Senin, 11 Maret 2013

Just for a Moment (9)



“APA?!” Jonathan tersentak. Mendadak ia merasakan suatu hantaman keras di dalam hatinya, yang belum pernah dirasakannya sebelum ini. “Kri... tis?” desisnya.
“Ya. Aku...”
“Kita kesana!” putus Jonathan sambil menarik tangan Charlotte.
“Tapi, Jo.. aku belum izin kepada guru piket.”
“Kau lebih mementingkan itu daripada sahabatmu sendiri?”
Charlotte tak menjawab. Apalagi cekalan Jonathan di pergelangan tangan kirinya makin kuat. Entah Jonathan akan membawanya kemana, yang pasti mereka keluar dari gerbang sekolah, lalu menelusuri jalan dengan langkah super cepat dan berhenti di salah satu rumah. Tanpa berkata-kata, Jonathan melepaskan cekalannya dan masuk ke dalam rumah. Charlotte tak tau harus berbuat apa, jadi dia hanya berdiri diam di depan pagar rumah itu.
Tak berapa lama kemudian, pintu garasi terbuka dan sebuah mobil keluar. Mobil itu berhenti di sampingnya dan jendela sebelah kanan terbuka.
“Naiklah,” kata Jonathan dari dalam mobil.
Charlotte membuka pintu dan duduk di samping Jonathan. “Mobilmu?” tanyanya sambil memakai sabuk pengaman.
“Bukan. Ini milik pamanku,” jawab Jonathan datar. “Pegangan erat-erat. Aku akan membawamu ke sana dalam beberapa menit.”
“Beberapa menit apa maksudmu? Jarak ke Saint Paul bisa memakan waktu 2 jam.”
“Ya. Jadi kita harus cepat.” Jonathan tiba-tiba menginjak pedal gas kuat-kuat. Mobil itu melesat ke jalan raya dengan kecepatan tinggi.
Charlotte mencengkeram pinggiran kursi kuat-kuat. Jantungnya berkali-kali nyaris copot saat Jonathan hampir menerjang para penyeberang jalan, hampir berserempetan dengan sebuah taksi, bahkan hampir dicium truk. Truk itu benar-benar tinggal beberapa senti di sebelah kanan Charlotte.
“Jo! Kau gila!” teriak Charlotte susah payah dengan suara bergetar. “Kita bisa menarik perhatian polisi!”
Baru saja Charlotte menutup mulut, tiba-tiba terdengar bunyi sirine meraung-raung di belakang mobil mereka.
“Sialan!” umpat Jonathan sambil memukul setir. Tapi kakinya menginjak pedal gas makin dalam. Matanya menyipit melihat ke jalanan di depannya
“Jo! Berhenti!”
“Kau mau kita tertangkap polisi?!” bentak Jonathan.
Charlotte diam saja. Ya Tuhan, desahnya dalam hati. Apa salah dan dosaku hingga aku harus terjebak di mobil ini dalam kejaran polisi bersama Jonathan?
Mobil Jonathan dengan mobil polisi berkejar-kejaran di jalan. Jonathan terus menambah kecepatan, tidak sudi kalau sampai polisi-polisi itu berhasil menangkapnya. Dan sekarang, di belakangnya bukan hanya ada satu mobil polisi, tapi lima.
“Charlotte, kalau sampai kita mati sekarang, maafkan aku,” kata Jonathan tiba-tiba.
“Apa?!” Charlotte tersentak mendengar kalimat yang diucapkan Jonathan dengan nada enteng itu. “Bisa-bisanya kau mempertaruhkan nyawaku, bahkan nyawamu sendiri?!” teriaknya melengking. “Aku masih mau hidup, Jo! Aku belum sempat membuat orang tuaku bahagia. Aku belum sempat tahu siapa jodoh hidupku. Aku...”
“Hei, tenanglah.” Jonathan tertawa, tapi matanya masih lurus ke depan. Kecepatan mobil juga tak berkurang sedikitpun. “Aku hanya bercanda. Aku jamin, kita akan selamat.”
Charlotte menoleh cemas ke belakang. “Tapi kalaupun kita selamat, kita pasti akan ditangkap.”
“Itu tak akan terjadi,” sahut Jonathan. “Konsentrasi saja pada peganganmu. Kita akan segera terbebas.”
“Tapi polisi itu pasti sudah tau plat nomor mobil ini.”
“Ya,” desah Jonathan. “Biarlah aku hadapi amukan pamanku nanti. Yang penting sekarang kita harus menemui Rosalie.”
Charlotte tertegun. Jonathan bahkan siap menghadapi apapun demi bertemu Rosalie sekarang juga. Ditatapnya lelaki itu dengan pandangan bertanya. Jonathan, lelaki yang kabarnya tak mengenal kata cinta, kini tiba-tiba saja cinta setengah mati pada sahabatnya itu? Astaga! Kira-kira, apa yang sudah dilakukan Rosalie hingga Jonathan jadi seperti ini? Tapi Charlotte tak mungkin bertanya dalam keadaan seperti sekarang. Jadi ia kembali menatap ke depan sambil berpegangan pada kursi erat-erat.
Mobil itu benar-benar seperti melayang. Begitu cepat melesat. Sungguh! Semua pemandangan di luar mobil mengabur. Charlotte hanya memejamkan mata rapat-rapat sambil memanjatkan berbagai macam doa. Beberapa menit kemudian, Jonathan mendadak saja tertawa.
“Mau sampai kapan kau akan memejamkan mata?”
Charlotte sontak membuka mata dan mendapati mobil itu sudah melaju dengan kecepatan normal di jalanan yang sepi. Charlotte menengok ke belakang. “Dimana polisi-polisi itu?”
Jonathan mengangkat bahu. “Mungkin sekarang ini mereka sedang mengumpat-ngumpat karena tak berhasil mengejar kita.”
“Bagaimana bisa?”
“Yah, karena aku ahlinya.” Jonathan tersenyum lebar.
“Oh, tentu saja. Seharusnya aku tidak heran,” gerutu Charlotte. “Tapi, omong-omong, kita lewat mana ini?” tanyanya begitu menyadari mobil sedang melaju di jalanan sempit yang asing baginya.
“Ini jalan pintas. Tentu saja polisi-polisi itu tak akan bisa menemukanku di jalan raya lagi.”
Tak banyak yang mereka bicarakan selama perjalanan, sampai mobil berhenti di tempat parkir sebuah rumah sakit paling elite di Saint Paul. Keduanya bergegas masuk. Charlotte berlari lebih dulu, sementara Jonathan membuntutinya di belakang.
Charlotte tak tau perasaan Jonathan saat ini. Begitu gelisah, panik, cemas, tapi juga senang, karena setelah seminggu lebih tak melihat Rosalie, sekarang ia akan melihat gadis itu lagi, walau kondisi Rosalie mungkin tak seperti yang diharapkannya. Charlotte tiba-tiba menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu kamar.
“Mm, Charlotte! Tunggu!” Jonathan menahannya sebelum gadis itu membuka pintu.
“Ada apa?”
“Aku tak tau...” Jonathan menggeleng. “Apa aku boleh masuk? Maksudku, mungkin saja aku salah satu orang yang akan terkutuk jika masuk ke kamar ini.”
Charlotte menatapnya dengan kening berkerut. “Sepertinya tidak, Jo. Karena Rosalie saat ini sedang... koma.”



Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar