Kamis, 19 Maret 2015

Jingga untuk Matahari #fanfiction-17

Entah ini yang keberapa kalinya Ata diajak Mama datang ke Jakarta untuk mencari Ari, yang sampai sekarang belum tercium jejaknya sama sekali. Ia kembali bertemu dengan Tante Lidya, sosok tetangga sebelah rumah mereka yang dulu menjadi Mama keduanya. Siang ini Ata minta izin untuk melakukan pencarian saudara kembarnya sendirian.
“Ata akan baik-baik aja, Ma. Ata bisa jaga diri,” tegas Ata saat Mama melarangnya. “Biar Ari cepet ketemu. Mama mau cepet-cepet liat Ari, kan?”
Akhirnya Mama luluh dan mengizinkannya. Ata berjalan pelan menyusuri jalan perumahan itu, menuju halte terdekat. Sebenarnya Ata tidak begitu berniat mencari Ari. Dia hanya ingin keluar rumah untuk menghindar dari tangisan Mama. Jujur, Ata tidak tega melihat Mamanya menangis sampai kelelahan. Akhirnya Ata menemukan sebuah halte di pinggir jalan. Ia duduk di sana dalam diam.
“Kak Ari?” teriak seorang gadis yang duduk di sebelahnya, membuat Ata terlonjak kaget. Ia menoleh. Di sampingnya, duduk seorang gadis manis yang menatapnya lekat. “Kak Ari kok udah di sini?”
“Eh?”
Gadis ini mengenal Ari! Begitu pikiran pertama yang langsung terlintas di benak Ata. Ia harus mendekati gadis ini untuk menuntunnya kepada Ari.
“Iyaaaa, tadi kan Kak Ari masih di sekolah. Kita baru aja ketemu di sana.”
“Sekolah?” tanya Ata bego.
“Ini gue, Aira, Kak. Belom juga sejam kita ketemu. Belom lupa, kan? Hehe...” Gadis itu tersenyum malu-malu.
“Eh, iya. Aira. Belom lupa, kok. Tadi gue langsung keluar abis ketemu elo,” jawab Ata. Akan ia perankan sosok Ari untuk gadis ini, demi menemukan saudara kembarnya itu.
“Gimana? Udah buka bingkisan dari gue?” tanya Aira bersemangat, membuat Ata bingung.
“Eh, bingkisan dari elo.. udah, kok. Udah. Makasih ya. Gue suka banget.”
Aira terbelalak tak percaya. Wajahnya berseri-seri. “Beneran? Udah lo abisin semua?”
“Udah, sampe kenyang perut gue.” Ata menepuk-nepuk perutnya, berdoa agar tebakannya tidak salah. Dari kata-kata Aira sih Ata menyimpulkan gadis itu baru saja memberi Ari sejenis makanan.
Senyuman Aira semakin lebar. “Besok kapan-kapan gue bikinin lagi kalo lo suka. Bilang aja.”
Ata menghembuskan napas lega. Ternyata tebakannya tidak salah.
“Kak, lo tau nggak? Gue sebel sama Angga,” gerutu Aira mulai curhat.
Angga siapa? “Kenapa?” tanya Ata, pura-pura perhatian.
“Masa dia ngelarang gue deket-deket sama elo? Tadi aja gue dimarahin gara-gara ngasih kue itu ke elo. Gue kan kesel jadinya. Itu sebabnya gue terdampar di sini. Salah naik bus saking jengkelnya sama Angga, hehehe... Bego bener gue.” Gadis itu memukul kepalanya sendiri.
Ata tersenyum geli. Gadis ini lucu juga. “Emang kenapa dia ngelarang elo deket-deket gue? Gue aja nggak keberatan.”
“Tau, tuh! Katanya lo itu bukan cowok baik-baik. Tapi gue tau Kak Ari orang baik, kok.” Aira tersenyum, terlalu senang mendengar cowok itu tidak keberatan berteman dengannya.
“Gue bukan cowok baik-baik?” Ata mengernyit.
“Iya, soalnya Kak Ari telinganya... eh, kok telinga lo nggak ada tindikannya?” Aira mengamati telinga kiri Ari.
Ata buru-buru menutupi telinganya, walau dia sendiri kaget. Ari bertindik? Surprise! Seburuk itukah saudara kembarnya kini? Pantas saja Angga yang tadi disebut-sebut Aira menyangka Ari bukan cowok baik-baik. “Iya, gue copot tadi antingnya,” sahutnya cepat. Oke, sekarang cukup basa-basinya. “Eh, Ra. Anterin yuk?”
“Kemana?”
“Ke sekolah gue.”
Aira mengerutkan kening. “Ngapain ke sana lagi?”
“Ng... ada barang gue yang ketinggalan. Makanya gue ke sini, mau balik lagi.”
“Ya udah, yuuuuuk.”
Ata membiarkan Aira memimpin jalan, karena ia benar-benar tak tahu arah yang dituju. Hingga tibalah ia di sini, di depan sekolah Ari.
“Lo tunggu sini aja ya? Cari tempat yang teduh. Gue nggak bakalan lama.”
Aira mengangguk. Ata berjalan memasuki gerbang SMP itu dengan harap-harap cemas. Beberapa orang yang berpapasan menyapanya sebagai Ari, menguatkan fakta bahwa saudara kembarnya memang bersekolah di sini. Ata menyusuri penjuru SMP itu dengan cepat, melongok ke kelas-kelas yang pintunya masih terbuka. Ia nyaris frustasi karena tidak bisa berteriak-teriak memanggil nama Ari. Terpaksa cowok itu tetap menelusuri setiap bagian sekolah.
Ari tidak ada di mana pun. Kemungkinan besar cowok itu sudah pulang dari tadi. Ata melangkah keluar dengan lesu. Ia tidak mempunyai petunjuk lain selain sekolah ini. Tidak mungkin dia bertanya-tanya tentang Ari kepada Aira. Cewek itu akan menganggapnya gila.
Aira menyambutnya di gerbang. “Gimana? Udah?”
Ata langsung memasang tampang cerah. “Udah, kok. Makasih ya. Lo langsung pulang, kan?”
“Nggak. Gue mau jalan-jalan. Males pulang. Palingan Angga udah nungguin di rumah. Bete gue sama dia.”
“Ya udah, kalo gitu gue temenin, deh.”
“Serius?” Aira menatap Ata tak percaya.
Ata mengangguk. “Lo kan udah ngasih gue kue dan nganterin ke sini. Jadi sebagai ucapan terima kasih, gue temenin jalan-jalan.”
Aira jelas tak menyia-nyiakan kesempatan itu.

***

Tiga hari ini tingkah Aira semakin aneh. Ketika ditanya, Aira bilang dia sedang bahagia karena bisa dekat dengan Ari. Angga pun tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia hanya pasrah. Akan ia biarkan gadis itu bahagia, bagaimana pun caranya. Beberapa kali Angga memang sempat melihat Ari mengantar Aira pulang. Tapi yang Angga tidak tahu, orang itu bukan Ari. Melainkan Ata.
Ata dan Aira berhubungan akrab selama tiga hari ini. Ata sampai lupa tentang pencariannya kepada Ari. Malah dia terkesan tak peduli. Selama di Jakarta, dia banyak menghabiskan waktu bersama Aira, dengan dalih mencari Ari saat Mama bertanya kemana dia akan pergi.
Besok adalah hari kepulangannya ke Malang. Jadi Ata mengajak Aira bermain ke pantai sampai sore. Ketika Aira mengamati kepiting yang berjalan di dekat kakinya, dengan iseng Ata mengambil topi pantai gadis itu dari belakang.
“Hei!” Aira menoleh ke Ata untuk merebut lagi topinya, dan...
Cup!
Ata menggunakan kesempatan itu untuk mencium pipi Aira. Gerakan Aira terhenti dengan tangan terangkat di udara. Dalam sekejab, pipinya bersemu merah. “Kak Ari!”
“Sori, gue nggak tahan, Ra,” kata Ata nyengir, lalu memakaikan lagi topi Aira ke kepala gadis itu.

***

Tindakan Ata di pantai sore ini memberi suatu penegasan untuk Aira. Cowok itu tertarik padanya! Yes!
Aira jingkrak-jingkrak sendiri di tempat tidur. “Rira! Tau nggak?! Masa Kak Ari tadi nyi... eh, sstt, pelan-pelan aja ya? Sini, Aira bisikin.” Gadis itu berhenti meloncat-loncat, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga boneka kucingnya. “Tadi Kak Ari nyium pipi Aira!” desis cewek itu seperti akan meledak, lalu kembali meloncat-loncat di tempat tidur.
“Ampuuun deh Aira! Lagi ngapain kamuuu?” Mama yang masuk ke kamar kontan melotot melihat tingkah anak gadisnya.
“Aira lagi seneng pokoknya. Mama nggak boleh protes!”
“Ya tapi kasur kamu...”
“Nanti Aira beresin,” potong Aira cepat.
Mama menggelengkan kepala. “Tadi Angga nyariin kamu, lho. Kamu kemana aja, sih? Mama kira tadi main sama Angga.”
Aira berhenti meloncat-loncat. Gadis itu lalu duduk manis di tengah tempat tidurnya yang berantakan. “Tadi Aira main sama temen. Masa main sama Angga mulu?”
“Yaaa, kan biasanya kayak gitu.” Mama mendekati anak semata wayangnya itu. “Angga kayaknya lagi ada masalah. Mama tanyain nggak mau jawab. Coba kamu nanya ke dia ada masalah apa. Mungkin kamu bisa bantu.”
Aira menghela napas. “Iya, deh. Nanti Aira SMS Angga.”

***

Tapi nyatanya Aira tak peduli. Ia terlanjur kesal dengan Angga atas kejadian tempo hari. Siang ini, Aira berniat menemui Ari di sekolahnya. Dia ingin mengajaknya jalan, kemudian memaksa cowok itu mengakui perasaannya, meminta suatu penegasan nyata. Karena tidak mungkin cowok itu mencuri ciuman di pipinya tanpa maksud apa-apa, kan?
“Nah, itu dia,” gumamnya senang melihat Ari di kejauhan. Cowok itu berjalan sendirian. Begitu tiba di gerbang, Aira mencegat langkah Ari.
“Halo, Kak!”
Ari kontan menghentikan langkah kaget ketika seorang gadis melompat di hadapannya. “Eh, hai?” balasnya ragu. Samar-samar, ia masih mengenali wajah Aira.
Aira nyengir. “Punya waktu? Jalan yuk?”
“Jalan?” Kening Ari berkerut rapat. Baru kali ini Ari menemui seorang gadis asing yang berani mengajaknya jalan! “Sori, tapi.. jalan kemana?”
“Jalan-jalan pokoknya! Ayoo!” Aira meraih tangan Ari, yang dengan refleks ditepis cowok itu.
Aira menatap Ari dengan bingung. Kayaknya cowok itu kemarin-kemarin tidak pernah menolak gandengannya. Tapi kenapa sekarang ia malah terlihat marah?
“Jangan sentuh gue seenaknya!” geram cowok itu.
“Eh?” Aira semakin bingung. “Elo kenapa, sih?”
“Gue kenapa? Harusnya gue yang nanya, elo itu kenapa? Sori, gue bahkan lupa sama nama elo.”
“Lupa nama gue?!” teriak Aira. “Gimana mungkin! Tapi kemarin kita kan jalan-jalan bareng. Bahkan lo cium pipi gue, inget?”
“Cium pipi?” Ari terperangah. Ini cewek udah gila apa gimana, sih? “Jangan ngaco lo! Gue nggak pernah jalan sama cewek manapun apalagi cium-cium pipinya,” kata Ari dingin. Cowok itu tersinggung juga dituduh sembarangan.
“Tapi, Kak...”
“Jangan ganggu gue lagi. Dasar cewek nggak tau malu,” sahut Ari, lalu pergi begitu saja.

***

Aira membeku di tempat. Tak percaya atas sikap Ari kepadanya. Sosok ini dingin, bukan lagi cowok yang dikenalnya selama beberapa hari terakhir. Sosok ini asing, bukan lagi cowok yang mencium pipinya kemarin sore. Dan sosok asing itu kini menolaknya, bahkan mengatainya cewek tak tau malu!
Hancur adalah kata yang terlalu ringan untuk menggambarkan perasaannya. Hati Aira menyerpih, melebur bersama udara. Ari adalah cinta pertamanya. Kepada cowok itu ia menaruh harapan besar. Namun kini harapan itu sirna seketika, terhembus oleh angin bersama serpihan hatinya.
Akan lebih baik kalau Ari langsung menolaknya saat awal-awal mereka bertemu. Nyatanya, cowok itu membawanya terbang hingga ke awang-awang, dan begitu berada tinggi di langit, ia lepaskan pegangannya. Ia biarkan Aira terjatuh. Terempas mengenaskan di bumi! Dan sepertinya itu saja belum cukup. Ari yang masih terbang bebas di atas kemudian menginjak-injaknya tanpa ampun, menjadikannya seonggok sampah.
“Aira?”
Aira segera membalikkan badan. Ia tidak ingin bertemu dengan Angga sekarang. Ia tidak ingin menunjukkan air matanya. Ia tidak ingin menunjukkan kekalahannya. Aira berlari cepat meninggalkan sekolah.
“Aira! Tunggu!” Angga segera mengejar.
“Jangan ikutin gue!” bentak Aira dengan tangis tertahan.
Angga tetap mengikutinya dalam diam. Ia tanpa sengaja mendengar percakapan antara Ari dan Aira tadi. Ia geram setengah mati melihat perlakuan Ari pada Aira. Selama ini dia telah melancarkan berbagai macam cara untuk merebut perhatian Aira, namun Ari dengan mudah mendapatkan hati gadis itu tanpa usaha. Dan ketika dia sudah menyerah dan rela melepaskan Aira untuk Ari, cowok itu malah membuang gadis kesayangannya begitu saja, menyia-nyiakan cinta tulus gadis itu. Dasar bajingan keparat! Liat aja lo! desis Angga dalam hati, bersumpah akan membalas dendam ke Ari yang telah melukai Aira.
Entah kemana cewek di depannya ini akan berlari. Hingga tiba di perempatan, cewek itu berhenti dan membalikkan badan. Aira kembali membentak begitu melihat Angga masih mengikutinya. “Gue bilang, jangan ikutin gue!”
Angga tertegun. Wajah cewek itu penuh air mata. Ada sorot terluka amat sangat dari kedua mata itu. Sorot yang membuat Angga ingin menyakiti dirinya sendiri. Belum pernah Angga melihat Aira sekacau ini. Dan ini semua gara-gara Ari! “Aira, plis, sini, ngomong sama gue.”
“Nggak! Gue benci sama lo! Gue benci sama Ari! Gue benci kalian semua!”
“Aira, gue tau lo masih marah sama gue...”
Aira tak mengindahkan Angga yang belum selesai bicara. Cewek itu membalikkan badan lagi. Pandangan yang buram oleh air mata membuatnya tidak sadar kemana dia melangkah.
“Aira! Stop!” teriak Angga. Ada kengerian yang tersirat jelas dalam teriakan itu.
CIIIIITTT.... BRAK!!!
Aira baru tiga langkah menapak di zebra cross, ketika tiba-tiba tubuhnya terhantam keras oleh benda besi raksasa, bersamaan dengan decitan rem yang memekakkan telinga. Decitan rem itu sia-sia, karena tak bisa menghentikan sang maut menghampiri Aira.
Angga tak bisa berkutik saat melihat tubuh itu rebah. Beku. Bisu. Kelu. Kaku. Ia lumpuh di tempat. Suasana di sekelilingnya, jeritan-jeritan, klakson-klakson kendaraan, berbagai macam pekikan, segalanya terasa kabur.
Remuknya tulang Aira seperti meremukkan dirinya. Darah yang mengalir dari tubuh gadis itu menjebol bendungan air matanya. Angga jatuh terduduk di trotoar yang panas. Tak terisak, namun air matanya mengalir deras. Tak tahu apa yang harus ia lakukan selain menangis. Ia tak sanggup menghampiri Aira yang terbaring diam bersimbah darah di aspal, hanya beberapa meter darinya. Sungguh, ia tak sanggup.
Tuhan, tolong katakan ini tidak nyata...

***

Doa itu kembali bergema berulang kali dalam kepalanya saat dokter mengatakan nyawa Aira tak terselamatkan.
Tuhan, tolong katakan ini tidak nyata, tidak nyata, tidak nyata... Ini bukan Aira. Aira sekarang masih di rumah, menungguku pulang, lalu sore nanti kami jalan-jalan berdua seperti biasa.
 Ketika Angga melangkah memasuki ruang rawat Aira. Ketika Angga menatap wajah pucat gadis itu. Doa itu terus ia lantunkan.
Tuhan! Dengarkan aku! Tolong! Tolong katakan ini tidak nyata! Ini bukan Aira-ku.. ini bukan gadisku... rintih Angga dalam hati.
Tapi sosok kaku di depannya ini memang Aira. Gadis yang biasanya penuh energi dan selalu ceria itu, sekarang tertidur diam dalam pelukan sang maut. Angga bisa menyentuh kulitnya yang dingin. Jadi ini memang nyata. Tak ada penyangkalan lagi. Sekujur tubuh Angga bergetar.
Tuhan, kembalikan gadis kecilku ini. Aku mencintainya...

***

Luka itu terlalu dalam. Waktu pun tak akan bisa menyembuhkannya. Perlahan, jiwa di dalamnya rusak oleh kemarahan. Nurani dalam hatinya tertutup oleh dendam yang semakin membusuk.
Hingga detik terakhir pemakaman Aira, Ari tidak datang, atau sekadar menyampaikan bela sungkawanya. Ari sama sekali tak peduli. Hidupnya tetap berjalan seperti biasa. Sementara di sini, ada beberapa kehidupan yang telah berhasil dihancurkannya. Itu sebabnya Angga tak bisa menatap Ari dengan cara yang sama lagi. Selalu ada dendam yang memancar di sana. Ada bom yang siap meledak kapanpun juga. Ada taring yang siap menghabisi Ari seketika.
Tapi Angga sengaja menahan itu semua. Karena kalau sekarang Aira masih hidup, ia tahu gadis berhati lembut itu tak ingin Angga melukai siapa saja. Sampai kiamat pun, bahkan ketika alam sudah memisahkan mereka seperti ini, Angga tidak pernah ingin melukai perasaan Aira. Jadi ia tunggu kesadaran Ari untuk meminta maaf.
Namun hingga kini, kata maaf itu tak pernah terucap dari bibir Ari. Membuat Angga sengaja menulikan telinga agar tidak lagi mendengar hati kecilnya yang membujuk untuk tetap menjaga perasaan Aira. Menurutnya, Ari sudah keterlaluan. Cowok itu pantas diberi pelajaran!
Demi Tuhan, Angga tidak tahu harus menghukum Ari dengan cara apa. Nyawa dibayar dengan nyawa? Gagasan itu sungguh menggoda, tapi ia belum ingin masuk penjara. Sementara cara lain selain membunuh dianggapnya tidak memuaskan. Selama berperang dengan diri sendiri itulah, dendam dalam hatinya kian meradang, sementara lukanya kian bernanah, tanpa Angga tahu bagaimana cara memulihkannya.
Hanya ada satu orang yang mengerti kisah lengkap di balik kematian Aira. Karena kepadanyalah Angga bercerita dengan segala sedu sedan dan air mata. Orang itu pun ikut menangis bersamanya, seolah merasakan luka yang dirasakan Angga. Orang itu juga yang setia menopangnya hingga Angga bisa berdiri tegak lagi sekarang. Oleh sebab itu Angga merasa nyaman bersamanya. Dia adalah Anggita, sepupu terdekatnya.

***

Saat Ata kembali lagi ke Jakarta berbulan-bulan kemudian, ia kembali kehilangan petunjuk tentang Ari. Saudaranya itu telah lulus dari SMP, dan Ata tidak tahu kemana Ari melanjutkan sekolah.
Kemudian ia teringat Aira. Sosok gadis yang telah menuntunnya kepada Ari. Bagaimana kira-kira keadaan cewek itu sekarang? Ata berjanji saat ia bertemu lagi dengan Aira nanti, akan ia ceritakan siapa dirinya sebenarnya.
“Ma, Ata keluar dulu,” pamit Ata.
Dengan ingatannya yang masih tersisa, Ata menuju ke rumah Aira. Beberapa meter dari rumah yang dituju, ia melihat kedua orang tua Aira baru keluar sambil membawa buket bunga berisi rangkaian mawar putih.
“Pa, ayo cepet, Pa! Aira pasti seneng dibawain mawar putih,” kata Mama Aira sambil mencium buket bunga itu. “Dia paling suka sama mawar putih. Inget nggak? Dulu dia pernah nangis sambil marah-marah gara-gara tanaman mawar di kebun Mama pangkas.” Wanita itu tersenyum, namun yang ditangkap Ata bukan sebuah senyuman, melainkan duka yang begitu dalam di sana. Ditambah setetes air mata yang kemudian jatuh. Pria di sebelahnya merangkul wanita itu erat.
Ata sungguh tidak mengerti apa yang terjadi. Ia memutuskan untuk mengikuti dua orang tua Aira diam-diam. Dan cowok itu kaget setengah mati saat kedua orang yang diikutinya berhenti di sebuah pemakaman umum. Ia hanya mengamati dari jauh saat beberapa lama Mama dan Papa Aira berhenti di sebuah makam, meletakkan buket bunga tadi di sana, berjongkok, lalu memanjatkan doa.
Ketika dua orang itu pergi, Ata melangkah terseok ke makam yang baru saja mereka tinggalkan.
Airana Tunggadewi
Nama di batu nisan itu menghujam dada Ata, menekannya, dan menghantamnya bertubi-tubi hingga cowok itu sesak napas. Aira meninggal tepat di tanggal Ata terakhir kali berada di Jakarta. Berarti satu hari setelah mereka bermain ke pantai bersama. Kenapa?
Ata terduduk di tanah. Tubuhnya lemas. Ia membutuhkan jawaban. Tapi tak tahu kepada siapa dia harus bertanya. Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya. Ata menoleh. Di belakangnya, berdiri seorang gadis berkaca mata.
“Mm, permisi, Kakak temennya Aira?”
Ata mengangguk kaku. Gadis itu balas mengangguk. “Nama saya Febri. Saya temen sekelas Aira.” Febri kemudian meletakkan sebuket bunga lain di atas makam Aira, lalu memanjatkan doa sambil memejamkan mata.
“Semoga kamu tenang di alam sana, Aira. Kamu tau? Aku selalu kangen kamu. Temen-temen yang lain juga,” ucap Febri lirih. Tangannya mengusap nisan Aira dengan lembut.
“Ng, Febri?”
Febri menoleh ke arah Ata. “Ya, Kak?”
“Sebenernya gue temen jauh Aira. Gue baru tau belakangan ini kalo... Aira meninggal. Apa penyebabnya?”
“Kecelakaan, Kak,” jawab Febri. Tatapannya tertuju pada makam Aira. “Saya juga kurang tau kronologinya gimana. Terakhir kali saya ngobrol sama Aira, dia curhat ke saya, katanya lagi deket sama... ng, siapa sih namanya? Ah, iya. Kak Ari. Dia naksir Kak Ari. Saya juga nggak tau siapa itu Kak Ari. Yang jelas Aira seneeeng banget. Trus, tiba-tiba...” Penjelasan Febri terhenti. Ia menarik napas panjang beberapa kali. “Tiba-tiba, saya dapet kabar kalo siang itu Aira ketabrak mobil, dan...” Gadis itu menggigit bibir. Matanya mulai berkaca-kaca.
 “Kenapa dia bisa kecelakaan? Emangnya dia kemana siang itu?” tuntut Ata.
“Ng... ini sebenernya cuma gosip, sih. Saya nggak tau bener apa nggak. Katanya siang itu Aira patah hati. Ditolak cowok. Jadi dia lari ke jalan sambil nangis, sampe nggak liat kalo ada mobil.” Febri berhenti sejenak, membiarkan Ata mencerna ucapannya, kemudian melanjutkan, “Karena saya yang selalu jadi tempat curhat dia, saya nyimpulin dia ditolak Kak Ari. Saya jadi penasaran, deh. Terakhir Aira bilangnya Kak Ari sempet cium pipi dia gitu di pantai. Kenapa cowok itu lalu nolak Aira? Brengsek banget.”
Ata membeku. Bukan. Bukan Ari yang brengsek. Saudara kembarnya tidak salah menolak Aira, karena memang bukan Ari yang dekat dengan cewek itu. Bukan Ari yang mencium pipi cewek itu. Bukan Ari yang mengumbar harapan palsu. Tapi dia!
Dialah yang akrab dengan Aira selama beberapa hari. Dialah yang mengajak Aira bermain ke sana kemari. Dialah yang memberi Aira ciuman di pipi. Tanpa pernah memikirkan perasaan Aira yang jelas-jelas jatuh cinta kepada Ari. Lalu dia pergi begitu saja, meninggalkan Aira sebagai tanggung jawab Ari.

Jadi dialah si brengsek itu! Dia, Ata, adalah penyebab kematian Aira!






Bersambung...


***


So, gimana, nih? Ada yg mau komentar? Ada yang kurang sreg gitu sama 2 part khususon flashback ini? Nggak ngerasa kalo ceritanya fail banget kan? Aul kurang mantep aja, hehe
Akhirnyaaaaa terungkap juga kenapa Angga dendam sama Ari (versi Aul lho yaaaa, kalo versinya Mama Esti Kinasih mungkin beda lagi)
Untuk next part-nya, kayaknya bakalan lama. Banget. Tauk ah, gelap. Ide di otak lagi terkuras abis, blas belom ada bayangan buat lanjutannya, harap maklum yaaa... Aul juga harus mulai persiapan buat try out ke-3, dan langsung lanjut Ujian Nasional... Doakaaan, doakaaaan, doakaaan *sungkem satu-satu*
Makasiiiih buat yg udah baca dan mendoakan, huehehehe ^-^
Biar nggak kenal, Aul sayang kaliaaan, muaaah muaaah muaaaaaaah :*

Jingga untuk Matahari #fanfiction-16

Mau post 2 part sekaligus niiih!!
Gila, ngetiknya maraton banget, dari malem Minggu, trus langsung selesai 2 part di hari Minggunya! Gini nih kalo lagi ada ide, tangan dipaksa ngetik sampe pegel2.. Sementara kalo otak lagi buntu, mau berhari-hari di depan laptop juga nggak bakal nambah apa2, hehe...
Oke, kayak yang udah Aul bocorin, 2 part berikut ini menceritakan asal mula Angga dendam sama Ari.. Maybe it will be a mainstream story, but I've tried to write it in different way (walau mungkin hasilnya sama aja sih -_-)
Aul sebenernya agak gimanaaaa gitu mau nambahin peran, tapi kalo nggak ada peran tambahan juga nggak ada cerita dong.. Akhirnya terciptalah sosok "Aira" di sini, yang asli bikinan Aul sendiri, dari ide Aul sendiri
Nah, siapa itu Aira? Let's see...


***

Angga berjalan sendirian memasuki sebuah restoran, tempat yang telah disepakati untuk pertemuan mereka. Kayaknya tu cewek belom dateng, pikirnya saat melayangkan pandangan ke penjuru restoran. Ia mengambil tempat duduk di pojokan, menghindari orang-orang yang bisa saja menjadi penguping. Baru saja ia duduk di bangku yang menghadap pintu restoran, cewek yang ditunggunya datang.
Angga melambaikan tangan hingga cewek itu melihatnya. Segera saja ia melenggang menghampiri Angga dan duduk dengan gaya anggun yang dibuat-buat. Cih, emang dasar cewek murahan, cibir Angga dalam hati begitu mengamati mini dress yang dikenakan cewek itu. Begini nih gambar-gambar seniornya Airlangga. Nggak beres. Ah, peduli apa gue. Enak malah dapet tontonan gratis gini.
“Udah puas liatin gue, hm?” kata Vero yang menyadari tatapan mata Angga tertuju pada badannya.
Angga tersenyum kecut. “Sori, tapi gue nggak tertarik.”
“Ya iyalah. Tipe elo kan gadis-gadis sok polos kayak Tari,” dengus Vero, lalu menyilangkan kakinya, dengan sengaja memamerkan kakinya yang jenjang. “So, lo mau denger nggak rencana kita selanjutnya?”
“Ya. Jelasin ke gue,” jawab Angga. Meski tadi dia bilang tidak tertarik, matanya tak lepas dari kedua kaki Vero. Sementara si Vero cuek bebek, malah terkesan bangga karena berhasil memancing pentolan Brawijaya ini.
“Puas-puasin deh pelototin kaki gue. Besok-besok lo udah nggak bisa dapet kesempatan ini lagi karena udah jalan sama Tari.”
Angga kontan menatap wajah Vero. “Apa maksud lo?”
Vero tersenyum sambil memajukan kursinya. “Oh, gue belom bilang ya? Pangeran gue tercinta, si Matahari Senja, berhasil bawa saudara kembarnya ke Jakarta. Itu artinya, rencana kita berjalan mulus, dan sebentar lagi Tari jadi milik elo.”
Angga terdiam, berusaha mencerna perkataan Vero. Perlahan, bibirnya terkembang. “Good job,” katanya puas. “Bego banget si Ari. Bawa saudara kembarnya ke Jakarta. Well, berarti dia yang bawa bencana itu sendiri ke sini.”
“Stop bego-begoin Ari di depan gue,” gerutu Vero.
“Sial, gue lupa. Sori. Jadi, gimana rencana selanjutnya?”

***

Ari memarkirkan motor di depan sebuah rumah sederhana. Tanpa mengetuk pintu, ia langsung masuk dan mendapati Ata baru saja keluar dari kamar mandi sambil mengusap rambutnya yang basah.
“Baru aja mandi?” tanya Ari.
“Iya. Gue baru aja nyampe rumah. Lo dari mana aja?”
“Nganterin Tari.”
Langkah Ata terhenti sejenak. Ia mengamati wajah saudara kembarnya, seperti mencari sesuatu dari sana. Tapi yang ia dapat hanya wajah lelah Ari. “Oh,” sahutnya singkat. Cowok itu duduk di sofa depan televisi, lalu menyalakannya.
Ari mengempaskan tubuh di sebelah Ata. “Dia aneh banget,” keluhnya.
“Siapa?”
“Tari.” Ari menyandarkan kepala dengan lelah. Matanya yang baru terpejam beberapa detik tiba-tiba terbuka lagi setelah menyadari sesuatu. “Tunggu. Lo bilang lo baru aja pulang?”
Ata mengangguk tak acuh. Tangannya memegang remote untuk mengganti-ganti channel.
“Lo tadi liat Tari di sekolah? Sore ini, maksud gue. Lo liat ada yang macem-macem sama dia?”
Gerakan Ata kembali terhenti. Ia menoleh ke Ari dengan wajah datar. “Nggak,” jawabnya. “Emang dia kenapa?”
Ari mendesah. Ia berharap Ata memiliki jawaban untuknya atas keanehan Tari. Tentang alasan gadis itu menangis dan memaksanya untuk menceritakan tentang kepindahan Ata. Sebersit pikiran aneh timbul di pikiran Ari. Apa ini memang hanya kebetulan kalau Ata dan Tari keluar dari sekolah hampir bersamaan? Bagaimana mungkin Ata tidak melihat Tari di sekolah kalau memang benar keduanya sama-sama pulang sore? “Lo serius?” tanya Ari lagi.
Ata terdiam sejenak. “Gue mau belajar,” katanya sambil mematikan televisi, lalu beranjak ke kamar untuk mengambil buku.
“Gue nanya ke elo, Matahari Jingga,” desis Ari, tidak suka dengan sikap Ata yang tiba-tiba menghindarinya.
Ata membalikkan badan dan menatap Ari. “Gue nggak liat dia! Oke? Gue nggak ketemu sama dia. Lo nuduh gue bohong?” Mendadak matanya menyipit. “Oh, ato jangan-jangan lo nuduh gue yang jadi penyebab keanehan Tari? Lo nuduh gue yang macem-macem ke dia?”
“Apa? Bukan gitu...” sahut Ari tergeragap. Memang dia sempat curiga pada saudara kembarnya ini. Tapi tak mungkin ia terang-terangan menuduh Ata tanpa bukti. Bisa saja Ata memang mengatakan yang sebenarnya. “Sori,” katanya sambil bangkit. “Gue nggak bermaksud nuduh elo. Gue cuma... ah, lupakan aja. Mana Mama?”
Ata membukakan pintu kamar, menunjuk Mama yang telah tertidur nyenyak di tempat tidur. “Udah tidur. Mungkin kecapekan beres-beres rumah seharian ini.”
Ari melangkah masuk, lalu mencium kening Mamanya lembut. “Ari pulang dulu, Ma,” pamitnya lirih. “Balik dulu, bro,” katanya pada Ata.
Ata mengantar saudara kembarnya sampai pintu depan. “Eh, Ri?” panggilnya saat Ari menaiki motor. Ari menoleh, tidak jadi memakai helm. “Ya?”
“Gue mau nanya sesuatu.” Ata melangkah mendekat. Wajahnya nampak serius. “Tentang Angga. Anggada.”
Kedua alis Ari terangkat mendengar Ata menyebut nama musuh bebuyutannya.
“Lo kenal dia?” tanya Ata lagi.
Bagaimana mungkin Ari tidak mengenal seseorang yang selalu menggiring pasukannya untuk menyerang SMA Airlangga itu? “Jelas,” jawab Ari. “Kenapa? Lo kenal juga? Ada urusan apa?” Ari tidak suka kalau Angga ikut melibatkan Ata.
“Gue nggak ada urusan apa-apa sama dia.” Ata menggeleng pelan. “Tapi gue tau lo nggak berhubungan baik sama dia,” lanjutnya.
Mau tak mau Ari mengangguk mengakui. “Bukan salah gue, Ta,” desahnya. “Gue temenan sama dia pas di SMP. Tapi tau-tau sikap dia aneh banget, seolah gue ini musuh terbesarnya. Dia kayak punya dendam gitu ke gue, padahal gue merasa sama sekali nggak pernah bikin kesalahan ke dia.”
Jelas bukan kesalahan elo, Ri, kata Ata dalam hati. Karena ini semua kesalahan gue. Jadi gue yang harus menebusnya, meski itu artinya lo harus ikut berkorban.

***

Beberapa tahun yang lalu...
“Makannya pelan-pelan, dong.” Angga mengelap sudut bibir Aira menggunakan tisu, lalu memperlihatkan noda saus di tisu itu. “Nih, belepotan semua.”
Aira nyengir dengan pipi menggembung, lalu buru-buru mengunyah dan menelan spaghetti di mulutnya. Angga menatapnya gemas. Gadis ini! Teman masa kecil yang berhasil mencuri perhatiannya sejak pertama mereka bertemu sebagai tetangga. Umurnya satu tahun lebih muda dari Angga. Dan ketika mereka memasuki masa remaja, gadis ini bukan hanya berhasil mencuri perhatiannya, tapi juga hatinya! Aira tumbuh menjadi gadis yang cantik. Kepolosan gadis itu membuat Angga terpesona. Kebaikan hati gadis itu membuat Angga jatuh cinta. Dan senyuman gadis itu membuat Angga ingin memilikinya.
Siang ini, Angga mengajaknya makan siang di mal. Bukan sesuatu yang spesial, karena mugkin sudah ribuan kali mereka jalan berdua seperti ini.
“Lo masih belom mau ngenalin temen lo waktu itu?” tanya Aira, membuat Angga nyaris tersedak minumannya.
“Temen yang mana?” tanya Angga gugup.
“Yang waktu itu dateng ke rumah eloooo,” sahut Aira gemas. “Harus gue sebutin lagi ciri-cirinya? Tinggi, ganteng, putih, telinga kirinya bertindik...”
“Oke, oke, stop,” potong Angga. “Gue tau yang lo maksud. Namanya Ari, oke? A-ri.” Angga mengejakan nama Ari dengan malas.
“Ari?” Kedua mata Aira yang berwarna amber kontan berbinar. “Wah! Bahkan nama dia kebalikan dari nama gue. Ari-Ira, bagus, kan?” Gadis itu tertawa senang.
“Seneng banget,” dengus Angga. “Tapi gue peringatin ke elo, jangan deket-deket sama dia.”
Tawa Aira lenyap. Ia menatap Angga dengan bingung. “Emangnya kenapa?”
“Dia bukan cowok baik-baik, Ra. Gue kenal sama dia. Gue tau gimana latar belakang dia. Lo liat aja penampilannya, telinganya tindikan gitu.”
“Emang kenapa kalo dia tindikan?” protes Aira tidak terima. Nada suaranya meninggi. “Bukan berarti dia jahat, kan? Lo juga dulu pernah mau tindikan, tapi gue larang. Inget nggak? Nyatanya lo tuh cowok baik-baik, Ga. Mungkin itu yang terjadi sama Ari. Dia emang niat mau tindikan, tapi karena nggak ada yang ngelarang, ya dia lakuin aja.”
“Terserah, deh,” gumam Angga, malas kalau harus memulai perdebatan dengan Aira. “Abisin tuh makanannya. Kita jalan lagi abis ini.”
“Oke.” Aira kembali menyantap spaghetti-nya. “Oh iya! Ga?” panggil Aira. Lagi-lagi dengan mulut penuh.
“Telen dulu, anak kecil.” Gadis ini memang selalu berhasil memunculkan senyumnya. “Keselek ntar.”
Aira segera menelan tanpa sempat mengunyah makanannya sampai halus. “Ada boneka yang gue pingin. Beliin ya?”
“Ih, lo kira gue Bokap lo,” dengus Angga. “Boneka apa? Barbie?”
“Yee. Gue udah nggak mainan Barbie lagi. Yang ini boneka kucing, lucuuuuu banget. Gue nggak mau boneka itu keburu dibeli orang karena gue belom punya uang.” Aira memasang tampang andalannya. Muka memelas dengan mata membesar yang bikin trenyuh siapa saja yang melihatnya, apalagi Angga.
Cowok itu mendesah pelan, luluh begitu saja. “Iya, deh, iya. Jangan nangis. Ntar gue beliin.”
“Yes! Makasih!” Aira kontan berdiri dan mencium pipi Angga, membuat cowok itu terpaku seketika. “Ups, sori. Pipi lo jadi kena saus,” kata Aira. Ia mengulurkan tangan, hendak mengelap pipi Angga menggunakan tisu tanpa menyadari reaksi cowok itu. Angga tak bisa bergerak. Persendiannya terkunci dan otot-ototnya membeku selagi Aira mengusap pipinya lembut.
“Nah, selesai. Yuk langsung bayar aja. Gue udah kenyang.” Aira mendorong piring spaghetti-nya menjauh, lalu menarik Angga ke kasir.

***

“Iiiih, lucu banget! Liat! Lucu, kan? Lucu, kan? Kayak gue, kan?” Aira memamerkan boneka barunya ke depan muka Angga sambil berteriak girang. Keduanya baru saja keluar dari toko tempat boneka kucing incaran Aira berada. Dan sekarang si kucing pink itu sudah berpindah ke pelukan Aira.
“Iyaaa, lucu, kayak elo,” sahut Angga geli. “Bilang apa, dong?”
“Makasiiiiih!” Aira memeluk boneka kucing raksasanya erat.
“Bilang makasihnya ke gue tapi yang dipeluk bonekanya,” gerutu Angga.
“Jadi elo mau gue peluk juga?”
“Mau.”
Aira pura-pura berpikir. “Nggak, ah. Ntar dimarahin Mama kalo peluk-pelukan.”
“Lah tadi lo nyium pipi gue?” protes Angga dengan senyum tertahan.
“Refleks, Ga,” sahut Aira nyengir. “Pulang yuk? Mau pamer boneka ini ke Mama.”
Angga menggelengkan kepala. Tangannya mengusap kepala Aira dengan gemas. “Dasar anak kecil.”

***

“Mamaaaa, Aira dapet boneka lucu dari Angga! Liat!” teriak Aira begitu sampai di rumah. Angga mengikuti di belakangnya. Rumah Aira yang terletak persis di sebelah rumahnya memang sudah seperti rumah kedua. Orang tua Aira dan orang tua Angga membebaskan anak-anaknya keluar masuk, sudah menganggap keluarga sendiri.
“Sudah berapa kali Mama bilang, panggil dia Kak. Dia lebih tua, Ra,” tegur Mama yang baru selesai mengangkati jemuran.
Angga tertawa. “Nggak pa-pa, Tante. Saya nggak keberatan. Dia emang bandel, susah dibilangin. Jadi biarin aja.”
Aira jadi cemberut. “Aira nggak suka manggil Angga pake Kak. Kan cuma beda satu tahun.”
“Iyaa, gue juga nggak mau dipanggil Kak sama elo. Dah, sana, simpen bonekanya. Bantuin Mama tuh lipet baju. Lo tuh ya, udah SMP, masih aja main boneka.”
“Hehe, nggak pa-pa, kan? Makasih, yaaa.” Aira melesat ke kamarnya diiringi senyuman Angga.
“Makasih ya, Ga. Baik banget sampe beliin boneka buat Aira. Jangan terlalu dimanja itu anak, ngelunjak ntar,” kata Mama Aira.
Angga tertawa. “Nggak masalah, kok. Pulang dulu, Tante,” pamitnya.

***

Malam hari di kamarnya, Aira duduk di tempat tidur sambil menatap boneka kucing pemberian Angga.
“Jadi, namanya Ari?” gumamnya pada diri sendiri. Ia memuntir-muntir kumis kucingnya dengan tak mengerti.
Hanya butuh satu pertemuan. Hanya butuh satu tatapan. Hanya butuh satu senyuman. Hanya butuh satu sapaan. Dan Ari sudah berhasil membawa lari hati Aira!
Beberapa hari yang lalu Ari datang ke rumah Angga. Aira juga tidak sengaja datang siang itu. “Angga? Gue mau minta tolong.” Seperti biasa, Aira melangkah memasuki ruang tamu tanpa mengetuk pintu, karena kebetulan pintu depan juga sedang terbuka lebar. Tiba-tiba ia sadar ada seseorang di sana. Gadis itu menoleh ke sofa.
Aira hampir saja percaya bahwa ada seorang dewa Yunani berseragam sekolah yang kini tengah duduk di sofa. Gadis itu menahan napas, antara kaget dan terpesona.
“Hei,” sapa Ari. Bibirnya tersenyum sekadar untuk menunjukkan kesopanan. “Nyariin Angga?”
Aira mengangguk kaku, tak menyangka akan disapa oleh cowok tampan bersuara berat itu.
“Dia di dalem. Lagi ambil laptop.”
Aira kembali mengangguk. “Makasih,” gumamnya, lalu berjalan masuk, hampir lupa apa tujuannya mencari Angga ke sini.
Setelah pertemuan hari itu, belum pernah sekalipun Aira bertemu dengan Ari lagi. Ia memang tidak bersekolah di SMP yang sama dengan Angga. Tapi entah kenapa sejak hari itu pula wajah Ari selalu terbayang-bayang. Tidak terlupa satu detail pun. Mata hitam yang tajam. Alis yang tebal. Hidung yang mancung. Bibir yang tipis. Dagu dan rahang yang kokoh. Telinga yang bertindik...
Aira merebahkan diri bersama boneka kucing yang menjadi benda kesayangan terbarunya. Bibirnya tak berhenti tersenyum.
“Rira,” panggilnya pada boneka kucing di pelukannya. “Mulai sekarang nama kamu Arira, diambil dari Ari-Ira, oke? Sst, tapi ini jadi rahasia kita berdua aja ya? Jangan bilang-bilang ke Angga. Kalo di depan Angga, aku panggil kamu Kitty, deh. Hihi..” Konyol memang gadis itu. Tak heran Angga selalu gemas padanya. “Oh iya! Rira tau nggak?” katanya lagi. Kali ini dengan antusias. “Aira lagi jatuh cinta, lho!”

***

Dan bencana pun dimulai. Angga jelas merasakan ada yang berubah dari gadis itu. Aira-nya. Sahabat kecil yang menjadi dambaan hatinya. Semenjak Aira mengetahui nama Ari, ia selalu bertanya tentang cowok itu. Dan karena tak ingin menyakiti gadis kecil kesayangannya ini, Angga selalu menjawab meski enggan.
“Kalo Kak Ari suka cokelat nggak?” tanya Aira suatu siang.
“Mana gue tau,” jawab Angga malas, sudah nyaris bosan setiap hari diinterogasi tentang Ari. “Emangnya kenapa? Lo mau ngasih dia cokelat?”
Tanpa diduga, pertanyaan asal-asalan Angga dijawab dengan anggukan. “Udah mau valentine. Rencananya sih gue mau ngasih cookies cokelat buatan gue sendiri. Ntar tolong kasihin ya?”
Tubuh Angga menegang. Ada rasa cemburu amat sangat dalam hatinya. Sudah berapa valentine yang ia lalui bersama Aira? Apa gadis itu pernah sekalipun memberinya sesuatu? Tidak. Tidak pernah. Dia yang selalu memberi gadis itu sesuatu. Bunga. Kue. Cokelat. Boneka. Yang selalu saja tak dianggap berarti oleh Aira. Bukannya dia berharap Aira balas memberinya barang apapun. Ia hanya ingin Aira mulai menganggapnya sebagai lelaki, yang pantas diperhitungkan dalam hatinya.
Dan kini begitu Angga mengetahui Aira ingin memberi sesuatu kepada Ari, cowok yang bahkan tidak mengenal Aira, pertahanannya runtuh sudah. “Nggak! Nggak mau!” tolaknya. “Kasihin aja sendiri.”
“Iiih, kok jahat, sih?” Aira cemberut. “Plis, Gaaa. Pliiiiss. Gue malu kalo harus ngasih sendiri. Kan dia nggak kenal gue.”
Aira kembali memasang tampang andalannya. Tapi kali ini Angga mengeraskan hati. Cukup sudah pengorbanannya. Ia tak bisa bertahan lebih dari ini. “Pokoknya nggak!” tegasnya, lalu berjalan keluar dari rumah Aira.
Hingga valentine tiba, keduanya belum saling bicara sama sekali. Angga terlalu sakit hati, sementara Aira yang dasarnya kurang peka malah marah karena Angga tidak mau membantunya. Ia menganggap Angga sudah tidak peduli padanya.
Siang ini Angga berjalan bersama Ari menuju gerbang. “Ga, kayaknya gue pernah liat gadis itu.” Ari menyikutnya, lalu menunjuk ke arah gadis yang sedang celingukan di dekat gerbang.
Angga menyipitkan mata, dan seketika terkejut. “Aira?”
“Aira?” ulang Ari.
“Ngapain dia ke sini?” gumam Angga risau. Tanpa menjelaskan apa-apa pada Ari, cowok itu melangkah cepat menghampiri Aira. “Ra, ngapain lo ke sini?” desisnya.
“Lo kira untuk apa?” sahut Aira dengan nada pongah, bikin Angga tambah kaget. “Ah, itu dia!” jeritnya tertahan. Ditinggalkannya begitu saja Angga yang masih terperangah di tempat.
Ari yang daritadi hanya mengamati dari jauh, tertegun saat gadis yang dipanggil Aira itu melangkah ke arahnya. Di tangannya, ada tas kertas cantik berhias pita. Begitu tiba di depannya, gadis itu mengulurkan tas kertas tadi. “Buat elo, Kak Ari. Kenalin, gue Aira.”
Ari menerima tas kertas tadi ragu-ragu. “Ng... makasih. Tapi, buat apa? Kenapa lo ngasih ini?”
Happy valentine! Semoga lo suka,” seru Aira, lalu tanpa berkata-kata lagi, ia berbalik pergi. Saat melewati Angga, cewek itu tersenyum penuh kemenangan. “See? Gue nggak butuh bantuan elo!”

***

Pemandangan itu terjadi tepat di depan mata. Senyum puas dan kata-kata dari bibir Aira seolah mengejeknya. Angga masih tak bisa bergerak. Perlahan, ketika kesadarannya pulih, ia mempertanyakan apakah hatinya masih utuh di dalam. Tidak. Ia bahkan tak bisa merasakannya. Dadanya terasa hampa. Tidak ada sakit, sesak, atau kecewa.
“Ga,” panggil Ari yang sudah berdiri di dekatnya. Tangannya mengulurkan tas kertas pemberian Aira. “Mending lo balikin ini ke Aira. Gue...”
“Nggak!” geram Angga. “Itu buat elo. Lo harus terima!” Kemudian cowok itu melangkah pergi.
Ari jadi heran melihat Angga yang marah. Sebenarnya dia sudah terlalu sering mendapat bingkisan saat valentine. Tas kertas dari Aira ini mungkin bingkisan keduapuluh yang diterimanya hari ini. Karena tak ingin tas atau tangannya penuh dengan hadiah-hadiah monoton dari cewek-cewek pemujanya, Ari lebih sering membagi-bagikan hadiah itu untuk teman-teman cowoknya. Kalo kue, cokelat, atau permen, ya silahkan dimakan. Kalo kaos atau kemeja, ya silahkan dipake. Kalo bunga ato barang lainnya, silahkan aja disimpen. Ari tak peduli.
Hadiah dari Aira ini sama saja. Palingan isinya cokelat. Tapi kali ini Ari tidak membuang atau memberikannya kepada orang lain. Ia masukkan bingkisan itu ke dalam tas, lalu melanjutkan langkah ke gerbang. Aira. Gadis itu cukup aneh. Ari belum lupa wajahnya yang pernah ia temui di rumah Angga beberapa hari yang lalu.
“Tambah lagi deh daftar fans gue,” desah Ari tanpa bermaksud menyombong, malah terkesan lelah. “Sori, Ra. Tapi gue nggak tertarik.” Satu penolakan yang selalu Ari utarakan untuk setiap cewek dalam daftar fans-nya. Aira yang malang.

***

Angga segera mengejar Aira yang sudah berlari keluar gerbang sekolah. Gadis itu rupanya sedang menunggu bis di halte. Ia tampak tak peduli saat Angga menghampirinya.
“Jelasin ke gue! Apa itu tadi?” kata Angga marah. Dicekalnya erat tangan Aira.
“Gue musti jelasin apa? Gue cuma ngasih cokelat ke Ari. Ngasihin sendiri, oke? Karena lo kan nggak mau bantu gue,” sindir Aira sengit.
“Bukannya gue pernah bilang, jangan deket-deket sama Ari!”
“Emang kenapa?” tantang Aira. Cewek itu mulai murka. “Lo nggak berhak ngatur-ngatur gue! Terserah gue dong mau deket sama siapa.”
Kalimat Aira menohoknya. Angga serasa ditampar oleh kenyataan itu. Ya. dia memang tidak memiliki hak apa-apa untuk mengatur hidup Aira. Dia bukan siapa-siapa, terlebih bagi gadis ini. Dia hanya seorang sahabat dan tetangga masa kecil. Tidak lebih!
“Lepasin, gue mau pulang,” kata Aira pelan, seperti ingin menangis. Jujur, cewek itu pun merasa sakit mendengar kata-katanya sendiri.
“Pulang sama gue,” kata Angga. Ia eratkan cekalannya.
“Nggak! Gue mau pulang sendiri! Lepasin! Lo jauh-jauh aja dari gue!”
Mau tak mau Angga melepaskannya. Gadis itu naik ke bus yang berhenti di halte tanpa menoleh lagi. Angga mendesah, kemudian pergi dari situ.




Bersambung...


***

Fiuuuh, entah kenapa Aul kok suka ya sama karakternya Aira, kayak anak kecil gitu, polos, manja, lucuuu ^^
Part berikutnya masih lanjutan flashback.. staytune! #apadeh