Kamis, 17 Januari 2013

Just for a Moment (3)



“Jadi, mimpimu adalah pergi ke New York?” tanya Jonathan setelah lagu itu selesai.
“Ya. Dan menjadi seorang pianis terkenal.”
“Kau tau, Rose, dengan bakat seperti itu, mimpi itu bisa dengan mudah kau capai suatu hari nanti.” Jonathan berdehem. “Dan, Rose, kau mempunyai bakat hebat lainnya. Yaitu menghipnotis.”
Well, aku tak tahu. Kadang-kadang, aku hanya memberi beberapa sugesti ke orang-orang. Baiklah, Jo. Terima kasih untuk hari ini.” Rosalie berdiri dan mengambil tasnya. Keduanya berjalan bersama melewati koridor sekolah, sampai Rosalie berhenti di depan lokernya untuk mengambil beberapa barang. Jonathan tetap menunggunya.
“Jo, aku tau kau orang yang cerdas. Dan aku tau, sebenarnya kau tak membutuhkan bantuanku.”
Jonathan menyandarkan salah satu bahunya di pintu loker dan melipat tangan di depan dada. “Lalu?”
“Ehm, jika kau merasa terganggu dengan pertemuan-pertemuan ini, kita bisa mempercepatnya. Jadwal matematikamu masih 1 minggu 5 hari lagi. Tapi kita bisa membuatnya menjadi 1 minggu lagi, atau mungkin malah 5 hari lagi.” Rosalie mengambil mantel hijaunya dari dalam loker dan memakainya. “Bagaimana?” tanyanya karena Jonathan diam saja.
“Tidak. Aku tak merasa terganggu,” jawab Jonathan setelah berfikir beberapa saat. “Dan aku punya cukup banyak waktu. Tak perlu terburu-buru.”
“Ooh,” sahut Rosalie singkat sambil menutup pintu loker. Keduanya berjalan lagi menuju gerbang.
“Mengapa kau berkata seperti itu?” tanya Jonathan. “Aku kira kau akan memaksaku untuk menambah jam matematikaku. Tapi ternyata? Kau malah menawariku untuk mempercepat jadwal.”
Rosalie tersenyum. “Aku hanya tak ingin kau mengingkari janjimu sendiri.”
“Janji apa?”
“Lihat, bahkan kau sudah tak ingat. Padahal baru kemarin kita bicarakan hal ini.”
Karena Jonathan tak merespon, pertanda ia tak ingat, Rosalie mendesah. “Janji untuk tidak jatuh cinta padaku. Asal kau tau, Jo. Setiap cowok yang dekat denganku akan jatuh ke dalam pesonaku.” Rosalie mengedipkan sepasang matanya yang lebar.
Jonathan tertawa mendengus. “Dan asal kau tau. Aku tak akan seperti mereka.”
“Oh ya? Perasaan seseorang bisa saja berubah dalam waktu singkat.”
“Sudahlah, kau tenang saja soal janji itu. Atau, bagaimana kalau kita bertaruh?”
“Bertaruh?”
“Ya. Bila aku kalah dan akhirnya aku jatuh cinta padamu, maka aku harus menciummu. Tapi kalau perasaanku tidak berubah, itu artinya kau yang harus menciumku.”
Rosalie mengernyit. “Itu perjanjian yang bodoh, Jo. Dan buruk.”
Jonathan malah tertawa. “Bagaimana? Deal?”
“Oke lah! Deal!”
“Aku tak sabar melihat siapa yang akan menang.”
“Yeah, lihat saja nanti. Dan kurasa, kau harus mulai belajar cara mencium seseorang dengan baik dan benar.”
“Hei, aku belum kalah!”
“Ya. Tapi “akan”.” Rosalie tergelak. “Bye, Jo.” Ia berbelok menyusuri jalan setapak yang sepi.
Daun-daun yang berguguran dan angin yang bertiup membuatnya merasa nyaman. Rosalie merapatkan mantelnya hingga menutupi dagu. Cuaca memang dingin, tapi musim gugur adalah musim kesukaannya. Alam disekitarnya berwarna cokelat keemasan. Jalanan dipenuhi dengan daun-daun kering yang rontok dari dahan pohon.
Dulu saat masih kecil, Rosalie suka sekali merebahkan diri di atas tumpukan daun kering bersama teman-temannya. Tanpa sadar ia berhenti berjalan dan tersenyum saat menatap daun-daun yang menggunung di bawah pohon. Ingin rasanya ia merebahkan diri di sana. Ingin rasanya ia kembali ke masa kecilnya.

***

Jonathan menatap Rosalie yang berjalan menjauh. Lalu ia sendiri berbelok ke arah yang sebaliknya.
“Rose benar-benar gadis yang aneh,” gumamnya. “Cantik, tapi begitu tegas dan tak takut denganku. Baik, tapi tak ingin seseorang mencintainya.”
Mendadak saja darahnya berdesir ketika wajah Rosalie yang sedang tersenyum melintas di benaknya. Dan Jonathan baru sadar ada yang aneh. Ada yang salah. Ada yang ganjal. Entah itu dirinya atau siapa. Dia belum pernah dekat dengan gadis manapun, karena Jonathan sendiri sama sekali tak tertarik. Lalu kenapa dia dan Rosalie bisa seakrab ini hanya dengan dua kali pertemuan? Tiga kalau dihitung dengan insiden di ruang musik pagi hari pertama kali mereka bertemu. Dan setelah mengenal Rosalie, dia menjadi lupa akan tugas sehari-harinya untuk membuat onar di sekolah.
“Tidak! Aku tidak boleh kalah!” tekadnya sambil menepuk-nepuk pipinya sendiri dengan keras. “Aku tak akan jatuh cinta pada Rosalie!”



Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar