Jonathan
menyerah. Ia tak akan menemui Rosalie tanpa izin dari gadis itu. Ia akan
menghargai keputusan Rosalie, seperti kata Charlotte. Meski dengan begitu ia
terpaksa “mematikan” hatinya. Dan hal itu membuatnya tambah “angker”. Siapa
saja yang membuat suasana hatinya yang sudah buruk makin memburuk, tak akan
lepas dari cengkeramannya.
Seperti
siang ini. Jimmy iseng menekan-nekan tuts grand piano di ruang musik sambil menunggu Jonathan menyelesaikan soal. Nada yang
membentuk melodi tak karuan itu entah kenapa membuat darah Jonathan mendidih.
Belum lagi denting piano itu mengingatkannya kepada Rosalie. Hari-hari yang
lalu. Semua kenangan saat bercanda dan tertawa, juga debat dan pertengkaran dengan gadis
itu, tak urung menimbulkan sekelebat perih di hati Jonathan.
Tanpa
aba-aba, ia berdiri dan melangkah lebar ke arah Jimmy, lalu mendaratkan kepalan
tangannya yang sekeras batu ke rahang Jimmy, hingga cowok malang itu terjatuh
ke belakang.
Jonathan
mencekal kerah baju Jimmy dan menariknya hingga berdiri. “Jangan sentuh piano
itu!” bentak Jonathan.
Jimmy
memegangi pipinya yang lebam dengan satu tangan sementara tangan yang lain
terangkat tanda menyerah. “Baiklah, baiklah. Maafkan aku.”
“Aaakkhh!”
Disentakkannya tubuh Jimmy hingga ia terhuyung beberapa langkah ke belakang.
Jonathan
membereskan bukunya, lalu melangkah keluar ruangan.
Pagi
harinya, begitu kakinya melangkah memasuki gerbang sekolah, ia langsung
mendapat panggilan ke ruang kepala sekolah.
“Alasan
apa yang membuatmu memukul Jimmy Hobert kemarin?” bentak Mr. Mottola, kepala
sekolah mereka.
“Tidak
ada alasan khusus,” jawab Jonathan santai, padahal dalam hati ia mengumpat dan
bersumpah akan membunuh Jimmy Hobert nanti. Dasar anak culun pengadu!
Sementara
Mr. Mottola memberinya berbagai macam peringatan keras, Jonathan malah
memikirkan kemana akan mulai mencari Jimmy Hobert.
“Jonathan!”
“Eh,
ya?”
“Skorsing
lagi untukmu satu minggu, dimulai hari ini!”
“Baiklah,”
sahutnya singkat tanpa beban. Setelah mendapat putusan hukuman itu, Jonathan
langsung balik badan dan keluar ruangan. Ia melewati koridor yang ramai dengan
langkah panjang dan cepat. Matanya menyapu setiap sudut dengan lirikan tajam,
membuat semua siswa di situ menyingkir dari sekitarnya.
Bagus!
Katanya puas dalam hati. Dengan begini,
akan lebih mudah menemukan anak bodoh itu. Dan sialnya, saat itu Jimmy
Hobert sedang menghadap ke lokernya. Jonathan langsung mengenali sosok cowok
itu walau hanya melihat punggungnya. Kontan saja dihampirinya Jimmy, tapi tak
berbuat apa-apa, hanya berdiri di belakangnya sambil melipat tangan di depan
dada. Ketika kemudian Jimmy membalikkan badan, ia kaget setengah mati saat
melihat Jonathan telah menghadangnya. Dia sudah akan berlari, tapi Jonathan
lebih cepat menangkap niatnya itu. Dicekalnya kerah baju Jimmy sebelum ia
sempat membuat gerakan. Semua orang di situ menahan nafas dengan tegang.
“Demi
Tuhan, Jonathan. Bukan aku yang mengadu,” katanya dengan nada memohon.
Kacamatanya yang bulat tebal merosot hingga hidung. “Jangan pukul aku lagi.”
Jonathan
sudah benar-benar geram, tapi ia juga tak akan memukul lagi. Ia tekan tubuh
Jimmy ke pintu loker. “Lalu bagaimana mereka bisa tahu?!”
“Kemarin...
kemarin Mr. Steven melihatku saat pulang.”
Jonathan
melirik ke pipi kiri Jimmy yang memang lebam. Sesaat, tak ada yang bicara atau
bergerak. Bahkan kerumunan di sekeliling mereka. Sampai tiba-tiba Charlotte
menyeruak kerumunan itu dan menarik bahu Jonathan.
“Apa
yang kau lakukan, Jo?”
Jonathan
menoleh. Cekalannya pada Jimmy terlepas begitu saja. Ia menatap Charlotte
sesaat, dan tiba-tiba saja melangkah pergi.
“Jo!
Jonathan!” Charlotte mengejarnya, sementara kerumunan itu mulai bubar dan Jimmy
Hobert langsung berlari pergi sebelum Jonathan menangkapnya lagi. “Ada yang mau
aku katakan soal Rosalie.”
Jonathan
langsung menghentikan langkah. “Ada apa?"
Charlotte
menggeleng-geleng panik. “Aku tak tau harus bagaimana. Dia sedang kritis saat
ini. Baru saja pihak rumah sakit menghubungiku.”
“APA?!” Jonathan
tersentak.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar