“APA?!”
Jonathan tersentak. Mendadak ia merasakan suatu hantaman keras di dalam
hatinya, yang belum pernah dirasakannya sebelum ini. “Kri... tis?” desisnya.
“Ya. Aku...”
“Kita
kesana!” putus Jonathan sambil menarik tangan Charlotte.
“Tapi,
Jo.. aku belum izin kepada guru piket.”
“Kau
lebih mementingkan itu daripada sahabatmu sendiri?”
Charlotte
tak menjawab. Apalagi cekalan Jonathan di pergelangan tangan kirinya makin
kuat. Entah Jonathan akan membawanya kemana, yang pasti mereka keluar dari
gerbang sekolah, lalu menelusuri jalan dengan langkah super cepat dan berhenti
di salah satu rumah. Tanpa berkata-kata, Jonathan melepaskan cekalannya dan
masuk ke dalam rumah. Charlotte tak tau harus berbuat apa, jadi dia hanya
berdiri diam di depan pagar rumah itu.
Tak
berapa lama kemudian, pintu garasi terbuka dan sebuah mobil keluar. Mobil itu
berhenti di sampingnya dan jendela sebelah kanan terbuka.
“Naiklah,”
kata Jonathan dari dalam mobil.
Charlotte
membuka pintu dan duduk di samping Jonathan. “Mobilmu?” tanyanya sambil memakai
sabuk pengaman.
“Bukan.
Ini milik pamanku,” jawab Jonathan datar. “Pegangan erat-erat. Aku akan
membawamu ke sana dalam beberapa menit.”
“Beberapa
menit apa maksudmu? Jarak ke Saint Paul bisa memakan waktu 2 jam.”
“Ya.
Jadi kita harus cepat.” Jonathan tiba-tiba menginjak pedal gas kuat-kuat. Mobil
itu melesat ke jalan raya dengan kecepatan tinggi.
Charlotte
mencengkeram pinggiran kursi kuat-kuat. Jantungnya berkali-kali nyaris copot
saat Jonathan hampir menerjang para penyeberang jalan, hampir berserempetan
dengan sebuah taksi, bahkan hampir dicium truk. Truk itu benar-benar tinggal
beberapa senti di sebelah kanan Charlotte.
“Jo!
Kau gila!” teriak Charlotte susah payah dengan suara bergetar. “Kita bisa
menarik perhatian polisi!”
Baru
saja Charlotte menutup mulut, tiba-tiba terdengar bunyi sirine meraung-raung di
belakang mobil mereka.
“Sialan!”
umpat Jonathan sambil memukul setir. Tapi kakinya menginjak pedal gas makin
dalam. Matanya menyipit melihat ke jalanan di depannya
“Jo!
Berhenti!”
“Kau
mau kita tertangkap polisi?!” bentak Jonathan.
Charlotte
diam saja. Ya Tuhan, desahnya dalam
hati. Apa salah dan dosaku hingga aku
harus terjebak di mobil ini dalam kejaran polisi bersama Jonathan?
Mobil
Jonathan dengan mobil polisi berkejar-kejaran di jalan. Jonathan terus menambah
kecepatan, tidak sudi kalau sampai polisi-polisi itu berhasil menangkapnya. Dan
sekarang, di belakangnya bukan hanya ada satu mobil polisi, tapi lima.
“Charlotte,
kalau sampai kita mati sekarang, maafkan aku,” kata Jonathan tiba-tiba.
“Apa?!”
Charlotte tersentak mendengar kalimat yang diucapkan Jonathan dengan nada enteng
itu. “Bisa-bisanya kau mempertaruhkan nyawaku, bahkan nyawamu sendiri?!”
teriaknya melengking. “Aku masih mau hidup, Jo! Aku belum sempat membuat orang
tuaku bahagia. Aku belum sempat tahu siapa jodoh hidupku. Aku...”
“Hei,
tenanglah.” Jonathan tertawa, tapi matanya masih lurus ke depan. Kecepatan
mobil juga tak berkurang sedikitpun. “Aku hanya bercanda. Aku jamin, kita akan
selamat.”
Charlotte
menoleh cemas ke belakang. “Tapi kalaupun kita selamat, kita pasti akan
ditangkap.”
“Itu
tak akan terjadi,” sahut Jonathan. “Konsentrasi saja pada peganganmu. Kita akan
segera terbebas.”
“Tapi
polisi itu pasti sudah tau plat nomor mobil ini.”
“Ya,”
desah Jonathan. “Biarlah aku hadapi amukan pamanku nanti. Yang penting sekarang
kita harus menemui Rosalie.”
Charlotte
tertegun. Jonathan bahkan siap menghadapi apapun demi bertemu Rosalie sekarang
juga. Ditatapnya lelaki itu dengan pandangan bertanya. Jonathan, lelaki yang
kabarnya tak mengenal kata cinta, kini tiba-tiba saja cinta setengah mati pada sahabatnya
itu? Astaga! Kira-kira, apa yang sudah dilakukan Rosalie hingga Jonathan jadi
seperti ini? Tapi Charlotte tak mungkin bertanya dalam keadaan seperti sekarang.
Jadi ia kembali menatap ke depan sambil berpegangan pada kursi erat-erat.
Mobil
itu benar-benar seperti melayang. Begitu cepat melesat. Sungguh! Semua
pemandangan di luar mobil mengabur. Charlotte hanya memejamkan mata rapat-rapat
sambil memanjatkan berbagai macam doa. Beberapa menit kemudian, Jonathan mendadak saja
tertawa.
“Mau
sampai kapan kau akan memejamkan mata?”
Charlotte
sontak membuka mata dan mendapati mobil itu sudah melaju dengan kecepatan
normal di jalanan yang sepi. Charlotte menengok ke belakang. “Dimana
polisi-polisi itu?”
Jonathan
mengangkat bahu. “Mungkin sekarang ini mereka sedang mengumpat-ngumpat karena
tak berhasil mengejar kita.”
“Bagaimana
bisa?”
“Yah,
karena aku ahlinya.” Jonathan tersenyum lebar.
“Oh,
tentu saja. Seharusnya aku tidak heran,” gerutu Charlotte. “Tapi, omong-omong,
kita lewat mana ini?” tanyanya begitu menyadari mobil sedang melaju di jalanan
sempit yang asing baginya.
“Ini
jalan pintas. Tentu saja polisi-polisi itu tak akan bisa menemukanku di jalan
raya lagi.”
Tak
banyak yang mereka bicarakan selama perjalanan, sampai mobil berhenti di tempat
parkir sebuah rumah sakit paling elite
di Saint Paul. Keduanya bergegas masuk. Charlotte berlari lebih dulu, sementara
Jonathan membuntutinya di belakang.
Charlotte
tak tau perasaan Jonathan saat ini. Begitu gelisah, panik, cemas, tapi juga
senang, karena setelah seminggu lebih tak melihat Rosalie, sekarang ia akan
melihat gadis itu lagi, walau kondisi Rosalie mungkin tak seperti yang
diharapkannya. Charlotte tiba-tiba menghentikan langkahnya di depan sebuah
pintu kamar.
“Mm,
Charlotte! Tunggu!” Jonathan menahannya sebelum gadis itu membuka pintu.
“Ada
apa?”
“Aku
tak tau...” Jonathan menggeleng. “Apa aku boleh masuk? Maksudku, mungkin saja
aku salah satu orang yang akan terkutuk jika masuk ke kamar ini.”
Charlotte
menatapnya dengan kening berkerut. “Sepertinya tidak, Jo. Karena Rosalie saat
ini sedang... koma.”
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar