Sabtu, 09 Maret 2013

Just for a Moment (7)



Jonathan sebenarnya ingin langsung meninggalkan sekolah begitu bel pulang berbunyi. Tapi ia masih harus mengikuti kelas matematikanya, mengingat itu akan berpengaruh pada keikutsertaanya saat ujian terakhir besok.
“Dasar peraturan bodoh!” umpat Jonathan sambil melangkah cepat ke ruang musik. Begitu tiba di sana, ia ternganga. Ini??? Yang akan menjadi tentornya... ini?! Seorang cowok berkacamata tebal dengan kemeja terkancing hingga leher yang sedang membaca buku super tebal. Dan ketika melihat Jonathan di ambang pintu, cowok itu mendongak lalu mengangguk kikuk sambil bibirnya menyunggingkan sedikit senyum.
Demi Tuhan! keluh Jonathan dalam hati. Semoga sikapnya tak seburuk penampilannya.
Jonathan melangkah dan duduk di hadapan cowok super aneh itu. “Oke. Sekarang, apa yang akan kita lakukan?”
Jimmy berdehem sebentar. “Tentu saja belajar matematika. Sampai mana materi yang Rosalie berikan?”
Jonathan menyerahkan buku tugasnya. Jimmy memeriksanya sebentar. “Baiklah...”
“Timmy, dengarkan aku,” potong Jonathan.
“Jimmy,” ralat cowok itu.
“Terserah. Siapapun namamu, dengarkan aku. Tolong, izinkan aku untuk membolos satu kali ini saja. Hari ini aku benar-benar memiliki acara yang sangat penting.”
“Tapi, bagaimana dengan Mr. Steven?”
“Dia tak akan tau asal kau tak bicara apa-apa.”
“Bukan. Maksudku, Mr. Steven akan datang mengecek kita beberapa menit lagi.”
“Apa?! Sialan!” Jonathan menendang meja di depannya dengan frustasi. “Guru itu sangat menyusahkan!”
Jimmy diam saja mendengarkan Jonathan mengumpat-ngumpat. Sampai tiba-tiba Jonathan menoleh ke arahnya. “Bisakah kau bermain piano?”
“Tidak.” Jimmy menggeleng.
“Ck, dasar anak tak berguna,” dengus Jonathan. “Baiklah, kita selesaikan secepatnya. Sekarang, tulis saja rumus-rumus yang kau tau dan terangkan caranya.”
Saat Jimmy baru menerangkan beberapa menit, tiba-tiba Mr. Steven masuk ke ruang musik.
“Sir, Anda tau dimana Rosalie dirawat?” tanya Jonathan langsung.
“Ya. Dia dirawat di Saint Paul.”
“Apa? Sejauh itu? Memangnya dia sakit apa?”
“Belum ada yang tau.” Mr. Steven menggeleng, membuat Jonathan tercenung.

***

“Di Saint Paul?” gumam Jonathan saat berjalan pulang. Ia tak habis fikir kenapa Rosalie sampai dibawa ke rumah sakit di ibu kota Minnesota itu.
Tiba di belokan pertama di ujung jalan, mendadak ia berpapasan dengan gadis berkacamata yang seloker dengan Rosalie.
“Hei, kau...” Keduanya menghentikan langkah.
“Charlotte,” jawab gadis itu.
“Ya. Charlotte. Dari mana kau?”
“Aku baru saja pulang dari perpustakaan daerah. Kenapa?”
“Kebetulan sekali. Kau sahabat Rosalie, kan? Kau tau Rosalie sakit apa?”
Charlotte malah menatapnya curiga. “Kau Jonathan?”
“Ya.” Jonathan mengangguk cepat.
“Rosalie menitipkan pesan untukmu.”
“Apa katanya?” tanya Jonathan penasaran.
“Dia bilang, mulai sekarang, mm... maafkan aku Jonathan. Aku tau kau mencintai Rosalie, dan aku hanya menyampaikan pesannya. Dia bilang...” Charlotte menarik nafas perlahan. “Mulai sekarang, jangan memikirkan dia lagi.”
“Apa? Begitu marahkah dia kepadaku?” Jonathan terbelalak.
“Aku tak tau. Tapi itu yang dia minta.”
“Charlotte! Tunggu!” Jonathan mencegat Charlotte yang akan meneruskan langkah. “Tolong beri aku nomor Rosalie yang bisa kuhubungi!”
“Jo,” Charlotte menghela nafas. “Apa kau tak paham? Dia sudah memintamu untuk melupakannya. Jadi...”
“Aku harus menghubunginya!” bentak Jonathan.
“Tapi Rosalie melarangmu!” Charlotte balas membentak tanpa takut. “Tolong hargai privasinya. Aku tak mau menyebarkan nomornya tanpa izin.”
Jonathan menyerah. “Baiklah, baiklah. Kau tau dimana Rosalie dirawat?”
“Ya. Aku akan menjenguknya besok pagi.”
“Aku akan ikut denganmu!” seru Jonathan.
“Apa? Tapi kan...” Charlotte baru akan menolak, namun Jonathan segera memotongnya.
“Jangan halangi aku! Aku benar-benar harus bicara langsung padanya karena kau tak mau memberiku nomor Rosalie. Jadi, kita akan bertemu di depan gerbang sekolah besok jam 8 pagi. Tak perlu khawatir soal transportasi. Aku akan meminta pamanku untuk mengantar kita.”
“Tapi, Jo...” desah Charlotte putus asa.
“Oh, ayolah. Kau tau apapun yang kau katakan tak akan bisa merubah keputusanku. Sampai jumpa.”
“Jonathan!” kali ini Charlotte berteriak. “Rosalie tak akan mengizinkanmu menemui dirinya!”
“Untuk itu aku harus mengetahui alasan yang sebenarnya!” Jonathan balas berteriak.
“Tidak akan! Aku tak akan mengizinkan!”
Tangan Jonathan terulur maju dan mencekal bahu Charlotte. “Kau tak bisa melarangku!” bentaknya tepat di depan muka gadis itu.
“Ya! Tapi Rosalie bisa!” balas Charlotte. Dipelototinya Jonathan tanpa takut. “Tolong, Jo. Hargai keputusan Rosalie.”
Jonathan terdiam sejanak, lalu mendesah keras. Begitu tangannya melepaskan bahu Charlotte, kepalan tangan kanannya langsung ia hantamkan ke batang pohon di dekat mereka. Berkali-kali. Hingga semua daun yang ada di pohon itu rontok tak bersisa. Ia mengamuk. Lepas kendali. Charlotte hanya berdiri diam di belakangnya. Jonathan baru menghentikan ulahnya ketika buku-buku jarinya sudah berlumur darah. Ia berdiri membelakangi Charlotte, masih menatap ke arah pohon, dengan nafas terengah-engah.
“Jo?” panggil Charlotte pelan. “Kau sangat mencintai Rosalie?”
“Ya!” jawab Jonathan tegas, kemudian berlalu pergi tanpa menoleh sedikit pun.



Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar