“Bukan
apa-apa,” sahut Rosalie. Keduanya terdiam, sampai Rosalie tiba-tiba berbicara
pelan, “Jo, bisa bawa aku keluar?”
Jonathan
mengangkat alis. “Keluar kemana?”
Tangan
Rosalie terangkat dan menunjuk ke jendela.
“Tapi,
Rose. Cuaca di luar sangat dingin, sementara kau...”
“Aku
tak apa-apa,” potong Rosalie. “Kau tau aku sangat suka musim gugur. Dan musim
gugur tahun ini sebentar lagi akan habis. Aku tak mau melewatkannya hanya
dengan tidur-tiduran di sini.”
Jonathan
ragu sejenak, tapi kemudian mengangguk. “Baiklah, kalau itu yang kau inginkan.
Kau punya syal dan jaket, kan?”
“Ada
di dalam lemari itu. Aku ingat Charlotte membawakannya beberapa hari yang lalu.”
Jonathan
beranjak ke lemari yang ditunjuk dan mengeluarkan sebuah syal beludru warna
madu, jaket tebal, sarung tangan, juga kaus kaki. Dibantunya Rosalie duduk dan memakai
syalnya.
“Jadi,
kau tak marah lagi padaku, kan?” tanya Jonathan setengah memohon.
“Aku
tak punya alasan untuk marah kepadamu,” gumam Rosalie.
Jonathan
tersenyum lebar. “Terima kasih.” Ia lalu duduk membelakangi Rosalie. “Naiklah
ke punggungku.”
“Maksudmu,
kau akan menggendongku?”
“Tentu
saja.”
“Bukankah
lebih aman kalau pakai kursi roda?”
“Lebih
aman di gendonganku. Percayalah.”
Akhirnya,
Rosalie melingkarkan lengannya di leher Jonathan. Jonathan berdiri dan
menggendong Rosalie keluar. Mungkin keduanya menjadi pemandangan aneh, karena di
sepanjang koridor rumah sakit, banyak orang diam-diam melirik ke arah mereka.
Tapi Rosalie dan Jonathan sama sekali tak keberatan. Ketika mereka tiba di luar
rumah sakit, Jonathan berhenti sejenak. Membiarkan dirinya dan Rosalie
menghirup sejuknya udara musim gugur pagi ini.
“Bawa
aku ke taman, Jo.”
Jonathan
mengangguk. Ia menurunkan Rosalie di salah satu bangku taman di samping rumah
sakit itu. Hari masih sangat pagi. Baru pukul 7. Belum ada orang di taman itu
selain mereka. Pelataran taman dipenuhi daun kering, yang akan menimbulkan
bunyi gemerisik jika kau berjalan di atasnya. Pohon-pohon di sana nyaris gundul
semua.
“Sudah
berapa lama aku tertidur?” tanya Rosalie tiba-tiba.
“Hm?”
Jonathan menoleh, lalu menggeleng. “Aku tak tau. Charlotte baru memberitahuku
kemarin kalau kau kritis. Mungkin kau hanya koma satu atau dua hari.”
“Mudah-mudahan
begitu.” Rosalie mengangguk, lalu menghela nafas. Wajahnya yang pucat terlihat
sangat lelah dan sedih. “Jo, aku mau jujur.”
“Bicara
saja.”
“Sebenarnya
aku tak mau bangun,” kata Rosalie, membuat Jonathan terbalalak. “Jangan
menyela! Biarkan aku cerita dulu!” Rosalie menempelkan jari telunjuknya ke
bibir Jonathan yang sudah terbuka untuk bicara.
