“Koma?!”
Dan tanpa memikirkan apapun lagi, Jonathan lebih dulu menerjang masuk.
Pemandangan di dalam kamar membuatnya membeku seketika. Dan mendadak hatinya
terasa sangat nyeri. Rosalie. Gadis itu terbaring di tempat tidur dengan wajah
pucat dan alat bantu pernafasan. Matanya terpejam rapat. Bahkan gerakan nafas
di dadanya lemah dan pelan sekali, seolah-olah Rosalie hanya mengambil sedikit
udara untuk paru-parunya.
Tak
ada hal lain yang ada di fikiran Jonathan saat ini selain Rosalie. Ia bergerak
perlahan mendekati tempat tidur. Berhenti dan berdiri di sebelahnya. Tangannya
terulur perlahan, lalu mengusap rambut pirang Rosalie dengan hati-hati.
“Rose?”
panggilnya dengan suara serak. “Rose? Kuharap kau bisa mendengar suaraku. Aku
pun ingin sekali mendengar suaramu. Tolong, bangun dan sapalah aku.”
Charlotte
diam saja. Kemudian ia mengambil kursi di sudut ruangan dan meletakkannya di
belakang Jonathan. “Duduklah, Jo,” katanya.
Jonathan
baru sadar keberadaan gadis itu dan menoleh ke sekeliling ruangan. “Dia di sini
sendirian?”
Charlotte
mengangguk. “Duduklah dulu.”
Jonathan
pun duduk di kursi yang telah diambilkan Charlotte. Tangannya menggenggam
tangan Rosalie yang dingin erat-erat. Dan ia menoleh lagi saat Charlotte mulai
bicara.
“Orang
tua Rosalie meninggal beberapa tahun yang lalu. Kecelakaan pesawat saat mereka
terbang ke New York.”
Jonathan
mengangkat alis. Kaget. Tapi ia tak bersuara, membiarkan Charlotte meneruskan
ceritanya.
“Sejak
itu Rosalie tinggal bersamaku. Aku senang sekali. Dia sudah kuanggap seperti saudara
kandungku sendiri. Aku anak tunggal. Rosalie juga. Dan orang tuaku sibuk
bekerja di luar negeri. Mereka jarang pulang. Bahkan jarang menghubungiku. Yang
mereka tahu hanya mengirimiku uang.”
Keduanya
kemudian menoleh ke arah Rosalie. Charlotte menghela nafas berat sebelum
membuka mulut lagi. “Kau tau untuk apa kedua orang tua Rosalie pergi ke New
York saat itu?”
“Untuk
apa?”
“Mereka
akan mendaftarkan Rosalie ke sebuah ajang pencarian bakat paling bergengsi
tahun itu. Tentu saja kau sudah tau Rosalie sangat mahir bermain piano.
Sungguh. Aku sendiri bersama Rosalie yang mengantarkan mereka ke bandara. Bisa
kulihat semangat menggebu dari pancaran mata mereka bertiga. Tapi, benar-benar
tak kusangka, itu terakhir kalinya...” Charlotte tak bisa meneruskan kata-katanya.
Matanya mulai berkaca-kaca. Ia menelan ludah susah payah karena tenggorokannya
mulai sakit.
“Saat
mendapat kabar itu, Rosalie hanya diam. Ia tak menangis. Atau pingsan. Atau
histeris. Atau meraung-raung. Bahkan saat jenazah kedua orang tuanya dinyatakan
hilang, tak berhasil dievakuasi karena badan pesawat hancur dan terbakar
sepenuhnya, ia hanya diam. Aku sendiri sangat bingung. Dia lebih muda dari
kita. Tapi aku tau dia lebih dewasa dan kuat daripada kita. Aku tak pernah
melihatnya menangis. Dia selalu menunjukkan senyum dan tawanya kepada kita.”
Jonathan
teringat salah satu mimpi Rosalie. Pergi ke New York dan menjadi pianis
terkenal. Ia lalu mengangguk mengerti. Genggamannya pada tangan Rosalie makin
erat. “Aku akan menjagamu, Rose. Aku akan menemanimu di sini.” Lalu ia menoleh
ke Charlotte. “Nanti sore aku akan mengantarmu pulang. Dan aku akan kembali
lagi dan tinggal di sini.”
Charlotte
menatap Jonathan dalam diam.
“Oh,
ayolah, Charlotte. Aku tak akan macam-macam.”
Charlotte
tersentak. “Ehm, bukan itu maksudku, Jo. Tapi, bagaimana dengan sekolahmu?”
“Anak
bodoh itu ternyata berguna juga,” gumam Jonathan.
“Anak
bodoh siapa?”
“Jimmy
Hobert. Berkat dia, aku kena skorsing satu minggu. Itu artinya, aku bebas.”
Jonathan mengangguk-angguk. “Aku akan berterima kasih kepadanya besok.”
Charlotte
tersenyum. “Baiklah. Aku percaya padamu, Jo.”
Jonathan
mengangguk dan balas tersenyum. “Terima kasih.”
Keduanya
terdiam lagi. Kali ini lebih lama. Charlotte bergerak membuka gorden cokelat
tebal yang menutupi jendela besar di bagian kanan kamar. Pemandangan musim
gugur di halaman rumah sakit langsung menyambut mereka.
“Rosalie
sangat suka musim gugur,” kata Charlotte lirih, tapi Jonathan bisa
mendengarnya.
“Kenapa?”
tanya Jonathan.
Gadis
itu tak berbalik untuk menghadapnya, tetap memandang keluar jendela. Jonathan
melihat kedua bahu Charlotte bergidik sedikit. “Entahlah. Aku sendiri tak tahu.
Tapi setiap musim gugur tiba, ia selalu menghabiskan waktu di belakang piano
sambil menciptakan lagu. Begitu banyak lagu yang telah ia ciptakan. Dan
semuanya sangat indah. Aku tak keberatan duduk seharian di sampingnya dan
mendengarkan permainannya.”
“Apakah
kau tahu Rosalie bisa menghipnotis orang?”
“Ya.
Aku tau. Dan dia sering sekali menjahiliku dengan kemampuannya itu,” gerutu
Charlotte, tapi Jonathan tau gadis itu sedang tersenyum. Tiba-tiba Charlotte
membalikkan badan dan berdiri di samping tempat tidur Rosalie, di sisi yang berseberangan
dengan Jonathan. Matanya menatap Rosalie dengan serius.
“Rose,
kalau kau berhasil melalui ini, kau boleh menghipnotisku dan memerintahkan
hal-hal bodoh padaku sesuka hatimu. Aku tak akan marah,” katanya pelan.
“Ya,
Rose. Kau boleh memarahiku sesuka hatimu, kapan pun kau mau. Kau boleh mengoceh
panjang lebar, kau boleh melarangku tentang apa saja, dan kau boleh mengatur
hidupku. Aku akan patuh,” timpal Jonathan sama seriusnya. “Asalkan kau berjanji
kepadaku. Bangunlah dan teruslah hidup.”
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar