Sabtu, 07 Maret 2015

Jingga untuk Matahari #fanfiction-14

Jam istirahat kedua, Tari dan Fio langsung ngacir ke kantin. Perut mereka keroncongan sejak ulangan Matematika sekaligus Kimia yang dilaksanakan berturut-turut tanpa ampun. Sementara energi cadangan habis tak bersisa, otak mereka serasa mengepulkan asap saking kerasnya dipaksa bekerja. Istirahat pertama tadi mereka tidak sempat menginjakkan kaki ke kantin karena sibuk belajar.
“Ya ampun, gila banget soal-soal Kimia tadi. Gue cuma bisa ngerjain setengahnya, Tar! Itu aja nggak tau bener apa kagak.” Fio mengempaskan pantat ke bangku kantin yang masih kosong tanpa semangat, ngenes kalau harus mengingat soal ulangan tadi.
Tari menggeleng. “Lo mending bisa setengahnya. Lah gue? Bener satu soal aja berkah, Fi. Elo juga, sih! Kenapa nggak ngingetin gue kalo hari ini ada ulangan Matematika sama Kimia? Gue lupa belajar tadi malem.”
Fio meringis. “Makanya, lo jangan mikirin Kak Ari mulu, dong. Inget sama pelajaran juga, Tar.”
Tari jadi mendadak lesu. Kak Ari lagi, Kak Ari lagi. Cowok itu masih belum ada kabar sejak terakhir mereka berbicara di telepon. Semua SMS maupun panggilan Tari kembali tidak ditanggapi. Tari mendesah saat soto pesanan mereka datang. Nafsu makannya mendadak lenyap. Ia mengambil sendok, kemudian mengaduk-aduk sotonya tanpa gairah.
Tari melayangkan pandangan ke sekeliling. Matanya berhenti di satu titik, kepada seseorang yang tengah melangkah ke arahnya. Tari memejamkan mata, berusaha mengenyahkan bayangan orang itu. Nggak mungkin, nggak mungkin, nggak mungkin! Sadar, Tar! Dia cuma khayalan elo! Khayalan, khayalan, khayalan, enyahlah, enyahlah, enyahlah, rapal Tari dalam hati sembari berkomat-kamit seperti sedang mengusir setan. Tapi begitu membuka mata, orang itu masih ada, bahkan sekarang sudah berdiri tepat di belakang punggung Fio, menatapnya sambil menyunggingkan senyum. Sekujur tubuh Tari membeku. Tidak mungkin orang ini ada di sini! Senyum yang begitu dirindukannya ini tidak mungkin nyata!
“Fi,” Tari memijit pelipisnya dengan mata kembali terpejam. Keningnya berkerut seolah sedang menahan sakit. “Kayaknya efek ulangan tadi parah banget, deh. Gue mulai berhalusinasi, Fi.”
Fio menghentikan kegiatan makannya. “Berhalusinasi apa?”
“Masa gue...” Tari melirik sedikit ke orang di belakang Fio. “Gue liat...”
“Lo pikir gue cuma halusinasi lo, Tar?” potong Ari. Cowok itu kemudian duduk di sebelah Fio, masih dengan senyum rupawannya yang kali ini bercampur dengan cengiran jahil. “Segitu kangennya lo sama gue?”
Fio nyaris keselek sotonya yang belum sempat tertelan, sementara Tari menganga mendengar suara Ari. Jadi bener cowok itu ada di sini? Ari yang sekarang duduk di hadapannya ini bukan cuma khayalan?
“Daritadi gue perhatiin sotonya cuma diaduk-aduk. Sayang, kan? Sini, mending buat gue.” Mangkuk soto di hadapan Tari tiba-tiba digeser ke hadapan Ari. Tari melongo ketika cowok itu kemudian melahap sotonya dengan wajah tanpa dosa.
Berbagai macam perasaan membuncah di dada Tari. Tapi yang terasa dominan adalah rasa jengkel. Bisa-bisanya ni cowok main sikat soto gue dengan wajah innocent kayak gitu setelah menghilang tanpa kabar beberapa hari! Tanpa permisi dan minta maaf, lagi! Kurang ajaaar! Cewek itu berdiri sambil mengentakkan kaki kuat-kuat ke lantai, dan tanpa babibu langsung berderap pergi.
“Ck, ngambek, kan,” desah Ari. Ia mendorong mangkuk sotonya menjauh. “Minta ya, Fi.” Tanpa menunggu persetujuan yang punya, ia menyedot setengah dari es jeruk milik Fio. “Thanks, nih buat bayar.” Sambil berdiri, Ari menyerahkan selembar uang berwarna merah, yang diterima Fio dengan ragu-ragu. “Udah, anggep aja traktiran. Gue mau ngomong sama Tari. Ntar kalo dia telat balik kelas, bilang aja lagi di UKS. Oke?”
Fio tak sempat bereaksi saat Ari meninggalkannya begitu saja, mengejar Tari yang sudah lenyap dari kantin. Tatapannya kemudian jatuh ke selembar uang di tangannya.
“Rejeki nomplok!” serunya tertahan. Bibirnya mengembang lebar. Siang bolong, panas-panas, abis bertempur sama Kimia dan Matematika yang bikin otak mau meledak, eh tiba-tiba dapet duit seratus ribu. Buat bayar soto sama es jeruk doang mah masih sisa buanyak. Fio sudah bersiap mengantongi uang tadi saat dilihatnya dua makhluk paling jelek di muka bumi ini. Bukan, bukan tampang mereka yang jelek, secara wajah dan bodinya aja cakep-cakep gitu, satu tingkat di bawah Ari. Tapi niatan kedua makhluk itulah yang tentu nggak ada bagus-bagusnya buat kesehatan jiwa, raga, apalagi dompetnya.
Fio hampir menjerit begitu muka Oji dan Ridho mendadak sudah ada tepat di hadapannya. Cengiran kedua cowok itu seperti senyuman iblis di mata Fio.
“Mau ngapain lagi? Gue nggak ada duit! Pergi! Pergi!” Fio mengibaskan tangannya, berharap setengah mati agar dua makhluk menjengkelkan ini enyah dari hadapannya. Sori sori aja, sampai mati beneran pun Fio nggak bakal rela bagi-bagi duit seratus ribunya buat dua makhluk itu.
“Jangan bohong, Fi. Gue liat kok Ari bagi-bagi rezeki ke elo barusan. Kayaknya lumayan banyak tuh. Boleh dong, lo juga bagi-bagi rezeki ke kami,” sahut Oji.
Fio langsung lemas. Niatnya sih ini uang dari Ari mau dipakainya untuk membeli salah satu kaset drama Korea yang dari kemarin belum kesampaian mau dibawa pulang. Tapi sepertinya harapan itu harus kandas lagi. Eits! Tunggu dulu. Fio tidak akan menyerah begitu saja. “Jangan, plis, Kak,” ujarnya memelas. Tampangnya udah kayak napi mau dihukum mati yang lagi memohon pengampunan. “Gue lagi butuh uang ini. Butuuuh banget. Ada buku pelajaran yang harus gue beli. Itu harus, kudu, dan wajib. Nggak boleh nggak. Ini kata Bu Sam, Kak. Asli, gue nggak ngada-ada.” Padahal sih aslinya ngada-ada banget. Mana pernah guru yang udah kayak papan peraturan berjalan itu ngasih kewajiban membeli buku pelajaran. Bodo amat deh kalo besok-besok ketauan bohong, yang penting duit ini aman sekarang, batinnya.
“Kalian tega liat gue dihukum gantung sama Bu Sam gara-gara nggak punya buku itu? Tega, Kak?! Cuma buat ngeliat kalian kenyang gue harus ngorbanin nyawa gue, gitu hah?! Nggak berperikemanusiaan!” Tiba-tiba saja Fio akting penuh emosi. Pinginnya sih sambil gebrak meja sekalian atau lempar gelas-piring sambil nangis-nangis, tapi takutnya malah dia diseret ke rumah sakit jiwa.
Oji dan Ridho saling tatap dengan kening berkerut. Ini cewek ngibul nggak? Kok sampe histeris gitu? Begitulah kira-kira pertanyaan yang mengambang di benak mereka. Tapi dari tampangnya kok kayaknya beneran. Walau agak berlebihan, sih. Kedua cowok itu akhirnya membatalkan niat mereka. Rada feeling guilty juga kalo liat ekspresinya si Fio yang udah desperate banget.
“Ji, tega bener lo. Tanggung jawab gih,” kata Ridho kemudian. “Sampe mau nangis dia.”
“Ih, tanggung jawab apaan?” Oji langsung belagak bego. “Gue cowok baik-baik, Dho. Nggak mungkin gue ngelakuin hal bejat kayak gitu. Fi, bilang ke Ridho, kita nggak pernah ngapa-ngapain kan ya? Lo nggak hamil sama gue, kan?”
Giliran Fio yang melongo. Ini lagi ngomongin apa, si Oji jawabnya apa. Emang sarap nih antek-anteknya Ari!

***

Cewek itu cuma berjarak 3 meter di depannya. Tapi Ari sengaja tidak menyamakan langkah atau mencekal pergelangan tangan cewek itu. Ia biarkan Tari berjalan ke tempat tujuannya. Cewek itu langsung terbirit-birit setelah menoleh sekilas ke belakang. Ari tersenyum geli.
Sementara itu Tari yang memimpin jalan mulai memutar otak. Di mana tempat yang bisa membuat Ari berhenti mengikutinya? Aha! Toilet cewek! Jangan harap bisa nangkep gue! Tari menyeringai puas. Toilet cewek terdekat tinggal beberapa meter lagi. Langkahnya sudah nyaris berlari menyambut pintu kebebasan.
Ari segera menyadari kemana kaki cewek di depannya ini berlari. Ia mendengus. Ketika Tari sudah hampir memasuki pintu toilet cewek, cowok itu melesat maju. Tubuh Tari serasa dihantam angin dan seketika ambang pintu toilet lenyap dari hadapannya, berganti dengan dada bidang Ari. Cowok itu mencekal kedua pergelangan tangannya erat-erat. Tari mendongak, bersiap menyaksikan wajah Ari yang marah atau geram. Namun yang didapatnya justru senyum menawan di wajah tampan itu, membuat pipinya panas seketika. Ia berusaha memberontak. “Lepasin! Gue mau ke toilet!”
“Ngapain ke toilet? Gue tau lo nggak lagi kebelet,” sahut cowok itu. Tangannya semakin ketat mencekal tangan Tari. Sudut bibirnya berkedut menahan tawa. “Kenapa sih lari-lari? Katanya kangen sama gue?”
“Gue nggak kangen sama elo! Nggak usah kepedean ya jadi orang! Lepasin!” Tapi dalam hati Tari mengakui kalau ia begitu merindukan sosok ini. Wangi maskulinnya membuat cewek itu hampir tidak bisa menahan diri untuk tidak jatuh ke pelukan Ari. Heh, gue mikir apa sih! rutuk cewek itu dalam hati.
“Bener?” Tiba-tiba Ari menariknya mendekat. Tatapannya menajam. “Nggak akan gue lepasin kalo lo nggak ngaku.”
Ancaman Ari membuat Tari berpikir keras. Ogah banget kalo dia harus ngaku. Gengsi dong kalo dia bilang kangen sama cowok muka badak ini. Tapi Tari tau Ari akan merealisasikan ancamannya kalau dirinya keras kepala. Ia tidak akan pernah menang melawan Ari. Gue harus gimanaaaaa?
Tuhan Yang Maha Esa mendengarkan doa Tari, dan menjawabnya sekaligus! Dia yang bertahta atas seluruh kehidupan dan alam semesta menurunkan pertolongan lewat kehadiran guru paling menyebalkan di muka bumi. Mendadak sebuah pukulan keras mendarat di punggung Ari. Cekalan cowok itu terlepas seketika karena kaget.
“Ari!” bentak Bu Sam.
Ari membalikkan badan, menyembunyikan Tari di balik punggungnya. Bibirnya langsung membentuk cengiran lebar. “Eh, Ibu. Apa kabar, Bu?”
“Apa kabar, apa kabar! Dari mana aja kamu? Bolos terus tanpa ijin! Kamu mau dikeluarkan dari sekolah ini?”
“Aduh, Bu. Jangan. Pliiis. Saya udah kelas 12. Udah mau lulus. Lagian saya pinter kok, Bu. Masa Ibu tega ngeluarin anak berprestasi kayak saya? Dan juga, cukup Tari aja deh yang kangen sama saya. Bu Sam nggak usah ikut-ikutan kangen, sampe pingin tau saya dari mana segala.”
Gila emang ini orang! Tari mendelik ke punggung Ari di hadapannya, berharap cowok itu tidak bikin Bu Sam naik darah. Tapi bukan Ari namanya kalau tidak hobi mencari gara-gara.
“Saya bolos buat refreshing, Bu. Anak pinter itu butuh udara segar buat otaknya. Nggak melulu belajar di kelas. Makanya Ibu perhatiin kebutuhan siswa juga, dong! Masa disuruh duduk di kelas terus? Sekali-sekali diajak main, kek. Nggak heran siswa-siswi di sini banyak yang geblek gara-gara nggak pernah refreshing. Apalagi di kelas saya. Ibu tau sendiri lah, anak-anaknya pada gila semua.”
Wajah Bu Sam merah padam mendengar ocehan Ari. Tangannya terulur menjewer telinga anak bandel itu. Tak dilepaskannya meski cowok itu mengaduh-aduh.
“Kamu ikut saya ke ruang guru! Coba bicara seperti itu lagi kalau berani!” Tatapan mematikan Bu Sam jatuh ke Tari. “Kamu, kembali ke kelas, sudah mau bel! Saya sita cowok kamu sampai pulang sekolah nanti.”
Walaupun dipelototi seperti itu, Tari nyaris ngakak mendengar kata-kata Bu Sam. Ari mau disita? Silahkan ajaaaaa. Rasa geli Tari tersalurkan oleh tawa meledak Ari. Meski tubuh cowok itu dalam posisi miring berkat jeweran Bu Sam yang tubuhnya jauh lebih pendek, ia tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa ketawa?!” Bu Sam menarik telinga Ari lebih keras.
“Aduh, aduh, ampun, Bu. Kuping saya bisa copot nanti. Abisnya Ibu lucu, sih. Main sita aja. Emangnya saya barang? Nggak usah rebutan saya gitu lah, Bu. Saya tetep milih Tari, kok.”
“Aaah, diam! Biar Ibu beri pelajaran nanti ya!” Ibu guru yang sudah jengkel setengah mati itu mengacungkan kepalan tinjunya.
“Daaah, Tari! Ntar pulangnya tungguin gue!” teriak Ari yang sudah ditarik menjauh oleh Bu Sam.
Tari menggelengkan kepala tak habis pikir. Mungkin Ari satu-satunya siswa SMA yang masih harus kena jewer dari guru. Tapi di dalam lubuk hatinya, sebenarnya Tari memahami keadaan ini. Ari memang menyukainya. Ari menyukai saat guru-guru memarahinya. Ari menyukai saat guru-guru memperhatikannya lebih dari siswa lain. Ari menyukai saat guru-guru memukul atau menjewer telinganya. Karena memang itu yang ia butuhkan. Perhatian.
Bel masuk berbunyi. Tari buru-buru melangkah ke kelasnya. Terpaksa ia harus menahan lapar untuk dua jam pelajaran lagi.

***

“Tumben nggak nelat?” sambut Fio di kelas. “Padahal gue udah siapin alesan kalo lo telat nanti. Nggak ngobrol sama Kak Ari?”
Tari menggeleng. “Dia keburu kena ciduk Bu Sam.”
Begitu Tari duduk di sebelahnya, Fio menyikut temannya itu dengan jahil. “Gimana? Seneng? Udah nggak galau?”
“Apaan sih, Fi!” Wajah dan kuping Tari langsung memanas. “Biasa aja kali.” Fio jadi ketawa melihat ekspresi Tari yang salah tingkah.
“Eh, Fi. Punya cemilan nggak? Bagi, dong. Gue belom sempet makan tadi.”
“Nih, kebetulan gue beli roti, buat jaga-jaga. Bener kan elo kelaperan.” Fio menyodorkan sebungkus roti pisang cokelat yang ia beli di kantin.
Tari menyambutnya dengan mata berbinar. “Thanks, Fi! Elo emang sahabat paling pengertian. Bagi minum juga, dong.”
Fio pura-pura mendengus malas sambil menyerahkan botol minumnya, padahal dalam hati ia cekakakan. Ya iyalah. Tari cuma dapet sebungkus roti gitu, sementara dia bisa dapet berbungkus-bungkus kaset drama Korea! Terima kasih kembali, Tari.

***

“Aduh, Tar. Mampus gue!” Fio berbisik tegang, membuyarkan konsentrasi Tari yang sedang menyalin catatan di papan tulis.
“Apaan sih, Fi? Sst, lo jangan bikin ribut, deh. Bisa dimarahin Bu Pur ntar.”
“Lo liat deh ke pintu.”
Tari menoleh ke pintu kelas yang terbuka. Bel pulang masih sepuluh menit lagi, tapi dilihatnya Ridho dan Oji sudah berdiri di luar kelasnya. Oji bersandar pada salah satu pilar dan Ridho berdiri menghadapnya, yang itu berarti membelakangi pintu kelas Tari. Keduanya masih asyik mengobrol dengan suara pelan.
“Ngapain sih tu cowok dua ke sini?” gumam Tari heran, sementara Fio mendesis panik, “Jangan-jangan nyariin gue.”
Tari jadi menoleh. “Ngapain nyariin elo?”
Karena gue ketauan boong! “Ceritanya panjang. Tar, lo bisa nggak ngomong ke Kak Ari, suruh cabut mandat yang dia kasih ke Kak Oji sama Kak Ridho? Lama-lama jadi gila gue kalo disamperin mereka terus.”
“Lo cuma disamperin Kak Oji sama Kak Ridho, Fi. Gue malah Kak Ari! Bosnya para biang onar itu.”
“Ya mending disamperin Kak Ari lah, Tar! Kak Ari nggak pernah minta duit ke elo. Yang ada juga elo dikasih ini itu sama dia. Lah kalo gue? Hidup gue berubah sejak Kak Ari ngasih wewenang itu ke Kak Oji sama Kak Ridho. Duit gue abis, Tar.” Fio berkeluh kesah dengan wajah nelangsa. “Pokoknya lo harus tanggung jawab! Salah lo juga ini ngajak-ngajak gue nginep di rumah Nyoman, yang ternyata ngajakin kabur dari Kak Ari. Si Nyoman apalagi! Damai banget tu anak nggak pernah disamperin Kak Ridho sama Kak Oji! Malah mungkin mereka udah lupa sama yang namanya Nyoman.”
“Iya, iyaaa, ntar gue bilang ke Ari. Udah, lo jangan ribut mulu. Dipelototin Bu Pur, tuh,” bisik Tari sambil menunduk pura-pura menulis
Fio buru-buru meneruskan menyalin catatan, meski otaknya sudah tidak bisa konsentrasi dan hatinya ketar-ketir. Apalagi tiba-tiba Oji menoleh ke arahnya. Saat tatapan mereka bertemu, cowok itu tersenyum lebar. Fio bergidik, dan langsung menunduk dalam-dalam.
Untuk sekali dalam seumur hidup, Fio tidak pernah ingin bel pulang berbunyi. Tapi keinginannya jelas tidak terkabulkan mengingat harapan itu berbanding terbalik dengan doa ratusan murid lain di sekolah, yang ingin bel pulang segera berkumandang. Waktu tetap berjalan, dan tiba-tiba saja bel pulang berbunyi.
“Nggak usah takut, Fi,” kata Tari yang menyadari kegelisahan Fio. Matanya menangkap sosok Ari yang kini bergabung bersama Ridho dan Oji di luar kelasnya. “Tuh, udah ada Ari. Ntar biar gue bilang sama dia.”
“Makasih, Tar.” Fio bisa sedikit bernapas lega. Setelah Bu Pur dan teman-teman lain keluar kelas, tiga cowok yang sedari tadi menunggu di luar melangkah masuk menghampiri dua orang cewek yang masih melekat di kursi masing-masing. Tari dan Fio memang sengaja menunggu di kelas. Males kan kalau mereka yang harus nyamperin ketiga cowok yang jelas-jelas punya urusan sama mereka itu? Hanya saja posisi mereka sudah bertukar. Fio yang kini menempel pada kursi di samping jendela, sementara Tari di pinggir.
“Stop!” Tari menghentikan langkah ketiga cowok tadi beberapa meter darinya. Tatapannya lurus ke Ari. “Sebelom kalian bilang apapun yang mau kalian bilang ke kami, sebelom kalian ngelakuin apapun yang mau kalian lakuin ke kami, gue mau minta sesuatu ke Kak Ari.”
Ketiga cowok yang berdiri bingung itu kontan tertawa.
“Kenapa ketawa?” dengus Tari.
“Lo lucu deh ngomongnya. Lo pikir kami mau ngelakuin apa ke kalian, hm?” Ari melangkah mendekat, tidak tahan untuk tidak mengusap kepala gadisnya.
“Iya. Lagian posisinya nggak seimbang gini. Tiga lawan dua. Atau gimana kalau...” Oji pura-pura berpikir. Tatapannya jatuh ke Ridho. “Ah! Lo mending keluar, Dho. Biar pas, Tari sama Ari, gue sama Fio, sementara lo jadi lonely guy di luar. Ato sama Sarah aja sana.”
“Jangan sebut nama cewek itu,” gerutu Ridho. Tawanya mendadak hilang.
“Oke. Apa yang mau lo minta, beib?” Ari duduk di depan Tari, sementara Ridho dan Oji berdiri di belakangnya.
“Pertama, jangan panggil gue “beib”!” kata Tari cemberut.
Ari terkekeh. “Kalo gitu, gimana kalo “Say”?”
“Hih, apalagi ituuuu! Jangan lebay deh, Kak! Gatel kuping gue.”
“Iya, Bos. Aneh tau nggak denger lo panggil-panggil Tari pake sebutan kayak gitu. Kayak lo tuh udah menjelma jadi playboy penakluk hati cewek-cewek seantero jagat.”
“Ck, bilang aja lo sirik, Ji, nggak ada cewek yang bisa lo panggil kayak gitu,” celetuk Ridho.
“Dih, emang lo punya?” Oji langsung melotot ke Ridho di sebelahnya.
“Sori, gue emang nggak punya. Tapi itu karena gue emang belom butuh cewek. Nggak kayak elo yang hopeless nyari cewek.”
“Halah, sama-sama nggak laku dilarang saling menjelek-jelekkan, Dho,” sindir Oji mangkel.
“Kata siapa gue nggak laku? Gue berlutut di depan cewek aja pasti tu cewek klepek-klepek.”
“Kayak siapa contohnya? Sarah?”
“Udah gue bilang, jangan sebut nama dia!”
“Stop, stop! Kok malah kalian yang ribut, sih?” tukas Ari. “Sori, Ji. Tapi gue emang penakluk hati cewek-cewek seantero jagat.”
“Ah, narsis banget lo, Bos! Sok kecakepan!”
“Gue emang cakep. Iya kan, Tar?” kata Ari sambil melemparkan kedipan sebelah mata.
Oji ketawa melihat wajah Tari yang mengernyit. “Lo liat deh ekspresinya Tari. Langsung ilfil dia.”
“Iya, Ri. Tari enek kali liat muka lo,” sambung Ridho.
“Eh, udah satu kubu lagi nih kita, Dho?” Oji nyengir. “Tos dulu, dong! Kita ganyang si Bos yang sok kecakepan ini!” Lalu mereka berdua pun ber-high five.
“Duh, salah nih gue ngajak kalian ke sini,” gerutu Ari.
“Iya, Kak. Akhirnya lo nyadar juga. Bawa sohib-sohib gila lo ke sini tuh nggak akan ada abisnya. Betah aja sih bergaul sama mereka?” Tari menggelengkan kepala sambil berdecak.
“Woi, jangan salah, Tar. Gini-gini di antara kita bertiga sebenernya yang paling gila juga Ari,” kata Ridho. “Cuma kalo di depan lo aja, dia jadi agak-agak jaim.”
“Iya, Tar!” sambut Oji bersemangat. “Nggak mungkin gue panggil dia “Bos” kalo bukan dia yang paling gila.”
“Aaaah, diem lo berdua!” Ari lama-lama jengkel juga.
“Hehe, peace, Bos.” Oji mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya.
“Jadi, apa permintaan lo selanjutnya?” Ari baru bertanya lagi ke Tari setelah Ridho dan Oji tutup mulut.
“Lo liat sahabat gue di sebelah gue ini?”
Ari melirik ke arah Fio yang dari tadi diam tak bersuara. “Iya. Trus? Kenapa sama Fio?”
“Suruh sohib-sohib lo ini buat nggak gangguin Fio lagi. Lo tau? Sejak lo ngasih wewenang ke Kak Ridho sama Kak Oji buat ngehukum Fio, mereka gunain wewenang dari lo itu seenak jidat.”
“Seenak jidat gimana?” Kening Ari berkerut. Lalu dia beralih menatap Fio. “Lo diapain sama mereka?” Sedetik, pertanyaan Ari pindah ke Ridho dan Oji tanpa sempat Fio menjawab. “Kalian apain si Fio sampe ketakutan gitu?”
“Si Oji, nih!” Ridho mendorong bahu Oji. Dirinya ogah disalah-salahkan. Sementara yang didorong malah cengengesan.
“Ji, jangan bilang lo...” Ari mendesis tegang, yang terlambat disadari Tari maupun Fio bahwa itu hanya kepura-puraan. “Ji! Lo nggak mungkin segila itu, kan?” teriak Ari tiba-tiba sambil mengguncang bahu Oji. “Lo nggak mungkin setega itu, kan?”
Dan ajaibnya, Ridho dan Oji langsung mengikuti skenario dadakan ciptaan Ari. Ridho langsung menyahut, “Udah gue peringatin berkali-kali, Ri. Tapi dianya aja yang keras kepala.”
“Gue kan cuma bilang kasih dia hukuman ringan aja! Kalo itu mah namanya pelanggaran hak asasi perempuan, Ji. Dia masih di bawah umur! Lo nyadar nggak, sih?”
“Eh, iya! Gue baru sadar!” Oji mendadak melotot ngeri. “Gue kan ingetnya gue yang udah cukup umur, Bos. Suer, gue bener-bener lupa.”
“Emang lo pikir lo ngelakuin itu sendiri? Iyaaa, lo emang udah cukup umur. Lah partner lo? Tanggung jawab kalo gitu!” seru Ridho.
“Ini bukan soal tanggung jawab lagi, Dho.” Ari duduk kembali ke kursi sambil memejamkan mata, seolah dia sudah putus asa. “Gue merasa gagal mendidik dia sebagai tangan kanan gue. Temen kita ini udah melakukan sesuatu yang nggak bermoral. Mari kita hukum dia seberat-beratnya, sesuai apa yang telah dia lakukan.”
“Jangan, Bos. Pliis. Gue masih mau idup, masih mau sekolah. Gue masih sayang sama Bu Sam, kok, meski beliau enek sama gue. Tolong, jangan hukum gue, Bos. Jangaaaan,” Oji berlutut sambil memohon-mohon, nyaris merengek di hadapan Ari.
“Nggak bisa...”
“Fi!” Tiba-tiba saja Oji menatap Fio dengan sungguh-sungguh. “Lo nggak benci sama gue, kan? Kita ngelakuin itu atas dasar suka sama suka, kan? Sekarang lo bilang ke gue, lo maunya gimana? Gue nikahin, ato nunggu lulus SMA dulu?”
Tari dan Fio hampir saja berlari sambil menjerit-jerit histeris melihat kelakuan Ari dan teman-temannya. Entah mereka emang berbakat jadi aktor, atau sebenarnya mereka itu pasien yang baru lepas dari rumah sakit jiwa terdekat.

***

Siang ini berakhir dengan ledekan-ledekan seputar Oji dan Fio. Bahkan Tari pun ikut-ikutan menggoda temannya, menjodoh-jodohkannya dengan tangan kanan Ari yang geblek tingkat dewa itu. Oji sih hepi-hepi aja, tapi Fio langsung keki abis!
“Gimana kalo lo anterin si Fio pulang? Pake motor gue aja. Biar gue sama Tari nebeng Ridho,” kata Ari saat mereka tiba di parkiran.
“Nggak usah!”
“Oke!”
Fio dan Oji adu melotot setelah meneriakkan dua jawaban bertolak belakang itu.
Ari tertawa. “Nih,” katanya sambil menyodorkan kunci. “Tapi inget, langsung dianterin pulang. Jangan mampir kemana-mana. Sampe rumah masih dalam keadaan utuh. Jangan diapa-apain. Oke?”
“Siap, Bos!” Oji menerima kunci motor Ari dengan hormat. “Yuk, Fi.”
“Ogah!” Fio langsung balik badan. “Gue mau pulang sendiri! Dah, Tar!”
“Ck, urusan lo tuh, Ji,” kata Ridho.
“Urusan gue?” Oji malah menunjuk dadanya sendiri dengan bingung.
“Kejar dia, oon! Keburu jauh, trus ngambek.” Ridho menunjuk menggunakan dagunya ke arah Fio yang sudah kabur.
“Eh iya, iya. Fi! Jangan ngambek, dong! Hei, Fio!” Oji langsung tunggang langgang mengejar Fio.
Ari, Tari, dan Ridho tersenyum geli. “Duluan aja, Dho,” kata Ari. “Gue masih punya urusan sama Tari.”
“Oke. See ya!” Tanpa bertanya-tanya lebih lanjut, Ridho melangkah ke mobilnya. Karena ia sudah tau sejak awal gelagat Ari. Setelah tak ada lagi orang di sekitar mereka, Ari menggandeng tangan Tari keluar sekolah.
“Mau kemana, Kak?”
“Jalan-jalan,” sahut Ari santai.
“Jalan-jalan kemana siang-siang gini? Masih pake seragam pula.”
“Sebenernya gue punya kejutan buat lo. Tapi sayang, kejutannya belom sampe di sini sekarang. Jadi kita jalan-jalan aja.” Ari sengaja tidak akan memberi tahu Tari tentang kepindahan Ata dan Mama ke Jakarta, juga status Ata yang sudah terdaftar sebagai murid baru di sini. Ia akan menjadikannya kejutan. “Lo tau di mana toko yang jual mesin jahit nggak?”
“Ng... tau sih, Kak. Soalnya dulu suka diminta nganterin Mama bolak-balik ke toko pas mau beli.”
“Bagus. Kita ke sana.”
“Mau ngapain, Kak?”
“Beli mesin jahit, lah.”
“Buat apa beli mesin jahit? Lo nggak ikutan kursus menjahit, kan? Soalnya mahal kalo ikutan kursus. Mending belajar ke Mama aja kalo lo emang minat jadi penjahit. Gratis, deh. Pasti langsung bisa.”
Ari jadi ketawa. “Nggak, lah. Lo mau gue kerja jadi penjahit pas kita nikah besok?”
Tari kontan menggeleng. “Siapa juga yang mau nikah sama elo?” gerutunya.
“Elo, kan?” Ari menyeringai jahil. “Yuk, ah.”
“Ng.. Kak, tapi...”
“Kenapa?” Ari menghentikan langkahnya.
“Itu... eh, gue laper, Kak. Tadi belom sempet makan.”

Ari tersenyum lebar melihat Tari yang menunduk. Digenggamnya semakin erat tangan cewek itu. “Bilang dong dari tadi. Yuk, makan!”




Bersambung...

1 komentar: