Jam
istirahat kedua, Tari dan Fio langsung ngacir ke kantin. Perut mereka
keroncongan sejak ulangan Matematika sekaligus Kimia yang dilaksanakan
berturut-turut tanpa ampun. Sementara energi cadangan habis tak bersisa, otak
mereka serasa mengepulkan asap saking kerasnya dipaksa bekerja. Istirahat
pertama tadi mereka tidak sempat menginjakkan kaki ke kantin karena sibuk
belajar.
“Ya
ampun, gila banget soal-soal Kimia tadi. Gue cuma bisa ngerjain setengahnya,
Tar! Itu aja nggak tau bener apa kagak.” Fio mengempaskan pantat ke bangku
kantin yang masih kosong tanpa semangat, ngenes kalau harus mengingat soal
ulangan tadi.
Tari
menggeleng. “Lo mending bisa setengahnya. Lah gue? Bener satu soal aja berkah,
Fi. Elo juga, sih! Kenapa nggak ngingetin gue kalo hari ini ada ulangan
Matematika sama Kimia? Gue lupa belajar tadi malem.”
Fio
meringis. “Makanya, lo jangan mikirin Kak Ari mulu, dong. Inget sama pelajaran
juga, Tar.”
Tari
jadi mendadak lesu. Kak Ari lagi, Kak Ari lagi. Cowok itu masih belum ada kabar
sejak terakhir mereka berbicara di telepon. Semua SMS maupun panggilan Tari
kembali tidak ditanggapi. Tari mendesah saat soto pesanan mereka datang. Nafsu
makannya mendadak lenyap. Ia mengambil sendok, kemudian mengaduk-aduk sotonya
tanpa gairah.
Tari
melayangkan pandangan ke sekeliling. Matanya berhenti di satu titik, kepada
seseorang yang tengah melangkah ke arahnya. Tari memejamkan mata, berusaha
mengenyahkan bayangan orang itu. Nggak
mungkin, nggak mungkin, nggak mungkin! Sadar, Tar! Dia cuma khayalan elo!
Khayalan, khayalan, khayalan, enyahlah, enyahlah, enyahlah, rapal Tari
dalam hati sembari berkomat-kamit seperti sedang mengusir setan. Tapi begitu
membuka mata, orang itu masih ada, bahkan sekarang sudah berdiri tepat di
belakang punggung Fio, menatapnya sambil menyunggingkan senyum. Sekujur tubuh
Tari membeku. Tidak mungkin orang ini ada di sini! Senyum yang begitu
dirindukannya ini tidak mungkin nyata!
“Fi,”
Tari memijit pelipisnya dengan mata kembali terpejam. Keningnya berkerut seolah
sedang menahan sakit. “Kayaknya efek ulangan tadi parah banget, deh. Gue mulai
berhalusinasi, Fi.”
Fio
menghentikan kegiatan makannya. “Berhalusinasi apa?”
“Masa
gue...” Tari melirik sedikit ke orang di belakang Fio. “Gue liat...”
“Lo
pikir gue cuma halusinasi lo, Tar?” potong Ari. Cowok itu kemudian duduk di
sebelah Fio, masih dengan senyum rupawannya yang kali ini bercampur dengan
cengiran jahil. “Segitu kangennya lo sama gue?”
Fio
nyaris keselek sotonya yang belum sempat tertelan, sementara Tari menganga
mendengar suara Ari. Jadi bener cowok itu ada di sini? Ari yang sekarang duduk
di hadapannya ini bukan cuma khayalan?
“Daritadi
gue perhatiin sotonya cuma diaduk-aduk. Sayang, kan? Sini, mending buat gue.”
Mangkuk soto di hadapan Tari tiba-tiba digeser ke hadapan Ari. Tari melongo
ketika cowok itu kemudian melahap sotonya dengan wajah tanpa dosa.
Berbagai
macam perasaan membuncah di dada Tari. Tapi yang terasa dominan adalah rasa
jengkel. Bisa-bisanya ni cowok main sikat
soto gue dengan wajah innocent kayak
gitu setelah menghilang tanpa kabar beberapa hari! Tanpa permisi dan minta maaf,
lagi! Kurang ajaaar! Cewek itu berdiri sambil mengentakkan kaki kuat-kuat
ke lantai, dan tanpa babibu langsung berderap pergi.
“Ck,
ngambek, kan,” desah Ari. Ia mendorong mangkuk sotonya menjauh. “Minta ya, Fi.”
Tanpa menunggu persetujuan yang punya, ia menyedot setengah dari es jeruk milik
Fio. “Thanks, nih buat bayar.” Sambil
berdiri, Ari menyerahkan selembar uang berwarna merah, yang diterima Fio dengan
ragu-ragu. “Udah, anggep aja traktiran. Gue mau ngomong sama Tari. Ntar kalo
dia telat balik kelas, bilang aja lagi di UKS. Oke?”
Fio
tak sempat bereaksi saat Ari meninggalkannya begitu saja, mengejar Tari yang
sudah lenyap dari kantin. Tatapannya kemudian jatuh ke selembar uang di
tangannya.
“Rejeki
nomplok!” serunya tertahan. Bibirnya mengembang lebar. Siang bolong,
panas-panas, abis bertempur sama Kimia dan Matematika yang bikin otak mau
meledak, eh tiba-tiba dapet duit seratus ribu. Buat bayar soto sama es jeruk
doang mah masih sisa buanyak. Fio sudah bersiap mengantongi uang tadi saat
dilihatnya dua makhluk paling jelek di muka bumi ini. Bukan, bukan tampang
mereka yang jelek, secara wajah dan bodinya aja cakep-cakep gitu, satu tingkat
di bawah Ari. Tapi niatan kedua makhluk itulah yang tentu nggak ada
bagus-bagusnya buat kesehatan jiwa, raga, apalagi dompetnya.
Fio
hampir menjerit begitu muka Oji dan Ridho mendadak sudah ada tepat di
hadapannya. Cengiran kedua cowok itu seperti senyuman iblis di mata Fio.
“Mau
ngapain lagi? Gue nggak ada duit! Pergi! Pergi!” Fio mengibaskan tangannya,
berharap setengah mati agar dua makhluk menjengkelkan ini enyah dari
hadapannya. Sori sori aja, sampai mati beneran pun Fio nggak bakal rela bagi-bagi
duit seratus ribunya buat dua makhluk itu.
“Jangan
bohong, Fi. Gue liat kok Ari bagi-bagi rezeki ke elo barusan. Kayaknya lumayan
banyak tuh. Boleh dong, lo juga bagi-bagi rezeki ke kami,” sahut Oji.
Fio
langsung lemas. Niatnya sih ini uang dari Ari mau dipakainya untuk membeli
salah satu kaset drama Korea yang dari kemarin belum kesampaian mau dibawa
pulang. Tapi sepertinya harapan itu harus kandas lagi. Eits! Tunggu dulu. Fio
tidak akan menyerah begitu saja. “Jangan, plis, Kak,” ujarnya memelas. Tampangnya
udah kayak napi mau dihukum mati yang lagi memohon pengampunan. “Gue lagi butuh
uang ini. Butuuuh banget. Ada buku pelajaran yang harus gue beli. Itu harus,
kudu, dan wajib. Nggak boleh nggak. Ini kata Bu Sam, Kak. Asli, gue nggak
ngada-ada.” Padahal sih aslinya ngada-ada banget. Mana pernah guru yang udah
kayak papan peraturan berjalan itu ngasih kewajiban membeli buku pelajaran. Bodo amat deh kalo besok-besok ketauan
bohong, yang penting duit ini aman sekarang, batinnya.
“Kalian
tega liat gue dihukum gantung sama Bu Sam gara-gara nggak punya buku itu? Tega,
Kak?! Cuma buat ngeliat kalian kenyang gue harus ngorbanin nyawa gue, gitu hah?!
Nggak berperikemanusiaan!” Tiba-tiba saja Fio akting penuh emosi. Pinginnya sih
sambil gebrak meja sekalian atau lempar gelas-piring sambil nangis-nangis, tapi
takutnya malah dia diseret ke rumah sakit jiwa.
Oji
dan Ridho saling tatap dengan kening berkerut. Ini cewek ngibul nggak? Kok sampe histeris gitu? Begitulah
kira-kira pertanyaan yang mengambang di benak mereka. Tapi dari tampangnya kok kayaknya beneran. Walau agak berlebihan, sih.
Kedua cowok itu akhirnya membatalkan niat mereka. Rada feeling guilty juga kalo liat ekspresinya si Fio yang udah desperate banget.
“Ji,
tega bener lo. Tanggung jawab gih,” kata Ridho kemudian. “Sampe mau nangis dia.”
“Ih,
tanggung jawab apaan?” Oji langsung belagak bego. “Gue cowok baik-baik, Dho.
Nggak mungkin gue ngelakuin hal bejat kayak gitu. Fi, bilang ke Ridho, kita
nggak pernah ngapa-ngapain kan ya? Lo nggak hamil sama gue, kan?”
Giliran
Fio yang melongo. Ini lagi ngomongin apa, si Oji jawabnya apa. Emang sarap nih
antek-anteknya Ari!
***
Cewek
itu cuma berjarak 3 meter di depannya. Tapi Ari sengaja tidak menyamakan
langkah atau mencekal pergelangan tangan cewek itu. Ia biarkan Tari berjalan ke
tempat tujuannya. Cewek itu langsung terbirit-birit setelah menoleh sekilas ke belakang.
Ari tersenyum geli.
Sementara
itu Tari yang memimpin jalan mulai memutar otak. Di mana tempat yang bisa
membuat Ari berhenti mengikutinya? Aha! Toilet cewek! Jangan harap bisa nangkep gue! Tari menyeringai puas. Toilet cewek
terdekat tinggal beberapa meter lagi. Langkahnya sudah nyaris berlari menyambut
pintu kebebasan.
Ari
segera menyadari kemana kaki cewek di depannya ini berlari. Ia mendengus.
Ketika Tari sudah hampir memasuki pintu toilet cewek, cowok itu melesat maju.
Tubuh Tari serasa dihantam angin dan seketika ambang pintu toilet lenyap dari
hadapannya, berganti dengan dada bidang Ari. Cowok itu mencekal kedua
pergelangan tangannya erat-erat. Tari mendongak, bersiap menyaksikan wajah Ari
yang marah atau geram. Namun yang didapatnya justru senyum menawan di wajah
tampan itu, membuat pipinya panas seketika. Ia berusaha memberontak. “Lepasin!
Gue mau ke toilet!”
“Ngapain
ke toilet? Gue tau lo nggak lagi kebelet,” sahut cowok itu. Tangannya semakin
ketat mencekal tangan Tari. Sudut bibirnya berkedut menahan tawa. “Kenapa sih lari-lari?
Katanya kangen sama gue?”
“Gue
nggak kangen sama elo! Nggak usah kepedean ya jadi orang! Lepasin!” Tapi dalam
hati Tari mengakui kalau ia begitu merindukan sosok ini. Wangi maskulinnya
membuat cewek itu hampir tidak bisa menahan diri untuk tidak jatuh ke pelukan
Ari. Heh, gue mikir apa sih! rutuk
cewek itu dalam hati.
“Bener?”
Tiba-tiba Ari menariknya mendekat. Tatapannya menajam. “Nggak akan gue lepasin
kalo lo nggak ngaku.”
Ancaman
Ari membuat Tari berpikir keras. Ogah banget kalo dia harus ngaku. Gengsi dong
kalo dia bilang kangen sama cowok muka badak ini. Tapi Tari tau Ari akan
merealisasikan ancamannya kalau dirinya keras kepala. Ia tidak akan pernah
menang melawan Ari. Gue harus gimanaaaaa?
Tuhan
Yang Maha Esa mendengarkan doa Tari, dan menjawabnya sekaligus! Dia yang bertahta
atas seluruh kehidupan dan alam semesta menurunkan pertolongan lewat kehadiran
guru paling menyebalkan di muka bumi. Mendadak sebuah pukulan keras mendarat di
punggung Ari. Cekalan cowok itu terlepas seketika karena kaget.
“Ari!”
bentak Bu Sam.
Ari
membalikkan badan, menyembunyikan Tari di balik punggungnya. Bibirnya langsung
membentuk cengiran lebar. “Eh, Ibu. Apa kabar, Bu?”
“Apa
kabar, apa kabar! Dari mana aja kamu? Bolos terus tanpa ijin! Kamu mau
dikeluarkan dari sekolah ini?”
“Aduh,
Bu. Jangan. Pliiis. Saya udah kelas 12. Udah mau lulus. Lagian saya pinter kok,
Bu. Masa Ibu tega ngeluarin anak berprestasi kayak saya? Dan juga, cukup Tari
aja deh yang kangen sama saya. Bu Sam nggak usah ikut-ikutan kangen, sampe pingin
tau saya dari mana segala.”
Gila emang ini orang!
Tari mendelik ke punggung Ari di hadapannya, berharap cowok itu tidak bikin Bu
Sam naik darah. Tapi bukan Ari namanya kalau tidak hobi mencari gara-gara.
“Saya
bolos buat refreshing, Bu. Anak
pinter itu butuh udara segar buat otaknya. Nggak melulu belajar di kelas.
Makanya Ibu perhatiin kebutuhan siswa juga, dong! Masa disuruh duduk di kelas
terus? Sekali-sekali diajak main, kek. Nggak heran siswa-siswi di sini banyak
yang geblek gara-gara nggak pernah refreshing.
Apalagi di kelas saya. Ibu tau sendiri lah, anak-anaknya pada gila semua.”
Wajah
Bu Sam merah padam mendengar ocehan Ari. Tangannya terulur menjewer telinga
anak bandel itu. Tak dilepaskannya meski cowok itu mengaduh-aduh.
“Kamu
ikut saya ke ruang guru! Coba bicara seperti itu lagi kalau berani!” Tatapan
mematikan Bu Sam jatuh ke Tari. “Kamu, kembali ke kelas, sudah mau bel! Saya
sita cowok kamu sampai pulang sekolah nanti.”
Walaupun
dipelototi seperti itu, Tari nyaris ngakak mendengar kata-kata Bu Sam. Ari mau
disita? Silahkan ajaaaaa. Rasa geli Tari tersalurkan oleh tawa meledak Ari.
Meski tubuh cowok itu dalam posisi miring berkat jeweran Bu Sam yang tubuhnya
jauh lebih pendek, ia tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa
ketawa?!” Bu Sam menarik telinga Ari lebih keras.
“Aduh,
aduh, ampun, Bu. Kuping saya bisa copot nanti. Abisnya Ibu lucu, sih. Main sita
aja. Emangnya saya barang? Nggak usah rebutan saya gitu lah, Bu. Saya tetep
milih Tari, kok.”
“Aaah,
diam! Biar Ibu beri pelajaran nanti ya!” Ibu guru yang sudah jengkel setengah
mati itu mengacungkan kepalan tinjunya.
“Daaah,
Tari! Ntar pulangnya tungguin gue!” teriak Ari yang sudah ditarik menjauh oleh
Bu Sam.
Tari
menggelengkan kepala tak habis pikir. Mungkin Ari satu-satunya siswa SMA yang masih
harus kena jewer dari guru. Tapi di dalam lubuk hatinya, sebenarnya Tari
memahami keadaan ini. Ari memang menyukainya.
Ari menyukai saat guru-guru memarahinya. Ari menyukai saat guru-guru
memperhatikannya lebih dari siswa lain. Ari menyukai saat guru-guru memukul
atau menjewer telinganya. Karena memang itu yang ia butuhkan. Perhatian.
Bel
masuk berbunyi. Tari buru-buru melangkah ke kelasnya. Terpaksa ia harus menahan
lapar untuk dua jam pelajaran lagi.
***
“Tumben
nggak nelat?” sambut Fio di kelas. “Padahal gue udah siapin alesan kalo lo
telat nanti. Nggak ngobrol sama Kak Ari?”
Tari
menggeleng. “Dia keburu kena ciduk Bu Sam.”
Begitu
Tari duduk di sebelahnya, Fio menyikut temannya itu dengan jahil. “Gimana?
Seneng? Udah nggak galau?”
“Apaan
sih, Fi!” Wajah dan kuping Tari langsung memanas. “Biasa aja kali.” Fio jadi
ketawa melihat ekspresi Tari yang salah tingkah.
“Eh,
Fi. Punya cemilan nggak? Bagi, dong. Gue belom sempet makan tadi.”
“Nih,
kebetulan gue beli roti, buat jaga-jaga. Bener kan elo kelaperan.” Fio
menyodorkan sebungkus roti pisang cokelat yang ia beli di kantin.
Tari
menyambutnya dengan mata berbinar. “Thanks,
Fi! Elo emang sahabat paling pengertian. Bagi minum juga, dong.”
Fio
pura-pura mendengus malas sambil menyerahkan botol minumnya, padahal dalam hati
ia cekakakan. Ya iyalah. Tari cuma dapet sebungkus roti gitu, sementara dia
bisa dapet berbungkus-bungkus kaset drama Korea! Terima kasih kembali, Tari.
***
“Aduh,
Tar. Mampus gue!” Fio berbisik tegang, membuyarkan konsentrasi Tari yang sedang
menyalin catatan di papan tulis.
“Apaan
sih, Fi? Sst, lo jangan bikin ribut, deh. Bisa dimarahin Bu Pur ntar.”
“Lo
liat deh ke pintu.”
Tari
menoleh ke pintu kelas yang terbuka. Bel pulang masih sepuluh menit lagi, tapi
dilihatnya Ridho dan Oji sudah berdiri di luar kelasnya. Oji bersandar pada
salah satu pilar dan Ridho berdiri menghadapnya, yang itu berarti membelakangi
pintu kelas Tari. Keduanya masih asyik mengobrol dengan suara pelan.
“Ngapain
sih tu cowok dua ke sini?” gumam Tari heran, sementara Fio mendesis panik,
“Jangan-jangan nyariin gue.”
Tari
jadi menoleh. “Ngapain nyariin elo?”
Karena gue ketauan
boong! “Ceritanya panjang. Tar, lo bisa nggak ngomong ke
Kak Ari, suruh cabut mandat yang dia kasih ke Kak Oji sama Kak Ridho? Lama-lama
jadi gila gue kalo disamperin mereka terus.”
“Lo
cuma disamperin Kak Oji sama Kak Ridho, Fi. Gue malah Kak Ari! Bosnya para
biang onar itu.”
“Ya
mending disamperin Kak Ari lah, Tar! Kak Ari nggak pernah minta duit ke elo.
Yang ada juga elo dikasih ini itu sama dia. Lah kalo gue? Hidup gue berubah
sejak Kak Ari ngasih wewenang itu ke Kak Oji sama Kak Ridho. Duit gue abis,
Tar.” Fio berkeluh kesah dengan wajah nelangsa. “Pokoknya lo harus tanggung
jawab! Salah lo juga ini ngajak-ngajak gue nginep di rumah Nyoman, yang
ternyata ngajakin kabur dari Kak Ari. Si Nyoman apalagi! Damai banget tu anak
nggak pernah disamperin Kak Ridho sama Kak Oji! Malah mungkin mereka udah lupa
sama yang namanya Nyoman.”
“Iya,
iyaaa, ntar gue bilang ke Ari. Udah, lo jangan ribut mulu. Dipelototin Bu Pur,
tuh,” bisik Tari sambil menunduk pura-pura menulis
Fio
buru-buru meneruskan menyalin catatan, meski otaknya sudah tidak bisa
konsentrasi dan hatinya ketar-ketir. Apalagi tiba-tiba Oji menoleh ke arahnya.
Saat tatapan mereka bertemu, cowok itu tersenyum lebar. Fio bergidik, dan
langsung menunduk dalam-dalam.
Untuk
sekali dalam seumur hidup, Fio tidak pernah ingin bel pulang berbunyi. Tapi
keinginannya jelas tidak terkabulkan mengingat harapan itu berbanding terbalik
dengan doa ratusan murid lain di sekolah, yang ingin bel pulang segera
berkumandang. Waktu tetap berjalan, dan tiba-tiba saja bel pulang berbunyi.
“Nggak
usah takut, Fi,” kata Tari yang menyadari kegelisahan Fio. Matanya menangkap
sosok Ari yang kini bergabung bersama Ridho dan Oji di luar kelasnya. “Tuh,
udah ada Ari. Ntar biar gue bilang sama dia.”
“Makasih,
Tar.” Fio bisa sedikit bernapas lega. Setelah Bu Pur dan teman-teman lain
keluar kelas, tiga cowok yang sedari tadi menunggu di luar melangkah masuk
menghampiri dua orang cewek yang masih melekat di kursi masing-masing. Tari dan
Fio memang sengaja menunggu di kelas. Males kan kalau mereka yang harus
nyamperin ketiga cowok yang jelas-jelas punya urusan sama mereka itu? Hanya
saja posisi mereka sudah bertukar. Fio yang kini menempel pada kursi di samping
jendela, sementara Tari di pinggir.
“Stop!”
Tari menghentikan langkah ketiga cowok tadi beberapa meter darinya. Tatapannya
lurus ke Ari. “Sebelom kalian bilang apapun yang mau kalian bilang ke kami,
sebelom kalian ngelakuin apapun yang mau kalian lakuin ke kami, gue mau minta
sesuatu ke Kak Ari.”
Ketiga
cowok yang berdiri bingung itu kontan tertawa.
“Kenapa
ketawa?” dengus Tari.
“Lo
lucu deh ngomongnya. Lo pikir kami mau ngelakuin apa ke kalian, hm?” Ari
melangkah mendekat, tidak tahan untuk tidak mengusap kepala gadisnya.
“Iya.
Lagian posisinya nggak seimbang gini. Tiga lawan dua. Atau gimana kalau...” Oji
pura-pura berpikir. Tatapannya jatuh ke Ridho. “Ah! Lo mending keluar, Dho.
Biar pas, Tari sama Ari, gue sama Fio, sementara lo jadi lonely guy di luar. Ato sama Sarah aja sana.”
“Jangan
sebut nama cewek itu,” gerutu Ridho. Tawanya mendadak hilang.
“Oke.
Apa yang mau lo minta, beib?” Ari duduk di depan Tari, sementara Ridho dan Oji
berdiri di belakangnya.
“Pertama,
jangan panggil gue “beib”!” kata Tari cemberut.
Ari
terkekeh. “Kalo gitu, gimana kalo “Say”?”
“Hih,
apalagi ituuuu! Jangan lebay deh, Kak! Gatel kuping gue.”
“Iya,
Bos. Aneh tau nggak denger lo panggil-panggil Tari pake sebutan kayak gitu.
Kayak lo tuh udah menjelma jadi playboy
penakluk hati cewek-cewek seantero jagat.”
“Ck,
bilang aja lo sirik, Ji, nggak ada cewek yang bisa lo panggil kayak gitu,” celetuk
Ridho.
“Dih,
emang lo punya?” Oji langsung melotot ke Ridho di sebelahnya.
“Sori,
gue emang nggak punya. Tapi itu karena gue emang belom butuh cewek. Nggak kayak
elo yang hopeless nyari cewek.”
“Halah,
sama-sama nggak laku dilarang saling menjelek-jelekkan, Dho,” sindir Oji
mangkel.
“Kata
siapa gue nggak laku? Gue berlutut di depan cewek aja pasti tu cewek
klepek-klepek.”
“Kayak
siapa contohnya? Sarah?”
“Udah
gue bilang, jangan sebut nama dia!”
“Stop,
stop! Kok malah kalian yang ribut, sih?” tukas Ari. “Sori, Ji. Tapi gue emang
penakluk hati cewek-cewek seantero jagat.”
“Ah,
narsis banget lo, Bos! Sok kecakepan!”
“Gue
emang cakep. Iya kan, Tar?” kata Ari sambil melemparkan kedipan sebelah mata.
Oji
ketawa melihat wajah Tari yang mengernyit. “Lo liat deh ekspresinya Tari. Langsung
ilfil dia.”
“Iya,
Ri. Tari enek kali liat muka lo,” sambung Ridho.
“Eh,
udah satu kubu lagi nih kita, Dho?” Oji nyengir. “Tos dulu, dong! Kita ganyang
si Bos yang sok kecakepan ini!” Lalu mereka berdua pun ber-high five.
“Duh,
salah nih gue ngajak kalian ke sini,” gerutu Ari.
“Iya,
Kak. Akhirnya lo nyadar juga. Bawa sohib-sohib gila lo ke sini tuh nggak akan
ada abisnya. Betah aja sih bergaul sama mereka?” Tari menggelengkan kepala
sambil berdecak.
“Woi,
jangan salah, Tar. Gini-gini di antara kita bertiga sebenernya yang paling gila
juga Ari,” kata Ridho. “Cuma kalo di depan lo aja, dia jadi agak-agak jaim.”
“Iya,
Tar!” sambut Oji bersemangat. “Nggak mungkin gue panggil dia “Bos” kalo bukan dia
yang paling gila.”
“Aaaah,
diem lo berdua!” Ari lama-lama jengkel juga.
“Hehe,
peace, Bos.” Oji mengacungkan jari
telunjuk dan jari tengahnya.
“Jadi,
apa permintaan lo selanjutnya?” Ari baru bertanya lagi ke Tari setelah Ridho
dan Oji tutup mulut.
“Lo
liat sahabat gue di sebelah gue ini?”
Ari
melirik ke arah Fio yang dari tadi diam tak bersuara. “Iya. Trus? Kenapa sama
Fio?”
“Suruh
sohib-sohib lo ini buat nggak gangguin Fio lagi. Lo tau? Sejak lo ngasih
wewenang ke Kak Ridho sama Kak Oji buat ngehukum Fio, mereka gunain wewenang
dari lo itu seenak jidat.”
“Seenak
jidat gimana?” Kening Ari berkerut. Lalu dia beralih menatap Fio. “Lo diapain
sama mereka?” Sedetik, pertanyaan Ari pindah ke Ridho dan Oji tanpa sempat Fio
menjawab. “Kalian apain si Fio sampe ketakutan gitu?”
“Si
Oji, nih!” Ridho mendorong bahu Oji. Dirinya ogah disalah-salahkan. Sementara
yang didorong malah cengengesan.
“Ji,
jangan bilang lo...” Ari mendesis tegang, yang terlambat disadari Tari maupun
Fio bahwa itu hanya kepura-puraan. “Ji! Lo nggak mungkin segila itu, kan?”
teriak Ari tiba-tiba sambil mengguncang bahu Oji. “Lo nggak mungkin setega itu, kan?”
Dan
ajaibnya, Ridho dan Oji langsung mengikuti skenario dadakan ciptaan Ari. Ridho
langsung menyahut, “Udah gue peringatin berkali-kali, Ri. Tapi dianya aja yang
keras kepala.”
“Gue
kan cuma bilang kasih dia hukuman ringan aja! Kalo itu mah namanya pelanggaran
hak asasi perempuan, Ji. Dia masih di bawah umur! Lo nyadar nggak, sih?”
“Eh,
iya! Gue baru sadar!” Oji mendadak melotot ngeri. “Gue kan ingetnya gue yang udah
cukup umur, Bos. Suer, gue bener-bener lupa.”
“Emang
lo pikir lo ngelakuin itu sendiri? Iyaaa, lo emang udah cukup umur. Lah partner lo? Tanggung jawab kalo gitu!” seru
Ridho.
“Ini
bukan soal tanggung jawab lagi, Dho.” Ari duduk kembali ke kursi sambil
memejamkan mata, seolah dia sudah putus asa. “Gue merasa gagal mendidik dia
sebagai tangan kanan gue. Temen kita ini udah melakukan sesuatu yang nggak
bermoral. Mari kita hukum dia seberat-beratnya, sesuai apa yang telah dia
lakukan.”
“Jangan,
Bos. Pliis. Gue masih mau idup, masih mau sekolah. Gue masih sayang sama Bu Sam,
kok, meski beliau enek sama gue. Tolong, jangan hukum gue, Bos. Jangaaaan,” Oji
berlutut sambil memohon-mohon, nyaris merengek di hadapan Ari.
“Nggak
bisa...”
“Fi!”
Tiba-tiba saja Oji menatap Fio dengan sungguh-sungguh. “Lo nggak benci sama
gue, kan? Kita ngelakuin itu atas dasar suka sama suka, kan? Sekarang lo bilang
ke gue, lo maunya gimana? Gue nikahin, ato nunggu lulus SMA dulu?”
Tari
dan Fio hampir saja berlari sambil menjerit-jerit histeris melihat kelakuan Ari
dan teman-temannya. Entah mereka emang berbakat jadi aktor, atau sebenarnya
mereka itu pasien yang baru lepas dari rumah sakit jiwa terdekat.
***
Siang
ini berakhir dengan ledekan-ledekan seputar Oji dan Fio. Bahkan Tari pun
ikut-ikutan menggoda temannya, menjodoh-jodohkannya dengan tangan kanan Ari
yang geblek tingkat dewa itu. Oji sih hepi-hepi aja, tapi Fio langsung keki abis!
“Gimana
kalo lo anterin si Fio pulang? Pake motor gue aja. Biar gue sama Tari nebeng
Ridho,” kata Ari saat mereka tiba di parkiran.
“Nggak
usah!”
“Oke!”
Fio
dan Oji adu melotot setelah meneriakkan dua jawaban bertolak belakang itu.
Ari
tertawa. “Nih,” katanya sambil menyodorkan kunci. “Tapi inget, langsung
dianterin pulang. Jangan mampir kemana-mana. Sampe rumah masih dalam keadaan
utuh. Jangan diapa-apain. Oke?”
“Siap,
Bos!” Oji menerima kunci motor Ari dengan hormat. “Yuk, Fi.”
“Ogah!”
Fio langsung balik badan. “Gue mau pulang sendiri! Dah, Tar!”
“Ck,
urusan lo tuh, Ji,” kata Ridho.
“Urusan
gue?” Oji malah menunjuk dadanya sendiri dengan bingung.
“Kejar
dia, oon! Keburu jauh, trus ngambek.” Ridho menunjuk menggunakan dagunya ke
arah Fio yang sudah kabur.
“Eh
iya, iya. Fi! Jangan ngambek, dong! Hei, Fio!” Oji langsung tunggang langgang
mengejar Fio.
Ari,
Tari, dan Ridho tersenyum geli. “Duluan aja, Dho,” kata Ari. “Gue masih punya
urusan sama Tari.”
“Oke.
See ya!” Tanpa bertanya-tanya lebih
lanjut, Ridho melangkah ke mobilnya. Karena ia sudah tau sejak awal gelagat Ari. Setelah tak ada lagi orang di sekitar
mereka, Ari menggandeng tangan Tari keluar sekolah.
“Mau
kemana, Kak?”
“Jalan-jalan,”
sahut Ari santai.
“Jalan-jalan
kemana siang-siang gini? Masih pake seragam pula.”
“Sebenernya
gue punya kejutan buat lo. Tapi sayang, kejutannya belom sampe di sini
sekarang. Jadi kita jalan-jalan aja.” Ari sengaja tidak akan memberi tahu Tari
tentang kepindahan Ata dan Mama ke Jakarta, juga status Ata yang sudah
terdaftar sebagai murid baru di sini. Ia akan menjadikannya kejutan. “Lo tau di
mana toko yang jual mesin jahit nggak?”
“Ng...
tau sih, Kak. Soalnya dulu suka diminta nganterin Mama bolak-balik ke toko pas
mau beli.”
“Bagus.
Kita ke sana.”
“Mau
ngapain, Kak?”
“Beli
mesin jahit, lah.”
“Buat
apa beli mesin jahit? Lo nggak ikutan kursus menjahit, kan? Soalnya mahal kalo
ikutan kursus. Mending belajar ke Mama aja kalo lo emang minat jadi penjahit.
Gratis, deh. Pasti langsung bisa.”
Ari
jadi ketawa. “Nggak, lah. Lo mau gue kerja jadi penjahit pas kita nikah besok?”
Tari
kontan menggeleng. “Siapa juga yang mau nikah sama elo?” gerutunya.
“Elo,
kan?” Ari menyeringai jahil. “Yuk, ah.”
“Ng..
Kak, tapi...”
“Kenapa?”
Ari menghentikan langkahnya.
“Itu...
eh, gue laper, Kak. Tadi belom sempet makan.”
Ari
tersenyum lebar melihat Tari yang menunduk. Digenggamnya semakin erat tangan
cewek itu. “Bilang dong dari tadi. Yuk, makan!”
Bersambung...
Kapan nih post selanjutnya?? Bagus banget :D
BalasHapus