Untunglah
dugaan Charlotte tadi tidak benar. Polisi-polisi itu belum tahu plat nomor
mobil ini, karena ketika Jonathan mengembalikannya ke rumah pamannya setelah
mengantar Charlotte pulang, tak ada protes sedikit pun. Jonathan bergegas
pulang ke rumahnya sendiri untuk mengambil beberapa pakaian.
“Mau
kemana kau?” Tiba-tiba ibunya sudah berdiri di belakang Jonathan yang sedang
memasukkan baju ke dalam tas.
“Aku
ada urusan beberapa hari ini di luar kota.”
“Di
luar kota? Beberapa hari?” Ibunya membelalak. “Jonathan, jangan bilang ini
akibat dari ulah nakalmu lagi.”
“Oh,
Mom,” dengus Jonathan jengkel. “Jangan menuduhku keterlaluan.” Jonathan berdiri
sambil menyandang ransel ke bahunya, lalu melangkah menuruni tangga
meninggalkan ibunya. Ia terpaksa memakai seluruh uang simpanannya.
Beberapa
jam kemudian, Jonathan telah tiba kembali di kamar Rosalie.
“Hei,”
sapanya manis dan langsung duduk di sebelah tempat tidur. “Lihat. Seperti
janjiku, aku akan menemanimu di sini.” Ia membelai rambut Rosalie.
“Rose, aku sungguh merindukanmu. Kau ingat
kapan terakhir kali kita bicara? Sudah sepuluh hari sejak hari itu, Rose. Dan
selama itu pula kehidupanku yang kacau kian kacau. Aneh. Kenapa sekarang
hidupku terasa kurang kalau kau tak ada? Padahal dulu, mengenalmu pun tidak.
Ah, jalan hidup ini memang tak bisa ditebak.”
Tentu
saja Rosalie tak menjawab. Gadis itu tertidur diam seperti patung.
“Rose, plis.” Jonathan menarik nafas panjang.
Entah kenapa dadanya terasa sakit. Bernafas sepertinya menjadi hal yang menyiksa
sekarang. “Aku mohon, dengan segenap jiwa dan seluruh hatiku, jawablah aku.
Berikan aku sedikit respon. Bergerak sedikitpun tak apa.” Jonathan benar-benar
mengemis dengan nada lirih. Tapi tetap saja tak berhasil. “Kemana kau? Tolong,
pulanglah kepadaku.” Jonathan meraih tangan Rosalie dan menciumnya. “Aku
membutuhkanmu.”
Suasana
benar-benar hening saat itu. Hanya ada suara mesin pendeteksi detak jantung,
yang menandakan gadis di hadapannya ini masih hidup.
“Jadi
ini alasannya?” tanya Jonathan tiba-tiba. “Ini alasannya kau melarangku jatuh
cinta padamu? Karena... kau sakit?” Ia menghela nafas berat. “Apapun yang
terjadi, aku akan selalu mencintaimu, Rose.”
***
Pagi
harinya, seorang dokter dan beberapa perawat wanita masuk ke kamar itu.
“Anda
keluarga pasien?”
“Ya,”
jawab Jonathan tanpa pikir panjang.
“Ada
perubahan pada Rosalie tadi malam? Atau sedikit gerakan tangan, mata, atau
apa?”
Jonathan
memang tak tidur semalaman. Ia menjaga Rosalie dan mengamati gadis itu
sepanjang malam. Tapi keadannya tak berubah sedikitpun. Tak ada gerakan apapun
seperti harapannya. Jonathan menggeleng lesu, kemudian menyingkir sedikit saat
dokter itu memeriksa keadaan Rosalie. Jonathan melihat mereka melepaskan alat
bantu pernafasan yang sejak kemarin dipakai Rosalie.
“Masih
stabil. Organ-organ vitalnya masih berfungsi dengan baik. Dia sudah tak butuh
alat bantu pernafasan ini,” kata dokter itu kemudian. “Keadaannya sepertinya
makin membaik. Kalau ada perubahan sedikit saja, langsung hubungi saya.”
Jonathan
mengangguk. Dokter itu lalu melangkah keluar ruangan.
“Maaf,
sebaiknya Anda keluar dulu. Kami akan membersihkan tubuh pasien,” kata salah
satu perawat.
“Oh,
maaf.” Jonathan berjalan keluar, lalu duduk di kursi depan kamar. Ia mengusap
wajah dengan kedua tangan. Frustasi. Beberapa menit kemudian, karena
perawat-perawat itu tak kunjung keluar, Jonathan memutuskan untuk mencari
sarapan. Setelah mendapat roti, ia bergegas kembali ke kamar Rosalie.
Perawat-perawat
tadi telah pergi. Kini ruangan kembali sunyi. Jonathan baru akan membuka
bungkus rotinya ketika tiba-tiba matanya menangkap sekelebat gerakan pada
tangan Rosalie.
“Rose?”
panggilnya penuh harap. Roti tadi ia letakkan sembarangan di meja samping
tempat tidur. “Rosalie?”
Tak
ada apapun yang terjadi. Setelah menuggu hingga dua menit penuh dan Rosalie tak
bergerak lagi, Jonathan mendesah. Mungkin
salah lihat.
Digenggamnya
tangan Rosalie. Dan Jonathan tersentak ketika tangan dalam genggamannya
bergerak. Sangat pelan. Tapi Jonathan benar-benar bisa merasakannya. Seperti
tersengat listrik rasanya saat pergerakan itu ia rasakan langsung.
“Rose?
Bangunlah,” desisnya. Cukup lama hingga kelopak mata Rosalie yang terpejam
mulai bergerak-gerak, lalu membuka sedikit. Jonathan merasa beban yang begitu
berat di atas tubuhnya mendadak terangkat. Ia menghembuskan nafas yang sedari
tadi tanpa sadar ditahannya.
“Rose?
Ini aku,” bisiknya makin lirih.
Pelan
tapi pasti, mata Rosalie membelalak. Bibirnya terbuka dan bergerak, tapi tak
ada suara yang keluar dari sana, mungkin karena pita suaranya yang tak
digunakannya selama beberapa hari kemarin. Jonathan mendekatkan tubuhnya.
Wajahnya berada tepat di atas wajah Rosalie.
“Kau
tau aku sangat merindukanmu, Rose?” katanya lirih. Dan tak bisa dicegahnya, air
mata tiba-tiba keluar dan menetes jatuh ke wajah Rosalie. Kemudian, ia peluk
tubuh itu.
“Jo..”
Hanya satu suku kata itu yang Jonathan dengar dari mulut Rosalie. Begitu lirih
dan serak.
“Aku
akan di sini, Rose.” Jonathan kemudian melepaskan pelukannya. “Dan kau tak akan
bisa melarangku.” Ia tertawa kecil sambil mengusap rambut Rosalie. “Oh ya, aku
harus segera memanggil Dokter.”
“Bagaimana
perasaanmu?” tanya dokter yang masih muda itu setelah datang ke kamar.
“Baik,”
jawab Rosalie lemah, berusaha melengkungkan bibirnya yang pucat membentuk
senyum.
“Kepalamu
sakit? Atau ada yang tidak beres?” Dokter tadi memeriksa Rosalie dengan
stetoskopnya.
“Kepalaku
masih sedikit pusing. Tapi itu mungkin karena aku tidur terlalu lama.” Matanya
melirik sedikit ke Jonathan.
Beberapa
menit kemudian, pemeriksaan itu selesai. Dokter bilang, Rosalie sudah berhasil
melalui masa kritisnya, walau itu sangat mengejutkan karena hanya berlangsung dalam
waktu yang sangat singkat.
“Hei,”
sapa Jonathan setelah dokter keluar. Ia duduk di samping Rosalie dan menatap
gadis itu sambil tersenyum. Tapi yang disapa malah membuang muka ke arah
jendela.
“Rose,
masih marahkah kau?” tanya Jonathan hati-hati, lalu mendesah. “Apa yang harus
kulakukan agar kau tak marah lagi? Berhenti mencintaimu? Itu hal yang mustahil.”
Rosalie
tak menjawab, jadi Jonathan meneruskan. “Rose, kau sakit apa?”
“Bukan apa-apa,” sahut
Rosalie.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar