Minggu, 10 Maret 2013

Just for a Moment (8)



Jonathan menyerah. Ia tak akan menemui Rosalie tanpa izin dari gadis itu. Ia akan menghargai keputusan Rosalie, seperti kata Charlotte. Meski dengan begitu ia terpaksa “mematikan” hatinya. Dan hal itu membuatnya tambah “angker”. Siapa saja yang membuat suasana hatinya yang sudah buruk makin memburuk, tak akan lepas dari cengkeramannya.
Seperti siang ini. Jimmy iseng menekan-nekan tuts grand piano di ruang musik sambil menunggu Jonathan menyelesaikan soal. Nada yang membentuk melodi tak karuan itu entah kenapa membuat darah Jonathan mendidih. Belum lagi denting piano itu mengingatkannya kepada Rosalie. Hari-hari yang lalu. Semua kenangan saat bercanda dan tertawa, juga debat dan pertengkaran dengan gadis itu, tak urung menimbulkan sekelebat perih di hati Jonathan.
Tanpa aba-aba, ia berdiri dan melangkah lebar ke arah Jimmy, lalu mendaratkan kepalan tangannya yang sekeras batu ke rahang Jimmy, hingga cowok malang itu terjatuh ke belakang.
Jonathan mencekal kerah baju Jimmy dan menariknya hingga berdiri. “Jangan sentuh piano itu!” bentak Jonathan.
Jimmy memegangi pipinya yang lebam dengan satu tangan sementara tangan yang lain terangkat tanda menyerah. “Baiklah, baiklah. Maafkan aku.”
“Aaakkhh!” Disentakkannya tubuh Jimmy hingga ia terhuyung beberapa langkah ke belakang.
Jonathan membereskan bukunya, lalu melangkah keluar ruangan.
Pagi harinya, begitu kakinya melangkah memasuki gerbang sekolah, ia langsung mendapat panggilan ke ruang kepala sekolah.
“Alasan apa yang membuatmu memukul Jimmy Hobert kemarin?” bentak Mr. Mottola, kepala sekolah mereka.
“Tidak ada alasan khusus,” jawab Jonathan santai, padahal dalam hati ia mengumpat dan bersumpah akan membunuh Jimmy Hobert nanti. Dasar anak culun pengadu!
Sementara Mr. Mottola memberinya berbagai macam peringatan keras, Jonathan malah memikirkan kemana akan mulai mencari Jimmy Hobert.
“Jonathan!”
“Eh, ya?”
“Skorsing lagi untukmu satu minggu, dimulai hari ini!”
“Baiklah,” sahutnya singkat tanpa beban. Setelah mendapat putusan hukuman itu, Jonathan langsung balik badan dan keluar ruangan. Ia melewati koridor yang ramai dengan langkah panjang dan cepat. Matanya menyapu setiap sudut dengan lirikan tajam, membuat semua siswa di situ menyingkir dari sekitarnya.
Bagus! Katanya puas dalam hati. Dengan begini, akan lebih mudah menemukan anak bodoh itu. Dan sialnya, saat itu Jimmy Hobert sedang menghadap ke lokernya. Jonathan langsung mengenali sosok cowok itu walau hanya melihat punggungnya. Kontan saja dihampirinya Jimmy, tapi tak berbuat apa-apa, hanya berdiri di belakangnya sambil melipat tangan di depan dada. Ketika kemudian Jimmy membalikkan badan, ia kaget setengah mati saat melihat Jonathan telah menghadangnya. Dia sudah akan berlari, tapi Jonathan lebih cepat menangkap niatnya itu. Dicekalnya kerah baju Jimmy sebelum ia sempat membuat gerakan. Semua orang di situ menahan nafas dengan tegang.
“Demi Tuhan, Jonathan. Bukan aku yang mengadu,” katanya dengan nada memohon. Kacamatanya yang bulat tebal merosot hingga hidung. “Jangan pukul aku lagi.”
Jonathan sudah benar-benar geram, tapi ia juga tak akan memukul lagi. Ia tekan tubuh Jimmy ke pintu loker. “Lalu bagaimana mereka bisa tahu?!”
“Kemarin... kemarin Mr. Steven melihatku saat pulang.”
Jonathan melirik ke pipi kiri Jimmy yang memang lebam. Sesaat, tak ada yang bicara atau bergerak. Bahkan kerumunan di sekeliling mereka. Sampai tiba-tiba Charlotte menyeruak kerumunan itu dan menarik bahu Jonathan.
“Apa yang kau lakukan, Jo?”
Jonathan menoleh. Cekalannya pada Jimmy terlepas begitu saja. Ia menatap Charlotte sesaat, dan tiba-tiba saja melangkah pergi.
“Jo! Jonathan!” Charlotte mengejarnya, sementara kerumunan itu mulai bubar dan Jimmy Hobert langsung berlari pergi sebelum Jonathan menangkapnya lagi. “Ada yang mau aku katakan soal Rosalie.”
Jonathan langsung menghentikan langkah. “Ada apa?"
Charlotte menggeleng-geleng panik. “Aku tak tau harus bagaimana. Dia sedang kritis saat ini. Baru saja pihak rumah sakit menghubungiku.” 
“APA?!” Jonathan tersentak.



Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar