Jonathan
sebenarnya ingin langsung meninggalkan sekolah begitu bel pulang berbunyi. Tapi
ia masih harus mengikuti kelas matematikanya, mengingat itu akan berpengaruh
pada keikutsertaanya saat ujian terakhir besok.
“Dasar
peraturan bodoh!” umpat Jonathan sambil melangkah cepat ke ruang musik. Begitu
tiba di sana, ia ternganga. Ini??? Yang akan menjadi tentornya... ini?! Seorang
cowok berkacamata tebal dengan kemeja terkancing hingga leher yang sedang
membaca buku super tebal. Dan ketika melihat Jonathan di ambang pintu, cowok
itu mendongak lalu mengangguk kikuk sambil bibirnya menyunggingkan sedikit
senyum.
Demi Tuhan!
keluh Jonathan dalam hati. Semoga
sikapnya tak seburuk penampilannya.
Jonathan
melangkah dan duduk di hadapan cowok super aneh itu. “Oke. Sekarang, apa yang
akan kita lakukan?”
Jimmy
berdehem sebentar. “Tentu saja belajar matematika. Sampai mana materi yang
Rosalie berikan?”
Jonathan
menyerahkan buku tugasnya. Jimmy memeriksanya sebentar. “Baiklah...”
“Timmy,
dengarkan aku,” potong Jonathan.
“Jimmy,”
ralat cowok itu.
“Terserah.
Siapapun namamu, dengarkan aku. Tolong, izinkan aku untuk membolos satu kali
ini saja. Hari ini aku benar-benar memiliki acara yang sangat penting.”
“Tapi,
bagaimana dengan Mr. Steven?”
“Dia
tak akan tau asal kau tak bicara apa-apa.”
“Bukan.
Maksudku, Mr. Steven akan datang mengecek kita beberapa menit lagi.”
“Apa?!
Sialan!” Jonathan menendang meja di depannya dengan frustasi. “Guru itu sangat
menyusahkan!”
Jimmy
diam saja mendengarkan Jonathan mengumpat-ngumpat. Sampai tiba-tiba Jonathan
menoleh ke arahnya. “Bisakah kau bermain piano?”
“Tidak.”
Jimmy menggeleng.
“Ck,
dasar anak tak berguna,” dengus Jonathan. “Baiklah, kita selesaikan secepatnya.
Sekarang, tulis saja rumus-rumus yang kau tau dan terangkan caranya.”
Saat
Jimmy baru menerangkan beberapa menit, tiba-tiba Mr. Steven masuk ke ruang
musik.
“Sir,
Anda tau dimana Rosalie dirawat?” tanya Jonathan langsung.
“Ya.
Dia dirawat di Saint Paul.”
“Apa?
Sejauh itu? Memangnya dia sakit apa?”
“Belum
ada yang tau.” Mr. Steven menggeleng, membuat Jonathan tercenung.
***
“Di
Saint Paul?” gumam Jonathan saat berjalan pulang. Ia tak habis fikir kenapa
Rosalie sampai dibawa ke rumah sakit di ibu kota Minnesota itu.
Tiba
di belokan pertama di ujung jalan, mendadak ia berpapasan dengan gadis
berkacamata yang seloker dengan Rosalie.
“Hei,
kau...” Keduanya menghentikan langkah.
“Charlotte,”
jawab gadis itu.
“Ya.
Charlotte. Dari mana kau?”
“Aku
baru saja pulang dari perpustakaan daerah. Kenapa?”
“Kebetulan
sekali. Kau sahabat Rosalie, kan? Kau tau Rosalie sakit apa?”
Charlotte
malah menatapnya curiga. “Kau Jonathan?”
“Ya.”
Jonathan mengangguk cepat.
“Rosalie
menitipkan pesan untukmu.”
“Apa
katanya?” tanya Jonathan penasaran.
“Dia
bilang, mulai sekarang, mm... maafkan aku Jonathan. Aku tau kau mencintai
Rosalie, dan aku hanya menyampaikan pesannya. Dia bilang...” Charlotte menarik
nafas perlahan. “Mulai sekarang, jangan memikirkan dia lagi.”
“Apa?
Begitu marahkah dia kepadaku?” Jonathan terbelalak.
“Aku
tak tau. Tapi itu yang dia minta.”
“Charlotte!
Tunggu!” Jonathan mencegat Charlotte yang akan meneruskan langkah. “Tolong beri
aku nomor Rosalie yang bisa kuhubungi!”
“Jo,”
Charlotte menghela nafas. “Apa kau tak paham? Dia sudah memintamu untuk
melupakannya. Jadi...”
“Aku
harus menghubunginya!” bentak Jonathan.
“Tapi
Rosalie melarangmu!” Charlotte balas membentak tanpa takut. “Tolong hargai
privasinya. Aku tak mau menyebarkan nomornya tanpa izin.”
Jonathan
menyerah. “Baiklah, baiklah. Kau tau dimana Rosalie dirawat?”
“Ya.
Aku akan menjenguknya besok pagi.”
“Aku
akan ikut denganmu!” seru Jonathan.
“Apa?
Tapi kan...” Charlotte baru akan menolak, namun Jonathan segera memotongnya.
“Jangan
halangi aku! Aku benar-benar harus bicara langsung padanya karena kau tak mau
memberiku nomor Rosalie. Jadi, kita akan bertemu di depan gerbang sekolah besok
jam 8 pagi. Tak perlu khawatir soal transportasi. Aku akan meminta pamanku
untuk mengantar kita.”
“Tapi,
Jo...” desah Charlotte putus asa.
“Oh,
ayolah. Kau tau apapun yang kau katakan tak akan bisa merubah keputusanku.
Sampai jumpa.”
“Jonathan!”
kali ini Charlotte berteriak. “Rosalie tak akan mengizinkanmu menemui dirinya!”
“Untuk
itu aku harus mengetahui alasan yang sebenarnya!” Jonathan balas berteriak.
“Tidak
akan! Aku tak akan mengizinkan!”
Tangan
Jonathan terulur maju dan mencekal bahu Charlotte. “Kau tak bisa melarangku!”
bentaknya tepat di depan muka gadis itu.
“Ya!
Tapi Rosalie bisa!” balas Charlotte. Dipelototinya Jonathan tanpa takut.
“Tolong, Jo. Hargai keputusan Rosalie.”
Jonathan
terdiam sejanak, lalu mendesah keras. Begitu tangannya melepaskan bahu
Charlotte, kepalan tangan kanannya langsung ia hantamkan ke batang pohon di
dekat mereka. Berkali-kali. Hingga semua daun yang ada di pohon itu rontok tak
bersisa. Ia mengamuk. Lepas kendali. Charlotte hanya berdiri diam di belakangnya.
Jonathan baru menghentikan ulahnya ketika buku-buku jarinya sudah berlumur
darah. Ia berdiri membelakangi Charlotte, masih menatap ke arah pohon, dengan
nafas terengah-engah.
“Jo?”
panggil Charlotte pelan. “Kau sangat mencintai Rosalie?”
“Ya!”
jawab Jonathan tegas, kemudian berlalu pergi tanpa menoleh sedikit pun.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar