Minggu, 17 Maret 2013

Just for a Moment (13)



Jonathan membaringkan tubuh Rosalie ke tempat tidur, lalu menyelimutinya.
“Kau lapar?”
“Tidak,” jawab Rosalie. “Aku sedang tak butuh apapun. Tenanglah, Jo.”
Jonathan menatapnya sebentar, kemudian duduk di sebelahnya. “Rose?”
“Hm?”
“Kau akan sembuh, bukan?”
Rosalie menghela nafas. Ia membuang muka ke jendela. “Entahlah.”
Perih itu menyerang lagi. Tanpa sadar Jonathan memegang dadanya. Sakit. “Bicara padaku, Rose. Kau sakit apa?”
“Apakah penting membicarakan sesuatu yang kelak akan mengakhiri hidupku?”
Mengakhiri hidupnya... Mengakhiri hidupnya...
“Aku yakin kau tak mau tau, Jo. Aku sendiri sebenarnya tak ingin tau. Tak ingin pernah tau. Apa yang bersarang di tubuhku ini. Apa yang mencuri sisa kebahagiaan yang masih tertinggal di dalam hidupku, setelah kedua orang tuaku meninggal.” Rosalie menarik nafas perlahan. Masih tak mau menolehkan kepala ke arah lelaki yang duduk di sampingnya. “Bahkan, kadang aku tak tau. Apakah aku masih berhak bahagia? Ketika aku selalu takut dalam mengambil setiap nafas ini. Selalu takut untuk memejamkan mata ini. Selalu takut untuk berhadapan dengan semua orang. Selalu takut mendapat kasih sayang. Apalagi cinta. Aku... terlalu takut untuk membalas cinta mereka.”
Jonathan tercekat. Bisu. Kelu. Lumpuh.
“Apalah arti mereka mencintaiku, kalau akhirnya aku hanya akan menorehkan luka di hati mereka?” lanjut Rosalie. “Saat seseorang terlanjur mencintaimu, pasti orang itu tak akan rela membiarkanmu pergi, bukan? Itulah yang aku fikirkan. Dan aku mau kau juga memikirkan itu. Andai suatu hari nanti aku harus pergi, apa kau rela, Jo?”
“Tentu saja tidak!” jawab Jonathan spontan.
Jawaban spontan yang menyakitkan. Menyakiti keduanya. Beberapa saat keduanya hanya terdiam. Jonathan menundukkan kepalanya dalam-dalam. Meredam gejolak emosi di dalam dadanya.
“Baiklah. Kalau kau tak rela, aku tak akan meninggalkanmu,” kata Rosalie tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka.
Jonathan mengangkat wajah. Diam lagi. Hening. Kemudian, perlahan Jonathan menganggukkan kepalanya. “Kau tak boleh meninggalkanku. Kau harus berjanji untuk sembuh.”
Barulah Rosalie menoleh. Ditatapnya Jonathan dengan senyum. Tak berkata apa-apa.
“Rose, berjanjilah...” Jonathan menggenggam tangan Rosalie. “Berjanjilah kau akan sembuh dan akan mengajariku matematika lagi.”
Rosalie masih tersenyum. “Aku suka mengajarimu matematika. Aku suka menjadi gurumu. Kau siswa yang cerdas, Jo. Walau kadang ulahmu keterlaluan, tapi kau orang yang menyenangkan.” Rosalie memejamkan mata. “Saat-saat bersamamu selalu berhasil membuatku tersenyum dan tertawa. Aku ingin sekali mengulang saat-saat itu. Hari-hari itu.” Ia diam sejenak untuk menarik nafas panjang. “Aku ingin mengulang setiap udara yang pernah aku hirup. Bersamamu. Karena, harus kuakui... aku juga mencintaimu.”
Jonathan menundukkan kepala lagi. Rosalie akhirnya mengakui itu. Rosalie mengakui perasaannya. Tapi kenapa itu malah membuatnya sedih? Jonathan tak tau. Tak tau kenapa hatinya terasa sakit. Tak tau kenapa air matanya tiba-tiba menetes jatuh.
“Sst... jangan menangis, Jo,” kata Rosalie pelan, masih dengan mata terpejam.
Jonathan cepat-cepat mengusap matanya. “Sialan. Kenapa aku menangis?” umpatnya. Geli dan heran sendiri. “Itulah yang aku mau, Rose. Aku mau kau juga mencintaiku. Aku yakin kau akan bisa kembali lagi menjadi guruku. Kau tak pernah terlihat sakit. Kau terlihat sehat. Selalu sehat. Yakin lah itu. Kau bisa melawan penyakit ini.”
“Ya.” Rosalie mengangguk. “Kita harus yakin itu. Aku sehat. Aku tak apa-apa.”
Meski mereka bicara seperti itu, ketakutan mulai merayap menghantui pikiran keduanya. Ketakutan atas penyangkalan kenyataan. Ketakutan atas kebohongan yang mereka ciptakan. Ketakutan atas senyum yang mereka palsukan. Ketakutan akan kehilangan. Ketakutan akan kesakitan. Ketakutan akan perpisahan.

***

Sore itu juga, Charlotte datang ke rumah sakit.
“Rose!” Charlotte menghambur memeluk Rosalie begitu masuk ke kamar. “Bagaimana kabarmu?”
“Aku baik-baik saja.” Rosalie balas memeluk Charlotte erat. “Tenanglah.”
“Bagaimana aku bisa tenang? Aku tak bisa berhenti memikirkanmu sepanjang hari ini. Bahkan aku berulang kali membuat kesalahan saat menjawab soal matematika yang paling mudah sekalipun.”
Rosalie tertawa, kemudian melepas pelukannya. “Anak bodoh,” katanya mengejek sambil mengacak rambut Charlotte.
“Biar saja.” Charlotte menjulurkan lidah.
Rosalie membaringkan tubuhnya lagi. “Aku ingin pulang,” katanya. “Aku bosan di sini. Sudah hampir dua minggu aku hanya tiduran di rumah sakit. Aku rindu rumahmu. Aku rindu bermain piano. Aku rindu dengan suasana sekolah. Aku tak betah tinggal di sini lebih lama,” keluhnya panjang lebar dengan mimik bosan.
Charlotte dan Jonathan bertukar pandang.
“Oh, ayolah. Aku tak apa-apa. Keadaanku sudah baik sekarang. Aku yakin dokter mengizinkan aku pulang.”
“Baiklah. Kau memang keras kepala.” Jonathan menghela nafas. “Aku akan menghubungi dan berkonsultasi dengan doktermu.”
Dokter memang mengizinkan Rosalie pulang, dan berpesan agar segera menghubunginya kalau terjadi apa-apa. Sore itu, Jonathan pulang ke Acorn Falls dan berjanji akan menjemput Rosalie besok pagi dengan mobil pamannya. Giliran Charlotte yang menemani Rosalie malam itu, karena besok pagi adalah hari Sabtu.
“Bagaimana hubunganmu dengan Jonathan sekarang?” tanya Charlotte setelah makan malam.
“Entahlah.” Rosalie menggeleng lesu. “Kalau melihat kondisiku sekarang, sepertinya aku tak bisa berharap lebih.”
“Sst, jangan bicara seperti itu. Masih ada yang namanya keajaiban. Keajaiban bisa datang kapan saja. Keajaiban bisa mewujudkan apa yang rasanya mustahil. Kau harus percaya itu.”
“Ya,” sahut Rosalie setelah terdiam agak lama. “Aku memang percaya. Sebuah keajaiban bahkan sudah menghampiriku sekarang.” Gadis itu tersenyum begitu mengingat Jonathan. Apalagi momen ketika lelaki itu menciumnya, membuat wajahnya memerah lagi. “Keajaiban itu membuatku berani jatuh cinta pada seseorang bernama Jonathan.”



Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar