Senin, 18 Maret 2013

Just for a Moment (14)

Pukul 8 pagi, saat Charlotte baru saja mandi dan Rosalie masih terlelap, Jonathan sudah tiba kembali ke Saint Paul.

“Astaga, Jo. Kau datang pagi sekali,” sapa Charlotte kaget.

Jonathan meringis. “Aku tak bisa meninggalkan Rosalie lama-lama. Aku takut sesuatu terjadi padanya.”

“Dia baik-baik saja.” Charlotte menoleh ke arah ranjang di mana Rosalie masih tertidur. “Tak perlu khawatir. Keadaannya sangat baik.”

“Baguslah. Kalau begitu, sementara dia masih tertidur, sebaiknya kita mulai membereskan barang-barang. Aku kasihan melihat wajah bosannya di sini.”

“Baiklah.”

Keduanya mulai bergerak mengemas baju-baju Rosalie dan beberapa barang. Tepat saat mereka selesai, Rosalie membuka mata.

“Hei, Rose,” sapa Jonathan sambil melangkah mendekat dan berdiri di samping ranjang.

Rosalie mengerjapkan mata beberapa kali. “Ya ampun, Jo. Kenapa kau sudah datang?”

“Bukankah kau sudah sangat ingin pulang? Charlotte, kau bantu Rosalie bersiap-siap. Aku akan mencarikan sarapan untuk kita.”

“Oke. Cepatlah berangkat. Aku sudah kelaparan,” sahut Charlotte.


***


Sudah seminggu sejak Rosalie pulang dari rumah sakit. Setiap hari, Jonathan datang menjenguknya di rumah Charlotte. Jonathan dan Charlotte melihat Rosalie sudah bisa tertawa ceria lagi. Ia sungguh tak kelihatan seperti orang sakit. Meski begitu, keduanya tetap melarang Rosalie masuk sekolah. Rosalie juga tak memaksa untuk berangkat ke sekolah.

Setiap harinya, ia menghabiskan waktu dengan bermain piano bersama Jonathan yang duduk dan mendengarkan dengan setia di sampingnya. Atau ketika Jonathan tak ada, gadis itu hanya duduk-duduk di halaman belakang, menyaksikan pemandangan musim gugur. Kalau sedang seperti itu, barulah ia terlihat pucat dan lelah.

Hari ini, Rosalie menemani Charlotte yang sedang menyapu daun-daun kering di halaman belakang rumah. Gadis itu duduk di kursi kayu sambil menulis sesuatu pada bukunya.

“Hei, Rose! Kau sedang menulis apa?” seru Charlotte sambil terus menyapu.

Rosalie menoleh ke arah sahabatnya sejenak, kemudian hanya tersenyum dan menggeleng, lalu melanjutkan kegiatan menulisnya. “Kau akan segera tau,” bisiknya lirih.

Beberapa saat kemudian, Charlotte berhasil menyelesaikan pekerjaannya. Gadis itu menghampiri Rosalie dan berdiri di hadapannya. “Rose, ayo masuk! Pasti kau kedinginan. Aku akan membuatkanmu cokelat panas.”

Rosalie segera menutup bukunya sebelum Charlotte melihat apa yang ditulisnya, dan mengangguk. Tapi begitu ia berdiri, gadis itu langsung ambruk ke pelukan Charlotte, yang untungnya berdiri di depannya dan dengan sigap menangkap tubuhnya. Buku di tangannya terjatuh dalam posisi terbuka, tepat pada halaman yang baru saja ditulisinya.


***


To : Charlotte

There’s nothing I can say, dear. Just... thanks for everything. :)


To : Jonathan

Saat aku menulis ini, aku sedang menemani Charlotte menyapu daun-daun kering di halaman belakang rumahnya. Bisa kulihat ekspresi wajahnya yang kesal karena daun-daun itu begitu banyak dan sering kali tertiup angin, sehingga berantakan lagi. Aku ingin tertawa, tapi rasanya tak tega. Aku ingin membantu, tapi rasanya tak bisa. Aku hanya bisa duduk di sini dan menyaksikan daun demi daun berguguran habis dari pohon-pohon. Sore yang benar-benar indah.

Musim gugur tahun ini benar-benar akan selesai. Cepat sekali. Aku sangat menyukai musim gugur. Dan musim gugur tahun ini sepertinya menjadi musim gugur favoritku. Karena aku bertemu denganmu. Seorang lelaki yang berhasil mengubah hidupku. Seorang lelaki yang berhasil memunculkan senyum dan tawaku di sisa nafasku. Seorang lelaki yang berhasil membuatku mengaku, kalau aku mencintaimu.

Aku sudah pernah bercerita. Saat aku koma dulu, rasanya aku tak pernah ingin bangun lagi. Aku menemukan kesempurnaan hidup dan kebahagiaanku di sana. Sampai tiba-tiba kau berkata bahwa kau akan selalu mencintaiku, apapun yang terjadi. Dalam kebimbangan dan kekalutan, aku diam. Memikirkan apa yang sebaiknya kuputuskan. Aku diam. Mendengarkan. Hanya ada suaramu di telingaku. Entah kau berkata apa. Yang jelas itu suaramu. Saat itulah aku tersadar, lalu berdoa kepada Tuhan.

“Ya Tuhan, seseorang begitu menunggu kehadiranku di sana. Di dunia. Aku ingin tau. Apakah kebahagiaan yang kurasakan saat ini bisa kurasakan di sana saat aku bersamanya? Kalau Engkau mengizinkan, berilah aku satu kesempatan. Just for a moment, untuk bangun dan menyapanya. Just for a moment, untuk bicara, tersenyum, dan tertawa lagi bersamanya. Just for a moment, untuk memainkan beberapa lagu lagi untuknya. Just for a moment, untuk mengatakan bahwa aku juga mencintainya.”

Aku tau Tuhan selalu mendengar doa-doa umat-Nya. Dan Dia mengabulkan itu. Dia memberiku satu kesempatan lagi. Untuk melakukan segala yang kuinginkan. Bersamamu. Aku telah bangun dan menyapamu lagi. Aku telah bicara, tersenyum, dan tertawa bersamamu lagi. Aku telah memainkan beberapa lagu untukmu kemarin. Dan yang pasti, aku telah mengatakan kepadamu, bahwa aku mencintaimu.

Tapi... just for a moment. Hanya sesaat. Hanya sekelebat. Benar-benar singkat. Aku tau akan ada waktu di mana Tuhan mengakhiri kesempatan ini, cepat atau lambat. Aku menulis surat ini sekarang, karena aku tak tau kapan kesempatan ini akan berakhir.

Aku ingin. Sangat ingin. Mendapat satu kesempatan lagi. Tapi sepertinya hanya ini kesempatanku. Just for a moment. Waktu sesaatku telah habis.

Aku rasa doaku salah. Mungkin seharusnya aku tak hanya meminta just for a moment”. Atau mungkin seharusnya aku tak meminta sama sekali. Dengan begitu akan lebih mudah mengakhiri semua ini.

Jo, kalau kau sedang membaca surat ini, itu artinya aku sudah menemukan kebahagiaan abadiku di sini, di sisi kedua orang tuaku. Tapi harus selalu kuakui, kebahagiaan abadiku juga kurasakan saat aku berada di sisimu. Aku percaya. Suatu saat nanti. Pasti. Aku yakin itu. Kita akan bertemu kembali. Seperti dulu. Mengulang hari. Mengulang semua canda, tawa, dan cerita yang pernah ada, seperti di hari-hari yang telah kita lalui bersama. Dalam dimensi waktu yang abadi.

Dan soal mimpiku yang ingin menjadi seorang pianis...


Surat dari Rosalie berhenti sampai di situ. Belum sempat selesai, ketika akhirnya gadis itu meninggalkannya. Menutup mata untuk selama-lamanya. Gadis itu meninggal dunia tepat di hari ia menulis surat ini, di pelukan Charlotte. Di sore yang tenang dan damai, di akhir musim gugur tahun itu.

Jonathan lupa apa reaksi pertamanya ketika ia mendapat kabar itu. Ketika tiba-tiba Charlotte menghubunginya untuk segera datang ke rumah sakit. Ketika ia melihat raga gadis yang dicintainya tak lagi bernyawa. Tak lagi membuka mata. Tak lagi bernafas. Tak lagi menyapanya. Tak pernah bangun lagi untuk selamanya. Tanpa sempat mengucap selamat tinggal sama sekali. Entah apa reaksinya saat itu, Jonathan benar-benar tak sadar. Dan tak peduli. Yang berhasil ia ingat hanyalah usaha kerasnya menahan diri untuk tidak mengakhiri hidupnya saat itu juga.

Jonathan melipat kertas bertuliskan tulisan tangan Rosalie yang sudah sangat sering dibacanya itu dan memasukannya ke dalam saku kemeja.

Dan soal mimpiku yang ingin menjadi seorang pianis...

“Kau memang seorang pianis, Rose. Pianis terhebat yang pernah kukenal,” ucap Jonathan lirih. Ia langkahkan kaki menelusuri koridor sekolah sambil menikmati suasana musim gugur. Sudah satu tahun semenjak kejadian itu. Sudah satu tahun semenjak ia terakhir kali melihat Rosalie. Dan selama itu pula, sudah ribuan kali dibacanya surat dari gadis itu. Sakit. Selalu sakit. Tapi ia tau, memang inilah yang terbaik untuk gadis itu, meski ia harus merelakan hatinya tersayat oleh tajamnya rasa kehilangan, perihnya sebuah perpisahan, juga sakitnya mendapat janji yang teringkarkan. Rosalie pernah berjanji tak akan meninggalkannya, karena Jonathan tak rela bila gadis itu pergi. Tapi apa kenyataannya sekarang?

Hari ini, Jonathan sedang mengunjungi SMA-nya. Ia telah lulus beberapa bulan yang lalu. Hari ini bertepatan dengan tanggal di mana ia pertama kali bertemu Rosalie di sekolah ini. Perasaan rindunya kepada gadis itu tak terbendung lagi. Ketika akan melewati ruang musik, hatinya terasa sakit. Langkahnya terasa berat. Sudah satu tahun lamanya ia berusaha menyembuhkan luka itu. Tapi sepertinya tak akan pernah bisa. Terlalu parah.

Rosalie adalah arti hidupnya. Ia pernah dan akan selalu mengakui itu. Menjadikannya sebuah pondasi akan kehidupannya yang rapuh dan seperti akan rubuh. Tiang penyangga utama dalam ruang hidupnya yang kosong. Tapi sekarang, ketika Rosalie tak lagi ada, tak ada lagi kah arti hidupnya? Tak ada lagi kah pondasi dan tiang itu? Ketika kesadaran itu menohoknya, Jonathan merasa hidupnya benar-benar runtuh sekarang. Tanpa peringatan sama sekali. Dan ia hanya berusaha bertahan di antara reruntuhan puing-puing itu. Tak pernah mencoba untuk bangkit lagi setelah beberapa bulan ia berusaha. Ia merasa tak ada gunanya terus mencoba kalau tak ada yang membantunya.

Mungkin, suatu saat nanti, akan ada tangan gadis lain yang terulur untuk membantunya bangkit. Tapi Jonathan sendiri tak yakin apakah dia akan menerima uluran tangan itu. Apakah ia rela melepas Rosalie dan mengubur semua kenangan tentang mereka bersama puing kehancuran ini? Meninggalkannya jauh-jauh dan membangun lagi kehidupan yang baru dengan sebuah tiang penyangga yang baru pula? Apakah rasanya akan sama? Apakah ia bisa melupakan Rosalie? Apakah ia akan menyanyikan lagu ciptaannya untuk Rosalie dulu untuk gadis yang lain? Apakah semudah itu mengganti sebuah “arti hidup”? Entahlah. Jonathan terlalu pusing untuk memikirkan semua ini.

Ia juga sering bertanya-tanya. Apakah ini hukuman dari Tuhan? Apakah ini ganjaran atas semua tingkah lakunya yang sering keterlaluan? Kalau memang benar, ia tak pernah membayangkan akan begini sakitnya. Ia berharap Tuhan menghukumnya dengan cara lain. Yang tak membuatnya kehilangan seseorang yang baru saja dicintainya. Kehilangan Rosalie. Apakah itu harga yang benar-benar harus dibayar Jonathan?

Suasana koridor yang lengang seperti mengejek setiap langkahnya. Setiap daun yang gugur mengiringi setiap kejatuhannya. Membuka kembali setiap balutan luka yang belum berhasil disembuhkannya. Nada hening di sekolah itu semakin membuat ia tenggelam dalam puing-puing kesendiriannya.

Mendadak langkah Jonathan terhenti ketika telinganya menangkap denting piano mengalun dari dalam ruang musik, membentuk melodi nada yang sangat dikenalnya. Yang sangat dirindukannya. Lagu My Dreams. Jonathan tersentak. Sudah lama sekali ia tak mendengar lagu ini. Dan hanya ada satu orang di dunia ini yang bisa memainkan lagu itu. Lagu yang begitu sempurna. Sesaat, Jonathan hanya terpaku di depan pintu ruang musik. Hingga beberapa detik kemudian, ia menerjang masuk ke dalam ruang musik, dan terperangah di sana.

“Rose?” sapanya kaget.

“Hai, Jo.”





Tamat...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar