“Jadi,
mimpimu adalah pergi ke New York?” tanya Jonathan setelah lagu itu selesai.
“Ya.
Dan menjadi seorang pianis terkenal.”
“Kau
tau, Rose, dengan bakat seperti itu, mimpi itu bisa dengan mudah kau capai
suatu hari nanti.” Jonathan berdehem. “Dan, Rose, kau mempunyai bakat hebat lainnya.
Yaitu menghipnotis.”
“Well, aku tak tahu. Kadang-kadang, aku
hanya memberi beberapa sugesti ke orang-orang. Baiklah, Jo. Terima kasih untuk
hari ini.” Rosalie berdiri dan mengambil tasnya. Keduanya berjalan bersama
melewati koridor sekolah, sampai Rosalie berhenti di depan lokernya untuk
mengambil beberapa barang. Jonathan tetap menunggunya.
“Jo,
aku tau kau orang yang cerdas. Dan aku tau, sebenarnya kau tak membutuhkan
bantuanku.”
Jonathan
menyandarkan salah satu bahunya di pintu loker dan melipat tangan di depan
dada. “Lalu?”
“Ehm,
jika kau merasa terganggu dengan pertemuan-pertemuan ini, kita bisa
mempercepatnya. Jadwal matematikamu masih 1 minggu 5 hari lagi. Tapi kita bisa
membuatnya menjadi 1 minggu lagi, atau mungkin malah 5 hari lagi.” Rosalie
mengambil mantel hijaunya dari dalam loker dan memakainya. “Bagaimana?”
tanyanya karena Jonathan diam saja.
“Tidak.
Aku tak merasa terganggu,” jawab Jonathan setelah berfikir beberapa saat. “Dan
aku punya cukup banyak waktu. Tak perlu terburu-buru.”
“Ooh,”
sahut Rosalie singkat sambil menutup pintu loker. Keduanya berjalan lagi menuju
gerbang.
“Mengapa
kau berkata seperti itu?” tanya Jonathan. “Aku kira kau akan memaksaku untuk
menambah jam matematikaku. Tapi ternyata? Kau malah menawariku untuk
mempercepat jadwal.”
Rosalie
tersenyum. “Aku hanya tak ingin kau mengingkari janjimu sendiri.”
“Janji
apa?”
“Lihat,
bahkan kau sudah tak ingat. Padahal baru kemarin kita bicarakan hal ini.”
Karena
Jonathan tak merespon, pertanda ia tak ingat, Rosalie mendesah. “Janji untuk
tidak jatuh cinta padaku. Asal kau tau, Jo. Setiap cowok yang dekat denganku
akan jatuh ke dalam pesonaku.” Rosalie mengedipkan sepasang matanya yang lebar.
Jonathan
tertawa mendengus. “Dan asal kau tau. Aku tak akan seperti mereka.”
“Oh
ya? Perasaan seseorang bisa saja berubah dalam waktu singkat.”
“Sudahlah,
kau tenang saja soal janji itu. Atau, bagaimana kalau kita bertaruh?”
“Bertaruh?”
“Ya.
Bila aku kalah dan akhirnya aku jatuh cinta padamu, maka aku harus menciummu.
Tapi kalau perasaanku tidak berubah, itu artinya kau yang harus menciumku.”
Rosalie
mengernyit. “Itu perjanjian yang bodoh, Jo. Dan buruk.”
Jonathan
malah tertawa. “Bagaimana? Deal?”
“Oke
lah! Deal!”
“Aku
tak sabar melihat siapa yang akan menang.”
“Yeah,
lihat saja nanti. Dan kurasa, kau harus mulai belajar cara mencium seseorang
dengan baik dan benar.”
“Hei,
aku belum kalah!”
“Ya.
Tapi “akan”.” Rosalie tergelak. “Bye,
Jo.” Ia berbelok menyusuri jalan setapak yang sepi.
Daun-daun
yang berguguran dan angin yang bertiup membuatnya merasa nyaman. Rosalie
merapatkan mantelnya hingga menutupi dagu. Cuaca memang dingin, tapi musim
gugur adalah musim kesukaannya. Alam disekitarnya berwarna cokelat keemasan.
Jalanan dipenuhi dengan daun-daun kering yang rontok dari dahan pohon.
Dulu
saat masih kecil, Rosalie suka sekali merebahkan diri di atas tumpukan daun
kering bersama teman-temannya. Tanpa sadar ia berhenti berjalan dan tersenyum
saat menatap daun-daun yang menggunung di bawah pohon. Ingin rasanya ia
merebahkan diri di sana. Ingin rasanya ia kembali ke masa kecilnya.
***
Jonathan
menatap Rosalie yang berjalan menjauh. Lalu ia sendiri berbelok ke arah yang
sebaliknya.
“Rose
benar-benar gadis yang aneh,” gumamnya. “Cantik, tapi begitu tegas dan tak
takut denganku. Baik, tapi tak ingin seseorang mencintainya.”
Mendadak
saja darahnya berdesir ketika wajah Rosalie yang sedang tersenyum melintas di
benaknya. Dan Jonathan baru sadar ada yang aneh. Ada yang salah. Ada yang
ganjal. Entah itu dirinya atau siapa. Dia belum pernah dekat dengan gadis
manapun, karena Jonathan sendiri sama sekali tak tertarik. Lalu kenapa dia dan
Rosalie bisa seakrab ini hanya dengan dua kali pertemuan? Tiga kalau dihitung
dengan insiden di ruang musik pagi hari pertama kali mereka bertemu. Dan
setelah mengenal Rosalie, dia menjadi lupa akan tugas sehari-harinya untuk
membuat onar di sekolah.
“Tidak!
Aku tidak boleh kalah!” tekadnya sambil menepuk-nepuk pipinya sendiri dengan
keras. “Aku tak akan jatuh cinta pada Rosalie!”
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar