Minggu, 27 Januari 2013

Just for a Moment (6)



Jonathan pulang dengan perasaan kacau. Apa yang salah kalau aku mencintai Rosalie? Pertanyaan itu terus menghantuinya. Cinta memang tak bisa dicegah atau dipaksa untuk tumbuh. Dan menghapusnya akan menjadi hal yang sulit.
Wajah berlinang air mata itu yang kini menggantikan pertanyaan tadi. Tangis Rosalie menjadi jawaban yang jelas kalau mencintai gadis itu adalah sebuah kesalahan besar. Tapi kenapa? Hingga kemudian pertanyaan itu muncul lagi.
Apa yang salah kalau aku mencintai Rosalie?

***

Rosalie tiba di rumahnya dengan perasaan sama kacaunya. Jonathan mencintaiku. Pikirnya gelisah. Dia menghampiri piano di sudut ruang keluarga. Ia akan menghipnotis dirinya sendiri dengan lagu The True Love. Ia pun ingin tau siapa yang benar-benar ia cintai.
Cinta. Seharusnya Rosalie tak mengenal kata itu. Ia selalu menyesal tiap kali menyebut kata itu. Bahkan membayangkannya saja sering membuat hatinya sakit.
Rosalie memejamkan mata saat alunan piano terdengar. Dan lagu itu kemudian menuntunnya kepada seseorang yang sedang berdiri membelakanginya dalam kegelapan. Dan ketika orang itu membalikkan badan, dia adalah, Jonathan.

***

Mencintai dan dicintai. Itu adalah hak setiap orang. Setelah mendapat jawaban atas rasa penasarannya, Rosalie langsung menghentikan permainan hipnotisnya. Ia terpaku beberapa saat. Kedekatannya dengan Jonathan yang hanya beberapa hari itu ternyata mampu menumbuhkan sebuah perasaan terlarang dalam hatinya. Perasaan yang tak bisa dicegah oleh siapapun. Dan dia sudah terlibat terlalu jauh dalam hal ini.
Kalau memang dirinya yang mencintai Jonathan, itu bukan masalah. Paling tidak seseorang tak akan tersakiti selain dirinya sendiri. Tapi kenyataannya, Jonathan juga mencintainya. Karena, betul kata Rosalie, mencintai dirinya adalah sebuah kesalahan besar.

***

Jonathan tak sabar menunggu hari esok. Ia sudah meloncat bangun jauh sebelum jam bekernya berbunyi. Mandi dan berpakaian secepat kilat, menyambar roti bakar dari meja, dan langsung berangkat ke sekolah. Ia sengaja menunggu di depan pintu loker Rosalie. Tapi bermenit-menit ia berdiri di sana, gadis itu tak muncul juga.
“Dimana dia?” gumamnya gelisah. Mendadak matanya menangkap sesosok gadis berkacamata berdiri tak jauh darinya. Gadis itu menatapnya takut-takut. Jonathan segera mengetahui apa penyebabnya.
“Sori,” katanya sambil menyingkir dari pintu loker yang sejak tadi ia gunakan untuk sandaran punggungnya. Gadis itu mengangguk, lalu mengkombinasi kunci untuk membuka loker Rosalie. Ia menempati bagian bawah, sementara Rosalie bagian atas.
“Kau tau apa mata pelajaran pertama Rose hari ini?” tanya Jonathan.
“Rosalie? Mm, setahuku Biologi,” jawab gadis berkacamata itu.
“Biologi?!” seru Jonathan tanpa sadar, mengingat jam pelajaran pertamanya juga Biologi. “Aku sekelas dengan Rosalie saat pelajaran Biologi, tapi aku tak pernah tau,” gumamnya. “Oke, thanks... mm, namamu?”
“Charlotte.”
Thanks Charlotte.” Jonathan berlari ke lokernya. Ketika pintu loker terbuka, beberapa buku langsung jatuh menimpanya. “Ck! Buku-buku ini sungguh merepotkan,” keluhnya. Ia seloker dengan Thomas. Thomas menempati bagian bawah sementara Jonathan bagian atas. Kontras memang keadaan loker keduanya. Loker Thomas selalu rapi. Sementara loker Jonathan sangat berantakan. “Tolong titip buku-buku ini sebentar, Thom,” katanya sambil menjejalkan buku-bukunya yang terjatuh ke loker Thomas, meski sobatnya itu kini sedang tak ada di tempat.
Setelah mengambil buku Biologi, Jonathan berlari ke kelas. Rosalie belum ada di sana, jadi dia menunggu di depan ruangan. Gelisah. Tapi hingga bel peringatan kedua berbunyi, hingga Mr. Blanson, guru Biologinya yang bertubuh tambun, terlihat di ujung koridor, Rosalie tak muncul juga.
“Dimana dia?” desah Jonathan jengkel dan bingung, lalu masuk kelas.
“Selamat pagi,” sapa Mr. Blanson di depan kelas. Tapi Jonathan tak menghiraukannya karena matanya terus menatap pintu kelas, berharap seorang gadis berambut ikal, pirang, dan panjang membuka pintu itu. Sampai ia menoleh ketika Mr. Blanson menyebut-nyebut nama Rosalie.
“... Jadi, untuk beberapa hari ini Rosalie tak bisa berangkat sekolah.”
“Hah?” Jonathan tercengang. “Hei, Rosalie kenapa?” tanyanya sambil menjawil orang di depannya.
Orang itu – seorang cowok berambut merah ikal – menoleh dengan kening berkerut. “Ya?”
“Rosalie kenapa?” ulang Jonathan.
“Dia masuk rumah sakit kemarin malam.”
“Apa? Kenapa?” Jonathan makin tercengang.
Cowok itu hanya mengangkat bahu, lalu menghadap ke depan lagi, tak mempedulikan Jonathan yang bertambah resah. Setelah beberapa kali menggerak-gerakkan kaki dengan gelisah, akhirnya Jonathan bangkit berdiri dan melangkah ke pintu kelas.
“Jonathan! Mau kemana kau?!” tanya Mr. Blanson dengan suara menggelegar.
Jonathan menghentikan langkah tepat di depan pintu.
“Kau mau kabur ya?! Kembali ke tempat dudukmu, Jonathan!”
Jonathan terdiam beberapa saat. Pikirannya saling berperang, antara meneruskan langkah atau balik badan kembali ke bangkunya. Sebagian pikirannya yang sedang tak mau diajak berkompromi memikirkan pelajaran memaksanya keluar ruangan, tapi sebagian lagi melarang begitu mengingat janjinya kepada Rosalie. Janji untuk tak pernah membolos lagi.
Jonathan tau ia telah mengingkari satu janji. Merusaknya. Menghancurkannya. Janji untuk tidak akan jatuh cinta kepada Rosalie. Dan ia tak mau ingkar janji lagi, apalagi yang berhubungan dengan gadis itu.
“Jonathan?!”
“Baiklah, baiklah.” Akhirnya Jonathan melangkah lagi ke mejanya.
Mr. Blanson jadi heran sendiri melihatnya. Biasanya Jonathan tak pernah menuruti perintah seperti itu. Mempedulikan teriakan guru-guru pun tidak, apalagi kembali ke bangkunya seperti ini.
“Bagus,” kata Mr. Blanson kemudian.
Jonathan mendengus. Sebisa mungkin ia memfokuskan pikirannya kepada pelajaran, dan sebisa mungkin ia tidak melarikan diri saat bel pergantian pelajaran berbunyi. Saat jam makan siang, tiba-tiba Mr. Steven memanggilnya.
“Ada apa?” tanya Jonathan begitu tiba di ruangan guru itu.
“Ada yang mau saya bicarakan tentang jadwal tambahan matematikamu,” jawab Mr. Steven. “Kau pasti sudah tau Rosalie berhalangan hadir hari ini. Mungkin juga untuk hari-hari selanjutnya. Jadi saya akan mengganti tentormu.”
“Oh, yang benar saja,” desah Jonathan. “Siapa?”
“Jimmy Hobert.”
“Siswa juga?”
“Ya.” Mr. Steven mengangguk. “Dengar, Jo. Sadarkah kau jadwal tambahan matematika ini sangat berguna untukmu? Nilai-nilaimu naik drastis setelah mengikuti kelas tambahan ini. Jadi, walaupun bukan Rosalie lagi yang membimbingmu, kuharap itu tak berpengaruh terhadap nilai-nilaimu.”
“Yah, semoga saja.”





            Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar