari, tidak menyangka Tari mengamati kegiatannya belakangan ini. Cowok itu menoleh ke belakang. “Kenapa?”
“Heran aja. Sibuk ngapain, sih?”
“Lo lupa? Gue kan udah kelas 12, harus rajin belajar. Nggak boleh bolos-bolos lagi. Udah? Pegangan.”
Kening Tari jadi keriting. Sejak kapan Ari sadar lahir batin kalau dirinya udah kelas 12? Maksudnya, Ari mau tobat gitu? Mau berubah jadi anak teladan? Sungguh ajaibnya hidup ini kalau itu memang terjadi!
Tanpa bertanya-tanya lagi, Tari melingkarkan lengan ke perut Ari. Nggak masalah deh kalo Ari mau tobat. Alhamdulillah, malah. Yang penting mereka masih bisa bersama, itu udah cukup.
Karena gue nggak mau kehilangan elo, Kak. Seiring dengan pikiran itu, tanpa sadar Tari mengetatkan pelukannya, bahkan menempelkan pipinya ke punggung Ari, bersandar sepenuhnya pada cowok itu.
Ari jelas kehilangan konsentrasi. Ia mengurangi kecepatan motor, lalu menoleh sekilas ke belakang. “Kenapa sih, Tar? Tiba-tiba nempel-nempel gitu?”
“Eh,” Tari langsung menegakkan badan. “Sori, Kak. Ngantuk, hehe..”
Ari tersenyum, meski ia tahu Tari tak bisa melihat senyumnya. “Sabar. Jangan tidur dulu, ntar jatoh. Lain kali kalo ngantuk bilang aja, biar gue pinjem mobil Ridho buat nganterin elo.”
Ini dia. Bentuk perhatian seperti ini yang Tari suka dari seorang Ari. Kelembutan yang jarang ditampakkan di depan orang lain. Kehangatan yang berhasil menyentuh hatinya hingga Tari yakin keputusannya untuk menerima sosok Matahari ini tidak salah. Tari ingin menjadi satu-satunya gadis yang tidak dipertontonkan segala macam bentuk kemunafikan dari Ari. Tari ingin menjadi satu-satunya gadis yang bisa menemani hati yang terluka itu. Tari ingin menjadi satu-satunya gadis yang menjadi tempat cowok itu menumpahkan air mata. Karena bagaimanapun, setelah apa yang mereka berdua lewati selama ini, Tari merasa yakin bahwa tempatnya memang di sini, bersama Ari. Tidak mungkin Tuhan menyinggungkan garis takdir mereka tanpa maksud apa-apa. Tidak mungkin teori kesamaan nama mereka hanya omong kosong belaka. Tidak ada kebetulan yang begitu dalam dan bertubi-tubi seperti ini. Pasti ada benang tak kasat mata yang memang menghubungkan mereka, entah bagaimana.
“Tar?” panggil Ari, agak terlalu kencang.
“Eh, ya, Kak?” sahut Tari kaget.
“Oooh, syukur, deh. Gue kira lo tidur beneran. Kok diem? Lagi mikirin gue ya?”
“Ih, sembarangan,” cibir Tari, meski dalam hati membenarkan dugaan Ari. Ia sendiri juga heran kenapa mendadak menjadi melankolis dan memikirkan hal-hal seperti itu tadi.
Ari tertawa kecil. “Pegangan yang kenceng. Mau ngebut nih, biar cepet sampe rumah.”

***

Hari ini ada pelajaran olahraga. Tari dan teman-temannya sedang melakukan pemanasan sementara Pak Adang memberi instruksi pembagian kelompok untuk pertandingan basket. Tatapan Tari jatuh ke gerombolan cowok kelas dua belas di salah satu tepi lapangan. Ada sekitar 7 atau 8 orang yang mengumpul di sana, salah satunya adalah Ari. Cowok itu ternyata juga tengah menatapnya, lalu melempar senyum.
“Nggak pelajaran?” tanya Tari tanpa suara.
Ari menangkap gerakan bibir Tari. Cowok itu menggeleng. “Kosong,” balasnya, juga tanpa suara.
Hebat memang keduanya, bisa berkomunikasi jarak jauh gitu hanya dengan gerakan bibir. “Belajar sana!” balas Tari dengan wajah galak sambil mengangkat satu kaki untuk meregangkan ototnya.
Ari tertawa kecil. “Ntar,” jawabnya.
Tari mendengus. Gimana sih tu cowok? Katanya udah harus rajin belajar? Giliran pelajaran kosong kok nggak buat belajar, malah nongkrong di pinggir lapangan. Tapi Tari tak ingin ambil pusing.
“Hei, Tar! Kita sekelompok!” teriak Fio.
Tari memutar lehernya untuk mencari sumber suara itu. “Ha? Sekelompok apa?” tanyanya bingung setelah menemukan Fio yang sedang mencoba men-drible bola.
Fio memutar bola mata. Pasti deh Tari nggak konsentrasi sama wejengan Pak Adang tadi. Tiba-tiba ia melihat sosok Ari dan teman-temannya di seberang lapangan. “Oooh, pantesan,” kata Fio. “Sekelompok basket sama gue, Neng. Konsentrasi, dong! Mentang-mentang ada Kak Ari.”
Tari cuma nyengir. Ternyata kelompoknya maju pertama, melawan kelompoknya Nyoman. Ia mengambil posisi yang diinstruksikan Maya, yang memang lebih jago basket. Tari mah ngikut aja, secara dia nggak paham blas soal strategi basket.
Setelah lima menit berlalu, Tari mendapat operan bola. Karena Nyoman dan Lia mendesaknya, tanpa pikir panjang Tari melempar bola ke arah Maya yang berada di pinggir, bebas dari lawan. Meleset! Lemparan Tari melambung jauh dari jangkauan Maya yang tidak siap, melayang keluar dari lapangan, dan...
Dug!
“Aauu!” Mendarat persis di kepala seorang cowok! Cowok yang sedang berjalan membelakangi lapangan itu kontan menghentikan langkah dan mengusap kepalanya.
Saat berlari menghampiri cowok tadi, Tari menoleh sekilas ke tempat Ari. Dilihatnya cowok itu menahan senyum geli sambil menggelengkan kepala. Tari meringis agak bersalah.
“Maaf, Kak,” katanya pada cowok yang kepalanya sempat jadi tempat landing si bola oranye. Dari perawakannya sih keliatan banget dia kakak kelas, jadi Tari manggil dia “Kak”. “Saya nggak sengaja. Kakak nggak pa-pa, kan?”
Begitu cowok tadi membalikkan badan, Tari terperangah. Ari? Tapi bukankah tadi Ari masih di seberang lapangan bersama teman-temannya? Kok bisa tiba-tiba ada di sini?
Ari yang berdiri di depannya itu tersenyum. Tangan kanannya memegang bola basket tadi. “Gue nggak pa-pa. Nyut-nyutan dikit doang. Tapi ntar juga ilang.”
Tari membalikkan badan dengan kaku, mencari Ari di tempatnya. Lho? Cowok itu masih di sana, di seberang lapangan, memperhatikannya dengan senyuman tertahan. Tari sampai menyipitkan mata untuk memastikan bahwa itu benar-benar Ari. Ya. Tentu saja cowok di seberang sana adalah Ari. Tidak ada cowok yang telinganya bertindik di sekolah ini selain cowoknya yang urakan itu. Tidak ada cowok yang seragamnya berantakan selain cowoknya yang bandel itu. Jadi, siapa Ari yang berdiri di belakangnya ini...
Surprise,” bisik cowok tadi, tepat di belakang daun telinganya.
Tari tersentak, dan lagi-lagi membalikkan badan. Kesadaran itu menghantamnya seketika. “Kak Ata?!”

***

“Jadi itu cara lo nyambut murid baru di sini? Lemparin bola ke kepalanya? Wonderful.”
Tari tak bisa berkata-kata untuk membalas candaan Ata. Kegiatan di lapangan jadi terhenti setelah mereka mendengar pekikan Tari yang menyebut nama kembaran Ari. Bisikan-bisikan kaget pun meledak di udara.
“Itu Kak Ata? Kembarannya Kak Ari itu?”
“Dia kok di sini? Kok pake seragam?”
“Dia pindah ke sekolah ini!”
“Apa?! Yang bener? Sejak kapan?”
Was... wes... wos... Seruan-seruan tertahan dari teman-teman sekelasnya bagai angin ribut di telinga Tari, bikin pusing. Dia sendiri masih berusaha mencerna kehadiran Ata di depannya ini. Ya! Ata! Seorang kembaran dari Matahari Senja, siang ini berdiri di depannya, di lapangan SMA Airlangga, sekaligus mengenakan seragam SMA yang komplit dan rapi! Surprise?! Are you kidding me? Tari nyaris menjerit.
“Nggak usah melotot gitu, Tar. Gue bukan makhluk astral, kok. Gue emang Ata. Ato perlu gue kenalin diri lagi, hm?” Ata melipat tangan di depan dada sambil mengangkat satu alisnya. “Kayaknya nggak perlu sih, soalnya lo nggak bakal lupa nama gue yang cuma kebalikan dari nama elo, Jingga Matahari.”
Tatapan Ata berpindah ke belakang Tari. “Cewek lo kaget banget, Ri. Syok malah. Jangan salahin gue kalo dia kena serangan jantung. Ini ide elo.”
Tari merasakan seseorang merangkul bahunya. Ia menoleh. Ari telah berdiri di sana dengan cengiran lebar. “Sori, Tar. Kaget, kan? Berarti kejutan gue berhasil, dong!”
“Berhasil?!” Tari meledak. “Jadi ini yang lo rahasiain dari gue?! Nyebelin banget lo, Kak! Rese!” Entah kenapa cewek itu tiba-tiba emosi. Tari mengenyahkan tangan Ari dari bahunya dengan kasar, lalu merebut bola dari tangan Ata.
“Apa liat-liat?” sentak Tari pada teman-teman ceweknya yang sekarang tengah bergerombol sambil mengagumi kedua Matahari yang berdiri di tepi lapangan. Gimana nggak bengong coba kalo ada dua insan yang nyaris sempurna seperti Ari dan Ata berdiri di satu tempat? Satu aja rasanya udah kayak mimpi di siang bolong. Lah ini ada dua? Kayaknya cewek-cewek SMA Airlangga emang lagi disayang Dewi Fortuna.
“Ayoooo, main lagi!” seru Tari jengkel karena teman-temannya tidak beranjak.
“Lo main sendiri deh sono,” sahut Nyoman tak acuh.
Tari yang sudah berdiri di tengah lapangan kontan melotot. Suruh main sendiri? Emang tuh si Nyoman minta ditimpuk pake bola. Sekilas, ia melihat Ari berbisik di telinga Ata. Saudara kembarnya itu mengangguk, lalu mendadak mereka berdua lari ke arah Tari.
Eh, mau apa mereka?! Tari jadi panik. Ia sudah bersiap kabur saat bola di tangannya direbut begitu saja. Dan dalam sekejab, Ari dan Ata mengambil alih lapangan. Tari mundur perlahan, menghindari kedua kembar yang kini asyik berduel basket. Ia hanya bisa terperangah tak percaya di pinggir lapangan.
Cewek-cewek pun tak tahan lagi untuk tidak menjerit. Bahkan kini bukan hanya anak-anak dari kelas Tari saja yang berkerumun. Siapapun yang lewat di tepi lapangan akan segera menghentikan langkah untuk menonton pertandingan basket dadakan itu. Cewek-cewek kembali menjerit histeris saat Ari membuka kemeja dan membuangnya begitu saja.
Demi seluruh makhluk hidup ciptaan Tuhan di alam semesta! Sumpah, tu cowok emang keren tingkat dewa! Bertelanjang dada, bermandi keringat di bawah terik matahari sambil menggiring bola dengan lincah, lalu melakukan tembakan demi tembakan yang tak pernah meleset. Rambutnya yang panjang dan mulai basah karena keringat sering dikibaskan dari dahi agar tak menutupi pandangan. He’s damn sexy!
Tak lama Ata pun ikut-ikutan buka kemeja. Cowok itu masih mengenakan singlet di dalamnya. Tapi itu sama sekali tak mengurangi kadar kegantengannya. Looks so cool malah. Singlet itu melekat ketat di badannya yang berotot. God! It’s really kind of You to send beautiful angels like them to this life! Penonton bergender cewek sampai mangap semangap-mangapnya disuguhi pemandangan terindah yang baru mereka lihat seumur hidup, hampir-hampir meneteskan air liur, tak sanggup menjerit lagi karena napas rasanya tersangkut di tenggorokan.
“Kak Ariii!!! Love you, Kak!” teriak entah siapa.
“Hush, ada ceweknya gitu,” tegur seseorang, juga entah siapa. Tari sampai tidak bisa membedakan suara teman-teman sekelasnya sendiri maupun orang-orang di sekitar.
“Eh, iya, ding. Kalo gitu Kak Ata aja, deh. Semangat Kak Ataaaa!!”
“Gue sih bodo amat. Kak Ari tetep numero uno pokoknya! Kak Ariiiii!! Semangaaaaat!!”
“Kak Ataaaa!!”
“Kak Ariiiii!!! Kyaaaaaa!!!”
“Kak Ataaaa!! Kak Ariii!! Love both of youuuu!!”
Tari rasanya mau pingsan aja saking pusingnya. Penonton semakin menggila setelah mereka berhasil menemukan kembali suara mereka. Menjerit-jerit heboh, meneriakkan nama cowok pujaan mereka, dan berlomba-lomba untuk bersorak paling keras. Suasananya sudah mengalahkan keramaian pertandingan basket internasional. Histeria ini sudah nyaris mencapai puncak ketika terdengar sempritan panjang yang memekakkan telinga dan menghentikan segala macam teriakan tadi. Seperti tombol pause yang ditekan, seketika langsung hening dan tidak ada yang bergerak.
“Ada apa ini? Kok berhenti main? Sedang apa kalian bergerombol di situ?” teriak Pak Adang. Tatapannya terarah ke lapangan, dan seketika langsung mendapat jawaban. “Ari!!” bentaknya.
Ari melompat sambil melempar bola ke ring. Masuk! Three points! “Eh, iya, Pak. Maaf. Udah selesai, kok. Cabut, Ta.” Cowok itu berlari mengambil kemejanya, lalu kembali ke teman-temannya yang dari tadi setia menonton di tepi lapangan. Tak lama, gerombolan anak kelas 12 itu pun berlalu.
Pak Adang menggelengkan kepala. Entah akan jadi seperti apa sekolah ini kalau ada dua orang “Ari”. Ia yang baru saja dari ruang guru, juga baru mendapat kabar kalau saudara kembar Ari pindah ke sini. Dan ternyata objek pembicaraan hangat para guru itu malah sudah menampakkan diri di lapangan, mengganggu jam mengajarnya. Ia lalu mengalihkan perhatian ke anak-anak didiknya yang masih megap-megap terpesona.
“Jangan pada bengong! Ayo lanjutkan pertandingannya!” teriaknya tegas.

***

Tari kira setelah jam olahraga dia bisa menemui Ari untuk meminta penjelasan. Tapi cowok itu tak terlihat berkeluyuran di area kelas 10. Kemungkinan besar dia masih di gedung kelas 12, entah sedang belajar atau sedang mencari masalah. Tari ogah kesana lagi setelah insiden pin matahari yang melibatkan dirinya dengan geng The Scissors. Cari mati namanya kalau dia sampai menginjakkan kaki ke gedung dua belas sendirian untuk kedua kalinya.
“Tar! Kok nggak cerita sih kalo saudara kembar Kak Ari pindah ke sini?” tuntut teman-temannya begitu mereka kembali ke kelas.
Tari melotot, sampai urat matanya serasa mau putus saking seringnya dia melotot hari ini. “Ya jelas gue nggak cerita, orang gue juga baru tau!” serunya. “Jangan dikira gue nggak kaget tadi. Lagian kalo gue tau, ngapain juga gue musti koar-koar tentang kepindahan Kak Ata? Toh ntar kalian tau sendiri.”
“Iyee, iyee, nggak usah sewot gitu kaleeee...” kata Nyoman.
Tari mendengus. Mood-nya sedang jelek pagi ini gara-gara kejutan dari Ari dan Ata. Sialan emang mereka. Sekongkol bikin gue kaget. Awas aja!

***

“Permisi, minta tisu, dong.”
Kanya jelas langsung menyerahkan tisunya satu bungkus begitu Ata meminta. “Silahkan, silahkaaan. Bawa aja. Oh ya, kenalin, gue Kanya.” Cewek itu menyodorkan tisu sekaligus tangannya.
Ata tersenyum tipis. “Ata,” jawab cowok itu singkat sambil menjabat tangan Kanya. “Sori, tangan gue keringetan. Thanks tisunya. Ntar kalo sisa gue kembaliin, deh.”
“Oh, nggak usaah, ambil aja,” sahut Kanya sambil mengedip-ngedipkan mata genit.
Thanks,” kata Ata lagi, lalu kembali ke tempat duduknya di meja paling depan, di sebelah Ari. “Ih, tu cewek kelilipan kali ya. Kedip-kedip gitu ke gue,” bisik Ata.
Ari tertawa. “Ati-ati, bro. Kanya salah satu fans fanatik gue. Bisa pindah ke elo, tuh. Pasti tadi dia mikir, jangankan tisu, jiwa raga pun rela gue serahkan ke elo, Ataaaa.” Ari pura-pura menirukan suara cewek.
“Hiii..” Ata bergidik tak kentara, membuat Ari tertawa lagi. Ia kemudian mengelap tubuhnya yang berkeringat menggunakan tisu, baru memakai kemejanya. Sementara Ari sendiri tak mau repot-repot mengelap keringatnya. Cowok itu telah memakai kemejanya tanpa ada satupun kancing yang dipasang, menampakkan kulit dadanya yang masih sedikit berkilat karena keringat.
“Gimana kontrakannya? Nyaman?”
“Lumayan,” jawab Ata. “Gue masih tidur sekamar sih sama Mama. Udah kebiasaan. Apalagi di rumah baru kayak gitu.”
“Ntar lama-lama pasti betah. Kalo ada apa-apa langsung bilang gue.”
Ata mengangguk sambil mengancingkan kemejanya.
“Ri, ke kantin nggak?” tanya Ridho di ambang pintu. Ia sudah berdiri bersama semua teman cowoknya, bersiap meninggalkan kelas lagi. Ari menoleh, lalu mengangguk. “Ikutan, Ta?”
Ata menggeleng. “Gue mau belajar aja di kelas.”
“Duilee, rajin amat.”
“Tau sendiri, laah.” Ata membuka buku paket matematika. “Gue udah ketinggalan pelajaran jauh banget. Masih nol malah. Kudu ngejar kalian.”
“Oke, good luck kalo gitu.” Ari berjalan menghampiri teman-temannya, tapi baru dua langkah dia balik lagi mendekati Ata. “Oh ya. Hampir aja gue lupa mau bilang,” bisiknya. “Selalu waspada sama cewek-cewek di sini. Bisa dilalap abis lo sama mereka kalo kaum cowoknya tinggal sebiji gini di kelas. Apalagi lo masih anak baru. Gue nggak mau gitu balik ke sini sodara kembar gue tinggal tulang belulang.”
Wajah Ata mengernyit tidak suka. “Ikut kalo gitu,” putusnya segera dan langsung berdiri.
Ari terbahak keras. Dirangkulnya bahu Ata dan menggiringnya keluar, diikuti tatap kecewa cewek-cewek penghuni kelasnya.
“Sialan tuh si Ari! Bawa-bawa Ata pergi. Padahal kita-kita kan mau PDKT!” begitulah kira-kira jeritan hati mereka.

***

Ari baru menemui Tari saat pulang sekolah. Cowok itu menjemputnya di kelas seperti biasa setelah seharian ini sama sekali tidak menampakkan diri usai kejadian tadi pagi. Dan seperti biasa pula, sama sekali tak ada rasa bersalah di wajahnya.
“Gue ada urusan, lo duluan aja,” sambut Tari dengan wajah ditekuk, masih menyimpan kejengkelan kepada cowoknya ini.
“Urusan apa, Say? Gue harus pulang sendiri, nih?”
“Iyaaaa, udah sono pulang!” Tari mendorong-dorong bahu Ari, ingin cepat-cepat menjauh dari cowok itu.
“Ada urusan apa, sih? Gue bisa tungguin.”
Gigih banget ni orang! “Nggak usah ditungguin! Ntar lo lumutan di sini. Gue mau ngerjain tugas kelompok, banyak. Sampe malem pokoknya. Udah deh, pergi aja! Cepetaaan! Biar gue pulang sendiri ntar.”
“Kenapa sih ngusir-ngusir? Masih bete ya gara-gara kejutan gue tadi pagi?” Ari mulai tersenyum jahil.
Tari balik badan hendak masuk ke kelasnya. Males harus ngeladenin Ari lebih jauh. Lama-lama bisa darah tinggi! Orang lagi kesel malah disenyum-senyumin kayak gitu!
“Lo nggak butuh penjelasan gue?” pancing Ari. “Tentang Ata? Tentang apa yang gue sembunyiin dari elo?”
Hampir saja Tari menghentikan langkah. Tapi... “Nggak!” tolak gadis itu tegas tanpa membalikkan badan. Padahal dalam hati ia butuh banget penjelasan. Tapi gengsi, deh. Ntar-ntar aja penjelasannya.
“Oke kalo gitu. Pulangnya jangan malem-malem. Telepon gue kalo ada apa-apa ato butuh jemputan.”
“Bodo,” sungut Tari dan langsung menutup pintu kelas dengan bantingan.
“Eh, eh, kenapa ditutup pintunya?” tanya Jimmy.
“Ada demit di luar, biar dia nggak bisa masuk!” sahut Tari dengan geregetan. “Jangan dipikirin! Yuk mulai kerja!”

***

Tugas kelompok itu baru selesai sore hari. Sekitar pukul 5, Tari membereskan alat-alat tulisnya dan memasukkannya secepat kilat ke dalam tas. Rasanya pingin segera sampe rumah trus mandi. Badannya lengket semua setelah kegiatan olahraga hari ini.
“Tari!” panggil seseorang saat ia menyeberangi lapangan menuju gerbang.
Tari tahu siapa si empunya suara itu. Ia melengos dan mempercepat langkah. Mendadak tangannya dicekal dari belakang.
“Apa, sih?!” Tari membalikkan badan sambil menyentakkan tangannya. “Kan udah gue bilang, duluan aja! Kenapa lo masih...” teriakan Tari terhenti begitu menyadari siapa yang kini berdiri di depannya. “Eh, Kak Ata? Sori, Kak. Gue kira Kak Ari.”
Ata tersenyum tipis. “Kok baru pulang?”
“Abis ngerjain tugas kelompok. Kak Ata sendiri kenapa masih di sekolah sore-sore gini?”
“Masih ada beberapa urusan di Tata Usaha sama di perpustakaan tadi. Biasa, murid baru. Si Ari juga kagak bantuin.”
“Emang brengsek tuh sodara kembar lo. Dimarahin aja nanti!” Tari melipat kedua tangan dengan bibir monyong lima senti. Kejengkelannya mulai terbit lagi.
Ata tertawa geli. “Kalo menurut lo, gue brengsek nggak?” tanyanya seiring dengan tawanya yang mendadak lenyap.
“Eh?” Tari menatapnya bingung.
Ata membungkukkan badan sedikit, menyejajarkan wajahnya dengan wajah Tari. “Jangan bilang lo lupa apa yang pernah gue bilang ke elo.”
Aura Ata berhasil mengintimidasinya. Tari jadi tergeragap. Tapi otaknya langsung menangkap apa yang dimaksud Ata. Karena jelas Tari nggak akan pernah lupa apa yang pernah Ata katakan padanya saat awal-awal cowok itu tiba di Jakarta. “Soal... peringatan lo dulu itu? Ng... gue nggak ngerti, Kak. Sebenernya apa sih rencana lo?”
Ata tersenyum lagi. Kali ini terlihat dingin dan di matanya ada kilatan licik. Tubuh Tari membeku begitu satu tangan Ata terangkat mengusap pipi kirinya. “Rencana gue? Lo nggak perlu ngerti. Cukup liat aja. Yang jelas gue udah di sini sekarang, nggak akan kemana-mana lagi. Itu salah satu rencana gue yang udah berhasil.”
“Gue nggak mau terlibat apapun rencana lo, Kak!” Tari menepis tangan Ata dengan kasar.
Ata menggeleng. “Sori, Tar. Tapi sayangnya lo harus terlibat. Karena lo punya hubungan sama adik kembar gue.” Cowok itu menegakkan badan. “Jadi lo siap-siap aja. Tapi tenang, kayak yang udah gue bilang dulu, gue udah berusaha biar cara gue nggak terlalu keras buat elo.” Sekilas, cowok itu mengusap kepala Tari, lalu melangkah pergi.
“Jangan sakiti Kak Ari!” teriak Tari tiba-tiba, membuat Ata menghentikan langkah. Gadis itu membalikkan badan dan menatap Ata lurus ke matanya. “Gue peringatin elo, jangan sekali-sekali sakiti Kak Ari!”
Mendengar peringatan itu, Ata justru menyeringai. Dibalasnya dengan santai tatapan menusuk Tari. “Coba aja lindungi dia,” sahutnya dengan nada mengejek. “Dan elo yang bakal nanggung sakitnya.”

***

Tubuh Tari menggigil melihat seringai licik di bibir Ata. Bahkan ketika cowok itu kemudian meninggalkannya tanpa menoleh lagi, Tari masih menggigil. Seolah suhu di sekolah yang sudah sepi dan mulai gelap ini turun beberapa derajat. Gadis itu terlalu ketakutan dengan ancaman Ata kali ini.
Dulu semuanya masih berupa dugaan-dugaan tak jelas. Ancaman dari Ata terasa seperti mimpi yang bisa dengan mudah tak ia pikirkan. Cowok itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda berbahaya. Jadi Tari tak punya alasan untuk merasa takut. Tapi sekarang, saat Ata sudah resmi menjadi warga SMA Airlangga, saat dia sudah berada satu gedung dengannya, dan berdiri tepat di hadapannya, ancaman ini jelas begitu nyata. Cowok itu ternyata mempunyai rencana tersendiri yang ia bawa bersama kepindahannya ke Jakarta.
Coba aja lindungi dia. Dan elo yang bakal nanggung sakitnya...
Tari merasa Ata seperti tengah memelihara singa. Sekarang Tari hanya bisa mendengar geramannya yang melontarkan peringatan. Dan suatu hari nanti, ketika Ata merasa singa itu sudah cukup kuat, akan ia lepaskan hewan buas itu untuk mencabik-cabik dirinya, dan juga Ari, hingga habis tak bersisa! Tunggu dulu. Ari. Mengapa rencana Ata justru mengarah ke saudara kembarnya sendiri? Siapa yang dulu pernah berceramah tentang menjaga hati Ari yang telah terluka itu? Apa Ata berniat menjilat ludahnya sendiri?
 “Ya, Tar?” sahut Ari begitu Tari meneleponnya.
“Kak, jemput gue. Sekarang. Gue tunggu di halte,” kata Tari lirih, tak mampu menyembunyikan getaran dalam suaranya. “Gue butuh penjelasan soal kepindahan Kak Ata.”

***

Ari tertegun melihat Tari yang duduk dengan pucat di halte yang hampir gelap dan kosong. Firasatnya memang tidak enak setelah Tari menelepon. Tadi siang cewek itu masih baik-baik saja, masih galak padanya, masih gengsi dianterin pulang. Dan ketika Tari menelepon minta dijemput, ditambah suara gadis itu yang terdengar ketakutan, Ari seketika dilanda panik. Ia tahu pasti ada sesuatu yang tidak beres.
Ari bergegas turun dari motor. Begitu memegang pipi Tari, kulit cewek itu pun terasa dingin. “Tar? Elo kenapa? Sakit?” tanyanya cemas. Ia lepas jaketnya dan melingkupkannya ke tubuh Tari. Seperti belum cukup, tanpa pikir panjang dipeluknya tubuh cewek itu, berusaha memberinya kehangatan.
Tari menyandarkan kepala ke dada Ari, lalu mendesah. Nyaman sekali. Seolah dengan begitu saja dia sudah membagi bebannya. “Gue nggak pa-pa,” sahutnya lirih.
“Jangan bohong, Tari!” geram Ari dengan gigi gemeretak. Ia mendongakkan wajah gadis itu, memaksanya menatap matanya, lalu menilai sesuatu dari sana. Gadis ini bahkan tidak ketakutan membalas tatapannya. Biasanya Tari akan memalingkan wajah kalau Ari mulai memberinya tatapan tajam seperti ini. Tapi kali ini, hanya ada sorot hampa dari kedua mata gadis itu. “Ada yang macem-macem sama elo?” geramnya lagi. Rahangnya mulai terkatup keras.
“Nggak.”
“Bohong!”
“Tolong, Kak. Jangan teriak-teriak gitu.”
Ari seketika tersadar. Ia menghembuskan napas berat, lalu memeluk Tari lagi. “Maaf,” katanya pelan sambil mengusap-usap punggung Tari. “Yuk, pulang.”
“Nggak, tunggu dulu.” Tari menarik lengan Ari yang sudah akan menggandengnya ke motor. “Jelasin dulu ke gue tentang kepindahan Kak Ata.”
Ari mengerutkan kening. Kenapa Tari tiba-tiba begitu tertarik dengan penjelasannya? Ia menggeleng pelan. “Udah malem, Tar. Bisa sampe pagi kalo gue cerita di sini. Pulang dulu, nanti setelah lo istirahat, baru gue cerita. Janji.”
“Nggak bisa, Kak!” Tari nyaris menangis. “Gue pingin tau sekarang!”
“Elo kenapa sih, Tar?” Ari tak bisa menyembunyikan kebingungannya.
Setetes air mata bergulir turun di pipi Tari. Gadis itu begitu ketakutan. Tidak. Ia tidak takut Ata akan menyakitinya, bagaimanapun cara cowok itu nanti. Ia lebih takut Ata menyakiti cowok di depannya ini. Memikirkan kemungkinan itu membuatnya tambah terisak. Tapi ia tidak bisa menjelaskan ini semua kepada Ari.
“Tari, plis jangan bikin gue takut,” suara Ari mulai panik. Direngkuhnya tubuh Tari erat-erat, menekan kepala gadis itu ke dadanya, membiarkan ia menumpahkan air mata di sana. “Ssst, jangan nangis. Udah ya? Tolong, jangan nangis. Jadi ikutan sedih nih gue.”
“Gue... takut, Kak,” isak Tari dengan suara teredam.
“Ssst, apa sih yang lo takutin? Ada gue di sini. Lo aman sama gue.”
Setelah Tari agak tenang, dilepaskannya pelukan itu. Ia mengusap jejak air mata di pipi Tari. “Sumpah, Tar. Lo bikin gue bingung,” katanya di ambang frustasi. “Tapi gue nggak akan maksa lo cerita. Yuk, pulang.”
Tari menurut ketika tangannya digandeng dan Ari membantunya naik ke boncengan. Dipeluknya pinggang cowok itu erat. “Ngebut aja ya, Kak. Gue ngantuk.”
Ari tertawa kecil. “Tumben banget minta ngebut. Biasanya pinggang gue memar-memar dicubitin elo kalo gue ngebut dikit aja. Oke kalo gitu. Jangan tidur dulu ya. Sandaran ke punggung gue kalo capek.”
Sebentuk senyuman melengkung di bibir Tari, bersamaan dengan setetes air mata yang kembali jatuh.





Bersambung....

***

Sesuai janji nih, malem minggu upload :D
Duuh, sampe kipas-kipas bikin scene basket antara Ari sama Ata. Mereka berdua “panas” sih, hihi
Itu yg teriak “Gue sih bodo amat. Kak Ari tetep numero uno pokoknya! Kak Ariiiii!! Semangaaaaat!!” kayaknya Aul deh, hahaha...
Sumpah, Tar! Tukeran posisi yuk? Ato Fio deh, Fi. Aul mau kok jadi di posisinya Fio, ato siapa aja deh cewek-cewek Airlangga boleh! #ngarep
Desperate banget pingin liat sosok Kak Ari :(
Jarang-jarang nih ide lancar, semoga untuk part 16-nya ide juga lancar, amiiiin

Yuuuk yuuuk komeeen ^^

4 komentar:

  1. Aaaaaa gak kuat juga bayangain ari sama atanya :( mereka terlalu sempurna kadang kalo di bayangin pake artist juga kayanya gak ada yg cocok hahaa :p btw ini sudah menuju konflik kah kak?? Hihii semangat yaa kak ngelanjutin ceritanya semoga lancar, semangatttttttt!!!!!!!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, aku juga ga pernah bayangin ada orang di indonesia yg cocok jadi ari.. semua cowok kayaknya lewat deh kalo dibandingin ari :p
      Betul, ini udah masuk konfliknya
      Amiiiiin, makasih dukungannya ^^

      Hapus
  2. Balasan
    1. Beneran nggak ada? :|
      Tolong coba buka lagi, mungkin tadi masih error

      Hapus