“Charlotte
pasti sudah memberitahumu soal orang tuaku.” Rosalie memulai. “Saat aku koma,
aku bertemu kedua orang tuaku. Sungguh. Mereka sama sekali tak berubah. Aku
sangat merindukan mereka. Aku seperti kembali ke masa kecilku. Kedua orang
tuaku ada di sampingku, bisa kapan saja aku peluk. Dan juga, aku belum sakit
seperti ini. Kehidupanku sangat sempurna. Segalanya terasa indah. Aku bisa
tertawa tanpa beban di sana. Aku tak harus memalsukan senyum bahagiaku. Karena
aku benar-benar bahagia di sana. Itu yang membuatku tak mau bangun.”
Rosalie
menghentikan kata-katanya. Ia memejamkan mata dan menarik nafas panjang.
“Lalu?”
tanya Jonathan karena Rosalie tak melanjutkan. “Apa yang membuatmu berubah
fikiran?”
Rosalie
membuka mata. “Tiba-tiba saja aku dihadapkan dengan tubuhku sendiri yang
terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit itu. Dan, aku mendengar suaramu.
Memanggil namaku.” Diam lagi sesaat. “Saat itu aku benar-benar panik, Jo. Aku
tak tau apa yang harus kulakukan. Aku tak tau harus bagaimana. Sampai tiba-tiba
kau mengucapkan kalimat itu.”
“Kalimat
apa?” tanya Jonathan bingung.
“Apapun yang terjadi, aku akan selalu
mencintaimu, Rose.”
Jonathan
tersentak ketika Rosalie menirukan ucapannya tadi malam.
“Dari
sekian banyak kata yang kau ucapkan, sepertinya hanya itu yang bisa aku dengar.
Setelah itu aku menyadari bahwa... Mm, entahlah. Aku sendiri tak tau apa yang
sebenarnya kusadari.”
“Jadi,
kau kembali karena... aku?” desis Jonathan tak percaya.
“Bisa
dibilang begitu.” Rosalie mengangkat bahu. “Sejak dulu, sejak aku memiliki
penyakit ini, aku tak mau jatuh cinta. Atau dicintai. Aku tak mau suatu saat
nanti orang itu akan menyesal karena telah jatuh cinta kepadaku.”
“Sst,
jangan larang dirimu seperti itu. Juga perasaanmu. Kau berhak mencintai dan
dicintai. Bukankah begitu takdir setiap orang?” Jonathan menatap Rosalie yang
duduk di sebelahnya dengan lembut. “Dan yang harus kau ketahui adalah, aku tak
pernah menyesal karena telah mencintaimu. Percayalah, Rose. Pegang kalimatku
itu.”
“Sejak
kapan kau menjadi pakar cinta, Jo?”
Bibir
Jonathan yang merengut membuat Rosalie tertawa kecil.
“Ehm,
Rose?”
“Ya?”
“Teruslah
tertawa. Aku suka melihat tawamu. Dan, hei,” seru Jonathan begitu menyadari
sesuatu. “Pasti ada alasan khusus kan kenapa kau memutuskan kembali untukku?”
“Sebenarnya,
iya.”
“Apa
itu?”
“Oh,
apakah aku harus mengatakannya?”
“Ya.
Memang harus!”
“Aku
tak akan mengatakannya.”
“Ooh,
ayolah. Apakah aku harus memohon?”
“Kau
memohon pun aku tak akan bicara.”
“Oh
ya. Ingatkah kau aku masih punya hutang satu ciuman untukmu?”
“Hah?
Ciuman apa?”
“Soal
taruhan itu. Aku kalah. Kau ingat?”
“Kau
bersungguh-sungguh soal taruhan itu?”
“Yap.”
“Dan
kau bersungguh-sungguh akan menciumku?”
“Tentu
saja.”
“Tidak
perlu. Lupakan saja soal taruhan itu.” Rosalie menunduk malu. Wajahnya merona.
“Hei,
kau sendiri yang menyuruhku untuk belajar cara mencium seseorang dengan baik
dan benar,” protes Jonathan.
“Tapi...
belum pernah ada seseorang yang menciumku sebelum ini. Selain orang tuaku tentu
saja.”
“Berarti,
aku akan menjadi orang lain yang pertama yang menciummu.”
“Tapi
aku...”
“Pejamkan
saja matamu, Rose,” bisik Jonathan yang tiba-tiba sudah berlutut di hadapan
Rosalie. Wajahnya sejajar dengan wajah Rosalie yang duduk di depannya.
Rosalie
memejamkan mata ragu-ragu. Dengan jantung berdebar keras, Jonathan mendekatkan
wajahnya. Sangat perlahan dan hati-hati, kemudian ia menyentuhkan bibirnya ke
bibir Rosalie, dengan mata terpejam juga. Sungguh. Ia sudah tak menyadari
apa-apa lagi di sekelilingnya.
“Jo?”
panggil Rosalie tiba-tiba.
Jonathan
tersentak. Seketika ia membuka mata dan mendapati dirinya duduk di sebelah
Rosalie. Bagaimana bisa ini? Bukankah tadi dia...
“Bagaimana?
Kau menikmatinya?” tanya Rosalie sambil tersenyum. Geli, jahil, dan misterius.
“Tapi,
bagaimana bisa aku... Ooh, kau menghipnotisku, Rose?!”
Rosalie
tergelak. “Memang. Jadi, kau sudah menciumku, bukan?”
“Kau
memang nakal,” gerutu Jonathan. “Baiklah. Kita masuk sekarang. Aku tak ingin
kita membeku di sini. Anginnya semakin dingin. Oh, tentu saja. Ini sudah hampir
bulan Desember. Kuharap salju turun saat Natal besok.”
“Kau
menyukai salju?”
“Tidak
juga. Tapi aku lebih suka menyaksikan Natal dan Tahun Baru berhias salju.
Naiklah.” Jonathan berjongkok di depan Rosalie.
“Tunggu
sebentar. Aku mau melatih otot kakiku yang masih sangat lemas. Bantu aku
berdiri, Jo.”
Jonathan
menarik Rosalie hingga berdiri. Butuh waktu beberapa saat hingga Rosalie
berhasil menyeimbangkan tubuh di atas kedua kakinya. “Oke. Aku bisa. Sekarang,
mundurlah. Aku akan berjalan.”
Jonathan
mundur beberapa langkah. Tangannya terulur maju dan agak terentang, siap
menangkap Rosalie kalau gadis itu terjatuh. Benar saja. Baru tiga langkah, kaki
Rosalie tersandung. Dengan sigap, Jonathan menangkapnya hingga Rosalie jatuh ke
pelukannya, bukan ke atas daun-daun kering di tanah.
“Terima
kasih.” Rosalie mendongak menatap Jonathan.
Dan
tanpa berfikiran lebih jauh, Jonathan mencium bibir gadis itu.
***
Rosalie
tak bisa berbuat apa-apa ketika mendadak Jonathan menciumnya. Ia tak bisa
menolak atau pun membalas ciuman itu. Tubuhnya lemas, seperti tersetrum listrik
ribuan watt. Untung saja Jonathan memeluknya erat-erat, kalau tidak, mungkin
tubuhnya sudah meluruh jatuh.
Ciuman
itu bertahan selama lima detik. Hanya sesaat. Sesaat yang begitu mengena. Sesaat
yang mengaburkan segala-galanya di sekeliling mereka. Sesaat yang kalau mau
diakui, tak ingin mereka akhiri. Hingga Jonathan lalu menarik mundur kepalanya.
Rosalie membuang muka ke samping. Wajahnya yang tadi pucat kini sudah merah padam.
“Maaf,”
kata Jonathan lirih.
“Kau...
kau kurang ajar,” sahut Rosalie. Kepalanya makin menunduk.
“Maafkan
aku,” kata Jonathan lagi, penuh penyesalan, tapi bibirnya tersenyum.
“Dimaafkan.
Sekarang, bawa aku masuk.”
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar