Angel, ini adalah cerita yang merupakan gabungan dari beberapa novel dan film. Aku jadikan satu menjadi satu kisah, hehe... Moga nggak mengecewakan. :)
JUST FOR A MOMENT
Jonathan adalah
seorang siswa SMA. Kelas 12 di SMA Bradley, Acorn
Falls, Amerika. Dia
adalah seorang pembangkang dan trouble maker yang handal.
Satu-satunya hal
yang membuatnya tetap bertahan di sekolah ini dan selalu naik kelas adalah karena dia
cerdas. Ia cerdas bukan karena rajin belajar, tapi karena ia memiliki daya ingat yang kuat, bisa dibilang daya ingat fotografis, yang membuatnya mampu mengingat apa yang
pernah ia dengar atau lihat. Jadi,
tanpa belajar, hanya dengan mendengarkan
dan melihat penjelasan guru di kelas, ia bisa mengingat
semuanya.
Tapi Jonathan tidak
pandai matematika. Dia tidak suka menghitung, meskipun
mudah baginya untuk menghafal semua
rumus-rumus.
Suatu hari,
Jonathan membolos pelajaran matematika. Dia berjalan
di sepanjang koridor dengan
santai, tanpa takut
ketahuan guru. Tiba-tiba, telinganya menangkap suara
piano dari ruang musik.
Alunan piano yang begitu indah itu membuatnya tanpa sadar
membuka pintu ruang musik. Ada seorang gadis cantik yang sedang bermain piano di sana. Gadis itu terkejut dan seketika berhenti bermain piano.
“Kenapa kau
berhenti bermain?”
“Siapa kau?”
Jonathan
terdiam. “Well, lupakan saja.” Lalu ia berjalan menjauh dari ruang musik.
Jonathan heran. Mengapa gadis itu tak mengenalnya? Semua orang di sekolah ini tahu namanya, berkat reputasinya yang buruk.
Jonathan heran. Mengapa gadis itu tak mengenalnya? Semua orang di sekolah ini tahu namanya, berkat reputasinya yang buruk.
Pada
waktu istirahat, Mr.
Steven, guru Matematika,
memanggil Jonathan ke ruangannya.
“Apa yang anda
inginkan?” tanya Jonathan.
“Kenapa kau membolos tadi?”
“Hh, itu bukan
urusan anda.”
“Jonathan!” Mr. Steven menggebrak
meja. “Beraninya kau mengatakan
itu padaku! Kau tahu kau tidak pandai matematika!”
“Jadi?” Jonathan tetap acuh tak
acuh.
“Jadi, saya sudah membuat jadwal
matematika tersendiri untukmu, dan kau harus
mengikuti ini!” Mr. Steven memberikan selembar
kertas dengan jadwal matematika untuk Jonathan.
Jonathan
mendesah kesal. “Bagaimana
jika aku tidak mau?”
“Sayangnya, kau harus mau. Karena ini akan menentukan kelulusanmu. Kalau sampai kau membolos
satu kali pun tanpa alasan yang jelas,
kau tidak akan diizinkan
mengikuti ujian akhir. Ini adalah
kebijakan dari sekolah.”
“Apa?!” Jonathan tersentak, lalu mengumpat tak
jelas.
“Dan yang akan menjadi mentormu di
sini bukan aku.”
“Siapa?”
“Kau akan tahu jika kau
datang ke kelas pertamamu sore ini. Di ruang
kelasmu.”
***
Jonathan
sudah akan membolos dari kelas matematikanya. Tapi, tiba-tiba ia melihat gadis
yang ia temui di ruang musik.
Gadis itu masuk ke dalam kelasnya
pukul 2 siang, bertepatan dengan jadwal
matematikanya yang pertama. Saat ini kelas itu sudah kosong.
Akhirnya, karena curiga, Jonathan
masuk ke ruang kelasnya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya.
“Kau..." Gadis itu terkejut.
"Ehm, aku sedang menunggu ... mm,
muridku.”
“Jadi, kau seorang guru?” Jonathan menaruh tasnya di atas salah
satu meja dan duduk.
“Tidak. Aku juga seorang siswa.
Sama sepertimu.
Tapi, aku telah diberi tanggung jawab untuk membantu salah satu siswa di sini yang kurang pandai matematika. Mr.
Steven memberi jadwal matematika tersendiri untuknya. Dan akulah yang menjadi
mentor.”
Jonathan
mendengus. “Itu aku.”
“Eh?”
“Ya. Siswa yang kurang pandai matematika, yang kau tunggu-tunggu, itu aku.”
“Oh.” Gadis itu mengangguk, lalu
duduk di depan Jonathan. “Oke.
Pertama-tama, kita harus memperkenalkan diri. Namaku Rosalie. Kau bisa memanggilku Rose. Dan, siapa
namamu?”
“Kau
sungguh tak mengenalku?”
“Tentu
saja aku kenal. Kau adalah seorang cowok yang tadi pagi tiba-tiba saja datang
ke ruang musik, mengagetkanku, dan memecah konsentrasiku saat memainkan lagu.
Dan juga, kau adalah seorang siswa yang tidak pandai matematika.”
Jonathan menghela napas. “Namaku Jonathan, kalau kau benar-benar ingin tahu.
Dan itu adalah hal yang seharusnya sudah kau ketahui sejak dulu. Kau
boleh memanggilku terserah.”
“Oke, Tuan
Terserah.”
“Hei, apa maksudmu?”
“Kau bilang, aku bisa memanggilmu terserah.”
“Ck, ck, ck.”
Jonathan menggelengkan kepala. “Aku heran
mengapa gadis bodoh sepertimu terpilih menjadi guruku. Panggil
aku Jo.”
Rose
tersenyum. “Baiklah, Jo. Lalu, sebelum
kita memulai pelajaran, aku ingin kau berjanji satu hal.”
“Berjanji apa?”
“Jangan biarkan dirimu jatuh cinta
padaku.”
“Apa?!” Jonathan sangat terkejut. Kemudian ia tertawa keras-keras. “Apakah
kau bercanda? Bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta dengan seorang gadis sepertimu? Itu sebuah permintaan
yang aneh.”
“Siapa tahu?” Rose mengangkat bahu. “Orang
berkata, cinta datang
karena terbiasa. Dan aku harap, kau bisa
menepati janjimu itu.”
“Tentu saja.”
“Bagus. Oke, kita mulai. Aku dengar, kau siswa yang cerdas. Kenapa tak
kau gunakan otak pintarmu itu untuk matematika?”
“Aku
tak suka matematika. Aku tak suka membuat otakku gila karena memikirkan begitu
banyak rumus dan harus menghitung mereka.”
“Matematika
adalah pelajaran menyenangkan, jika kau bisa memahaminya.”
“Jadi,
apa yang akan kau lakukan untuk membuatku “memahaminya”?”
“Entahlah, aku belum tahu. Apa yang kau inginkan dariku untuk membuatmu “memahaminya”?” tanya
Rose. “Kecuali mengizinkanmu keluar dari ruangan ini!” tambahnya buru-buru saat
melihat Jonathan menoleh ke pintu kelas.
Jonathan
tertawa. “Kau sudah tahu apa yang aku inginkan. Oke, jika itu dilarang, beri
aku pengetahuanmu tentang matematika. Tulis di papan tulis, dan aku akan
mengingatnya.”
Rosalie
menuruti permintaan Jonathan. Ia menulis sambil menerangkan beberapa
rumus-rumus. Jonathan hanya diam mendengarkan.
“Apa kau tak menulisnya?” tanya Rosalie heran.
“Aku
sudah mencatatnya di dalam otakku.”
“Tapi,
kau bisa lupa.”
“Tidak
akan. Aku tak pernah lupa dengan apa yang telah aku dengar dan lihat.”
Rosalie
menatap Jonathan dengan mata disipitkan. “Mari kita periksa kejujuranmu.”
“Kau
meragukan kata-kataku?”
“Sejujurnya,
iya. Jika kau memang jujur dengan apa yang kau katakan tadi, tak seharusnya kau
berada di sini bersamaku sekarang.”
“Oke.
Beri aku tes.”
Rosalie
menulis soal-soal untuk Jonathan, dan Jonathan menyelesaikannya dengan cepat.
“Jo,
jawaban akhirmu masih banyak yang salah,” kata Rosalie setelah memeriksanya.
“Tapi kau menggunakan semua rumus yang tepat. Hebat!”
“Hh.”
Jonathan mendengus. “Sudah kubilang, aku tak suka menghitung. Tak akan ada yang
bisa mengubah kenyataan itu.”
“Tidak.
Aku percaya, suatu hari, kenyataan itu akan berubah.”
“Bagaimana?”
Rosalie
hanya tersenyum simpul. “Oke. Cukup untuk hari ini.” Ia membereskan buku-bukunya.
“Terima kasih. Jangan lupa pertemuan kita selanjutnya besok.”
“Rose!”
panggil Jonathan sebelum Rosalie membuka pintu kelas.
“Ya?”
“Aku
tau kau pintar bermain piano.”
Rosalie
mengangguk. “Aku suka piano. Piano is my
soul.”
“Apa
kau keberatan jika besok kita belajar di ruang musik?”
“Eh?
Tugasku adalah mengajarimu matematika, bukan belajar piano.”
“Tentu
saja tidak, gadis bodoh.” Jonathan tertawa mengejek. “Kau ajari aku rumus-rumus lagi, beri aku banyak soal, dan aku akan mengerjakan semuanya sementara
kau bermain piano di sebelahku.”
“Oh.
Mm, aku tak tau. Tapi, itu ide yang bagus. Mungkin saja kau jadi cinta matematika
setelah mendengar laguku.” Rosalie berkelakar. “Aku akan bicara kepada Mr.
Steven besok. Selamat siang.”
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar