Jumat, 15 Maret 2013

Just for a Moment (11)




Untunglah dugaan Charlotte tadi tidak benar. Polisi-polisi itu belum tahu plat nomor mobil ini, karena ketika Jonathan mengembalikannya ke rumah pamannya setelah mengantar Charlotte pulang, tak ada protes sedikit pun. Jonathan bergegas pulang ke rumahnya sendiri untuk mengambil beberapa pakaian.
“Mau kemana kau?” Tiba-tiba ibunya sudah berdiri di belakang Jonathan yang sedang memasukkan baju ke dalam tas.
“Aku ada urusan beberapa hari ini di luar kota.”
“Di luar kota? Beberapa hari?” Ibunya membelalak. “Jonathan, jangan bilang ini akibat dari ulah nakalmu lagi.”
“Oh, Mom,” dengus Jonathan jengkel. “Jangan menuduhku keterlaluan.” Jonathan berdiri sambil menyandang ransel ke bahunya, lalu melangkah menuruni tangga meninggalkan ibunya. Ia terpaksa memakai seluruh uang simpanannya.
Beberapa jam kemudian, Jonathan telah tiba kembali di kamar Rosalie.
“Hei,” sapanya manis dan langsung duduk di sebelah tempat tidur. “Lihat. Seperti janjiku, aku akan menemanimu di sini.” Ia membelai rambut Rosalie.
 “Rose, aku sungguh merindukanmu. Kau ingat kapan terakhir kali kita bicara? Sudah sepuluh hari sejak hari itu, Rose. Dan selama itu pula kehidupanku yang kacau kian kacau. Aneh. Kenapa sekarang hidupku terasa kurang kalau kau tak ada? Padahal dulu, mengenalmu pun tidak. Ah, jalan hidup ini memang tak bisa ditebak.”
Tentu saja Rosalie tak menjawab. Gadis itu tertidur diam seperti patung.
 “Rose, plis.” Jonathan menarik nafas panjang. Entah kenapa dadanya terasa sakit. Bernafas sepertinya menjadi hal yang menyiksa sekarang. “Aku mohon, dengan segenap jiwa dan seluruh hatiku, jawablah aku. Berikan aku sedikit respon. Bergerak sedikitpun tak apa.” Jonathan benar-benar mengemis dengan nada lirih. Tapi tetap saja tak berhasil. “Kemana kau? Tolong, pulanglah kepadaku.” Jonathan meraih tangan Rosalie dan menciumnya. “Aku membutuhkanmu.”
Suasana benar-benar hening saat itu. Hanya ada suara mesin pendeteksi detak jantung, yang menandakan gadis di hadapannya ini masih hidup.
“Jadi ini alasannya?” tanya Jonathan tiba-tiba. “Ini alasannya kau melarangku jatuh cinta padamu? Karena... kau sakit?” Ia menghela nafas berat. “Apapun yang terjadi, aku akan selalu mencintaimu, Rose.”

***

Pagi harinya, seorang dokter dan beberapa perawat wanita masuk ke kamar itu.
“Anda keluarga pasien?”
“Ya,” jawab Jonathan tanpa pikir panjang.
“Ada perubahan pada Rosalie tadi malam? Atau sedikit gerakan tangan, mata, atau apa?”
Jonathan memang tak tidur semalaman. Ia menjaga Rosalie dan mengamati gadis itu sepanjang malam. Tapi keadannya tak berubah sedikitpun. Tak ada gerakan apapun seperti harapannya. Jonathan menggeleng lesu, kemudian menyingkir sedikit saat dokter itu memeriksa keadaan Rosalie. Jonathan melihat mereka melepaskan alat bantu pernafasan yang sejak kemarin dipakai Rosalie.
“Masih stabil. Organ-organ vitalnya masih berfungsi dengan baik. Dia sudah tak butuh alat bantu pernafasan ini,” kata dokter itu kemudian. “Keadaannya sepertinya makin membaik. Kalau ada perubahan sedikit saja, langsung hubungi saya.”
Jonathan mengangguk. Dokter itu lalu melangkah keluar ruangan.
“Maaf, sebaiknya Anda keluar dulu. Kami akan membersihkan tubuh pasien,” kata salah satu perawat.
“Oh, maaf.” Jonathan berjalan keluar, lalu duduk di kursi depan kamar. Ia mengusap wajah dengan kedua tangan. Frustasi. Beberapa menit kemudian, karena perawat-perawat itu tak kunjung keluar, Jonathan memutuskan untuk mencari sarapan. Setelah mendapat roti, ia bergegas kembali ke kamar Rosalie.
Perawat-perawat tadi telah pergi. Kini ruangan kembali sunyi. Jonathan baru akan membuka bungkus rotinya ketika tiba-tiba matanya menangkap sekelebat gerakan pada tangan Rosalie.
“Rose?” panggilnya penuh harap. Roti tadi ia letakkan sembarangan di meja samping tempat tidur. “Rosalie?”
Tak ada apapun yang terjadi. Setelah menuggu hingga dua menit penuh dan Rosalie tak bergerak lagi, Jonathan mendesah. Mungkin salah lihat.
Digenggamnya tangan Rosalie. Dan Jonathan tersentak ketika tangan dalam genggamannya bergerak. Sangat pelan. Tapi Jonathan benar-benar bisa merasakannya. Seperti tersengat listrik rasanya saat pergerakan itu ia rasakan langsung.
“Rose? Bangunlah,” desisnya. Cukup lama hingga kelopak mata Rosalie yang terpejam mulai bergerak-gerak, lalu membuka sedikit. Jonathan merasa beban yang begitu berat di atas tubuhnya mendadak terangkat. Ia menghembuskan nafas yang sedari tadi tanpa sadar ditahannya.
“Rose? Ini aku,” bisiknya makin lirih.
Pelan tapi pasti, mata Rosalie membelalak. Bibirnya terbuka dan bergerak, tapi tak ada suara yang keluar dari sana, mungkin karena pita suaranya yang tak digunakannya selama beberapa hari kemarin. Jonathan mendekatkan tubuhnya. Wajahnya berada tepat di atas wajah Rosalie.
“Kau tau aku sangat merindukanmu, Rose?” katanya lirih. Dan tak bisa dicegahnya, air mata tiba-tiba keluar dan menetes jatuh ke wajah Rosalie. Kemudian, ia peluk tubuh itu.
“Jo..” Hanya satu suku kata itu yang Jonathan dengar dari mulut Rosalie. Begitu lirih dan serak.
“Aku akan di sini, Rose.” Jonathan kemudian melepaskan pelukannya. “Dan kau tak akan bisa melarangku.” Ia tertawa kecil sambil mengusap rambut Rosalie. “Oh ya, aku harus segera memanggil Dokter.”
“Bagaimana perasaanmu?” tanya dokter yang masih muda itu setelah datang ke kamar.
“Baik,” jawab Rosalie lemah, berusaha melengkungkan bibirnya yang pucat membentuk senyum.
“Kepalamu sakit? Atau ada yang tidak beres?” Dokter tadi memeriksa Rosalie dengan stetoskopnya.
“Kepalaku masih sedikit pusing. Tapi itu mungkin karena aku tidur terlalu lama.” Matanya melirik sedikit ke Jonathan.
Beberapa menit kemudian, pemeriksaan itu selesai. Dokter bilang, Rosalie sudah berhasil melalui masa kritisnya, walau itu sangat mengejutkan karena hanya berlangsung dalam waktu yang sangat singkat.
“Hei,” sapa Jonathan setelah dokter keluar. Ia duduk di samping Rosalie dan menatap gadis itu sambil tersenyum. Tapi yang disapa malah membuang muka ke arah jendela.
“Rose, masih marahkah kau?” tanya Jonathan hati-hati, lalu mendesah. “Apa yang harus kulakukan agar kau tak marah lagi? Berhenti mencintaimu? Itu hal yang mustahil.”
Rosalie tak menjawab, jadi Jonathan meneruskan. “Rose, kau sakit apa?”  
“Bukan apa-apa,” sahut Rosalie.



Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar