Malam
hari, di kamarnya yang berantakan dan terletak tepat di bawah atap, Jonathan
berbaring sambil memikirkan permintaan Rosalie. Kepalanya mendadak dipenuhi
ide. Berjuta nada membayang di benaknya. Terangkai menjadi satu mencipta sebuah
melodi. Lagu yang diminta Rosalie bisa ia ciptakan di kepalanya. Entah
bagaimana, bisa terbentuk begitu saja. Bahkan rasanya ia bisa mendengar lagu
itu tepat di samping telinganya.
Jonathan
melompat bangun dan berlari turun. Ia tau ini sudah terlalu malam untuk
menelepon seseorang. Tapi tak ada yang bisa mencegahnya sekarang.
“Aku
tau kau belum tidur,” kata Jonathan begitu panggilannya dijawab dengan suara
berat dan mengantuk.
“Apa
kau tak punya pekerjaan lain selain menggangguku?” gerutu Thomas di seberang.
“Tolong
bawa gitarmu besok pagi. Aku mau meminjamnya selama beberapa hari.”
“Untuk
apa?”
“Ah,
bawa saja.”
“Oke,
oke. Tapi aku mohon kembalikan padaku dalam keadaan utuh, kalau kau tak mau
melihatku dimasukkan ke liang kubur dengan kepala dan tubuh yang terpisah.”
“Wow,
itu akan menjadi hal yang paling menarik yang pernah aku lihat.”
“Ayolah,
Jo,” gerutu Thomas lagi. “Kau tau maksudku. Aku bisa dipancung kakakku kalau
gitar itu sampai rusak.”
“Iya,
iya, aku tau. Jangan sampai lupa besok. Thanks.”
Jonathan
menaiki tangga lagi dengan langkah cepat. Debum kakinya yang bergema keras
membuat ibunya berteriak marah, “Jonathan! Pelankan langkahmu! Ini sudah
malam!”
“Kalau
Mom tak mau aku membuat gaduh, jangan beri aku kamar di loteng!” Jonathan balas
berteriak, lalu membanting pintu kamar. “Dasar cerewet. Dia menghancurkan
imajinasiku,” gerutunya.
***
“Sampai
kapan?” tanya Thomas saat menyerahkan gitarnya.
“Sekitar
lima hari. Thanks, Thom.”
“Ya,
ya. Tepati janjimu!”
“Tenang
saja.” Jonathan balik badan dan menuju ke atap gedung sekolah. Tempat itu
kosong. Langit di atasnya terasa begitu dekat, sampai-sampai Jonathan berkhayal
bisa meraih salah satu gumpalan awan. Karena hari ini hari pertama hukuman
skorsing, maka ia bebas dari semua pelajaran.
Saat
melongok ke bawah, hamparan halaman sekolah yang dipenuhi daun-daun kering dan
jajaran pohon yang hampir gundul membuatnya terpesona. Sebentar lagi musim
dingin tiba. Angin yang bertiup mulai membuat Jonathan menggigil. Tapi dia
enggan pergi dari situ. Tempat ini tempat yang paling sempurna untuk menciptakan
sebuah lagu.
Alunan
musik yang sejak kemarin malam terbayang di benaknya, kini ditumpahkannya menggunakan
gitar itu. Tangannya dengan lincah memetik senar gitar. Tapi sesaat kemudian,
ia berhenti.
“Rasanya
aneh kalau tak ada nyanyiannya,” gumamnya. “Ck, aku harus membuat liriknya.”
Jonathan
mengambil buku dan pena, lalu duduk menatap pemandangan musim gugur di bawah
sana. Kata demi kata mengalir lancar dari penanya.
Ku terdiam menatap senja
Yang terindah di musim gugur ini
Batinku bertanya
Apa sebenarnya arti hidupku?
Seperti mengejar
bentang cakrawala
Seperti mencari batas angkasa
Semuanya sia-sia saja
Tanda tanya itu akan tetap menjadi tanda
tanya
Dan ketika daun jatuh ke genggamanku,
aku mengerti
Perjalanan panjang hidupku akan berakhir
suatu saat nanti
Seperti daun kering ini
Dan saat hari itu tiba, aku telah menemukan
apa yang kucari
Aku mengambil setiap nafas untuk bertemu
denganmu, Sayangku
Aku terus berjalan, bahkan berlari, tuk mengejar
bayangmu
Sejuta mimpi ku untuk jatuh ke pelukanmu
Karena, arti hidupku adalah...
Kamu
Lirik
yang sederhana memang, tapi entah kenapa kata-kata itu membuat Jonathan puas.
Dan sekarang, ia menyatukan lirik tadi dengan nada-nada dari gitar. Tanpa
sadar, berjam-jam ia duduk di situ untuk menyelesaikan lagunya.
***
Empat
hari berlalu. Dan besok adalah waktunya ia mempersembahkan lagu ciptaannya kepada
Rosalie. Malam hari, di kamarnya, Jonathan kembali memainkan lagu itu.
“Karena, arti hidupku adalah... kamu...”
Namun
ketika lirik terakhir itu keluar dari mulutnya, mendadak wajahnya memucat.
“Bodoh!
Apa yang sudah kulakukan?!” teriaknya panik, baru menyadari kalau Rosalie bisa
saja menyalah artikan kalimat itu. Bagaimana kalau dia berfikir aku benar-benar
memberikan lagu ini untuknya? Bagaimana kalau dia menganggap “kamu” di sini
adalah dirinya? Bagaimana kalau dia mengira lagu ini benar-benar ungkapan
hatiku?
Tapi
terlambat untuk mengubah liriknya. Tak ada cukup waktu untuk membuat lagu baru.
Akhirnya, ia akan tetap menyanyikan lagu itu di depan Rosalie.
***
“Rose,
bagaimana kalau hari ini kita tak belajar saja?” bujuk Jonathan siang itu.
“Kenapa?”
“Malas.”
“Kau
memang pemalas, Jo.”
“Ya,
memang. Lagipula, hari ini kan waktunya kita menampilkan lagu ciptaan kita. Aku
sedang tak bisa berkonsentrasi dengan angka-angka.”
Rosalie
berfikir sejenak. “Baiklah. Kita akan bersantai hari ini. Tapi hanya untuk hari
ini saja.”
“Iya,
iya. Kau gadis yang terlalu serius, Rose. Hidup itu seharusnya dibawa santai.”
“Itu
kan hidupmu. Kerjaanmu santai-santai saja setiap hari. Hidupku tak seperti itu.
Kecuali kalau aku juga memiliki daya ingat fotografis sepertimu. Mungkin aku
juga tak perlu belajar susah payah untuk mengingat apa yang tertulis di buku.”
Jonathan
tergelak. “Sepertinya, kalau kau memilliki daya ingat fotografis, kau akan
menjadi manusia paling jenius di planet ini.”
“Bisa
jadi.” Rosalie mengangkat sebelah bahu dan tersenyum simpul.
“Oke.
Siapa yang akan mulai duluan?”
“Aku.”
Rosalie mengajukan diri, lalu duduk di belakang piano. “Maukah kau “kuhipnotis”
lagi, Jo?”
“Dengan
senang hati.” Jonathan duduk di sebelahnya, lalu memejamkan mata.
“Baiklah,
Jonathan.” Rosalie menarik nafas panjang. “Lagu ini berjudul The True Love,” katanya.
Jonathan
sedikit tersentak, tapi kemudian mengangguk. Suara piano mulai terdengar, dan
suara lembut Rosalie yang bernada merdu menyusul tak lama kemudian.
“Resapi
lagu ini, Jo. Biarkan nadanya masuk jauh hingga ke relung hatimu. Dan kau akan
membayangkan orang yang kau cintai muncul di hadapanmu. Jangan paksakan dirimu
untuk menentukan siapa orang yang benar-benar kau sayangi, karena lagu ini yang
akan membantumu memutuskan.”
Awalnya
Jonathan memang bingung, tapi begitu mendengar kalimat terakhir Rosalie, dia
pun tak memusingkannya lagi. Ia hanya mendengarkan denting piano mengalun
seperti air yang mengalir masuk ke dalam hatinya. Tak ia sangka, dari kegelapan
yang menyelimuti pandangannya, muncul sesosok gadis. Dan wajah gadis itu membuatnya
begitu terkejut. Rosalie.
Mendadak
dunia gelap di sekelilingnya berubah menjadi dunia yang indah. Dunia yang dulu
pernah ia lihat ketika Rosalie pertama kali menghipnotisnya. Dan sosok Rosalie
di hadapannya kini sedang tertawa ceria. Jonathan membeku. Perasaannya begitu
panik. Ia ingin membuka mata untuk keluar dari pengaruh hipnotis ini, untuk
keluar dari dunia yang indah ini. Tapi rasanya ia telah membuka mata, seolah-olah
ini semua nyata.
“Jo?”
Tiba-tiba suara Rosalie memanggilnya.
Jonathan
berharap itu suara Rosalie dari dunia nyata, tapi ternyata itu suara Rosalie
yang berada di hadapannya. Gadis itu begitu cantik mengenakan gaun selutut berrenda
berwarna putih dan bandana berwarna senada berhias bunga yang menjadi lambang
namanya sendiri. Mawar. Rose. Dia
terlihat seperti anak kecil yang begitu manis.
“Jo?”
Rosalie memanggilnya lagi, dan kali ini Jonathan tersentak. Dia membuka mata
dan seketika dunia indah itu menghilang.
“Kau
sudah melihatnya, bukan?” tanya Rosalie.
Jonathan
menoleh. Sekujur tubuhnya masih tegang mendapati kenyataan bahwa orang yang
sekarang ini sangat dicintainya adalah... Rosalie! Gadis yang duduk tepat di
sebelahnya. Gadis yang diam-diam telah menyusup masuk ke dalam hatinya. Gadis yang
tanpa sadar telah mengubah segalanya.
“I..
iya. Aku telah melihatnya.”
“Boleh
aku tau siapa itu?” Rosalie menyikut Jonathan dengan jahil.
“Kau
akan mengetahuinya setelah ini, Rose,” jawab Jonathan. Dengan tubuh agak gemetar,
cowok itu mengambil gitar. Kini ia telah sadar, bahwa ia memang mencintai
Rosalie. Ia mengakui itu. Dan lewat lagu ini dia akan memberi kenyataan itu
kepada Rosalie.
“Komohon,
Rose. Dengarkan lagu ini dengan hatimu juga.”
“Kenapa
kau jadi sok serius begitu, Jo?”
“Aku
memang serius, Rose!”
“Oke,
oke,” sahut Rosalie, agak bingung dengan perubahan sikap Jonathan.
Setelah
menelan ludah dan menarik nafas, Jonathan mulai melantunkan lagunya. Entah
kenapa lagu ini terasa lebih indah daripada saat ia berlatih. Sangat indah
malah. Apa gara-gara Rosalie ada di hadapannya? Yang pasti, Jonathan menyanyikannya dengan sepenuh hati. Sebagai teriakan pengakuannya. Sebagai ungkapan kekalahannya.
Aku mengambil setiap nafas untuk bertemu
denganmu, Sayangku
Aku terus berjalan, bahkan berlari, tuk mengejar
bayangmu
Sejuta mimpi ku untuk jatuh ke pelukanmu
Karena, arti hidupku adalah...
Kamu
Keduanya
terdiam begitu lagu itu selesai. Hanya saling tatap.
“Mm,
Jo, apa...”
“Ya!”
potong Jonathan cepat dan keras, juga frustasi. “Aku menyerah! Aku mengaku
kalah, Rose! Aku kalah dalam taruhan yang aku buat sendiri! Kau menang!
Sekarang aku memang mencintaimu, Rosalie!”
Sepasang
mata Rosalie yang berwarna biru laut melebar. Mulutnya terbuka untuk bicara
sesuatu, tapi ia begitu tercekat.
“Jadi
sekarang...”
“Kau
tak boleh mencintaiku, Jo! Kau mengingkari janjimu sendiri!” Tiba-tiba Rosalie
berteriak. Tangisnya pecah, dan ia berlari keluar setelah menyambar tasnya.
“Rose!
Rosalie!” Jonathan mengejarnya. “Apa yang salah kalau aku mencintaimu?!”
“Itu
salah besar, Jo!” Rosalie menghentikan langkah sebentar, kemudian balik badan
lagi. “Oh God, apa yang aku takutkan
jadi kenyataan.”
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar