Sabtu, 16 Maret 2013

Just for a Moment (12)



“Bukan apa-apa,” sahut Rosalie. Keduanya terdiam, sampai Rosalie tiba-tiba berbicara pelan, “Jo, bisa bawa aku keluar?”
Jonathan mengangkat alis. “Keluar kemana?”
Tangan Rosalie terangkat dan menunjuk ke jendela.
“Tapi, Rose. Cuaca di luar sangat dingin, sementara kau...”
“Aku tak apa-apa,” potong Rosalie. “Kau tau aku sangat suka musim gugur. Dan musim gugur tahun ini sebentar lagi akan habis. Aku tak mau melewatkannya hanya dengan tidur-tiduran di sini.”
Jonathan ragu sejenak, tapi kemudian mengangguk. “Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Kau punya syal dan jaket, kan?”
“Ada di dalam lemari itu. Aku ingat Charlotte membawakannya beberapa hari yang lalu.”
Jonathan beranjak ke lemari yang ditunjuk dan mengeluarkan sebuah syal beludru warna madu, jaket tebal, sarung tangan, juga kaus kaki. Dibantunya Rosalie duduk dan memakai syalnya.
“Jadi, kau tak marah lagi padaku, kan?” tanya Jonathan setengah memohon.
“Aku tak punya alasan untuk marah kepadamu,” gumam Rosalie.
Jonathan tersenyum lebar. “Terima kasih.” Ia lalu duduk membelakangi Rosalie. “Naiklah ke punggungku.”
“Maksudmu, kau akan menggendongku?”
“Tentu saja.”
“Bukankah lebih aman kalau pakai kursi roda?”
“Lebih aman di gendonganku. Percayalah.”
Akhirnya, Rosalie melingkarkan lengannya di leher Jonathan. Jonathan berdiri dan menggendong Rosalie keluar. Mungkin keduanya menjadi pemandangan aneh, karena di sepanjang koridor rumah sakit, banyak orang diam-diam melirik ke arah mereka. Tapi Rosalie dan Jonathan sama sekali tak keberatan. Ketika mereka tiba di luar rumah sakit, Jonathan berhenti sejenak. Membiarkan dirinya dan Rosalie menghirup sejuknya udara musim gugur pagi ini.
“Bawa aku ke taman, Jo.”
Jonathan mengangguk. Ia menurunkan Rosalie di salah satu bangku taman di samping rumah sakit itu. Hari masih sangat pagi. Baru pukul 7. Belum ada orang di taman itu selain mereka. Pelataran taman dipenuhi daun kering, yang akan menimbulkan bunyi gemerisik jika kau berjalan di atasnya. Pohon-pohon di sana nyaris gundul semua.
“Sudah berapa lama aku tertidur?” tanya Rosalie tiba-tiba.
“Hm?” Jonathan menoleh, lalu menggeleng. “Aku tak tau. Charlotte baru memberitahuku kemarin kalau kau kritis. Mungkin kau hanya koma satu atau dua hari.”
“Mudah-mudahan begitu.” Rosalie mengangguk, lalu menghela nafas. Wajahnya yang pucat terlihat sangat lelah dan sedih. “Jo, aku mau jujur.”
“Bicara saja.”
“Sebenarnya aku tak mau bangun,” kata Rosalie, membuat Jonathan terbalalak. “Jangan menyela! Biarkan aku cerita dulu!” Rosalie menempelkan jari telunjuknya ke bibir Jonathan yang sudah terbuka untuk bicara.
“Charlotte pasti sudah memberitahumu soal orang tuaku.” Rosalie memulai. “Saat aku koma, aku bertemu kedua orang tuaku. Sungguh. Mereka sama sekali tak berubah. Aku sangat merindukan mereka. Aku seperti kembali ke masa kecilku. Kedua orang tuaku ada di sampingku, bisa kapan saja aku peluk. Dan juga, aku belum sakit seperti ini. Kehidupanku sangat sempurna. Segalanya terasa indah. Aku bisa tertawa tanpa beban di sana. Aku tak harus memalsukan senyum bahagiaku. Karena aku benar-benar bahagia di sana. Itu yang membuatku tak mau bangun.”
Rosalie menghentikan kata-katanya. Ia memejamkan mata dan menarik nafas panjang.
“Lalu?” tanya Jonathan karena Rosalie tak melanjutkan. “Apa yang membuatmu berubah fikiran?”
Rosalie membuka mata. “Tiba-tiba saja aku dihadapkan dengan tubuhku sendiri yang terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit itu. Dan, aku mendengar suaramu. Memanggil namaku.” Diam lagi sesaat. “Saat itu aku benar-benar panik, Jo. Aku tak tau apa yang harus kulakukan. Aku tak tau harus bagaimana. Sampai tiba-tiba kau mengucapkan kalimat itu.”
“Kalimat apa?” tanya Jonathan bingung.
Apapun yang terjadi, aku akan selalu mencintaimu, Rose.”
Jonathan tersentak ketika Rosalie menirukan ucapannya tadi malam.
“Dari sekian banyak kata yang kau ucapkan, sepertinya hanya itu yang bisa aku dengar. Setelah itu aku menyadari bahwa... Mm, entahlah. Aku sendiri tak tau apa yang sebenarnya kusadari.”
“Jadi, kau kembali karena... aku?” desis Jonathan tak percaya.
“Bisa dibilang begitu.” Rosalie mengangkat bahu. “Sejak dulu, sejak aku memiliki penyakit ini, aku tak mau jatuh cinta. Atau dicintai. Aku tak mau suatu saat nanti orang itu akan menyesal karena telah jatuh cinta kepadaku.”
“Sst, jangan larang dirimu seperti itu. Juga perasaanmu. Kau berhak mencintai dan dicintai. Bukankah begitu takdir setiap orang?” Jonathan menatap Rosalie yang duduk di sebelahnya dengan lembut. “Dan yang harus kau ketahui adalah, aku tak pernah menyesal karena telah mencintaimu. Percayalah, Rose. Pegang kalimatku itu.”
“Sejak kapan kau menjadi pakar cinta, Jo?”
Bibir Jonathan yang merengut membuat Rosalie tertawa kecil.
“Ehm, Rose?”
“Ya?”
“Teruslah tertawa. Aku suka melihat tawamu. Dan, hei,” seru Jonathan begitu menyadari sesuatu. “Pasti ada alasan khusus kan kenapa kau memutuskan kembali untukku?”
“Sebenarnya, iya.”
“Apa itu?”
“Oh, apakah aku harus mengatakannya?”
“Ya. Memang harus!”
“Aku tak akan mengatakannya.”
“Ooh, ayolah. Apakah aku harus memohon?”
“Kau memohon pun aku tak akan bicara.”
“Oh ya. Ingatkah kau aku masih punya hutang satu ciuman untukmu?”
“Hah? Ciuman apa?”
“Soal taruhan itu. Aku kalah. Kau ingat?”
“Kau bersungguh-sungguh soal taruhan itu?”
“Yap.”
“Dan kau bersungguh-sungguh akan menciumku?”
“Tentu saja.”
“Tidak perlu. Lupakan saja soal taruhan itu.” Rosalie menunduk malu. Wajahnya merona.
“Hei, kau sendiri yang menyuruhku untuk belajar cara mencium seseorang dengan baik dan benar,” protes Jonathan.
“Tapi... belum pernah ada seseorang yang menciumku sebelum ini. Selain orang tuaku tentu saja.”
“Berarti, aku akan menjadi orang lain yang pertama yang menciummu.”
“Tapi aku...”
“Pejamkan saja matamu, Rose,” bisik Jonathan yang tiba-tiba sudah berlutut di hadapan Rosalie. Wajahnya sejajar dengan wajah Rosalie yang duduk di depannya.
Rosalie memejamkan mata ragu-ragu. Dengan jantung berdebar keras, Jonathan mendekatkan wajahnya. Sangat perlahan dan hati-hati, kemudian ia menyentuhkan bibirnya ke bibir Rosalie, dengan mata terpejam juga. Sungguh. Ia sudah tak menyadari apa-apa lagi di sekelilingnya.
“Jo?” panggil Rosalie tiba-tiba.
Jonathan tersentak. Seketika ia membuka mata dan mendapati dirinya duduk di sebelah Rosalie. Bagaimana bisa ini? Bukankah tadi dia...
“Bagaimana? Kau menikmatinya?” tanya Rosalie sambil tersenyum. Geli, jahil, dan misterius.
“Tapi, bagaimana bisa aku... Ooh, kau menghipnotisku, Rose?!”
Rosalie tergelak. “Memang. Jadi, kau sudah menciumku, bukan?”
“Kau memang nakal,” gerutu Jonathan. “Baiklah. Kita masuk sekarang. Aku tak ingin kita membeku di sini. Anginnya semakin dingin. Oh, tentu saja. Ini sudah hampir bulan Desember. Kuharap salju turun saat Natal besok.”
“Kau menyukai salju?”
“Tidak juga. Tapi aku lebih suka menyaksikan Natal dan Tahun Baru berhias salju. Naiklah.” Jonathan berjongkok di depan Rosalie.
“Tunggu sebentar. Aku mau melatih otot kakiku yang masih sangat lemas. Bantu aku berdiri, Jo.”
Jonathan menarik Rosalie hingga berdiri. Butuh waktu beberapa saat hingga Rosalie berhasil menyeimbangkan tubuh di atas kedua kakinya. “Oke. Aku bisa. Sekarang, mundurlah. Aku akan berjalan.”
Jonathan mundur beberapa langkah. Tangannya terulur maju dan agak terentang, siap menangkap Rosalie kalau gadis itu terjatuh. Benar saja. Baru tiga langkah, kaki Rosalie tersandung. Dengan sigap, Jonathan menangkapnya hingga Rosalie jatuh ke pelukannya, bukan ke atas daun-daun kering di tanah.
“Terima kasih.” Rosalie mendongak menatap Jonathan.
Dan tanpa berfikiran lebih jauh, Jonathan mencium bibir gadis itu.

***

Rosalie tak bisa berbuat apa-apa ketika mendadak Jonathan menciumnya. Ia tak bisa menolak atau pun membalas ciuman itu. Tubuhnya lemas, seperti tersetrum listrik ribuan watt. Untung saja Jonathan memeluknya erat-erat, kalau tidak, mungkin tubuhnya sudah meluruh jatuh.
Ciuman itu bertahan selama lima detik. Hanya sesaat. Sesaat yang begitu mengena. Sesaat yang mengaburkan segala-galanya di sekeliling mereka. Sesaat yang kalau mau diakui, tak ingin mereka akhiri. Hingga Jonathan lalu menarik mundur kepalanya. Rosalie membuang muka ke samping. Wajahnya yang tadi pucat kini sudah merah padam.
“Maaf,” kata Jonathan lirih.
“Kau... kau kurang ajar,” sahut Rosalie. Kepalanya makin menunduk.
“Maafkan aku,” kata Jonathan lagi, penuh penyesalan, tapi bibirnya tersenyum.
“Dimaafkan. Sekarang, bawa aku masuk.”



Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar