Selasa, 12 Maret 2013

Just for a Moment (10)



“Koma?!” Dan tanpa memikirkan apapun lagi, Jonathan lebih dulu menerjang masuk. Pemandangan di dalam kamar membuatnya membeku seketika. Dan mendadak hatinya terasa sangat nyeri. Rosalie. Gadis itu terbaring di tempat tidur dengan wajah pucat dan alat bantu pernafasan. Matanya terpejam rapat. Bahkan gerakan nafas di dadanya lemah dan pelan sekali, seolah-olah Rosalie hanya mengambil sedikit udara untuk paru-parunya.
Tak ada hal lain yang ada di fikiran Jonathan saat ini selain Rosalie. Ia bergerak perlahan mendekati tempat tidur. Berhenti dan berdiri di sebelahnya. Tangannya terulur perlahan, lalu mengusap rambut pirang Rosalie dengan hati-hati.
“Rose?” panggilnya dengan suara serak. “Rose? Kuharap kau bisa mendengar suaraku. Aku pun ingin sekali mendengar suaramu. Tolong, bangun dan sapalah aku.”
Charlotte diam saja. Kemudian ia mengambil kursi di sudut ruangan dan meletakkannya di belakang Jonathan. “Duduklah, Jo,” katanya.
Jonathan baru sadar keberadaan gadis itu dan menoleh ke sekeliling ruangan. “Dia di sini sendirian?”
Charlotte mengangguk. “Duduklah dulu.”
Jonathan pun duduk di kursi yang telah diambilkan Charlotte. Tangannya menggenggam tangan Rosalie yang dingin erat-erat. Dan ia menoleh lagi saat Charlotte mulai bicara.
“Orang tua Rosalie meninggal beberapa tahun yang lalu. Kecelakaan pesawat saat mereka terbang ke New York.”
Jonathan mengangkat alis. Kaget. Tapi ia tak bersuara, membiarkan Charlotte meneruskan ceritanya.
“Sejak itu Rosalie tinggal bersamaku. Aku senang sekali. Dia sudah kuanggap seperti saudara kandungku sendiri. Aku anak tunggal. Rosalie juga. Dan orang tuaku sibuk bekerja di luar negeri. Mereka jarang pulang. Bahkan jarang menghubungiku. Yang mereka tahu hanya mengirimiku uang.”
Keduanya kemudian menoleh ke arah Rosalie. Charlotte menghela nafas berat sebelum membuka mulut lagi. “Kau tau untuk apa kedua orang tua Rosalie pergi ke New York saat itu?”
“Untuk apa?”
“Mereka akan mendaftarkan Rosalie ke sebuah ajang pencarian bakat paling bergengsi tahun itu. Tentu saja kau sudah tau Rosalie sangat mahir bermain piano. Sungguh. Aku sendiri bersama Rosalie yang mengantarkan mereka ke bandara. Bisa kulihat semangat menggebu dari pancaran mata mereka bertiga. Tapi, benar-benar tak kusangka, itu terakhir kalinya...” Charlotte tak bisa meneruskan kata-katanya. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia menelan ludah susah payah karena tenggorokannya mulai sakit.
“Saat mendapat kabar itu, Rosalie hanya diam. Ia tak menangis. Atau pingsan. Atau histeris. Atau meraung-raung. Bahkan saat jenazah kedua orang tuanya dinyatakan hilang, tak berhasil dievakuasi karena badan pesawat hancur dan terbakar sepenuhnya, ia hanya diam. Aku sendiri sangat bingung. Dia lebih muda dari kita. Tapi aku tau dia lebih dewasa dan kuat daripada kita. Aku tak pernah melihatnya menangis. Dia selalu menunjukkan senyum dan tawanya kepada kita.”
Jonathan teringat salah satu mimpi Rosalie. Pergi ke New York dan menjadi pianis terkenal. Ia lalu mengangguk mengerti. Genggamannya pada tangan Rosalie makin erat. “Aku akan menjagamu, Rose. Aku akan menemanimu di sini.” Lalu ia menoleh ke Charlotte. “Nanti sore aku akan mengantarmu pulang. Dan aku akan kembali lagi dan tinggal di sini.”
Charlotte menatap Jonathan dalam diam.
“Oh, ayolah, Charlotte. Aku tak akan macam-macam.”
Charlotte tersentak. “Ehm, bukan itu maksudku, Jo. Tapi, bagaimana dengan sekolahmu?”
“Anak bodoh itu ternyata berguna juga,” gumam Jonathan.
“Anak bodoh siapa?”
“Jimmy Hobert. Berkat dia, aku kena skorsing satu minggu. Itu artinya, aku bebas.” Jonathan mengangguk-angguk. “Aku akan berterima kasih kepadanya besok.”
Charlotte tersenyum. “Baiklah. Aku percaya padamu, Jo.”
Jonathan mengangguk dan balas tersenyum. “Terima kasih.”
Keduanya terdiam lagi. Kali ini lebih lama. Charlotte bergerak membuka gorden cokelat tebal yang menutupi jendela besar di bagian kanan kamar. Pemandangan musim gugur di halaman rumah sakit langsung menyambut mereka.
“Rosalie sangat suka musim gugur,” kata Charlotte lirih, tapi Jonathan bisa mendengarnya.
“Kenapa?” tanya Jonathan.
Gadis itu tak berbalik untuk menghadapnya, tetap memandang keluar jendela. Jonathan melihat kedua bahu Charlotte bergidik sedikit. “Entahlah. Aku sendiri tak tahu. Tapi setiap musim gugur tiba, ia selalu menghabiskan waktu di belakang piano sambil menciptakan lagu. Begitu banyak lagu yang telah ia ciptakan. Dan semuanya sangat indah. Aku tak keberatan duduk seharian di sampingnya dan mendengarkan permainannya.”
“Apakah kau tahu Rosalie bisa menghipnotis orang?”
“Ya. Aku tau. Dan dia sering sekali menjahiliku dengan kemampuannya itu,” gerutu Charlotte, tapi Jonathan tau gadis itu sedang tersenyum. Tiba-tiba Charlotte membalikkan badan dan berdiri di samping tempat tidur Rosalie, di sisi yang berseberangan dengan Jonathan. Matanya menatap Rosalie dengan serius.
“Rose, kalau kau berhasil melalui ini, kau boleh menghipnotisku dan memerintahkan hal-hal bodoh padaku sesuka hatimu. Aku tak akan marah,” katanya pelan.
“Ya, Rose. Kau boleh memarahiku sesuka hatimu, kapan pun kau mau. Kau boleh mengoceh panjang lebar, kau boleh melarangku tentang apa saja, dan kau boleh mengatur hidupku. Aku akan patuh,” timpal Jonathan sama seriusnya. “Asalkan kau berjanji kepadaku. Bangunlah dan teruslah hidup.”



Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar