Jonathan
membaringkan tubuh Rosalie ke tempat tidur, lalu menyelimutinya.
“Kau
lapar?”
“Tidak,”
jawab Rosalie. “Aku sedang tak butuh apapun. Tenanglah, Jo.”
Jonathan
menatapnya sebentar, kemudian duduk di sebelahnya. “Rose?”
“Hm?”
“Kau
akan sembuh, bukan?”
Rosalie
menghela nafas. Ia membuang muka ke jendela. “Entahlah.”
Perih
itu menyerang lagi. Tanpa sadar Jonathan memegang dadanya. Sakit. “Bicara
padaku, Rose. Kau sakit apa?”
“Apakah
penting membicarakan sesuatu yang kelak akan mengakhiri hidupku?”
Mengakhiri hidupnya...
Mengakhiri hidupnya...
“Aku
yakin kau tak mau tau, Jo. Aku sendiri sebenarnya tak ingin tau. Tak ingin
pernah tau. Apa yang bersarang di tubuhku ini. Apa yang mencuri sisa
kebahagiaan yang masih tertinggal di dalam hidupku, setelah kedua orang tuaku
meninggal.” Rosalie menarik nafas perlahan. Masih tak mau menolehkan kepala ke
arah lelaki yang duduk di sampingnya. “Bahkan, kadang aku tak tau. Apakah aku
masih berhak bahagia? Ketika aku selalu takut dalam mengambil setiap nafas ini.
Selalu takut untuk memejamkan mata ini. Selalu takut untuk berhadapan dengan
semua orang. Selalu takut mendapat kasih sayang. Apalagi cinta. Aku... terlalu
takut untuk membalas cinta mereka.”
Jonathan
tercekat. Bisu. Kelu. Lumpuh.
“Apalah
arti mereka mencintaiku, kalau akhirnya aku hanya akan menorehkan luka di hati
mereka?” lanjut Rosalie. “Saat seseorang terlanjur mencintaimu, pasti orang itu
tak akan rela membiarkanmu pergi, bukan? Itulah yang aku fikirkan. Dan aku mau
kau juga memikirkan itu. Andai suatu hari nanti aku harus pergi, apa kau rela,
Jo?”
“Tentu
saja tidak!” jawab Jonathan spontan.
Jawaban
spontan yang menyakitkan. Menyakiti keduanya. Beberapa saat keduanya hanya
terdiam. Jonathan menundukkan kepalanya dalam-dalam. Meredam gejolak emosi di
dalam dadanya.
“Baiklah.
Kalau kau tak rela, aku tak akan meninggalkanmu,” kata Rosalie tiba-tiba,
memecah keheningan di antara mereka.
Jonathan
mengangkat wajah. Diam lagi. Hening. Kemudian, perlahan Jonathan menganggukkan
kepalanya. “Kau tak boleh meninggalkanku. Kau harus berjanji untuk sembuh.”
Barulah
Rosalie menoleh. Ditatapnya Jonathan dengan senyum. Tak berkata apa-apa.
“Rose,
berjanjilah...” Jonathan menggenggam tangan Rosalie. “Berjanjilah kau akan
sembuh dan akan mengajariku matematika lagi.”
Rosalie
masih tersenyum. “Aku suka mengajarimu matematika. Aku suka menjadi gurumu. Kau
siswa yang cerdas, Jo. Walau kadang ulahmu keterlaluan, tapi kau orang yang
menyenangkan.” Rosalie memejamkan mata. “Saat-saat bersamamu selalu berhasil
membuatku tersenyum dan tertawa. Aku ingin sekali mengulang saat-saat itu.
Hari-hari itu.” Ia diam sejenak untuk menarik nafas panjang. “Aku ingin
mengulang setiap udara yang pernah aku hirup. Bersamamu. Karena, harus
kuakui... aku juga mencintaimu.”
Jonathan
menundukkan kepala lagi. Rosalie akhirnya mengakui itu. Rosalie mengakui
perasaannya. Tapi kenapa itu malah membuatnya sedih? Jonathan tak tau. Tak tau
kenapa hatinya terasa sakit. Tak tau kenapa air matanya tiba-tiba menetes
jatuh.
“Sst...
jangan menangis, Jo,” kata Rosalie pelan, masih dengan mata terpejam.
Jonathan
cepat-cepat mengusap matanya. “Sialan. Kenapa aku menangis?” umpatnya. Geli dan
heran sendiri. “Itulah yang aku mau, Rose. Aku mau kau juga mencintaiku. Aku
yakin kau akan bisa kembali lagi menjadi guruku. Kau tak pernah terlihat sakit.
Kau terlihat sehat. Selalu sehat. Yakin lah itu. Kau bisa melawan penyakit ini.”
“Ya.”
Rosalie mengangguk. “Kita harus yakin itu. Aku sehat. Aku tak apa-apa.”
Meski
mereka bicara seperti itu, ketakutan mulai merayap menghantui pikiran keduanya.
Ketakutan atas penyangkalan kenyataan. Ketakutan atas kebohongan yang mereka
ciptakan. Ketakutan atas senyum yang mereka palsukan. Ketakutan akan
kehilangan. Ketakutan akan kesakitan. Ketakutan akan perpisahan.
***
Sore
itu juga, Charlotte datang ke rumah sakit.
“Rose!”
Charlotte menghambur memeluk Rosalie begitu masuk ke kamar. “Bagaimana
kabarmu?”
“Aku
baik-baik saja.” Rosalie balas memeluk Charlotte erat. “Tenanglah.”
“Bagaimana
aku bisa tenang? Aku tak bisa berhenti memikirkanmu sepanjang hari ini. Bahkan
aku berulang kali membuat kesalahan saat menjawab soal matematika yang paling
mudah sekalipun.”
Rosalie
tertawa, kemudian melepas pelukannya. “Anak bodoh,” katanya mengejek sambil
mengacak rambut Charlotte.
“Biar
saja.” Charlotte menjulurkan lidah.
Rosalie
membaringkan tubuhnya lagi. “Aku ingin pulang,” katanya. “Aku bosan di sini.
Sudah hampir dua minggu aku hanya tiduran di rumah sakit. Aku rindu rumahmu.
Aku rindu bermain piano. Aku rindu dengan suasana sekolah. Aku tak betah
tinggal di sini lebih lama,” keluhnya panjang lebar dengan mimik bosan.
Charlotte
dan Jonathan bertukar pandang.
“Oh,
ayolah. Aku tak apa-apa. Keadaanku sudah baik sekarang. Aku yakin dokter
mengizinkan aku pulang.”
“Baiklah.
Kau memang keras kepala.” Jonathan menghela nafas. “Aku akan menghubungi dan
berkonsultasi dengan doktermu.”
Dokter
memang mengizinkan Rosalie pulang, dan berpesan agar segera menghubunginya
kalau terjadi apa-apa. Sore itu, Jonathan pulang ke Acorn Falls dan berjanji
akan menjemput Rosalie besok pagi dengan mobil pamannya. Giliran Charlotte yang
menemani Rosalie malam itu, karena besok pagi adalah hari Sabtu.
“Bagaimana
hubunganmu dengan Jonathan sekarang?” tanya Charlotte setelah makan malam.
“Entahlah.”
Rosalie menggeleng lesu. “Kalau melihat kondisiku sekarang, sepertinya aku tak
bisa berharap lebih.”
“Sst,
jangan bicara seperti itu. Masih ada yang namanya keajaiban. Keajaiban bisa
datang kapan saja. Keajaiban bisa mewujudkan apa yang rasanya mustahil. Kau
harus percaya itu.”
“Ya,”
sahut Rosalie setelah terdiam agak lama. “Aku memang percaya. Sebuah keajaiban
bahkan sudah menghampiriku sekarang.” Gadis itu tersenyum begitu mengingat
Jonathan. Apalagi momen ketika lelaki itu menciumnya, membuat wajahnya memerah lagi. “Keajaiban itu membuatku
berani jatuh cinta pada seseorang bernama Jonathan.”
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar