Akhir-akhir
ini Ari terlihat sibuk. Itu yang Tari pikirkan semenjak terakhir kali mereka
jalan bersama mencari mesin jahit. Ari tidak menjawab pertanyaan tentang tujuan
ia membeli mesin jahit waktu itu, jadi Tari hanya bisa bertanya-tanya dalam
hati. Cowok itu juga sekarang jarang mengunjungi kelas atau rumahnya, meski
setiap pagi dan siang Ari masih setia menjadi ojek pribadi.
“Sibuk?”
tanya Tari suatu siang saat naik ke boncengan Ari.
“Lumayan,”
jawab Ari, tidak menyangka Tari mengamati kegiatannya belakangan ini. Cowok itu
menoleh ke belakang. “Kenapa?”
“Heran
aja. Sibuk ngapain, sih?”
“Lo
lupa? Gue kan udah kelas 12, harus rajin belajar. Nggak boleh bolos-bolos lagi.
Udah? Pegangan.”
Kening
Tari jadi keriting. Sejak kapan Ari sadar lahir batin kalau dirinya udah kelas
12? Maksudnya, Ari mau tobat gitu? Mau berubah jadi anak teladan? Sungguh
ajaibnya hidup ini kalau itu memang terjadi!
Tanpa
bertanya-tanya lagi, Tari melingkarkan lengan ke perut Ari. Nggak masalah deh
kalo Ari mau tobat. Alhamdulillah, malah. Yang penting mereka masih bisa
bersama, itu udah cukup.
Karena gue nggak mau
kehilangan elo, Kak. Seiring dengan pikiran itu, tanpa sadar
Tari mengetatkan pelukannya, bahkan menempelkan pipinya ke punggung Ari,
bersandar sepenuhnya pada cowok itu.
Ari
jelas kehilangan konsentrasi. Ia mengurangi kecepatan motor, lalu menoleh
sekilas ke belakang. “Kenapa sih, Tar? Tiba-tiba nempel-nempel gitu?”
“Eh,”
Tari langsung menegakkan badan. “Sori, Kak. Ngantuk, hehe..”
Ari
tersenyum, meski ia tahu Tari tak bisa melihat senyumnya. “Sabar. Jangan tidur
dulu, ntar jatoh. Lain kali kalo ngantuk bilang aja, biar gue pinjem mobil
Ridho buat nganterin elo.”
Ini
dia. Bentuk perhatian seperti ini yang Tari suka dari seorang Ari. Kelembutan
yang jarang ditampakkan di depan orang lain. Kehangatan yang berhasil menyentuh
hatinya hingga Tari yakin keputusannya untuk menerima sosok Matahari ini tidak
salah. Tari ingin menjadi satu-satunya gadis yang tidak dipertontonkan segala
macam bentuk kemunafikan dari Ari. Tari ingin menjadi satu-satunya gadis yang bisa
menemani hati yang terluka itu. Tari ingin menjadi satu-satunya gadis yang
menjadi tempat cowok itu menumpahkan air mata. Karena bagaimanapun, setelah apa
yang mereka berdua lewati selama ini, Tari merasa yakin bahwa tempatnya memang
di sini, bersama Ari. Tidak mungkin Tuhan menyinggungkan garis takdir mereka
tanpa maksud apa-apa. Tidak mungkin teori kesamaan nama mereka hanya omong
kosong belaka. Tidak ada kebetulan yang begitu dalam dan bertubi-tubi seperti
ini. Pasti ada benang tak kasat mata yang memang menghubungkan mereka, entah
bagaimana.
“Tar?”
panggil Ari, agak terlalu kencang.
“Eh,
ya, Kak?” sahut Tari kaget.
“Oooh,
syukur, deh. Gue kira lo tidur beneran. Kok diem? Lagi mikirin gue ya?”
“Ih,
sembarangan,” cibir Tari, meski dalam hati membenarkan dugaan Ari. Ia sendiri
juga heran kenapa mendadak menjadi melankolis dan memikirkan hal-hal seperti
itu tadi.
Ari
tertawa kecil. “Pegangan yang kenceng. Mau ngebut nih, biar cepet sampe rumah.”
***
Hari
ini ada pelajaran olahraga. Tari dan teman-temannya sedang melakukan pemanasan
sementara Pak Adang memberi instruksi pembagian kelompok untuk pertandingan
basket. Tatapan Tari jatuh ke gerombolan cowok kelas dua belas di salah satu
tepi lapangan. Ada sekitar 7 atau 8 orang yang mengumpul di sana, salah satunya
adalah Ari. Cowok itu ternyata juga tengah menatapnya, lalu melempar senyum.
“Nggak
pelajaran?” tanya Tari tanpa suara.
Ari
menangkap gerakan bibir Tari. Cowok itu menggeleng. “Kosong,” balasnya, juga
tanpa suara.
Hebat
memang keduanya, bisa berkomunikasi jarak jauh gitu hanya dengan gerakan bibir.
“Belajar sana!” balas Tari dengan wajah galak sambil mengangkat satu kaki untuk
meregangkan ototnya.
Ari
tertawa kecil. “Ntar,” jawabnya.
Tari
mendengus. Gimana sih tu cowok? Katanya udah harus rajin belajar? Giliran
pelajaran kosong kok nggak buat belajar, malah nongkrong di pinggir lapangan. Tapi
Tari tak ingin ambil pusing.
“Hei,
Tar! Kita sekelompok!” teriak Fio.
Tari
memutar lehernya untuk mencari sumber suara itu. “Ha? Sekelompok apa?” tanyanya
bingung setelah menemukan Fio yang sedang mencoba men-drible bola.
Fio
memutar bola mata. Pasti deh Tari nggak konsentrasi sama wejengan Pak Adang
tadi. Tiba-tiba ia melihat sosok Ari dan teman-temannya di seberang lapangan. “Oooh,
pantesan,” kata Fio. “Sekelompok basket sama gue, Neng. Konsentrasi, dong!
Mentang-mentang ada Kak Ari.”
Tari
cuma nyengir. Ternyata kelompoknya maju pertama, melawan kelompoknya Nyoman. Ia
mengambil posisi yang diinstruksikan Maya, yang memang lebih jago basket. Tari
mah ngikut aja, secara dia nggak paham blas soal strategi basket.
Setelah
lima menit berlalu, Tari mendapat operan bola. Karena Nyoman dan Lia
mendesaknya, tanpa pikir panjang Tari melempar bola ke arah Maya yang berada di
pinggir, bebas dari lawan. Meleset! Lemparan Tari melambung jauh dari jangkauan
Maya yang tidak siap, melayang keluar dari lapangan, dan...
Dug!
“Aauu!”
Mendarat persis di kepala seorang cowok! Cowok yang sedang berjalan
membelakangi lapangan itu kontan menghentikan langkah dan mengusap kepalanya.
Saat
berlari menghampiri cowok tadi, Tari menoleh sekilas ke tempat Ari. Dilihatnya
cowok itu menahan senyum geli sambil menggelengkan kepala. Tari meringis agak
bersalah.
“Maaf,
Kak,” katanya pada cowok yang kepalanya sempat jadi tempat landing si bola oranye. Dari perawakannya sih keliatan banget dia
kakak kelas, jadi Tari manggil dia “Kak”. “Saya nggak sengaja. Kakak nggak
pa-pa, kan?”
Begitu
cowok tadi membalikkan badan, Tari terperangah. Ari? Tapi bukankah tadi Ari
masih di seberang lapangan bersama teman-temannya? Kok bisa tiba-tiba ada di
sini?
Ari
yang berdiri di depannya itu tersenyum. Tangan kanannya memegang bola basket
tadi. “Gue nggak pa-pa. Nyut-nyutan dikit doang. Tapi ntar juga ilang.”
Tari
membalikkan badan dengan kaku, mencari Ari di tempatnya. Lho? Cowok itu masih
di sana, di seberang lapangan, memperhatikannya dengan senyuman tertahan. Tari
sampai menyipitkan mata untuk memastikan bahwa itu benar-benar Ari. Ya. Tentu
saja cowok di seberang sana adalah Ari. Tidak ada cowok yang telinganya bertindik
di sekolah ini selain cowoknya yang urakan itu. Tidak ada cowok yang seragamnya
berantakan selain cowoknya yang bandel itu. Jadi, siapa Ari yang berdiri di
belakangnya ini...
“Surprise,” bisik cowok tadi, tepat di
belakang daun telinganya.
Tari
tersentak, dan lagi-lagi membalikkan badan. Kesadaran itu menghantamnya
seketika. “Kak Ata?!”
***
“Jadi
itu cara lo nyambut murid baru di sini? Lemparin bola ke kepalanya? Wonderful.”
Tari
tak bisa berkata-kata untuk membalas candaan Ata. Kegiatan di lapangan jadi
terhenti setelah mereka mendengar pekikan Tari yang menyebut nama kembaran Ari.
Bisikan-bisikan kaget pun meledak di udara.
“Itu
Kak Ata? Kembarannya Kak Ari itu?”
“Dia
kok di sini? Kok pake seragam?”
“Dia
pindah ke sekolah ini!”
“Apa?!
Yang bener? Sejak kapan?”
Was...
wes... wos... Seruan-seruan tertahan dari teman-teman sekelasnya bagai angin
ribut di telinga Tari, bikin pusing. Dia sendiri masih berusaha mencerna
kehadiran Ata di depannya ini. Ya! Ata! Seorang kembaran dari Matahari Senja,
siang ini berdiri di depannya, di lapangan SMA Airlangga, sekaligus mengenakan
seragam SMA yang komplit dan rapi! Surprise?!
Are you kidding me? Tari nyaris menjerit.
“Nggak
usah melotot gitu, Tar. Gue bukan makhluk astral, kok. Gue emang Ata. Ato perlu
gue kenalin diri lagi, hm?” Ata melipat tangan di depan dada sambil mengangkat
satu alisnya. “Kayaknya nggak perlu sih, soalnya lo nggak bakal lupa nama gue
yang cuma kebalikan dari nama elo, Jingga Matahari.”
Tatapan
Ata berpindah ke belakang Tari. “Cewek lo kaget banget, Ri. Syok malah. Jangan
salahin gue kalo dia kena serangan jantung. Ini ide elo.”
Tari
merasakan seseorang merangkul bahunya. Ia menoleh. Ari telah berdiri di sana
dengan cengiran lebar. “Sori, Tar. Kaget, kan? Berarti kejutan gue berhasil,
dong!”
“Berhasil?!”
Tari meledak. “Jadi ini yang lo rahasiain dari gue?! Nyebelin banget lo, Kak!
Rese!” Entah kenapa cewek itu tiba-tiba emosi. Tari mengenyahkan tangan Ari
dari bahunya dengan kasar, lalu merebut bola dari tangan Ata.
“Apa
liat-liat?” sentak Tari pada teman-teman ceweknya yang sekarang tengah bergerombol
sambil mengagumi kedua Matahari yang berdiri di tepi lapangan. Gimana nggak
bengong coba kalo ada dua insan yang nyaris sempurna seperti Ari dan Ata
berdiri di satu tempat? Satu aja rasanya udah kayak mimpi di siang bolong. Lah
ini ada dua? Kayaknya cewek-cewek SMA Airlangga emang lagi disayang Dewi
Fortuna.
“Ayoooo,
main lagi!” seru Tari jengkel karena teman-temannya tidak beranjak.
“Lo
main sendiri deh sono,” sahut Nyoman tak acuh.
Tari
yang sudah berdiri di tengah lapangan kontan melotot. Suruh main sendiri? Emang
tuh si Nyoman minta ditimpuk pake bola. Sekilas, ia melihat Ari berbisik di
telinga Ata. Saudara kembarnya itu mengangguk, lalu mendadak mereka berdua lari
ke arah Tari.
Eh, mau apa mereka?!
Tari jadi panik. Ia sudah bersiap kabur saat bola di tangannya direbut begitu
saja. Dan dalam sekejab, Ari dan Ata mengambil alih lapangan. Tari mundur
perlahan, menghindari kedua kembar yang kini asyik berduel basket. Ia hanya bisa
terperangah tak percaya di pinggir lapangan.
Cewek-cewek
pun tak tahan lagi untuk tidak menjerit. Bahkan kini bukan hanya anak-anak dari
kelas Tari saja yang berkerumun. Siapapun yang lewat di tepi lapangan akan
segera menghentikan langkah untuk menonton pertandingan basket dadakan itu.
Cewek-cewek kembali menjerit histeris saat Ari membuka kemeja dan membuangnya
begitu saja.
Demi
seluruh makhluk hidup ciptaan Tuhan di alam semesta! Sumpah, tu cowok emang
keren tingkat dewa! Bertelanjang dada, bermandi keringat di bawah terik
matahari sambil menggiring bola dengan lincah, lalu melakukan tembakan demi
tembakan yang tak pernah meleset. Rambutnya yang panjang dan mulai basah karena
keringat sering dikibaskan dari dahi agar tak menutupi pandangan. He’s damn sexy!
Tak
lama Ata pun ikut-ikutan buka kemeja. Cowok itu masih mengenakan singlet di
dalamnya. Tapi itu sama sekali tak mengurangi kadar kegantengannya. Looks so cool malah. Singlet itu melekat
ketat di badannya yang berotot. God! It’s
really kind of You to send beautiful angels like them to this life! Penonton
bergender cewek sampai mangap semangap-mangapnya disuguhi pemandangan terindah
yang baru mereka lihat seumur hidup, hampir-hampir meneteskan air liur, tak
sanggup menjerit lagi karena napas rasanya tersangkut di tenggorokan.
“Kak
Ariii!!! Love you, Kak!” teriak entah
siapa.
“Hush,
ada ceweknya gitu,” tegur seseorang, juga entah siapa. Tari sampai tidak bisa
membedakan suara teman-teman sekelasnya sendiri maupun orang-orang di sekitar.
“Eh,
iya, ding. Kalo gitu Kak Ata aja, deh. Semangat Kak Ataaaa!!”
“Gue
sih bodo amat. Kak Ari tetep numero uno
pokoknya! Kak Ariiiii!! Semangaaaaat!!”
“Kak
Ataaaa!!”
“Kak
Ariiiii!!! Kyaaaaaa!!!”
“Kak
Ataaaa!! Kak Ariii!! Love both of youuuu!!”
Tari
rasanya mau pingsan aja saking pusingnya. Penonton semakin menggila setelah
mereka berhasil menemukan kembali suara mereka. Menjerit-jerit heboh,
meneriakkan nama cowok pujaan mereka, dan berlomba-lomba untuk bersorak paling
keras. Suasananya sudah mengalahkan keramaian pertandingan basket
internasional. Histeria ini sudah nyaris mencapai puncak ketika terdengar
sempritan panjang yang memekakkan telinga dan menghentikan segala macam
teriakan tadi. Seperti tombol pause
yang ditekan, seketika langsung hening dan tidak ada yang bergerak.
“Ada
apa ini? Kok berhenti main? Sedang apa kalian bergerombol di situ?” teriak Pak
Adang. Tatapannya terarah ke lapangan, dan seketika langsung mendapat jawaban. “Ari!!”
bentaknya.
Ari
melompat sambil melempar bola ke ring. Masuk! Three points! “Eh, iya, Pak. Maaf. Udah selesai, kok. Cabut, Ta.”
Cowok itu berlari mengambil kemejanya, lalu kembali ke teman-temannya yang dari
tadi setia menonton di tepi lapangan. Tak lama, gerombolan anak kelas 12 itu
pun berlalu.
Pak
Adang menggelengkan kepala. Entah akan jadi seperti apa sekolah ini kalau ada
dua orang “Ari”. Ia yang baru saja dari ruang guru, juga baru mendapat kabar
kalau saudara kembar Ari pindah ke sini. Dan ternyata objek pembicaraan hangat
para guru itu malah sudah menampakkan diri di lapangan, mengganggu jam
mengajarnya. Ia lalu mengalihkan perhatian ke anak-anak didiknya yang masih
megap-megap terpesona.
“Jangan
pada bengong! Ayo lanjutkan pertandingannya!” teriaknya tegas.
***
Tari
kira setelah jam olahraga dia bisa menemui Ari untuk meminta penjelasan. Tapi
cowok itu tak terlihat berkeluyuran di area kelas 10. Kemungkinan besar dia
masih di gedung kelas 12, entah sedang belajar atau sedang mencari masalah.
Tari ogah kesana lagi setelah insiden pin matahari yang melibatkan dirinya
dengan geng The Scissors. Cari mati namanya kalau dia sampai menginjakkan kaki
ke gedung dua belas sendirian untuk kedua kalinya.
“Tar!
Kok nggak cerita sih kalo saudara kembar Kak Ari pindah ke sini?” tuntut
teman-temannya begitu mereka kembali ke kelas.
Tari
melotot, sampai urat matanya serasa mau putus saking seringnya dia melotot hari
ini. “Ya jelas gue nggak cerita, orang gue juga baru tau!” serunya. “Jangan
dikira gue nggak kaget tadi. Lagian kalo gue tau, ngapain juga gue musti
koar-koar tentang kepindahan Kak Ata? Toh ntar kalian tau sendiri.”
“Iyee,
iyee, nggak usah sewot gitu kaleeee...” kata Nyoman.
Tari
mendengus. Mood-nya sedang jelek pagi
ini gara-gara kejutan dari Ari dan Ata. Sialan
emang mereka. Sekongkol bikin gue kaget. Awas aja!
***
“Permisi,
minta tisu, dong.”
Kanya
jelas langsung menyerahkan tisunya satu bungkus begitu Ata meminta. “Silahkan,
silahkaaan. Bawa aja. Oh ya, kenalin, gue Kanya.” Cewek itu menyodorkan tisu
sekaligus tangannya.
Ata
tersenyum tipis. “Ata,” jawab cowok itu singkat sambil menjabat tangan Kanya.
“Sori, tangan gue keringetan. Thanks
tisunya. Ntar kalo sisa gue kembaliin, deh.”
“Oh,
nggak usaah, ambil aja,” sahut Kanya sambil mengedip-ngedipkan mata genit.
“Thanks,” kata Ata lagi, lalu kembali ke
tempat duduknya di meja paling depan, di sebelah Ari. “Ih, tu cewek kelilipan
kali ya. Kedip-kedip gitu ke gue,” bisik Ata.
Ari
tertawa. “Ati-ati, bro. Kanya salah satu fans fanatik gue. Bisa pindah ke elo,
tuh. Pasti tadi dia mikir, jangankan tisu, jiwa raga pun rela gue serahkan ke elo,
Ataaaa.” Ari pura-pura menirukan suara cewek.
“Hiii..”
Ata bergidik tak kentara, membuat Ari tertawa lagi. Ia kemudian mengelap
tubuhnya yang berkeringat menggunakan tisu, baru memakai kemejanya. Sementara
Ari sendiri tak mau repot-repot mengelap keringatnya. Cowok itu telah memakai
kemejanya tanpa ada satupun kancing yang dipasang, menampakkan kulit dadanya
yang masih sedikit berkilat karena keringat.
“Gimana
kontrakannya? Nyaman?”
“Lumayan,”
jawab Ata. “Gue masih tidur sekamar sih sama Mama. Udah kebiasaan. Apalagi di
rumah baru kayak gitu.”
“Ntar
lama-lama pasti betah. Kalo ada apa-apa langsung bilang gue.”
Ata
mengangguk sambil mengancingkan kemejanya.
“Ri,
ke kantin nggak?” tanya Ridho di ambang pintu. Ia sudah berdiri bersama semua
teman cowoknya, bersiap meninggalkan kelas lagi. Ari menoleh, lalu mengangguk.
“Ikutan, Ta?”
Ata
menggeleng. “Gue mau belajar aja di kelas.”
“Duilee,
rajin amat.”
“Tau
sendiri, laah.” Ata membuka buku paket matematika. “Gue udah ketinggalan
pelajaran jauh banget. Masih nol malah. Kudu ngejar kalian.”
“Oke,
good luck kalo gitu.” Ari berjalan
menghampiri teman-temannya, tapi baru dua langkah dia balik lagi mendekati Ata.
“Oh ya. Hampir aja gue lupa mau bilang,” bisiknya. “Selalu waspada sama
cewek-cewek di sini. Bisa dilalap abis lo sama mereka kalo kaum cowoknya
tinggal sebiji gini di kelas. Apalagi lo masih anak baru. Gue nggak mau gitu
balik ke sini sodara kembar gue tinggal tulang belulang.”
Wajah
Ata mengernyit tidak suka. “Ikut kalo gitu,” putusnya segera dan langsung berdiri.
Ari
terbahak keras. Dirangkulnya bahu Ata dan menggiringnya keluar, diikuti tatap
kecewa cewek-cewek penghuni kelasnya.
“Sialan
tuh si Ari! Bawa-bawa Ata pergi. Padahal kita-kita kan mau PDKT!” begitulah
kira-kira jeritan hati mereka.
***
Ari
baru menemui Tari saat pulang sekolah. Cowok itu menjemputnya di kelas seperti
biasa setelah seharian ini sama sekali tidak menampakkan diri usai kejadian
tadi pagi. Dan seperti biasa pula, sama sekali tak ada rasa bersalah di
wajahnya.
“Gue
ada urusan, lo duluan aja,” sambut Tari dengan wajah ditekuk, masih menyimpan
kejengkelan kepada cowoknya ini.
“Urusan
apa, Say? Gue harus pulang sendiri, nih?”
“Iyaaaa,
udah sono pulang!” Tari mendorong-dorong bahu Ari, ingin cepat-cepat menjauh
dari cowok itu.
“Ada
urusan apa, sih? Gue bisa tungguin.”
Gigih banget ni orang!
“Nggak usah ditungguin! Ntar lo lumutan di sini. Gue mau ngerjain tugas
kelompok, banyak. Sampe malem pokoknya. Udah deh, pergi aja! Cepetaaan! Biar
gue pulang sendiri ntar.”
“Kenapa
sih ngusir-ngusir? Masih bete ya gara-gara kejutan gue tadi pagi?” Ari mulai tersenyum
jahil.
Tari
balik badan hendak masuk ke kelasnya. Males harus ngeladenin Ari lebih jauh.
Lama-lama bisa darah tinggi! Orang lagi kesel malah disenyum-senyumin kayak
gitu!
“Lo
nggak butuh penjelasan gue?” pancing Ari. “Tentang Ata? Tentang apa yang gue
sembunyiin dari elo?”
Hampir
saja Tari menghentikan langkah. Tapi... “Nggak!” tolak gadis itu tegas tanpa
membalikkan badan. Padahal dalam hati ia butuh banget penjelasan. Tapi gengsi,
deh. Ntar-ntar aja penjelasannya.
“Oke
kalo gitu. Pulangnya jangan malem-malem. Telepon gue kalo ada apa-apa ato butuh
jemputan.”
“Bodo,”
sungut Tari dan langsung menutup pintu kelas dengan bantingan.
“Eh,
eh, kenapa ditutup pintunya?” tanya Jimmy.
“Ada
demit di luar, biar dia nggak bisa masuk!” sahut Tari dengan geregetan. “Jangan
dipikirin! Yuk mulai kerja!”
***
Tugas
kelompok itu baru selesai sore hari. Sekitar pukul 5, Tari membereskan
alat-alat tulisnya dan memasukkannya secepat kilat ke dalam tas. Rasanya pingin
segera sampe rumah trus mandi. Badannya lengket semua setelah kegiatan olahraga
hari ini.
“Tari!”
panggil seseorang saat ia menyeberangi lapangan menuju gerbang.
Tari
tahu siapa si empunya suara itu. Ia melengos dan mempercepat langkah. Mendadak
tangannya dicekal dari belakang.
“Apa,
sih?!” Tari membalikkan badan sambil menyentakkan tangannya. “Kan udah gue
bilang, duluan aja! Kenapa lo masih...” teriakan Tari terhenti begitu menyadari
siapa yang kini berdiri di depannya. “Eh, Kak Ata? Sori, Kak. Gue kira Kak
Ari.”
Ata
tersenyum tipis. “Kok baru pulang?”
“Abis
ngerjain tugas kelompok. Kak Ata sendiri kenapa masih di sekolah sore-sore
gini?”
“Masih
ada beberapa urusan di Tata Usaha sama di perpustakaan tadi. Biasa, murid baru.
Si Ari juga kagak bantuin.”
“Emang
brengsek tuh sodara kembar lo. Dimarahin aja nanti!” Tari melipat kedua tangan
dengan bibir monyong lima senti. Kejengkelannya mulai terbit lagi.
Ata
tertawa geli. “Kalo menurut lo, gue brengsek nggak?” tanyanya seiring dengan
tawanya yang mendadak lenyap.
“Eh?”
Tari menatapnya bingung.
Ata
membungkukkan badan sedikit, menyejajarkan wajahnya dengan wajah Tari. “Jangan
bilang lo lupa apa yang pernah gue bilang ke elo.”
Aura
Ata berhasil mengintimidasinya. Tari jadi tergeragap. Tapi otaknya langsung
menangkap apa yang dimaksud Ata. Karena jelas Tari nggak akan pernah lupa apa
yang pernah Ata katakan padanya saat awal-awal cowok itu tiba di Jakarta.
“Soal... peringatan lo dulu itu? Ng... gue nggak ngerti, Kak. Sebenernya apa
sih rencana lo?”
Ata
tersenyum lagi. Kali ini terlihat dingin dan di matanya ada kilatan licik.
Tubuh Tari membeku begitu satu tangan Ata terangkat mengusap pipi kirinya.
“Rencana gue? Lo nggak perlu ngerti. Cukup liat aja. Yang jelas gue udah di
sini sekarang, nggak akan kemana-mana lagi. Itu salah satu rencana gue yang udah
berhasil.”
“Gue
nggak mau terlibat apapun rencana lo, Kak!” Tari menepis tangan Ata dengan
kasar.
Ata
menggeleng. “Sori, Tar. Tapi sayangnya lo harus
terlibat. Karena lo punya hubungan sama adik kembar gue.” Cowok itu menegakkan
badan. “Jadi lo siap-siap aja. Tapi tenang, kayak yang udah gue bilang dulu,
gue udah berusaha biar cara gue nggak terlalu keras buat elo.” Sekilas, cowok
itu mengusap kepala Tari, lalu melangkah pergi.
“Jangan
sakiti Kak Ari!” teriak Tari tiba-tiba, membuat Ata menghentikan langkah. Gadis
itu membalikkan badan dan menatap Ata lurus ke matanya. “Gue peringatin elo,
jangan sekali-sekali sakiti Kak Ari!”
Mendengar
peringatan itu, Ata justru menyeringai. Dibalasnya dengan santai tatapan menusuk
Tari. “Coba aja lindungi dia,” sahutnya dengan nada mengejek. “Dan elo yang
bakal nanggung sakitnya.”
***
Tubuh
Tari menggigil melihat seringai licik di bibir Ata. Bahkan ketika cowok itu
kemudian meninggalkannya tanpa menoleh lagi, Tari masih menggigil. Seolah suhu
di sekolah yang sudah sepi dan mulai gelap ini turun beberapa derajat. Gadis
itu terlalu ketakutan dengan ancaman Ata kali ini.
Dulu
semuanya masih berupa dugaan-dugaan tak jelas. Ancaman dari Ata terasa seperti
mimpi yang bisa dengan mudah tak ia pikirkan. Cowok itu sama sekali tidak
menunjukkan tanda-tanda berbahaya. Jadi Tari tak punya alasan untuk merasa
takut. Tapi sekarang, saat Ata sudah resmi menjadi warga SMA Airlangga, saat
dia sudah berada satu gedung dengannya, dan berdiri tepat di hadapannya, ancaman
ini jelas begitu nyata. Cowok itu ternyata mempunyai rencana tersendiri yang ia
bawa bersama kepindahannya ke Jakarta.
Coba aja lindungi dia. Dan
elo yang bakal nanggung sakitnya...
Tari
merasa Ata seperti tengah memelihara singa. Sekarang Tari hanya bisa mendengar geramannya
yang melontarkan peringatan. Dan suatu hari nanti, ketika Ata merasa singa itu
sudah cukup kuat, akan ia lepaskan hewan buas itu untuk mencabik-cabik dirinya,
dan juga Ari, hingga habis tak bersisa! Tunggu dulu. Ari. Mengapa rencana Ata
justru mengarah ke saudara kembarnya sendiri? Siapa yang dulu pernah berceramah
tentang menjaga hati Ari yang telah terluka itu? Apa Ata berniat menjilat
ludahnya sendiri?
“Ya, Tar?” sahut Ari begitu Tari meneleponnya.
“Kak,
jemput gue. Sekarang. Gue tunggu di halte,” kata Tari lirih, tak mampu
menyembunyikan getaran dalam suaranya. “Gue butuh penjelasan soal kepindahan
Kak Ata.”
***
Ari
tertegun melihat Tari yang duduk dengan pucat di halte yang hampir gelap dan
kosong. Firasatnya memang tidak enak setelah Tari menelepon. Tadi siang cewek
itu masih baik-baik saja, masih galak padanya, masih gengsi dianterin pulang.
Dan ketika Tari menelepon minta dijemput, ditambah suara gadis itu yang
terdengar ketakutan, Ari seketika dilanda panik. Ia tahu pasti ada sesuatu yang
tidak beres.
Ari
bergegas turun dari motor. Begitu memegang pipi Tari, kulit cewek itu pun
terasa dingin. “Tar? Elo kenapa? Sakit?” tanyanya cemas. Ia lepas jaketnya dan
melingkupkannya ke tubuh Tari. Seperti belum cukup, tanpa pikir panjang
dipeluknya tubuh cewek itu, berusaha memberinya kehangatan.
Tari
menyandarkan kepala ke dada Ari, lalu mendesah. Nyaman sekali. Seolah dengan
begitu saja dia sudah membagi bebannya. “Gue nggak pa-pa,” sahutnya lirih.
“Jangan
bohong, Tari!” geram Ari dengan gigi gemeretak. Ia mendongakkan wajah gadis
itu, memaksanya menatap matanya, lalu menilai sesuatu dari sana. Gadis ini
bahkan tidak ketakutan membalas tatapannya. Biasanya Tari akan memalingkan
wajah kalau Ari mulai memberinya tatapan tajam seperti ini. Tapi kali ini,
hanya ada sorot hampa dari kedua mata gadis itu. “Ada yang macem-macem sama
elo?” geramnya lagi. Rahangnya mulai terkatup keras.
“Nggak.”
“Bohong!”
“Tolong,
Kak. Jangan teriak-teriak gitu.”
Ari
seketika tersadar. Ia menghembuskan napas berat, lalu memeluk Tari lagi.
“Maaf,” katanya pelan sambil mengusap-usap punggung Tari. “Yuk, pulang.”
“Nggak,
tunggu dulu.” Tari menarik lengan Ari yang sudah akan menggandengnya ke motor.
“Jelasin dulu ke gue tentang kepindahan Kak Ata.”
Ari
mengerutkan kening. Kenapa Tari tiba-tiba begitu tertarik dengan penjelasannya?
Ia menggeleng pelan. “Udah malem, Tar. Bisa sampe pagi kalo gue cerita di sini.
Pulang dulu, nanti setelah lo istirahat, baru gue cerita. Janji.”
“Nggak
bisa, Kak!” Tari nyaris menangis. “Gue pingin tau sekarang!”
“Elo
kenapa sih, Tar?” Ari tak bisa menyembunyikan kebingungannya.
Setetes
air mata bergulir turun di pipi Tari. Gadis itu begitu ketakutan. Tidak. Ia
tidak takut Ata akan menyakitinya, bagaimanapun cara cowok itu nanti. Ia lebih
takut Ata menyakiti cowok di depannya ini. Memikirkan kemungkinan itu
membuatnya tambah terisak. Tapi ia tidak bisa menjelaskan ini semua kepada Ari.
“Tari,
plis jangan bikin gue takut,” suara Ari mulai panik. Direngkuhnya tubuh Tari erat-erat,
menekan kepala gadis itu ke dadanya, membiarkan ia menumpahkan air mata di
sana. “Ssst, jangan nangis. Udah ya? Tolong, jangan nangis. Jadi ikutan sedih
nih gue.”
“Gue...
takut, Kak,” isak Tari dengan suara teredam.
“Ssst,
apa sih yang lo takutin? Ada gue di sini. Lo aman sama gue.”
Setelah
Tari agak tenang, dilepaskannya pelukan itu. Ia mengusap jejak air mata di pipi
Tari. “Sumpah, Tar. Lo bikin gue bingung,” katanya di ambang frustasi. “Tapi
gue nggak akan maksa lo cerita. Yuk, pulang.”
Tari
menurut ketika tangannya digandeng dan Ari membantunya naik ke boncengan.
Dipeluknya pinggang cowok itu erat. “Ngebut aja ya, Kak. Gue ngantuk.”
Ari
tertawa kecil. “Tumben banget minta ngebut. Biasanya pinggang gue memar-memar
dicubitin elo kalo gue ngebut dikit aja. Oke kalo gitu. Jangan tidur dulu ya.
Sandaran ke punggung gue kalo capek.”
Sebentuk
senyuman melengkung di bibir Tari, bersamaan dengan setetes air mata yang
kembali jatuh.
Bersambung....
***
Sesuai
janji nih, malem minggu upload :D
Duuh,
sampe kipas-kipas bikin scene basket antara Ari sama Ata. Mereka berdua “panas”
sih, hihi
Itu
yg teriak “Gue sih bodo amat. Kak Ari tetep numero
uno pokoknya! Kak Ariiiii!! Semangaaaaat!!” kayaknya Aul deh, hahaha...
Sumpah,
Tar! Tukeran posisi yuk? Ato Fio deh, Fi. Aul mau kok jadi di posisinya Fio,
ato siapa aja deh cewek-cewek Airlangga boleh! #ngarep
Desperate banget pingin liat sosok Kak Ari :(
Jarang-jarang
nih ide lancar, semoga untuk part 16-nya ide juga lancar, amiiiin
Yuuuk
yuuuk komeeen ^^
Aaaaaa gak kuat juga bayangain ari sama atanya :( mereka terlalu sempurna kadang kalo di bayangin pake artist juga kayanya gak ada yg cocok hahaa :p btw ini sudah menuju konflik kah kak?? Hihii semangat yaa kak ngelanjutin ceritanya semoga lancar, semangatttttttt!!!!!!!!!
BalasHapusIya, aku juga ga pernah bayangin ada orang di indonesia yg cocok jadi ari.. semua cowok kayaknya lewat deh kalo dibandingin ari :p
HapusBetul, ini udah masuk konfliknya
Amiiiiin, makasih dukungannya ^^
Part 14'a kok ga ada..?????
BalasHapusBeneran nggak ada? :|
HapusTolong coba buka lagi, mungkin tadi masih error